"Bangun, Sayang." Bisikan lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mata perlahan lalu menggeliatkan badan. Rasanya tubuhku pegal semua dan aku masih begitu mengantuk. Aku mengulurkan tangan ke arah suamiku lalu memeluknya yang berbaring miring menghadapku.Hidungku ditekan pelan. "Bangun. Mau berangkat kuliah gak, niih?" tanyanya saat aku memejamkan mata lagi."Ya berangkat, aku kan udah dua hari libur, Mas. Masa gak berangkat lagi, hmmm."Mas Angga mengusap kepalaku. "Ya makanya bangun, Sayang. Sudah azan dari tadi. Lihat, sudah jam setengah 6 sekarang."Aku membuka mata perlahan lalu menatap jam dinding. Pukul 05:34 sekarang. "Kok Mas gak bangunin aku, siiiih?" Aku memandangnya. Dia menarik pelan hidungku."Kata siapa Mas tidak bangunkan kamu? Mas bangunkan kamu berkali-kali tapi kamu tidak mau bangun juga. Bangun, yuk, lalu salat. Setelah itu kita sarapan.""Mas udah salat?" tanyaku."Ya sudah, dong. Mas salat di masjid bareng ayah. Ayo, bangun." Mas Angga melepas pelukanku pada
POV DindaHening di kelas, semua orang menatap kemari. Pak Rama menajamkan pandangannya, lalu dia menarik napas panjang. Tangannya terjulur lalu menuding ke arah Andini. Kemudian ganti menuding ke arah Andika di barisan bangku laki-laki."Mau kamu adalah Kakak ipar saya atau adik kandung saya seperti Andika dan Andini, tetap saja jika terlambat, maka kamu harus menutup pintu kelas dari luar. Saya tidak membeda-bedakan mahasiswa saya. Saya memang adik ipar kamu, tapi jika di kelas, saya adalah dosen kamu. Bukan begitu?" Pak Rama menatap pada para mahasiswanya yang langsung berseru kompak."Be-tuuuuuul.""Nah, mendengar sendiri, kan, jawaban dari yang lainnya?" Pak Rama memandangku penuh kemenangan. Lalu dia menatap ke para mahasiswanya lagi."Menurut kalian semua, dia ...." Pak Rama menudingku. "Keluar atau masuk?""Kelu-aaaar!" jawab teman-teman sekelasku dengan kompak. Benar-benar deh mereka, gak asyik banget. Aku mengembuskan napas keras, lalu menatap Kak Rama dengan bibir mengerucu
POV Yana"Kok bisa motor kamu ada di rumah Pak Rama?" tanya Dinda yang terlihat begitu ingin tahu. Andini menoleh memandangku. Putri, Naya dan Mei langsung nimbrung, mereka menggeser kursi mendekat ke arahku sementara teman-teman sekelas mulai berjalan keluar kelas."Iya, gimana ceritanya motor kamu di rumah Kakak aku?" tanya Andini tampak ingin tahu. Aku menghela napas, segera menceritakan detail kejadian yang membuat mata Dinda membulat dan wajahnya tampak tak percaya."Seriusan kamu diantar Pak Rama, Yan? Pasti rasanya tegang banget, kan, kayak kamu sedang bersama setan aja. Benar, kaan?""Itu benar banget, Din," sahutku."Hiii." Dinda tampak bergidik. "Aku ingat jelas, rasanya begitu tegang dan deg-deg kan saat aku diantar Pak Rama ke rumahmu malam-malam waktu itu.""Iya tegang banget, jantungku sampai mau copot." Aku bergidik. Andini mengerucutkan bibirnya. "Kalian ini. Bisa-bisanya menjelek-jelekkan kakak aku padahal ada aku di sini. Kakak aku bukan hantu, tauuu," ucapnya meraj
Benar saja, Pak Rama datang tak lama kemudian, membawa nampan berisi dua gelas besar susu, padahal aku mintanya teh. Pak Rama sedikit membungkuk saat meraih satu gelas lalu meletakkannya di meja hadapanku, setelah itu dia duduk di sofa seberangku. Ya Allah, tubuhku sampai gemetaran panas dingin begini. Pak Rama terdiam memandangku."Silakan diminum," ucapnya dengan tangan bergerak mempersilakan."Te-terima kasih, Pak," ucapku gugup.Dia mengangguk. "Teh ternyata habis, jadi saya buat susu."Aku mengangguk kecil dengan jantung berdetak kencang gak karu-karuan. Yaaa Allah. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan untuk mengusir gugup. Pak Rama menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, tampak kilat menyambar-nyambar di kaki langit abu-abu pucat. Hujan mengguyur dengan deras, sungguh membuatku takut. Pak Rama kini menatap ke arah jam dinding."Kamu sudah makan?" tanyanya."Sudah, Pak," sahutku. Tapi, kriuuuuk, perutku malah bunyi. Tampak Pak Rama menahan tawa, dan akhirnya
POV RamaAku mengambil payung di gudang lalu membawanya ke halaman ke arah mobil Bunda. Bukan hanya Bunda saja di dalam mobil, melainkan ada Mas Angga juga Adinda Kemala Dewi si cewek centil itu. Itu membuatku menatap mereka bergantian dengan heran. Sementara Shelin juga baby sitternya tidak ada."Mana Shelin, Bun?" tanyaku begitu Bunda keluar dari mobil, meneduh di bawah payung yang sama denganku. Kami berjalan menuju rumah."Si Mbak sama Shelin di rumah Bunda, Ram. Bunda ini dari rumah sakit temani kakak iparmu cek kandungan," sahut Bunda sambil meraih payung yang kupegang. Bunda lalu menuju halaman, Mas Angga keluar dari mobil. Mas Angga mengantarkan Bunda ke sini lalu menjemput istrinya di mobil. Tak lama setelah Dinda masuk ke rumah, dia mengernyit memandang ke arahku. Aku balas memandangnya tajam. Dinda memeluk lengan Mas Angga lalu mendongak menatap kakak lelakiku itu yang sengaja menghindari tatap denganku. "Tu, Maaas, dia sangat mengerikan," kata Dinda, membuat Mas Angga da
Kunci serep. Ya benar, kunci serep. Aku pun berjalan ke belakang, masuk ke pintu di samping dapur lalu melengkah ke arah ruang kerjaku berada persis di dekat taman samping yang menyatu dengan kolam renang, aku masuk lalu meraih kunci di laci. Ada banyak sekali kunci dan semua mirip yang diikat menjadi satu. Aku melangkah cepat kembali ke kamar, memasukkan kunci demi kunci hingga akhirnya menemukan yang cocok. Aku takut Yana kenapa-napa, pasti bakal panjang urusannya.Begitu pintu mengayun membuka, aku ternganga melihat Yana sedang terlelap pulas. Dia duduk di lantai, meletakkan kedua tangannya ke ranjang dan pipinya berbantal lengan tangannya itu. "Yana, Bunda saya sudah pulang," kataku, terus memandang ke arahnya. Yana tertidur seperti itu dengan bibir membuka terlihat polos sekali. Polos dan tampak lucu. Aku tersenyum melihatnya. Tiba-tiba saja, aku ingin sekali mengabadikan gayanya yang sedang tidur itu. Aku merogoh saku celana mengeluarkan HP kemudian dengan cepat mengarahkan HP
POV Dinda"Sudah jam 9 tidak datang juga. Aku yakin sekali, Ardy tidak mungkin datang," kata Mas Angga sambil membalik ayam yang tengah dipanggangnya. Di samping Mas Angga, Sisil mengangguk."Iya, udah bisa ditebak," ucapnya."E-eeh, kalian ini, gak boleh begitu. Mungkin belum," kata Bunda yang tengah mengupas timun dengan Bu Delima. Tak jauh dari sini, tampak Andika dan Andini sedang mainan dengan Shelin, Ian dan Deri. Entah apa yang dikatakan Andika pada anak-anak, tapi anak-anak tampak tertawa-tawa dengan riang."Ini sudah jam 9 lewat dua puluh menit. Kalau niat datang, pasti datang," sahut Mas Angga. Dia mencubit daging ayam yang dipanggangnya kemudian menyuapkan ke bibirku."Enak?" tanyanya memandangku. Itu membuat Bunda menggelengkan kepala."Ga, Dinda jangan diberi ayam bakar terus," kata Bunda saat Mas Angga mengulurkan paha ayam bakar padaku. "Din-daa, habis itu sudah, yaa? Kamu gak boleh makan banyak-banyak, kan lagi hamil. Bunda perhatiin kamu sudah makan banyak, ada kala
POV YanaAku mematikan HP dengan tujuan agar Dinda tak menghubungiku lagi. Gara-gara kejadian tadi sore, tubuhku terus saja panas dingin. Aku menarik selimut lalu menenggelamkan tubuh ke dalamnya. Bayangan saat Pak Rama tiba-tiba menciumku di rumahnya, juga di mobil, terus saja membayang di benakku. Itu membuatku panas dingin sekaligus jengkel. Bisa-bisanya dia main nyosor! Aku tentu saja sangat kaget maka aku langsung mendorongnya, tapi dia malah menggenggam kedua tanganku, memaksa menciumku. Sungguh itu membuatku kesal, juga takut padanya.Aku menggelengkan kepala kuat mencoba mengusir bayangan itu, namun tak juga minggat. Sumpah, aku kesal sekali pada dosenku itu. Gara-gara aku meninjunya, dia bilang bahwa aku gak punya tata krama, tapi apa? Dialah yang gak punya tata krama! Main nyosor aja. Ih, aku jengkel sekali. Aku menyentak selimut hingga jatuh ke bawah lalu aku duduk, melempar bantal ke dinding karena kesal.Tok tok tok tokAku menajamkan pendengaran, lalu mendongak menatap j