POV Yana Ya Allah, aku harus gimana, ini? Saking tegangnya aku sampai gak bisa menulis."Emmp, bisakah Bapak meninggalkan saya sebentar?" Aku menatap Pak Rama dengan jantung berdetak kencang sekali karena begitu ketakutan.Tatapan Pak Rama menajam. "Emmmp, kamu bilang, emmp, pada saya? Kamu benar-benar tidak sopan. Saya adalah dosen kamu bukan teman kamu.""Maaf, Pak, bisakah Bapak meninggalkan saya? Tangan saya terus gemetaran dan saya tidak bisa menulis karena ada bapak," kataku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 lewat. Kalau ditunggui terus, aku tidak bisa menulis. Tadi pagi ayah menelepon, jam 4 sore akan datang ke kontrakan."Memang kalau ada saya, kenapa? Kamu kira, saya ular kobra yang akan mematuk kamu jika kamu salah? Saya mau memastikan kerjaan kamu benar, barulah saya pergi. Coba kamu tulis satu lembar. Beri tanda koma atau kalau tidak, saya tidak akan ijinkan kamu masuk ke semua mata kuliah saya. Tafsir, Bahasa Arab dan Statistik. Kalaupun kamu nekat masuk, saya akan an
POV Dinda"Iya, kah, Maas? Seriusan?! A-duuh, pasti Bunda berpikiran aneh-aneh tentangku," kataku sambil menatap ke arah Ian dan Deri yang masih terlelap pulas. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi, kami baru saja salat subuh berjemaah. "Iya, Sayang. Semalam, Bunda menelepon Mas. Bunda bilang pada Mas agar menghapus vidio kamu yang joget-joget di WA."Aku meraih HPku lalu memeriksa status WA. Mas Angga tertawa kecil, dia menekan hidungku lalu mengangkatku, mendudukkan ke pangkuannya."Ya tentu saja sudah Mas hapus, Sayang."Aku pun membuka galeri, mencebik saat melihat vidioku yang tengah joget-joget."Apa vidio ini yang dilihat Bunda?" tanyaku."Dua-duanya," sahut Mas Angga."A-duuh, pasti Bunda berpikir yang gak-enggak sama aku."Mas Angga mengangguk. "Mas sudah jelaskan bahwa itu kelakuan Ian. Dan bukan hanya Bunda saja yang melihat vidiomu, tapi dosenmu juga. Mas dengar suara Ardy, dia bilang pada Bunda katanya, Mas tidak pintar cari istri.""Enak aja! Emang, Pak Rama itu orangnya
POV DindaSudah jam 1 dini hari, tapi bocah-bocah gak mau bobok juga. Mungkin karena sudah bobok dalam perjalanan pulang dari jalan-jalan, juga sudah bobok sebentar tadi sebelum masuk ke kamar ini. Suamiku sampai putusasa dibuatnya, wajah Mas Angga terlihat frustrasi karena bocah-bocah gak mau bobok juga padahal kami sudah nyanyi-nyanyi sampai lelah, Mas Angga juga sudah bercerita tentang kancil yang nakal dan cerdik. Akhirnya, Mas Angga perlahan-lahan memejamkan matanya, begitupun aku, memilih tidur juga karena Ian dan Deri terus mengobrol, berceloteh dengan antusias tentang hewan yang dilihatnya di Ragunan.Saat membuka mata di pagi hari yang cerah, ternyata sudah pukul 7. Ya, bangun kesiangan. Jadi ya terpaksa salat subuh diqada, aku membangunkan Mas Angga lalu salat jemaah dengannya."Bulan madu seperti gak bulan madu," keluhku, bibirku mencebik. Saat ini, kami dalam perjalanan menuju Dunia Fantasi Ancol. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mengoceh tentang wahana-wahana yang ak
"Bangun, Sayang." Bisikan lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mata perlahan lalu menggeliatkan badan. Rasanya tubuhku pegal semua dan aku masih begitu mengantuk. Aku mengulurkan tangan ke arah suamiku lalu memeluknya yang berbaring miring menghadapku.Hidungku ditekan pelan. "Bangun. Mau berangkat kuliah gak, niih?" tanyanya saat aku memejamkan mata lagi."Ya berangkat, aku kan udah dua hari libur, Mas. Masa gak berangkat lagi, hmmm."Mas Angga mengusap kepalaku. "Ya makanya bangun, Sayang. Sudah azan dari tadi. Lihat, sudah jam setengah 6 sekarang."Aku membuka mata perlahan lalu menatap jam dinding. Pukul 05:34 sekarang. "Kok Mas gak bangunin aku, siiiih?" Aku memandangnya. Dia menarik pelan hidungku."Kata siapa Mas tidak bangunkan kamu? Mas bangunkan kamu berkali-kali tapi kamu tidak mau bangun juga. Bangun, yuk, lalu salat. Setelah itu kita sarapan.""Mas udah salat?" tanyaku."Ya sudah, dong. Mas salat di masjid bareng ayah. Ayo, bangun." Mas Angga melepas pelukanku pada
POV DindaHening di kelas, semua orang menatap kemari. Pak Rama menajamkan pandangannya, lalu dia menarik napas panjang. Tangannya terjulur lalu menuding ke arah Andini. Kemudian ganti menuding ke arah Andika di barisan bangku laki-laki."Mau kamu adalah Kakak ipar saya atau adik kandung saya seperti Andika dan Andini, tetap saja jika terlambat, maka kamu harus menutup pintu kelas dari luar. Saya tidak membeda-bedakan mahasiswa saya. Saya memang adik ipar kamu, tapi jika di kelas, saya adalah dosen kamu. Bukan begitu?" Pak Rama menatap pada para mahasiswanya yang langsung berseru kompak."Be-tuuuuuul.""Nah, mendengar sendiri, kan, jawaban dari yang lainnya?" Pak Rama memandangku penuh kemenangan. Lalu dia menatap ke para mahasiswanya lagi."Menurut kalian semua, dia ...." Pak Rama menudingku. "Keluar atau masuk?""Kelu-aaaar!" jawab teman-teman sekelasku dengan kompak. Benar-benar deh mereka, gak asyik banget. Aku mengembuskan napas keras, lalu menatap Kak Rama dengan bibir mengerucu
POV Yana"Kok bisa motor kamu ada di rumah Pak Rama?" tanya Dinda yang terlihat begitu ingin tahu. Andini menoleh memandangku. Putri, Naya dan Mei langsung nimbrung, mereka menggeser kursi mendekat ke arahku sementara teman-teman sekelas mulai berjalan keluar kelas."Iya, gimana ceritanya motor kamu di rumah Kakak aku?" tanya Andini tampak ingin tahu. Aku menghela napas, segera menceritakan detail kejadian yang membuat mata Dinda membulat dan wajahnya tampak tak percaya."Seriusan kamu diantar Pak Rama, Yan? Pasti rasanya tegang banget, kan, kayak kamu sedang bersama setan aja. Benar, kaan?""Itu benar banget, Din," sahutku."Hiii." Dinda tampak bergidik. "Aku ingat jelas, rasanya begitu tegang dan deg-deg kan saat aku diantar Pak Rama ke rumahmu malam-malam waktu itu.""Iya tegang banget, jantungku sampai mau copot." Aku bergidik. Andini mengerucutkan bibirnya. "Kalian ini. Bisa-bisanya menjelek-jelekkan kakak aku padahal ada aku di sini. Kakak aku bukan hantu, tauuu," ucapnya meraj
Benar saja, Pak Rama datang tak lama kemudian, membawa nampan berisi dua gelas besar susu, padahal aku mintanya teh. Pak Rama sedikit membungkuk saat meraih satu gelas lalu meletakkannya di meja hadapanku, setelah itu dia duduk di sofa seberangku. Ya Allah, tubuhku sampai gemetaran panas dingin begini. Pak Rama terdiam memandangku."Silakan diminum," ucapnya dengan tangan bergerak mempersilakan."Te-terima kasih, Pak," ucapku gugup.Dia mengangguk. "Teh ternyata habis, jadi saya buat susu."Aku mengangguk kecil dengan jantung berdetak kencang gak karu-karuan. Yaaa Allah. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan untuk mengusir gugup. Pak Rama menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, tampak kilat menyambar-nyambar di kaki langit abu-abu pucat. Hujan mengguyur dengan deras, sungguh membuatku takut. Pak Rama kini menatap ke arah jam dinding."Kamu sudah makan?" tanyanya."Sudah, Pak," sahutku. Tapi, kriuuuuk, perutku malah bunyi. Tampak Pak Rama menahan tawa, dan akhirnya
POV RamaAku mengambil payung di gudang lalu membawanya ke halaman ke arah mobil Bunda. Bukan hanya Bunda saja di dalam mobil, melainkan ada Mas Angga juga Adinda Kemala Dewi si cewek centil itu. Itu membuatku menatap mereka bergantian dengan heran. Sementara Shelin juga baby sitternya tidak ada."Mana Shelin, Bun?" tanyaku begitu Bunda keluar dari mobil, meneduh di bawah payung yang sama denganku. Kami berjalan menuju rumah."Si Mbak sama Shelin di rumah Bunda, Ram. Bunda ini dari rumah sakit temani kakak iparmu cek kandungan," sahut Bunda sambil meraih payung yang kupegang. Bunda lalu menuju halaman, Mas Angga keluar dari mobil. Mas Angga mengantarkan Bunda ke sini lalu menjemput istrinya di mobil. Tak lama setelah Dinda masuk ke rumah, dia mengernyit memandang ke arahku. Aku balas memandangnya tajam. Dinda memeluk lengan Mas Angga lalu mendongak menatap kakak lelakiku itu yang sengaja menghindari tatap denganku. "Tu, Maaas, dia sangat mengerikan," kata Dinda, membuat Mas Angga da