POV Dinda"Iya, kah, Maas? Seriusan?! A-duuh, pasti Bunda berpikiran aneh-aneh tentangku," kataku sambil menatap ke arah Ian dan Deri yang masih terlelap pulas. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi, kami baru saja salat subuh berjemaah. "Iya, Sayang. Semalam, Bunda menelepon Mas. Bunda bilang pada Mas agar menghapus vidio kamu yang joget-joget di WA."Aku meraih HPku lalu memeriksa status WA. Mas Angga tertawa kecil, dia menekan hidungku lalu mengangkatku, mendudukkan ke pangkuannya."Ya tentu saja sudah Mas hapus, Sayang."Aku pun membuka galeri, mencebik saat melihat vidioku yang tengah joget-joget."Apa vidio ini yang dilihat Bunda?" tanyaku."Dua-duanya," sahut Mas Angga."A-duuh, pasti Bunda berpikir yang gak-enggak sama aku."Mas Angga mengangguk. "Mas sudah jelaskan bahwa itu kelakuan Ian. Dan bukan hanya Bunda saja yang melihat vidiomu, tapi dosenmu juga. Mas dengar suara Ardy, dia bilang pada Bunda katanya, Mas tidak pintar cari istri.""Enak aja! Emang, Pak Rama itu orangnya
POV DindaSudah jam 1 dini hari, tapi bocah-bocah gak mau bobok juga. Mungkin karena sudah bobok dalam perjalanan pulang dari jalan-jalan, juga sudah bobok sebentar tadi sebelum masuk ke kamar ini. Suamiku sampai putusasa dibuatnya, wajah Mas Angga terlihat frustrasi karena bocah-bocah gak mau bobok juga padahal kami sudah nyanyi-nyanyi sampai lelah, Mas Angga juga sudah bercerita tentang kancil yang nakal dan cerdik. Akhirnya, Mas Angga perlahan-lahan memejamkan matanya, begitupun aku, memilih tidur juga karena Ian dan Deri terus mengobrol, berceloteh dengan antusias tentang hewan yang dilihatnya di Ragunan.Saat membuka mata di pagi hari yang cerah, ternyata sudah pukul 7. Ya, bangun kesiangan. Jadi ya terpaksa salat subuh diqada, aku membangunkan Mas Angga lalu salat jemaah dengannya."Bulan madu seperti gak bulan madu," keluhku, bibirku mencebik. Saat ini, kami dalam perjalanan menuju Dunia Fantasi Ancol. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mengoceh tentang wahana-wahana yang ak
"Bangun, Sayang." Bisikan lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mata perlahan lalu menggeliatkan badan. Rasanya tubuhku pegal semua dan aku masih begitu mengantuk. Aku mengulurkan tangan ke arah suamiku lalu memeluknya yang berbaring miring menghadapku.Hidungku ditekan pelan. "Bangun. Mau berangkat kuliah gak, niih?" tanyanya saat aku memejamkan mata lagi."Ya berangkat, aku kan udah dua hari libur, Mas. Masa gak berangkat lagi, hmmm."Mas Angga mengusap kepalaku. "Ya makanya bangun, Sayang. Sudah azan dari tadi. Lihat, sudah jam setengah 6 sekarang."Aku membuka mata perlahan lalu menatap jam dinding. Pukul 05:34 sekarang. "Kok Mas gak bangunin aku, siiiih?" Aku memandangnya. Dia menarik pelan hidungku."Kata siapa Mas tidak bangunkan kamu? Mas bangunkan kamu berkali-kali tapi kamu tidak mau bangun juga. Bangun, yuk, lalu salat. Setelah itu kita sarapan.""Mas udah salat?" tanyaku."Ya sudah, dong. Mas salat di masjid bareng ayah. Ayo, bangun." Mas Angga melepas pelukanku pada
POV DindaHening di kelas, semua orang menatap kemari. Pak Rama menajamkan pandangannya, lalu dia menarik napas panjang. Tangannya terjulur lalu menuding ke arah Andini. Kemudian ganti menuding ke arah Andika di barisan bangku laki-laki."Mau kamu adalah Kakak ipar saya atau adik kandung saya seperti Andika dan Andini, tetap saja jika terlambat, maka kamu harus menutup pintu kelas dari luar. Saya tidak membeda-bedakan mahasiswa saya. Saya memang adik ipar kamu, tapi jika di kelas, saya adalah dosen kamu. Bukan begitu?" Pak Rama menatap pada para mahasiswanya yang langsung berseru kompak."Be-tuuuuuul.""Nah, mendengar sendiri, kan, jawaban dari yang lainnya?" Pak Rama memandangku penuh kemenangan. Lalu dia menatap ke para mahasiswanya lagi."Menurut kalian semua, dia ...." Pak Rama menudingku. "Keluar atau masuk?""Kelu-aaaar!" jawab teman-teman sekelasku dengan kompak. Benar-benar deh mereka, gak asyik banget. Aku mengembuskan napas keras, lalu menatap Kak Rama dengan bibir mengerucu
POV Yana"Kok bisa motor kamu ada di rumah Pak Rama?" tanya Dinda yang terlihat begitu ingin tahu. Andini menoleh memandangku. Putri, Naya dan Mei langsung nimbrung, mereka menggeser kursi mendekat ke arahku sementara teman-teman sekelas mulai berjalan keluar kelas."Iya, gimana ceritanya motor kamu di rumah Kakak aku?" tanya Andini tampak ingin tahu. Aku menghela napas, segera menceritakan detail kejadian yang membuat mata Dinda membulat dan wajahnya tampak tak percaya."Seriusan kamu diantar Pak Rama, Yan? Pasti rasanya tegang banget, kan, kayak kamu sedang bersama setan aja. Benar, kaan?""Itu benar banget, Din," sahutku."Hiii." Dinda tampak bergidik. "Aku ingat jelas, rasanya begitu tegang dan deg-deg kan saat aku diantar Pak Rama ke rumahmu malam-malam waktu itu.""Iya tegang banget, jantungku sampai mau copot." Aku bergidik. Andini mengerucutkan bibirnya. "Kalian ini. Bisa-bisanya menjelek-jelekkan kakak aku padahal ada aku di sini. Kakak aku bukan hantu, tauuu," ucapnya meraj
Benar saja, Pak Rama datang tak lama kemudian, membawa nampan berisi dua gelas besar susu, padahal aku mintanya teh. Pak Rama sedikit membungkuk saat meraih satu gelas lalu meletakkannya di meja hadapanku, setelah itu dia duduk di sofa seberangku. Ya Allah, tubuhku sampai gemetaran panas dingin begini. Pak Rama terdiam memandangku."Silakan diminum," ucapnya dengan tangan bergerak mempersilakan."Te-terima kasih, Pak," ucapku gugup.Dia mengangguk. "Teh ternyata habis, jadi saya buat susu."Aku mengangguk kecil dengan jantung berdetak kencang gak karu-karuan. Yaaa Allah. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan untuk mengusir gugup. Pak Rama menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, tampak kilat menyambar-nyambar di kaki langit abu-abu pucat. Hujan mengguyur dengan deras, sungguh membuatku takut. Pak Rama kini menatap ke arah jam dinding."Kamu sudah makan?" tanyanya."Sudah, Pak," sahutku. Tapi, kriuuuuk, perutku malah bunyi. Tampak Pak Rama menahan tawa, dan akhirnya
POV RamaAku mengambil payung di gudang lalu membawanya ke halaman ke arah mobil Bunda. Bukan hanya Bunda saja di dalam mobil, melainkan ada Mas Angga juga Adinda Kemala Dewi si cewek centil itu. Itu membuatku menatap mereka bergantian dengan heran. Sementara Shelin juga baby sitternya tidak ada."Mana Shelin, Bun?" tanyaku begitu Bunda keluar dari mobil, meneduh di bawah payung yang sama denganku. Kami berjalan menuju rumah."Si Mbak sama Shelin di rumah Bunda, Ram. Bunda ini dari rumah sakit temani kakak iparmu cek kandungan," sahut Bunda sambil meraih payung yang kupegang. Bunda lalu menuju halaman, Mas Angga keluar dari mobil. Mas Angga mengantarkan Bunda ke sini lalu menjemput istrinya di mobil. Tak lama setelah Dinda masuk ke rumah, dia mengernyit memandang ke arahku. Aku balas memandangnya tajam. Dinda memeluk lengan Mas Angga lalu mendongak menatap kakak lelakiku itu yang sengaja menghindari tatap denganku. "Tu, Maaas, dia sangat mengerikan," kata Dinda, membuat Mas Angga da
Kunci serep. Ya benar, kunci serep. Aku pun berjalan ke belakang, masuk ke pintu di samping dapur lalu melengkah ke arah ruang kerjaku berada persis di dekat taman samping yang menyatu dengan kolam renang, aku masuk lalu meraih kunci di laci. Ada banyak sekali kunci dan semua mirip yang diikat menjadi satu. Aku melangkah cepat kembali ke kamar, memasukkan kunci demi kunci hingga akhirnya menemukan yang cocok. Aku takut Yana kenapa-napa, pasti bakal panjang urusannya.Begitu pintu mengayun membuka, aku ternganga melihat Yana sedang terlelap pulas. Dia duduk di lantai, meletakkan kedua tangannya ke ranjang dan pipinya berbantal lengan tangannya itu. "Yana, Bunda saya sudah pulang," kataku, terus memandang ke arahnya. Yana tertidur seperti itu dengan bibir membuka terlihat polos sekali. Polos dan tampak lucu. Aku tersenyum melihatnya. Tiba-tiba saja, aku ingin sekali mengabadikan gayanya yang sedang tidur itu. Aku merogoh saku celana mengeluarkan HP kemudian dengan cepat mengarahkan HP
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"