Pukul 07:30 pagi, tersisa 30 menit sebelum tenggat waktu Purple Snow berakhir. Langit musim dingin berangsur benderang, melewati peralihan dari gelap ke terang. Para pejalan kaki mulai terlihat berlalu lalang di sekitar trotoar Guinness Storehouse.Jalanan sepi, hanya beberapa pejalan kaki yang melintas, mantel mereka tertutup rapat melawan dingin. Suara langkah kaki mereka menggema di trotoar, bersahut-sahutan dengan kicauan burung yang bersarang di atap-atap sekitar. Beberapa meja payung berdiri di depan sisi kiri dan kanan gerbang kayu hitam terbuka ke dalam, yang memampang tulisan besar Guinness beserta logo harpa emas ikonik di sampingnya, permukaannya berkilauan oleh embun pagi. Beberapa kursi terlihat sudah terisi beberapa orang, sementara kursi lain masih menunggu kehadiran para wisatawan. Terlihat pula beberapa petugas polisi berompi kuning tengah berlalu lalang di sekitar gerbang, berpatroli seraya meniyapa ramah setiap pejalan kaki dan wisatawan yang berlalu-lalang di area l
Selama terus berlabuh meninggalkan Dublin setelah berhasil membuat kericuhan di persimpangan Guiness Storehouse, mobil boks putih yang membawa Elly terus melaju kencang selama satu jam, menyusuri jalanan hingga mendekati wilayah selatan Irlandia Utara. Perjalanan mengalami peralihan, dari semula nuansa perkotaan kini berganti menjadi lebih lengang bangunan, mulai memasuki area pedesaan dengan bentang rumput hijau nan asri. Hingga setelah beberama menit mobil boks menelusuri ruas aspal yang dikelilingi rerimbunan macam dedaunan, arah mobil bos menuju ke sebuah pagar hitam berjerjak, dengan dua pos penjagaan yang terbangun di sisi kiri dan kanannya. Terlihat jalar tanaman liar yang menghiasi pagar, juga rerimbunan pohon yang seakan berperan sebagai tembok alami. Melihat mobil boks putih memasuki area pagar, satu orang yang berjaga di salah satu pos keluar dan segera menghampiri kaca jendela sopir. Kaca jendela diturunkan begitu penjaga pagar mengetuknya beberapa kali. "Ah. Kukira sia
Insiden demi insiden seakan mengejarku kala itu. Semesta seakan tak cukup menyiksaku dengan kematian Johan. Aku pikir, hidup akan berjalan lebih baik saat kami beralih ke tanah Britania, namun kini kuakui bahwa pemikiran itu terlalu naif. We're Irish, dan sampai kapanpun, kami harus menanggung dosa besar di masa lalu, sebagai manusia yang paling dibenci Britania. Johan telah tiada, namun dendam yang mengarah padanya masih terus membara, hingga tak memberiku kesempatan untuk dapat mempertahankan keluarga. "IBUUU!!! IBUUUU!!! KAU DIMANAAAA!! AKU TAKUTTTT!!!"Malam itu, teriakan putriku semakin lama semakin memudar, tersamar oleh derit kayu penopang atap yang semakin rapuh terlalap api. Rumahku kala itu berubah menjadi neraka, ganasnya kobaran api merayap, menyelimuti dinding hingga perabotan-perabotanku. Nyala api mengepungku, puing-puing terbakar berjatuhan, menghujani hantaran panas, serta mempersempit ruang gerakku, yang tengah berusaha mendatangi kamar putriku, tempat dia terus ber
"I-Ini semua tidak mungkin! J-Jangan coba membohongiku! I-Ibuku sudah mati! Aku sudah tinggal sebatang kara sejak rumahku terbakar!"Kepala menunduk, namun kelopak matanya masih melebar, Elly meringkuk gemetaran seraya memegangi kepalanya erat-erat, masih mencoba untuk menyangkal fakta yang telah dihadapkan padanya. Walau sekencang mungkin Elly meneriakkan bantahannya, pada nyatanya, dia sendiri tak begitu mengingat kejadian lengkap dalam insiden kebakaran rumahnya, ingatannnya begitu samar. "KEAAAAAKKKHH!!!" ia bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri karena kesulitan memanggil ingatan samar di kepalanya. Melihat Elly kembali dilanda kepanika, Nyona R lekas mendatangi, memeluk tubuh Elly yang masih meringkuk penuh kecemasan, berusaha menenangkannya. Tangisan Elly seketika pecah begitu tubuh merasakan dekapan. "Ada apa!? Semuanya baik-baik saja, Nyonya R?" pekikan Elly berhasil mengundang perhatian wanita penghuni salah satu tenda, ia lekas mengintip ke dalam tenda Nyonya R karena
Revna dan Elly akhirnya keluar dari tenda, para pengungsi terlihat mengitari jalur langkah keduanya, terdiam seraya memandang penasaran siapa wanita muda yang berjalan seraya dituntun oleh Revna, sembari terus mengetukk tongkat tunanetranya ke sekitar tanah. Para pengungsi berkerumun di sekitaran langkah Revna dan Elly, memandang penasaran, menerka-nerka mengapa pemimpin pengungsian rela menuntun jalan seorang wanita tunanetra. Raut wajah Elly berubah canggung selama diajak berjalan oleh Revna, desas-desus para pengungsi dapat terdengar jelas oleh pendengarannya, ada yang was-was akan kehadiran Elly di kemah pengungsian mereka, ada juga yang mencecarnya, mengenali Elly sebagai orang kepercayaan Kerajaan, yang dituding sebagai penyebab luluh-lantaknya tempat tinggal mereka, membuat Elly semakin erat menggenggam tangan ibunya. "Kemah pengungsian ini memang terbangun seadanya. Apa mau dikata? Kami membangun ini secara darurat, dan aku juga tak yakin akan berapa lama pengungsian ini bisa
Andrew dan Diaz dengan sigap menyingkirkan segala macam benda di atas meja kayu panjang, mulai dari piring bekas roti isi, cangkir-cangkir besi serta teko berisi teh hangat diangkat dan dialihkan ke tempat lain, hingga meja kayu panjang tak menampung benda apapun lagi. Setelah semua benda di atas meja disingkirkan, Revna lanjut mengambil dua buah gulungan perkamen usang dari dalam peti–yang terikat pita hitam serta pita biru. Ia juga dibantu oleh Andrew untuk membawa dua buah rangkap dokumen dari dalam peti besi hitam. Gulungan perkamen beserta rangkap dokumen kemudian diletakkan ke atas meja yang sudah dibersihkan sebelumnya. Begitu semua sudah siap, Revna lalu menuntun Elly untuk menghampiri meja panjang, lalu duduk bersampingan dengannya. Andrew dan Diaz juga turut mengisi bangku di seberang Elly dan Revna. "Baik, Elly... Aku bahkan tak tahu ingin mulai dari mana. Sudah lama sekali aku tak membuka lembar-lembar penelitian Johan lagi. Dan sekarang, aku akan menyaksikan langsung pe
Diaz bergegas keluar dari tenda, berniat memanggil Pak Tua Sam untuk membantu pencarian sinya komunikasi tepat terhadap militer Britania. Namun sesaat setelah ia melewati pintu tirai, Diaz mendapati Lloyd di pelataran tenda, yang tengah duduk merebah diatas sebuah kursi malas, memandang murung semburat kemerahan mentari sembari meneguk sebotol bir.Menyadari kedatangan Diaz, Lloyd mengambil satu botor bir yang terletak di samping kursi malas, lalu menyodorkannya pada Diaz, namun tatapannya masih terarah pada angkasa. "Kalau aku jadi kau, takkan kupenuhi permintaan gadis muda itu untuk menghubungi MI5 dan MI6. We've through a lot in here. Mayoritas pengungsi adalah warga Irlandia. Kau tak ingin mengubah kemah pengungsian yang tenang ini menjadi ricuh saat para cecunguk Kerajaan itu datang, bukan?" himbau Lloyd. Tidaknya menerima tawaran bir dari Lloyd, Diaz malah melipat tangan, mengabaikan sodoran bir. Ia sadar bahwa Lloyd sedari tadi mendengar perbincangan di dalam tenda. "What's wr
"Kalian boleh buka lagi catatanku dan jurnal Ayah. Aku ingat sekali sempat beberapa kali menulis kata Magna Graecia saat tengah menyalin," pinta Elly. Mendengar Elly, Revna kembali membuka dua jurnal milik Johan, meletaknya secara bersamping-sampingan seraya membalikkan halaman dengan seksama, mencari kata Magna Graecia di dalam jurnal untuk memastikan prakiraan putrinya. Sama halnya dengan Andrew, ia kembali membuka catatan Elly, juga mencari kata Magna Graecia. Setelah beberapa saat membalik susun halaman serta memindai catatan, baik Revna dan Andrew berhasil menemukan kata Magna Graecia di jurnal Johan dan catatan Elly, tersemat diantara beberapa baris paragraf. "Tahun Tujuh Ratus Lima Puluh Delapan. Kapal besar yang membawa rombongan Misionaris Magna Graecia tiba di Pulau Iona. Kedatangan mereka tak disambut baik karena ajaran yang dibawa berlawanan dengan paham Gereja Iona," Andrew membacakan salah satu paragraf di catatan Elly, seraya mengernyit heran karena penjelasan paragr