Sorak-sorai tepuk tangan para konglomerat yang menghadiri pelelangan begitu meriah, mereka berdecak kagum melihat Tania baru saja menghujam belati ke kening Ferdinand. Wajah para konglomerat meraut senyum sumringah, tak ada satupun yang merasa ngeri, ataupun jijik melihat darah terus mengalir keluar dari hujaman belati. Semua yang terjadi di ruang teater markas IRA, sekaligus membuktikan bahwa para konglomerat memiliki paham yang sejalan dengan IRA, hingga tidak ragu menggelontorkan dana sebanyak apapun untuk mendukung organisasi kontra Kerajaan itu, yakni memisahkan Irlandia Utara dari Britania sekaligus menegaskan kedaulatan Kepulauan Irlandia. Padahal belum genap 20 menit memasuki ruang teater, namun Pascal dan Dona sudah mendapatkan begitu banyak informasi mengenai IRA, serta merasa geram melihat betapa bengis tindakan-tindakan di balik organisasi itu. Portet yang baru saja mengetuk palu semakin terkesima melihat tingginya antusiasme para konglomerat, ia sampai ikut bertepuk tan
Kedua mata menatap nanar, gemeretak gigi tersembunyi di balik selubung masker hitam. Kobar api amarah seakan melejit tajam, hingga nafas Will bergetar menahan geram. Hati seakan terbakar, saat melihat tongkat kemahsyuran sang ayah tengah dipegang oleh Porter, di pampang dengan bangga pada para konglomerat, seakan memamerkan tragedi kelam yang telah merenggut nyawa Sir Edric. Luapan amarah menuntun tangan kanan Will untuk mengambil pistol yang terselip di saku kiri jasnya. Namun sesaat sebelum Will mengeluarkan pistol dan hendak bangkit dari bangkunya, Dona lekas menahan dengan memegang erat bahu Will. "Sir! Kendalikan dirimu! Masih ada banyak sekali personel IRA di sini!" cegah Dona dengan berbisik pelan. Kalau bukan karena di cegah Dona, mungkin Will sudah melepas tembakan ke panggung, hingga mencipta kisruh di ruang teater. Alhasil, Will akhirnya memejam mata seraya menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredakan amarah agar rencana Pascal tak berantakan. "Kuharap Pascal sudah pun
Walau sempat menjalani baku tembak dengan beberapa personel IRA di luar markas, juga dikarenakan jumlah bala bantuan yang tak terlalu banyak–hanya berkisar 40 orang personel, serta atas arahan Pascal yang meminta para tentara Angkatan laut mengendurkan serangan agar dapat mengantar bantuan medis ke lantai 3, para konglomerat beserta jajaran personel IRA berhasil mengosongkan markas, berlabuh menggunakan lima unit truk yang sudah siap di parkiran. Alhasil, karena gagal mengamankan barang satu saja personel IRA ataupun konglomerat di markas Londonderry, bala bantuan Angkatan Laut bergegas memasuki markas, untuk segera mengirimkan bantuan medis kepada Will. Tentara Angkatan Laut juga sempat menyisir seisi markas, mencari keberadaan Elly, namun sayang mereka tak menemukannya. Kini dua orang petugas medis dari Angkatan Laut dikerahkan untuk memberikan Will pertolongan pertama, naik ke atas panggung yang lantainya sudah berceceran banyak darah, membawa dua buah tas berisi peralatan medis,
Pukul 07:30 pagi, tersisa 30 menit sebelum tenggat waktu Purple Snow berakhir. Langit musim dingin berangsur benderang, melewati peralihan dari gelap ke terang. Para pejalan kaki mulai terlihat berlalu lalang di sekitar trotoar Guinness Storehouse.Jalanan sepi, hanya beberapa pejalan kaki yang melintas, mantel mereka tertutup rapat melawan dingin. Suara langkah kaki mereka menggema di trotoar, bersahut-sahutan dengan kicauan burung yang bersarang di atap-atap sekitar. Beberapa meja payung berdiri di depan sisi kiri dan kanan gerbang kayu hitam terbuka ke dalam, yang memampang tulisan besar Guinness beserta logo harpa emas ikonik di sampingnya, permukaannya berkilauan oleh embun pagi. Beberapa kursi terlihat sudah terisi beberapa orang, sementara kursi lain masih menunggu kehadiran para wisatawan. Terlihat pula beberapa petugas polisi berompi kuning tengah berlalu lalang di sekitar gerbang, berpatroli seraya meniyapa ramah setiap pejalan kaki dan wisatawan yang berlalu-lalang di area l
Selama terus berlabuh meninggalkan Dublin setelah berhasil membuat kericuhan di persimpangan Guiness Storehouse, mobil boks putih yang membawa Elly terus melaju kencang selama satu jam, menyusuri jalanan hingga mendekati wilayah selatan Irlandia Utara. Perjalanan mengalami peralihan, dari semula nuansa perkotaan kini berganti menjadi lebih lengang bangunan, mulai memasuki area pedesaan dengan bentang rumput hijau nan asri. Hingga setelah beberama menit mobil boks menelusuri ruas aspal yang dikelilingi rerimbunan macam dedaunan, arah mobil bos menuju ke sebuah pagar hitam berjerjak, dengan dua pos penjagaan yang terbangun di sisi kiri dan kanannya. Terlihat jalar tanaman liar yang menghiasi pagar, juga rerimbunan pohon yang seakan berperan sebagai tembok alami. Melihat mobil boks putih memasuki area pagar, satu orang yang berjaga di salah satu pos keluar dan segera menghampiri kaca jendela sopir. Kaca jendela diturunkan begitu penjaga pagar mengetuknya beberapa kali. "Ah. Kukira sia
Insiden demi insiden seakan mengejarku kala itu. Semesta seakan tak cukup menyiksaku dengan kematian Johan. Aku pikir, hidup akan berjalan lebih baik saat kami beralih ke tanah Britania, namun kini kuakui bahwa pemikiran itu terlalu naif. We're Irish, dan sampai kapanpun, kami harus menanggung dosa besar di masa lalu, sebagai manusia yang paling dibenci Britania. Johan telah tiada, namun dendam yang mengarah padanya masih terus membara, hingga tak memberiku kesempatan untuk dapat mempertahankan keluarga. "IBUUU!!! IBUUUU!!! KAU DIMANAAAA!! AKU TAKUTTTT!!!"Malam itu, teriakan putriku semakin lama semakin memudar, tersamar oleh derit kayu penopang atap yang semakin rapuh terlalap api. Rumahku kala itu berubah menjadi neraka, ganasnya kobaran api merayap, menyelimuti dinding hingga perabotan-perabotanku. Nyala api mengepungku, puing-puing terbakar berjatuhan, menghujani hantaran panas, serta mempersempit ruang gerakku, yang tengah berusaha mendatangi kamar putriku, tempat dia terus ber
"I-Ini semua tidak mungkin! J-Jangan coba membohongiku! I-Ibuku sudah mati! Aku sudah tinggal sebatang kara sejak rumahku terbakar!"Kepala menunduk, namun kelopak matanya masih melebar, Elly meringkuk gemetaran seraya memegangi kepalanya erat-erat, masih mencoba untuk menyangkal fakta yang telah dihadapkan padanya. Walau sekencang mungkin Elly meneriakkan bantahannya, pada nyatanya, dia sendiri tak begitu mengingat kejadian lengkap dalam insiden kebakaran rumahnya, ingatannnya begitu samar. "KEAAAAAKKKHH!!!" ia bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri karena kesulitan memanggil ingatan samar di kepalanya. Melihat Elly kembali dilanda kepanika, Nyona R lekas mendatangi, memeluk tubuh Elly yang masih meringkuk penuh kecemasan, berusaha menenangkannya. Tangisan Elly seketika pecah begitu tubuh merasakan dekapan. "Ada apa!? Semuanya baik-baik saja, Nyonya R?" pekikan Elly berhasil mengundang perhatian wanita penghuni salah satu tenda, ia lekas mengintip ke dalam tenda Nyonya R karena
Revna dan Elly akhirnya keluar dari tenda, para pengungsi terlihat mengitari jalur langkah keduanya, terdiam seraya memandang penasaran siapa wanita muda yang berjalan seraya dituntun oleh Revna, sembari terus mengetukk tongkat tunanetranya ke sekitar tanah. Para pengungsi berkerumun di sekitaran langkah Revna dan Elly, memandang penasaran, menerka-nerka mengapa pemimpin pengungsian rela menuntun jalan seorang wanita tunanetra. Raut wajah Elly berubah canggung selama diajak berjalan oleh Revna, desas-desus para pengungsi dapat terdengar jelas oleh pendengarannya, ada yang was-was akan kehadiran Elly di kemah pengungsian mereka, ada juga yang mencecarnya, mengenali Elly sebagai orang kepercayaan Kerajaan, yang dituding sebagai penyebab luluh-lantaknya tempat tinggal mereka, membuat Elly semakin erat menggenggam tangan ibunya. "Kemah pengungsian ini memang terbangun seadanya. Apa mau dikata? Kami membangun ini secara darurat, dan aku juga tak yakin akan berapa lama pengungsian ini bisa
Sejatinya, perjalanan dari Roma menuju Sirakusa terbilang sangat jauh jika mengambil jalur darat. Ada empat kota yang harus dilewati sebelum mencapai Sirakusa, yakni Napoli, Benevento dan Catania. Membuat waktu perjalanan dapat diperkirakan menjadi 10 jam lamanya. Namun, berkat helikopter MI5, rombongan Pascal hanya perlu menempuh waktu 1 jam perjalanan, hanya butuh terbang dengan memotong jalur melewati garis Laut Tirenia. Katakomba San Giovanni. Sebuah kapel bersejarah yang terbangun diantara susunan batu alam. Kesan kuno serta dilengkapi ukiran-ukiran fresko yang semakin memudar, merupakan pelengkap setiap dinding-dinding dan pilar-pilar fondasi area pemakaman. Tampak luarnya tak beda dengan arsitektur kapel dan gereja pada umumnya, hanya kesan kuno serta sarat sejarah yang membedakannya. Setidaknya, itulah tampak sekilas dari atas tanah. Terkesan tak begitu mencolok sebagai salah satu situs bersejarah, bahkan disekitaran area kapel masih dapat dijumpai bengunan-bangunan pemukiman
Vilfredo membawa rombongan Pascal ke ruang kerja pribadinya, yang terletak di lantai dua Museum Capitolini. Tak seperti ruang kerja pribadi pada umumnya, terdapat bentang tiga rak melengkun setinggi dua meter di belakang meja kerja Vilfredo. Tak hanya itu beberapa sisi ruangan juga dipenuhi beragam pajangan artefak-artefak bersejarah. Seperti lukisan langka milik Caravaggio, Titian serta pahatan patung dari Praksiteles dan Skopas. Seluruh rombongan Pascal menyusuri ruang kerja seluas 30 meter persegi itu. Dona mengambil salah satu buku dari rak lengkung dan memperhatikan sampul beserta isinya, membaca buku berjudul 'The Romans: From Village to Empire' karya Mary T. Boatwright. Pascal tengah memperhatikan salah satu lukisan yang terpanjang di dinding, lamat-lamat memandangi karya berjudul Assumption of the Virgin oleh Carvaggio, lukisan yang menggambarkan Kenaikan Perawan Maria ke Surga, dengan komposisi yang dramatis dan penggunaan warna yang luar biasa. Sementara Hana bergedik jiji
Karena memutuskan untuk menuruti permintaan Elly, penerbangan yang seharusnya hanya memakan waktu 1 jam saja menuju london kini berlangsung lebih lama. Deru mesin helikopter yang begitu bising berangsur memudar seiring berjalannya waktu penerbangan, terkesan lebih menenangkan. Elly bahkan sampai tertidur, duduk di bangku panjang helikopter namun kepalanya bersandar di atas brankar, tepatnya menyandari perut Will yang juga sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Will tertidur nyenyak, dengan posisi tangan kanan yang menapak di atas kepala Elly. Begitu juga dengan Hana, hanyut terbawa kantuk setelah penerbangan hampir berlangsung selama dua jam. Terlelap begitu nyenyak dengan berbaring di atas bangku panjang helikopter. Berbeda halnya dengan Pascal dan Dona yang masih terjaga, di bangku panjang seberang Hana, keduanya tengah fokus memperhatikan tampilan satelit peta digital di layar tablet pintar. Seraya berdiskusi untuk mempersiapkan lokasi pendaratan. "Hmmm.. Susunan komplek museum
Sayang, momen-momen meramu asmara dalam cumbuan terpaksa berhenti, tatkala ko-pilot helikopter menjulurkan radio genggam ke belakang. "Sir Wilfred, Dame Eleanor. Letnan Pascal ingin bicara dengan kalian," potongnya. Sontak, Will dan Elly yang tadinya hanyut dalam pagutan secara bersamaan menjauhkan badan, melepas dekapan setelah mendengar panggilan ko-pilot. Elly begitu tersipu setelah menghabiskan menit-menit singkat untuk mencumbu Will, kepalanya tertunduk, hendak menyembunyikan wajah memerah dari Will. Sementara Will merangkak di atas brankar, meraih radio genggam dari tangan ko-pilot lalu mendekatkannya ke mulut. "Ya, Pascal? Ada apa?" tanya Will. "Ah! Wilfred. Kau sudah bangun ternyata. Baru saja aku ingin menanyakan keadanmu pada Dame Eleanor. Kau sudah merasa lebih baik sekarang?""Begitulah. Dada dan perutku masih terasa berdenyut, sesekali aku juga kesulitan bernafas. Tapi selebihnya, tubuhku sudah mulai bisa digerakkan seperti sedia kala," ujar Will, seraya meregangkan ba
"Nyonya R. Nyonya R. Bangunlah. Aku butuh bantuanmu."Greta yang tadinya terlelap kini berubah tak tenang, ia yang mendudukkan badan di atas matras putih, kini sedang mengguncang pelan tubuh Revna, yang terlelap bersama Greta di matras yang sama, tidur dengan posisi membelakangi gadis kecil itu. Setelah beberapa kali tubuhnya diguncang oleh tangan mungil Greta, Revna yang semula tertidur nyenyak kini memicing mata, guncangan pelan Greta seketika menarik kembali kesadarannya. Revna meregangkan badan seraya mengusap mata sayup setelah terbangun, sebelum kemudian ia mendudukkan badan perlahan, lalu berbalik menghadap Greta, yang terlihat memasang wajah murung. Sadar Greta telah terbangun, Revna lekas menangkup pipi kiri Greta seraya mengusap lembut dengan jemari. "Ada apa, Greta? Mengapa kau terlihat gelisah sekali?" tanya Revna lemas. "Anu. Apa perbanku sudah boleh dibuka, Nyonya R? Ini terasa sangat gatal. Aku tidak tahan," pinta Greta lirih, seraya memangku kepal kedua tangan, yang
Malam semakin larut, para pengungsi lanjut beristirahat setelah menikmati kari daging sederhana, kemah pengungsian sudah tak se-riuh sebelumnya, para pengungsi termasuk Greta telah kembali ke tenda masing-masing, menyudahi hari untuk menyambut hari berikutnya, sambil terus berharap agar situasi berat ini segera usai.Di saat semua pengungsi beristirahat, lain halnya di tenda utama. Diaz dan Andrew berjongkok di samping kiri dan kanan Clansman PRC-320, memperhatikan seorang lansia yang tengah fokus memutar tuas bundar frekuensi, pria tua berpakaian kemeja putih lengan panjang terbalut mantel wol abu, serta memiliki rambut pendek serba putih, yang tak lain adalah Pak Tua Sam. "Padahal sudah dari tadi sore kau kusuruh memanggil Pak Tua Sam, kenapa kau baru membawanya setelah makan malam, Diaz!?" sungun Andrew kesal. "Si Tua ini tidur di tendanya! Kau tahu sendiri jika dia sudah tidur akan sesulit apa dibangunkan! Dia hanya akan bangun jika mendengar suara baku tembak!" timpal Diaz. "L
Lembayung senja berganti menjadi rembang petang, langit berangsur temaram, menandakan hari hampir menyambut malam. Rembang petang menjadi pertanda datangnya waktu makan malam bagi para pengungsi Armargh, dimana kini puluhan pengungsi berbondong-bondong mendatangi pelataran tenda hijau. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, bahkan juga lansia, membawa masing-masing piring, berkerumun mengelilingi kuali besar yang dipanaskan oleh kayu bakar, menunggu Kari matang. Petinggi Maze seperti Lloyd, Andrew dan Peter bertugas mengatur kerumunan pengungsi, agar tak berada terlalu dekat dengan kuali selama Revna, Elly serta beberapa pengungsi wanita yang tengah menyiapkan makan malam.Sebuah meja panjang kayu berdiri di samping kuali, tempat Revna, Elly serta dua orang pengungsi wanita tengah sibuk meracik bahan-bahan Kari. Revna dan satu pengungsi wanita terlihat tengah memarinasi daging di dalam sebuah loyang besar, mengaduk dan memijat lembut potongan-potongan daging agar bumbu seperti gara
"Kalian boleh buka lagi catatanku dan jurnal Ayah. Aku ingat sekali sempat beberapa kali menulis kata Magna Graecia saat tengah menyalin," pinta Elly. Mendengar Elly, Revna kembali membuka dua jurnal milik Johan, meletaknya secara bersamping-sampingan seraya membalikkan halaman dengan seksama, mencari kata Magna Graecia di dalam jurnal untuk memastikan prakiraan putrinya. Sama halnya dengan Andrew, ia kembali membuka catatan Elly, juga mencari kata Magna Graecia. Setelah beberapa saat membalik susun halaman serta memindai catatan, baik Revna dan Andrew berhasil menemukan kata Magna Graecia di jurnal Johan dan catatan Elly, tersemat diantara beberapa baris paragraf. "Tahun Tujuh Ratus Lima Puluh Delapan. Kapal besar yang membawa rombongan Misionaris Magna Graecia tiba di Pulau Iona. Kedatangan mereka tak disambut baik karena ajaran yang dibawa berlawanan dengan paham Gereja Iona," Andrew membacakan salah satu paragraf di catatan Elly, seraya mengernyit heran karena penjelasan paragr
Diaz bergegas keluar dari tenda, berniat memanggil Pak Tua Sam untuk membantu pencarian sinya komunikasi tepat terhadap militer Britania. Namun sesaat setelah ia melewati pintu tirai, Diaz mendapati Lloyd di pelataran tenda, yang tengah duduk merebah diatas sebuah kursi malas, memandang murung semburat kemerahan mentari sembari meneguk sebotol bir.Menyadari kedatangan Diaz, Lloyd mengambil satu botor bir yang terletak di samping kursi malas, lalu menyodorkannya pada Diaz, namun tatapannya masih terarah pada angkasa. "Kalau aku jadi kau, takkan kupenuhi permintaan gadis muda itu untuk menghubungi MI5 dan MI6. We've through a lot in here. Mayoritas pengungsi adalah warga Irlandia. Kau tak ingin mengubah kemah pengungsian yang tenang ini menjadi ricuh saat para cecunguk Kerajaan itu datang, bukan?" himbau Lloyd. Tidaknya menerima tawaran bir dari Lloyd, Diaz malah melipat tangan, mengabaikan sodoran bir. Ia sadar bahwa Lloyd sedari tadi mendengar perbincangan di dalam tenda. "What's wr