Kunci serep. Ya benar, kunci serep. Aku pun berjalan ke belakang, masuk ke pintu di samping dapur lalu melengkah ke arah ruang kerjaku berada persis di dekat taman samping yang menyatu dengan kolam renang, aku masuk lalu meraih kunci di laci. Ada banyak sekali kunci dan semua mirip yang diikat menjadi satu. Aku melangkah cepat kembali ke kamar, memasukkan kunci demi kunci hingga akhirnya menemukan yang cocok. Aku takut Yana kenapa-napa, pasti bakal panjang urusannya.Begitu pintu mengayun membuka, aku ternganga melihat Yana sedang terlelap pulas. Dia duduk di lantai, meletakkan kedua tangannya ke ranjang dan pipinya berbantal lengan tangannya itu. "Yana, Bunda saya sudah pulang," kataku, terus memandang ke arahnya. Yana tertidur seperti itu dengan bibir membuka terlihat polos sekali. Polos dan tampak lucu. Aku tersenyum melihatnya. Tiba-tiba saja, aku ingin sekali mengabadikan gayanya yang sedang tidur itu. Aku merogoh saku celana mengeluarkan HP kemudian dengan cepat mengarahkan HP
POV Dinda"Sudah jam 9 tidak datang juga. Aku yakin sekali, Ardy tidak mungkin datang," kata Mas Angga sambil membalik ayam yang tengah dipanggangnya. Di samping Mas Angga, Sisil mengangguk."Iya, udah bisa ditebak," ucapnya."E-eeh, kalian ini, gak boleh begitu. Mungkin belum," kata Bunda yang tengah mengupas timun dengan Bu Delima. Tak jauh dari sini, tampak Andika dan Andini sedang mainan dengan Shelin, Ian dan Deri. Entah apa yang dikatakan Andika pada anak-anak, tapi anak-anak tampak tertawa-tawa dengan riang."Ini sudah jam 9 lewat dua puluh menit. Kalau niat datang, pasti datang," sahut Mas Angga. Dia mencubit daging ayam yang dipanggangnya kemudian menyuapkan ke bibirku."Enak?" tanyanya memandangku. Itu membuat Bunda menggelengkan kepala."Ga, Dinda jangan diberi ayam bakar terus," kata Bunda saat Mas Angga mengulurkan paha ayam bakar padaku. "Din-daa, habis itu sudah, yaa? Kamu gak boleh makan banyak-banyak, kan lagi hamil. Bunda perhatiin kamu sudah makan banyak, ada kala
POV YanaAku mematikan HP dengan tujuan agar Dinda tak menghubungiku lagi. Gara-gara kejadian tadi sore, tubuhku terus saja panas dingin. Aku menarik selimut lalu menenggelamkan tubuh ke dalamnya. Bayangan saat Pak Rama tiba-tiba menciumku di rumahnya, juga di mobil, terus saja membayang di benakku. Itu membuatku panas dingin sekaligus jengkel. Bisa-bisanya dia main nyosor! Aku tentu saja sangat kaget maka aku langsung mendorongnya, tapi dia malah menggenggam kedua tanganku, memaksa menciumku. Sungguh itu membuatku kesal, juga takut padanya.Aku menggelengkan kepala kuat mencoba mengusir bayangan itu, namun tak juga minggat. Sumpah, aku kesal sekali pada dosenku itu. Gara-gara aku meninjunya, dia bilang bahwa aku gak punya tata krama, tapi apa? Dialah yang gak punya tata krama! Main nyosor aja. Ih, aku jengkel sekali. Aku menyentak selimut hingga jatuh ke bawah lalu aku duduk, melempar bantal ke dinding karena kesal.Tok tok tok tokAku menajamkan pendengaran, lalu mendongak menatap j
POV RamaSetelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesan yang kutunggu masuk.Kata Yana, aku gak boleh kasihin nomernya ke BapakAku menatap pesan Dinda dengan pandangan tak percaya. Kamu tidak usah ijin pada Yana. Kamu tinggal berikan saja nomernya pada saya. Kenapa harus ijin pada Yana?Dinda membalas,Yaa ijinlah, Pak. Kalau tidak ijin, nanti bisa-bisa Yana marah padaku.Aku mengembuskan napas, bisa-bisanya pakai meminta ijin segala. Kan hanya minta nomer telepon.Pesan Dinda kembali masuk. Dia mengirim screnhoot percakapannya dengan YanaAku mengembuskan napas.Kata Yana, sepatunya udah jelek. Jadi kalau mau Bapak buang tinggal buang ajaTentu saja tidak ada sepatu Yana di rumahku. Tapi motornya ada di rumahku. Aku geregetan sendiri teringat tatapannya padaku yang begitu sinis, seolah aku berkata seperti tadi karena ingin melecehkannya berkali-kali. Astagaa. Dia berpikir, aku memintanya menjadi kekasihku agar aku bisa terus memikirkannya. Sungguh ucapannya tadi begitu menggangguk
POV RamaSetelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesan yang kutunggu masuk.Kata Yana, aku gak boleh kasihin nomernya ke BapakAku menatap pesan Dinda dengan pandangan tak percaya. Kamu tidak usah ijin pada Yana. Kamu tinggal berikan saja nomernya pada saya. Kenapa harus ijin pada Yana?Dinda membalas,Yaa ijinlah, Pak. Kalau tidak ijin, nanti bisa-bisa Yana marah padaku.Aku mengembuskan napas, bisa-bisanya pakai meminta ijin segala. Kan hanya minta nomer telepon.Pesan Dinda kembali masuk. Dia mengirim screnhoot percakapannya dengan YanaAku mengembuskan napas.Kata Yana, sepatunya udah jelek. Jadi kalau mau Bapak buang tinggal buang ajaTentu saja tidak ada sepatu Yana di rumahku. Tapi motornya ada di rumahku. Aku geregetan sendiri teringat tatapannya padaku yang begitu sinis, seolah aku berkata seperti tadi karena ingin melecehkannya berkali-kali. Astagaa. Dia berpikir, aku memintanya menjadi kekasihku agar aku bisa terus memikirkannya. Sungguh ucapannya tadi begitu menggangguk
POV Dinda"Aaaah akhirnya sampai rumah juga," kataku saat mobil yang dikendarai Papa berhenti di halaman rumah Mas Angga. Aku turun lebih dulu, lalu Mas Angga menyusul turun. "Papa gak nginep di sini aja?" tanyaku sambil memandang Papa lewat jendela mobil."Gak, lah, nanti rumah siapa yang nungguin? Simbok sedang pulang kampung," sahut Mama."Gak perlu ditungguin juga rumah gak bakalan kabur," kataku sambil manyun.Mama tertawa kecil. "Yaa memang gak, tapi ya gak dibiarkan kosong juga. Yaudah Mama pulang dulu, Din. Lain kali aja Mama nginap.""Iya."Mama mengacak-acak rambutku, menjulurkan kepalanya dari jendela mobil lalu mencium keningku."Yaudah Mama pulang dulu, yaa?"Aku mengangguk kecil. Lalu melambai-lambaikan tangan pada Papa dan Mama. Setelah mobil orang tuaku meninggalkan halaman, Mas Angga tiba-tiba saja mengangkat tubuhku sebatas dadanya, membuatku tersentak dan refleks melingkarkan tangan ke lehernya."Ngagetin aku, deh!" kataku setengah mendelik. Mas Angga tersenyum."
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l