Di balik gerbang besi berkarat, terdapat bangunan utama sekolah bertingkat dua. Cat pada dindingnya terkelupas dan retak, sebagian gentengnya pecah, lantai berubin tampak menghitam di beberapa bagian. Hidup segan mati pun tak mau, seperti inilah kondisi sekolahku
Padahal beberapa tahun yang lalu, sekolahku adalah yang bergengsi di kota ini. Pergantian kepemilikan dan hilangnya donatur jadi penyebab utama tersendatnya pemugaran gedung beserta aktivitas sekolah. Aku tidak ingin mengatakan ini, seiring dengan kondisi yang apa adanya, biaya SPP bulanan sekolah ini tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya yang rata-rata di atas Rp 500.000 per bulannya.
Adapun alasan mengapa aku memilih sekolah swasta adalah karena aku tidak diterima di sekolah negeri. Aku tidak akan membual dengan berbagai alasan manis meskipun itu akan membuat imejku baik. Lebih baik jujur tapi pahit dari pada bohong tapi manis. Itu prinsipku.
Baru saja dari gerbang, tiba-tiba kepalaku ditempeleng dari belakang.
“Aduh!” pekikku.
Tanganku refleks memegang kepala yang sakit dan segera menoleh untuk mencari tahu sumbernya. Dengan wajah tanpa dosa, seorang lelaki tersenyum lebar setelah keisengannya berhasil membuat targetnya gusar.
“Emang anak bangsat! Dateng-dateng bukannya salam atau nyapa, malah ngeplak kepala orang!” teriakku dengan emosi. Kalau saja tidak ada orang di sekitarku, pasti sudah kutonjok muka pria ini.
Ia tertawa renyah. “Masih pagi sudah marah-marah aja! Nanti cepet tua, loh!”
“Emangnya siapa yang buat gue marah?”
“Maaf, maaf! Kayak ngga pernah iseng aja!” ucapnya sembari tertawa ringan. “Ayo, kita kelas! Gue belum ngerjain PR, nih. Nyontek, ya?”
“Kebiasaan!”
Kami berdua berjalan melintasi koridor terbuka, melewati deretan kelas satu yang berada tepat di samping lapangan sekolah.
Lelaki yang berjalan di sebelah adalah teman dekatku, Zidan Fahrezi. Kami berdua dari satu SMP, dan aku sudah berteman dengannya sejak saat itu. Orangnya baik dan mudah bergaul, yang paling kusukai darinya adalah ia pintar melawak. Sering aku dibuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Zidan memang lihai dalam berkomunikasi dan mengolah kata. Tak ayal, dia begitu disukai banyak orang.
Namun ada satu kekurangannya yang paling parah, bisa dibilang hal ini yang menjadi ciri khasnya. Ketangkasan dan kepandaiannya dalam bidang non-akademis cukup bagus, namun sangat berbanding terbalik dengan bidang akademisnya. Ah, mungkin aku terlalu rumit menjelaskannya.
Singkat kata, Zidan itu goblok.
Semua nilai ulangannya di bawah standar, bahkan nilai tertingginya saja 45. Sudah berkali-kali ia masuk ruang BK karena nilainya, bahkan guru pun sepertinya sudah bingung dengan cara apa lagi harus mengajari pria itu. Ingin hati ini menertawainya, namun tak tega. Karena sadar peringkat murid terbodoh di kelas kedua setelah Zidan adalah aku.
Tapi ada sedikit perbedaan antara aku dan dirinya, ya. Aku bukannya tak bisa diajari. Hanya saja aku tak punya waktu banyak untuk mengulas pelajaran karena kesibukanku berniaga. Tentu saja hal ini kurahasiakan dari sekolah, karena kalau guru BK tahu, mereka akan melarang usahaku demi mengejar nilai.
Tak lama kemudian, kami tiba di depan kelas XI-A yang berada di lantai dua. Aku melihat ke arah jam tangan di pergelangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 06.15 pagi. Masih terbilang gasik untuk kegiatan belajar mengajar yang dimulai jam tujuh tepat. Karena itulah kelas masih kosong, dan hanya ada kami berdua. Memang ada beberapa tas di atas bangku, namun tidak dengan pemiliknya. Entah mereka kemana, mungkin sedang sarapan di kantin atau nongkrong di kelas lain.
Baru saja aku selesai menaruh tas di atas bangku, Zidan langsung menepuk bahuku dan tersenyum lebar.
“Apa?” tanyaku sebal setelah melihat ekspresinya.
“Liat PR Fisika lo, dong!”
Aku terdiam mematung memasang wajah tanpa ekspresi. Dia memang benar-benar tidak pernah mencoba berusaha sendiri, ya? Setidaknya usaha sendiri dulu, kek! Di sela-sela kesibukanku berniaga, aku saja menyempatkan waktu untuk mengerjakan sendiri. Meski aku tidak begitu yakin dengan jawabannya.
“Cepetan, lah! Lama banget! Jam pertama nanti Fisika, tau? Kalo ngga cepat-cepat nanti nggak sempat,” pinta Zidan memelas, tapi dengan nada memaksa. Benar-benar tidak tahu diri orang ini!
Sembari menghela napas, aku membuka resleting tas. Tanganku mencoba mencari-cari buku tulis pelajaran Fisika. Tidak perlu waktu lama, aku menemukan apa yang kucari dan segera menyerahkannya pada Zidan.
“Ini,” ucapku dengan ketus.
“Yeeey! Lo emang teman sejati yang selalu ada di saat gua butuh.”
“Dan lo temen bangsat yang cuma dateng pas ada maunya.”
Zidan tak menjawab dan hanya tersenyum lebar. Hal yang selanjutnya ia lakukan adalah membuka isi tas dan mengeluarkan sebuah buku tulis dan pulpen. Wajahnya tampak gembira sekali! Kalian tahu ekspresi bocah ketika dibelikan mainan baru oleh ayahnya sepulang kerja? Seperti itulah wajahnya saat ini!
Aku duduk di bangku sebelah dan mengamati Zidan yang tengah menyalin jawabanku di buku tulisnya. Namun beberapa saat kemudian mukanya berubah masam, ia mengerutkan dahi dan menaikkan alis.
“Kok begini jawabannya?” tanya pria itu sembari menoleh kemari.
“Tinggal ikutin aja susah amat! Udah bego, banyak tanya lagi!” dengusku sebal.
“Bukan gitu. Maksud gue kayaknya lo salah ngerjain, deh!”
“Hah? Maksud lu gimana!?” pekikku dengan panik. Lalu bangkit dari kursi dan mendekat ke arahnya.
Zidan merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan buku paket Fisika, tangannya membuka lembaran-lembaran buku dan berhenti di satu halaman yang salah satu ujungnya dilipat.
“Lihat ini! Ini PR yang gue tandain minggu kemaren. PR-nya ada di halaman 71. Tapi PR yang lo kerjain kayaknya dari halaman 61, deh,” jawab Zidan, sembari membalik halaman sedikit ke belakang untuk memastikan. “Nah, bener kan?”
Aku menelisik halaman yang ditunjukkan oleh Zidan dengan jawabanku di buku tulis. Soal pertama di halaman itu menanyakan kecepatan air yang keluar dari pipa selebar 4 cm2 dengan debit air 100 cm3/s. Lalu aku menjawab 0,25 m/s lengkap dengan rumus dan caranya.
Sebulir keringat muncul dari dahiku. Aku punya perasaan yang buruk tentang ini. Kulanjut memeriksa soal nomor dua dan ketiga, dan benar. Meski sepertinya jawabanku selanjutnya salah kaprah, tapi aku sangat yakin jika aku mengerjakan soal di halaman 61, bukan halaman 71 yang jadi PR-ku.
“Mati gue!” teriakku sembari menepuk dahi dengan kencang. Keringat dingin langsung membasahi punggung, jantungku berdesir lebih cepat.
“Ya ampun, Senaaaaaa! Lu tolol banget, Anj***!” sahut Zidan dengan tak kalah lantangnya dariku. “Bisa-bisanya lu salah ngerjain PR!”
“Bacot! Orang yang ngga ngerjain, nggak berhak ngatain gue!” protesku sembari menunjuk tepat ke arah mukanya.
Ini benar-benar gawat! Jam pelajaran pertama adalah Fisika, dan gurunya adalah Bu Riana yang terkenal galak dan super killer. Saat ada yang tidak mengerjakan PR minggu kemarin, wanita tua itu langsung mencoret nama murid di absensi pada hari itu. Hal itu pastinya akan berpengaruh besar di catatan rapor nanti.
“Gimana, nih?” tanya Zidan panik.
Aku menenangkan diri dan berpikir sejenak. Mataku melihat ke arah jam yang tergantung di dinding. Kurang lebih tinggal setengah jam lagi sampai jam pelajaran dimulai. Tidak. Sebaiknya aku berpikir ‘masih’ ada waktu setengah jam lagi. Dalam situasi seperti ini, apa yang harus kulakukan?
Setelah diam dan berpikir, aku mendapatkan jawabannya.
“Kayaknya gue bakal kerjain ulang,” kataku dengan tenang.
“Lo gila? PR-nya kan banyak banget. Emang bisa ngerjain segitu banyaknya sekarang?”
“Seenggaknya gue udah nyoba.” Aku duduk di kursiku dan membuka halaman baru di buku tulis. Tanganku membuka halaman 71 yang menjadi tugas dari Bu Riana.
“Serius?” tanya Zidan tak percaya, namun tidak kutanggapi. “Gue mau cari contekan dulu!”
“Kemana?”
“Lihat itu!” sahutnya seraya menunjuk pada sebuah tas punggung berwarna cokelat pekat di atas bangku. “Reza udah dateng. Gue mau cari dia buat minta contekan. Paling-paling sekarang tu bocah lagi nongkrong di kantin. Lu kerjain aja sebisanya, nanti kita tambah sama contekan dari Reza.”
Aku menghela napas dalam, berusaha membuat diriku semakin tenang. “Bener juga, ya? Kalau begitu, aku serahkan padamu, Komandan!”
“Perintah diterima, Jenderal!” sahut Zidan seraya memberi hormat ala militer, bergaya seakan aku adalah atasan yang memberinya titah.
Sedetik kemudian lelaki itu langsung melompat ke koridor terbuka dan bergegas menuju kantin. Jika saja ini adalah adegan kartun, Zidan mungkin meninggalkan asap di belakang kakinya.
Saat ini, ia adalah harapan utamaku agar bisa terhindar dari hukuman Bu Riana yang sangat mengerikan. Sebenarnya bisa saja kami menggeledah isi tas yang ada di atas bangku dan mencari apa yang kami inginkan. Namun tentunya hal itu sangat tidak sopan dan melanggar privasi. Bahkan orang bodoh sepertiku dan Zidan tahu adab yang benar. Membuka tas tanpa sepengetahuan pemilik dapat memperburuk hubungan.
Sebenarnya Reza termasuk murid yang rajin, meski kepintarannya biasa saja. Tapi itu masih lebih baik dari pada tidak sama sekali. Peduli setan mau mendapat nilai berapa, yang kupentingkan saat ini hanyalah menyelesaikan tugas saja.
Mengesampingkan hal itu, aku mencoba mengerjakan tugas pada halaman 71. Pertanyaan berupa pilihan ganda, namun diharuskan menuliskan cara dan rumus di buku tulis. Untuk soal-soal awal memang mudah, hanya berupa pernyataan teori dari ilmuwan ternama. Jawabannya mudah ditemukan. Hanya membalik halaman ke awal bab saja, kau akan menemukan jawaban yang tepat. Barulah saat sampai nomor lima dan seterusnya, tipe soal berubah menjadi perhitungan yang melibatkan rumus-rumus.
Aku yang lemah soal perhitungan tetap tak mendapatkan hasilnya meski dengan bantuan kalkulator di ponselku. Sumpah, tidak ada angka yang sama di pilihan ganda dengan yang tertera di kalkulator! Aku mulai berpikir jika kalkulator di ponselku error atau hang terkena virus sehingga tak mendapatkan jawaban yang kumau.
Arrrrggghh…!! Aku heran dengan ilmuwan-ilmuwan zaman dahulu. Kok bisa-bisanya sih mereka menggabungkan angka, huruf, serta simbol-simbol alien ke dalam satu rumus? Kenapa tidak dibikin simpel aja? Menyusahkan orang lain saja mereka itu! Kalau nanti ketemu di Padang Mahsyar, akan kusumpahi mereka.
“Loh, Sena? Kenapa mukamu kesel gitu?”
Tiba-tiba saja suara lembut datang dan menggelitik indera pendengaranku. Seakan lembut membelai daun telinga dan membuatku tidak kuasa untuk melemparkan pandangan. Dari sumber suara aku mendapati gadis berambut sebahu terdiam berdiri di samping bangku. Dia memiringkan kepalanya sedikit dan memasang ekspresi penasaran.
“D-Ditha?” pekikku yang sedikit terkejut.
Gadis berparas imut itu lalu melemparkan pandangan ke atas meja dan mendapatiku yang tengah berkutat dengan rumus-rumus sialan limuwan zaman dahulu.
“Loh, kamu belum ngerjain PR?” tanya Ditha sembari menaikkan sebelah alis.
“A-Aku salah ngerjain,” jawabku dengan jujur, di saat yang bersamaan aku merasa malu. Wajahku sedikit tertunduk, jariku berpura-pura menggaruk pipi guna meredam rasa malu itu.
Ditha menatapku lamat-lamat, lalu tersenyum. “Mau lihat PR-ku?”
“Eh, beneran?”
Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak
Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar
“Sena, Bapak akan menjodohkanmu dengan putri sahabat lamaku. Kamu siap, kan?”Masih melekat dalam memoriku, kata-kata yang bapakku ucapkan sebelum semua kegilaan yang terjadi. Kala itu seharusnya aku tengah menyantap makan malam bersama bapak. Menu malam itu adalah nasi goreng dengan ayam suwir beserta segelas teh hangat. Uap panas mengepul dari hidangan yang baru saja turun dari wajan penggorengan. Potongan daun bawang yang harum membuat makan malam ini terasa istimewa walau sederhana.Namun entah mengapa di tengah makan malam kami, mendadak bapak mengucapkan hal yang membuatku tertegun. Itu bukanlah sesuatu yang biasa dikatakan dari seorang ayah pada puteranya ketika makan malam. Masih banyak pilihan lain seperti menanyakan kabar di sekolah atau tentang pelajaran, bisa juga ia membahas pertandingan sepak bola minggu lalu, atau mungkin tentang sesuatu yang terjadi belakangan ini. Namun bapakku yang satu ini malah mengutarakan keinginannya ingin me
Kau tahu? Cinta itu memiliki musim. Ada kalanya ia bersinar dengan keindahan yang membuat kita tersenyum. Namun tak terkadang juga ia menyiram dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat kau meniti jalan kecil yang bernama cinta, hanya ada dua tujuan akhir. Bahagia atau nestapa.Aku yakin semua orang setuju ketika kukatakan cinta sepihak hanya mendatangkan kesedihan. Pilihan terbaik bagi yang menjalaninya adalah mundur sebelum semuanya terlambat. Kendati demikian, ada pula orang bodoh yang akan tetap bertahan meskipun tahu dia akan berakhir seperti apa. Seolah dibutakan harapan, tak lagi mampu berpikir dengan akal logika dan mengabaikan kenyataan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang bodoh seperti itu. Aku tahu, aku tak bisa membenci orang seperti mereka. Karena aku adalah salah satunya.Sudah lebih tiga tahun sejak aku memendam perasaan yang terus berkembang dalam hati. Perasaan itu … tidak pernah kulepaskan sekali pun. Hanya menyimpannya dengan rapi bagai kole
Selepas menghembus napas panjang, aku melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Meski tidak empuk, kasur ini membuatku ingin menggeliat guna melepas lelah. Suara kipas angin yang mirip mesin mobil tua memang menyebalkan. Namun masih bisa kutoleransi karena angin segar yang dihasilkan membebaskanku dari hawa gerah dan panas. Peluh keringat dari sekujur tubuhku perlahan menghilang, rasanya seakan baru saja menyelam ke hulu sungai yang dingin setelah berjalan di gurun pasir berhari-hari.Beuhhh, mantap!Pandanganku beralih pada jam weker yang berada di atas meja belajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Aku baru saja sampai ke rumah setelah memeras keringat di pinggir jalan. Ya, tebakanmu benar! Untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan mendapat uang jajan lebih, aku rela berjualan serabi selepas pulang sekolah.Aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Jadi setelah pukul dua siang tepat, aku langsung pulang ke rumah. Setelah beristirahat sej
Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semang