'Nalita? Bagaimana bisa foto Nalita ada di sini?' Batin Nalini saat melihat foto adiknya dengan ekspresi tersenyum sangat cantik. Sudah lama dia tidak pernah melihat senyuman itu. Dan tentu saja senyuman itu tak akan bisa ia lihat lagi. Nalini memegang figura kecil itu. Pikirannya berkecamuk. Ada sebuah hal melintas di pikirannya. Apakah Nalita adalah ibu dari Sivia? Oh tidak. Jika itu terjadi, maka takdirnya benar-benar kejam. Nalini menatap ke arah Sivia dan foto Nalita secara bergantian. Apakah ini jawaban dari pertanyaannya selama ini? Dia begitu menyayangi Sivia. Jatuh cinta pada Sivia di pertemuan pertama mereka. Merasa Sivia mirip seperti dirinya. Karena jika dilihat secara fisik, Sivia memang lebih mirip dengannya dibandingkan dengan Nalita. Matanya memerah. Ada bulir air yang siap meluncur kapan saja. Tidak. Dia harus menahannya. Nalini tidak boleh menangis di rumah ini. Nalini buru-buru meletakkan figura itu di tempatnya lagi lalu segera beranjak dari duduknya. Saat dia
"Bagus sekali. Ada seekor tikus kecil yang berani menyelinap ke dalam rumahku," suara bariton dari pria paruh baya yang notabene ayah dari Nalini mengagetkan Nalini dan sang ibu. Nalini menghapus secara kasar air mata di pipinya. Sejak dulu dia tak ingin terlihat lemah di hadapan sang ayah. Dan hari ini juga begitu. "Ayah. Tikus kecil apa? Jika kau menganggap anak kita sebagai tikus kecil, kali ini aku tidak terima. Dia juga anggota keluarga di rumah ini. Ini juga rumahnya. Berhentilah bersikap egois," sang ibu yang sejak dulu selalu diam tak bisa membela sang anak di hadapan suaminya kini ikut berbicara dengan nada sedikit kasar. Dia sudah muak dengan konflik diantara anak dan suaminya. "Kau masih bersedia menganggapnya seorang anak, setelah apa yang dia lakukan? Membangkang dari keputusanku. Pergi dari rumah. Menjalani kehidupan semaunya dan kini dengan gampangnya dia menginjakkan kaki di sini. Kau tidak merasa bersalah dan bersedih pada mendiang Nalita? Dia yang menanggung semua
Nalini berdiri di depan cermin sesaat setelah menutup sambungan teleponnya dengan Megantara. Kini dia harus keluar menemui Megantara. Tapi sebelum itu, dia harus bisa menutupi mata sembab yang diakibatkan oleh tangisannya sejak tadi. Nalini mencoba mengoleskan concealer di bawah matanya.Meskipun tak bisa menutup dengan sempurna karena matanyapun kini masih memerah. Tapi setidaknya bisa sedikit menyamarkan. Nalini berjalan menuju jalanan depan kontrakannya. Mobil Megantara terparkir di situ. Dan sosok Megantara terlihat berada di belakang kemudi. Nalini masuk ke dalam mobil dan bertemu dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya. "Untuk apa datang kemari? Mengapa tidak menemani Sivia? Dia pasti ingin kau menemaninya di saat dia sakit," Nalini langsung memberondong Megantara dengan kalimatnya. Megantara tak langsung menjawab. Dia mengamati gadis di hadapannya. Gadis yang ia rindukan sekaligus khawatirkan sejak tadi. "Sivia sudah mendapatkan penanganan. Panasnya sudah turun. Dan kini
Nalini memasuki gerbang rumah kontrakannya lagi, baru saja mendorong pintu untuk masuk ke rumah, seseorang mencegahnya masuk. "Nalini," panggil Pandu yang berjalan mendekat."Oh. Mas pandu. Apa apa, mas?" Tanya Nalini sambil beralih menghadap ke lawan bicaranya. "Aku melihatmu bersama pak Megantara barusan," kata Pandu sambil menunjuk luar gerbang. Nalini salah tingkah, "Oh." Dia hanya bisa merespon demikian. "Kau menjalin hubungan dengannya?" Tanya Pandu langsung pada intinya. Nalini hanya menunduk dan malu. Bingung harus menjawab apa. Dia sudah ketahuan. Salahnya karena tetap menemui Megantara dan mengobrol di mobil. Tidak mengajak ke tempat lain. Hatinya sedang kalut sehingga otaknya tak bisa berpikir jernih sedari tadi. "Kau tidak takut?" Tanya Pandu lagi karena tak mendapat respon. "Takut? Apa yang harus kutakutkan?" Nalini penasaran dengan apa yang dimaksud oleh Pandu. "Menjalin hubungan dengan orang sepertinya. Kaya raya. Berstatus sosial tinggi dan dia sudah memiliki a
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka ringan," kilah Nalini. "Kemarikan tanganmu. Aku ingin melihatnya," kata Megantara sambil mengulurkan tangannya. mencoba meraih tangan Nalini. Nalini berusaha menolak namun akhirnya Megantara memaksa. Kini tangannya sudah diraih oleh Megantara. Megantara mengamati luka di punggung tangan Nalini. "Terkena panas? Mengapa bisa terjadi?" Tanya Megantara menelisik. "Aku yang ceroboh," jawab Nalini sambil menunduk. "Tidak biasanya kau bersikap ceroboh? Kau pasti sedang memikirkan sesuatu sehingga kau tidak fokus?" Megantara tau betul keprofesionalan kekasihnya saat di dapur. Nalini tak menjawab. Dia masih saja tetap menunduk. "Duduklah!," perintah Megantara sambil menuntun Nalini untuk duduk. Megantara bergegas mencari kotak obat di kantornya. Sepertinya sekretarisnya pernah menyiapkan seperangkat alat untuk pertolongan pertama. Tapi karena tidak pernah memakainya, Megantara agak kesulitan mencarinya. Nalini hanya diam mengamati gerak-gerik kekasihnya.
Nalini membalas pelukan Megantara dengan sama eratnya. Pelukannya menyiratkan bahwa Nalini tak ingin berpisah dari Megantara. Megantara melepas pelukan Nalini dan menatap ke dalam kornea mata Nalini. Dia menunggu Nalini untuk menjawab rentetan pertanyaan yang baru saja ia bisikkan di telinga Nalini. Nalini membalas tatapan Megantara secara mendalam. Matanya berkaca-kaca. Bisa sedekat ini dengan pria yang ia cintai benar-benar sebuah anugrah. Mendapatkan perhatian semacam ini adalah pengalaman tak terlupakan dalam hidupnya. Lagi-lagi Nalini merasa takut jika suatu saat dia akan kehilangan semua itu. Detik berikutnya Nalini mencondongkan tubuhnya. Mengikis jarak diantara mereka. Menempelkan material lembut berwarna merah meronanya di bibir milik Megantara. Megantara terkejut dengan inisiatif Nalini menciumnya terlebih dahulu. Tapi dia tidak berniat melepaskan tautan itu. Justru Megantara membalasnya dengan menggerakkan bibirnya. Nalini memejamkan matanya. Dia tak ingin menjauh dari
"Kau punya rencana apa setelah ini?" Tanya Bobby pada Starla. Starla menyeringai, "Aku harus mengatur strategi terlebih dahulu."Bobby mendesah, "Sebenarnya kau tak perlu repot-repot bekerja keras seperti ini jika mau menerima cintaku. Aku akan menjadikanmu ratu. Kau tidak akan kekurangan kasih sayang jika bersamaku.""Hentikan rayuan gombalmu. Aku sudah muak," Starla masih saja ketus. Sedangkan Bobby masih dengan kepercayaan dirinya.Pikiran Bobby menerawang jauh. Dia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Intensitas pertemuannya dengan Starla meningkat semenjak gadis itu meminta bantuannya, jadi dia akan berusaha membuat gadis itu jatuh hati padanya dan melupakan pria bernama Megantara yang sejak dulu memang tak pernah menoleh ke arah Starla. Cinta Starla pada Megantara terlalu buta sehingga dia tak menyadari bahwa semua cara dan upayanya hanyalah percuma. ***"Bu Nalini," panggil Sivia sambil berlari kecil ke arah Nalini yang sedang berdiri di dekat ruang guru. Nalini menoleh
Mela tersenyum penuh arti di hadapan Nalini dan Megantara. Megantara salah tingkah dan hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedangkan Nalini tersenyum kikuk. "Sudah malam, sepertinya aku harus segera pulang. Aku pulang dulu," kata Megantara. "Ya. Hati-hati di jalan," jawab Nalini. Megantara tersenyum ke arah Mela dan beranjak dari hadapan dua gadis tersebut. Setelah Megantara hilang dari pandangan, Mela berusaha keras untuk tidak berteriak girang, "Yaaaakkkkk.. kau beruntung sekali. Lelaki itu sangat tampan. Berkelas. Dan dan tipe ideal para wanita." Nalini menyunggingkan senyumnya lebar. Dia menyetujui pendapat Mela. Dia benar-benar beruntung. Meskipun dia bisa saja merasa minder karena di luar sana banyak gadis yang lebih sempurna dibandingkan dengan dia. "Sepertinya hubunganmu dengannya sudah semakin berkembang. Apakah akan ada yang menikah dalam waktu dekat ini?" Tanya Mela bersemangat. Nalini menggeleng cepat, "Kami belum memikirkan sampai sejauh itu. Hubungan ka