"Eeeh, kok berantem la-giii. Udah, udah," kataku. Aku mengerucutkan bibir saat bertemu tatap dengan suamiku melalui spion dalam. Akhirnya, aku memilih duduk tegak dengan waspada jika ada yang mau memukul duluan, maka tangannya akan kupegang. Perlahan-lahan, Ian dan Deri mulai tertidur. Jadi ketika sampai di kapal harus dibangunkan berkali-kali barulah Ian mau membuka mata. Sementara Deri digendong oleh ayahnya. Aku dan Mas Angga menaiki tangga menunju ke atas, Mas Angga tentu saja dengan menggendong Deri di dadanya sementara aku menuntun Ian yang kepo banget, segala macam ditatap olehnya dan ditanyakan. Terkadang dia berhenti melangkah cukup lama hanya untuk menghitung banyaknya mobil di lantai bawah sementara aku dan dia di tangga menuju lantai atas, udah gitu ditungguin oleh orang-orang di belakang kami. Aku gedek banget, sumpah. Untung aku cinta beneran sama Mas Angga, jadi ya harus menyayangi anaknya juga dengan sepenuh hati.Drama gak berhenti sampai di sini saja rupanya. Begitu
POV Rama Ardiansyah"Assalamualaikum."Itu suara Bunda. Aku yang sedang santai di kamar setelah menidurkan Shelin beranjak bangun dengan cepat. Sejak pulang dari kampus, aku terus saja di kamar Shelin karena anak perempuanku ini minta dibacakan dongeng si Kancil."Assalamualaikum. Di. Ardi?" Suara Bunda kembali terdengar. Aku menyelimuti Shelin lalu melangkah keluar kamar."Waalaikum salam," sahut Bi Ina. Bi Ina adalah Baby sitter Shelin. Bi Ina tinggal di sini sementara Mbak Utari yang biasanya memasak dan membersikan rumah hanya bekerja setengah hari saja. Dia datang pukul 5 pagi dan pulang pukul 12 siang. Terkadang saat makan sore, aku membeli makan di luar untukku, Shelin juga Bi Ina. Tapi membeli di luar hal yang jarang karena aku hobi memasak."Ardi ada?" tanya Bunda pada Bi Ina."Ada," sahutku sambil keluar kamar. Aku mendekat ke arah Bunda lalu menyalaminya. Aku mencium punggung tangannya kemudian mengajaknya untuk duduk di sofa."Ini, Bunda bawakan kebab untuk Shelin," kata B
"Tidak. Dia tidak punya tata krama, Bun," sahutku."Kan Bunda sudah bilang, dia begitu karena sedang kesal. Aslinya Yana itu sopan orangnya. Bunda kenal baik sama Yana karena Dinda sering mengajak Yana main ke rumah Bunda. Yana sangat sopan, sama seperti Adinda.""Adinda sangat sopan kata Bunda?" tanyaku sambil setengah tertawa saat ingat status WA Adinda yang sempat kulihat sekilas 15 menit lalu."Iya, Dinda sangat sopan, kok, pada Bunda. Sudah sopan, sayang pada Ian dan Deri, cantik, pintar, pula. Selain itu, dia selalu masuk 10 besar padahal gak begitu fokus saat sekolah dulu. Pokoknya Bunda itu senang sekali punya menantu seperti Dinda," ucap Bunda membanggakan. "Dinda menantu idaman Bunda."Aku menahan tawa. "Oh, ya, Dinda sangat sopan?" tanyaku sambil merogoh saku celana mengeluarkan HP lalu membuka WA. Klik status, lalu aku menscrol ke bawah sampai terlihatlah nama akun WA, Adinda Kemala Dewi lalu klik, terlihatlah vidio Adinda Kemala Dewi yang sedang bersenandung kecil sambil
POV Yana"A-duuh." Aku meringis saat tubuhku tersungkur jatuh ke lantai. Andika tiba-tiba saja mengangkat kakinya menghalangi jalanku saat aku lewat di sampingnya hingga aku pun jatuh. Kulihat beberapa orang di kantin menatap ke arahku juga Andika. Andika tertawa kecil dengan tatapan mencemooh."Ha ha, maaf, sengaja! Salah siapa kamu berani-beraninya tinju Kak Rama! Kamu dan Adinda Kemala Dewi sama erornya!" ucap Andika dengan tatapan sebal lalu ia melangkah ke arah teman-teman dekatnya yang duduk di kursi tengah tertawa kecil memandang kemari. Aku mengepalkan tangan dengan jengkel, namun memilih tak meladeninya. Padahal dia sudah menjatuhkanku waktu itu. Sepertinya, makhluk menyebalkan itu benar-benar penuh dendam. Aku menuju ke arah Putri yang tengah mengobrol dengan Naya, Andini dan Mei lalu aku duduk di kursi sebelah Naya. Aku meraih gelas berisi es teh di hadapan Putri lalu menyeruputnya. Putri langsung pura-pura cemberut."Adinda WA aku katanya, kemarin sore dia berangkat bulan
POV Yana Ya Allah, aku harus gimana, ini? Saking tegangnya aku sampai gak bisa menulis."Emmp, bisakah Bapak meninggalkan saya sebentar?" Aku menatap Pak Rama dengan jantung berdetak kencang sekali karena begitu ketakutan.Tatapan Pak Rama menajam. "Emmmp, kamu bilang, emmp, pada saya? Kamu benar-benar tidak sopan. Saya adalah dosen kamu bukan teman kamu.""Maaf, Pak, bisakah Bapak meninggalkan saya? Tangan saya terus gemetaran dan saya tidak bisa menulis karena ada bapak," kataku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 lewat. Kalau ditunggui terus, aku tidak bisa menulis. Tadi pagi ayah menelepon, jam 4 sore akan datang ke kontrakan."Memang kalau ada saya, kenapa? Kamu kira, saya ular kobra yang akan mematuk kamu jika kamu salah? Saya mau memastikan kerjaan kamu benar, barulah saya pergi. Coba kamu tulis satu lembar. Beri tanda koma atau kalau tidak, saya tidak akan ijinkan kamu masuk ke semua mata kuliah saya. Tafsir, Bahasa Arab dan Statistik. Kalaupun kamu nekat masuk, saya akan an
POV Dinda"Iya, kah, Maas? Seriusan?! A-duuh, pasti Bunda berpikiran aneh-aneh tentangku," kataku sambil menatap ke arah Ian dan Deri yang masih terlelap pulas. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi, kami baru saja salat subuh berjemaah. "Iya, Sayang. Semalam, Bunda menelepon Mas. Bunda bilang pada Mas agar menghapus vidio kamu yang joget-joget di WA."Aku meraih HPku lalu memeriksa status WA. Mas Angga tertawa kecil, dia menekan hidungku lalu mengangkatku, mendudukkan ke pangkuannya."Ya tentu saja sudah Mas hapus, Sayang."Aku pun membuka galeri, mencebik saat melihat vidioku yang tengah joget-joget."Apa vidio ini yang dilihat Bunda?" tanyaku."Dua-duanya," sahut Mas Angga."A-duuh, pasti Bunda berpikir yang gak-enggak sama aku."Mas Angga mengangguk. "Mas sudah jelaskan bahwa itu kelakuan Ian. Dan bukan hanya Bunda saja yang melihat vidiomu, tapi dosenmu juga. Mas dengar suara Ardy, dia bilang pada Bunda katanya, Mas tidak pintar cari istri.""Enak aja! Emang, Pak Rama itu orangnya
POV DindaSudah jam 1 dini hari, tapi bocah-bocah gak mau bobok juga. Mungkin karena sudah bobok dalam perjalanan pulang dari jalan-jalan, juga sudah bobok sebentar tadi sebelum masuk ke kamar ini. Suamiku sampai putusasa dibuatnya, wajah Mas Angga terlihat frustrasi karena bocah-bocah gak mau bobok juga padahal kami sudah nyanyi-nyanyi sampai lelah, Mas Angga juga sudah bercerita tentang kancil yang nakal dan cerdik. Akhirnya, Mas Angga perlahan-lahan memejamkan matanya, begitupun aku, memilih tidur juga karena Ian dan Deri terus mengobrol, berceloteh dengan antusias tentang hewan yang dilihatnya di Ragunan.Saat membuka mata di pagi hari yang cerah, ternyata sudah pukul 7. Ya, bangun kesiangan. Jadi ya terpaksa salat subuh diqada, aku membangunkan Mas Angga lalu salat jemaah dengannya."Bulan madu seperti gak bulan madu," keluhku, bibirku mencebik. Saat ini, kami dalam perjalanan menuju Dunia Fantasi Ancol. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mengoceh tentang wahana-wahana yang ak
"Bangun, Sayang." Bisikan lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mata perlahan lalu menggeliatkan badan. Rasanya tubuhku pegal semua dan aku masih begitu mengantuk. Aku mengulurkan tangan ke arah suamiku lalu memeluknya yang berbaring miring menghadapku.Hidungku ditekan pelan. "Bangun. Mau berangkat kuliah gak, niih?" tanyanya saat aku memejamkan mata lagi."Ya berangkat, aku kan udah dua hari libur, Mas. Masa gak berangkat lagi, hmmm."Mas Angga mengusap kepalaku. "Ya makanya bangun, Sayang. Sudah azan dari tadi. Lihat, sudah jam setengah 6 sekarang."Aku membuka mata perlahan lalu menatap jam dinding. Pukul 05:34 sekarang. "Kok Mas gak bangunin aku, siiiih?" Aku memandangnya. Dia menarik pelan hidungku."Kata siapa Mas tidak bangunkan kamu? Mas bangunkan kamu berkali-kali tapi kamu tidak mau bangun juga. Bangun, yuk, lalu salat. Setelah itu kita sarapan.""Mas udah salat?" tanyaku."Ya sudah, dong. Mas salat di masjid bareng ayah. Ayo, bangun." Mas Angga melepas pelukanku pada