Selepas menghembus napas panjang, aku melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Meski tidak empuk, kasur ini membuatku ingin menggeliat guna melepas lelah. Suara kipas angin yang mirip mesin mobil tua memang menyebalkan. Namun masih bisa kutoleransi karena angin segar yang dihasilkan membebaskanku dari hawa gerah dan panas. Peluh keringat dari sekujur tubuhku perlahan menghilang, rasanya seakan baru saja menyelam ke hulu sungai yang dingin setelah berjalan di gurun pasir berhari-hari.
Beuhhh, mantap!
Pandanganku beralih pada jam weker yang berada di atas meja belajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Aku baru saja sampai ke rumah setelah memeras keringat di pinggir jalan. Ya, tebakanmu benar! Untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan mendapat uang jajan lebih, aku rela berjualan serabi selepas pulang sekolah.
Aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Jadi setelah pukul dua siang tepat, aku langsung pulang ke rumah. Setelah beristirahat sejenak, aku membuat adonan yang cukup untuk nanti dijajakan. Biasanya aku berjualan mulai sekitar jam lima hingga sembilan malam. Lokasinya tidak jauh dari rumah, tempatnya tepat berada di pinggir jalan raya. Jadi aku tidak kerepotan membawa adonan serta peralatan lainnya ke sana. Memang melelahkan, tapi inilah keseharian yang kujalani.
Kalau bertanya mengapa aku berdagang ketika masih bersekolah, mungkin kau bisa menebak jawabannya. Ya, itu karena faktor ekonomi. Bapakku adalah seorang pegawai swasta yang gajinya terbilang pas-pasan. Uang hasil jerih payahnya hanya cukup menghidupi keseharian keluarga, tidak bisa memenuhi kebutuhan tersier.
Padahal aku bermimpi dapat menuntut ilmu hingga ke bangku kuliah. Tentunya aku tidak bisa memaksa bapak untuk membayar biaya kuliah. Bapak sudah hampir berkepala lima, aku tak ingin jadi anak durhaka yang menuntut ini-itu pada orang tuaku yang sudah tua. Bisa-bisa aku dikutuk menjadi batu. Memang, ada banyak jalur beasiswa di setiap universitas. Sayangnya, aku kurang pintar. Bahkan aku takkan marah jika ada yang memanggilku bodoh. Namun orang bodoh tidak dilarang bermimpi mengenyam pendidikan sampai tinggi, bukan? Itulah alasanku berjualan, aku ingin menabung untuk biaya kuliah nanti.
Hasil dari bisnis kecilku bisa dibilang memuaskan. Rata-rata penghasilan setiap harinya bisa mencapai Rp. 200.000, itu sudah bersih setelah dipotong biaya bahan baku. Pendapatan per bulannya bahkan bisa menyamai gaji ayahku. Lebih dari setengahnya kutabung, sementara sisanya kugunakan untuk keperluan pribadi dan kebutuhan sehari-hari. Berkat berdagang, aku tak lagi meminta uang pada ayahku. Jika aku sedang menginginkan sesuatu, aku tinggal membelinya menggunakan uang sendiri.
Aku tersenyum sumringah. Merasa bangga memiliki pendapatan sendiri, meskipun harus mengorbankan waktu mudaku, sih. Namun aku tak menyesalinya sama sekali. Karena berkat itu aku bisa membantu meringankan beban orang tuaku dan meraih mimpiku.
Seketika itu juga aku bangun dan mengambil tas pinggang kecil yang biasa kugunakan ketika berdagang. Setelah mengeluarkan uang hasil penjualan dan mulai menghitungnya, aku mendapati ada sekitar Rp. 283.000. Uang sebesar itu kusisihkan Rp. 100.000 untuk membeli bahan baku seperti tepung beras, telur, santan, kotak kardus dan beberapa bahan lainnya. Sementara sisanya kumasukkan ke dalam tabungan yang kusimpan dalam tas kecil di lemari.
Selagi membuka lemari, aku mengambil sepotong pakaian kaus oblong dan celana pendek. Padanan yang simpel untuk setelan sehari-hari di rumah. Setelah berganti baju, kutaruh pakaian lama yang bercampur keringat ke dalam tempat baju kotor di dapur.
Kemudian kulanhkahkan kaki ke arah kulkas dan membukanya. Tanganku mengambil beberapa bahan makanan seperti dua telur ayam, beberapa buah cabai rawit, daun bawang, dan tomat. Rencananya aku mau membuat nasi goreng untuk makan malam. Karena saat berjualan tadi tidak sempat karena banyak pembeli. Biasanya aku membeli nasi di warteg yang letaknya di sebelah tempatku berjualan. Namun entah mengapa hari ini tutup, aku juga tak bisa jauh-jauh dari daganganku. Jadinya aku tidak sempat makan malam.
Kali ini aku menggunakan bumbu instan nasi goreng. Tubuhku sudah letih sekali, jadi aku ingin yang instan saja. Padahal tidak kupungkiri hasil racikan bumbu sendiri lebih nikmat dari pada bumbu jadi yang terkesan hambar. Tapi apa boleh buat jika keadaannya seperti ini.
Oh, iya. Aku jadi ingat dengan bapak. Sampai saat ini dia belum sampai rumah, mungkin ada pekerjaan yang membuatnya lembur di kantor. Akhir-akhir ini bapak jadi sering lembur, katanya ada proyek besar yang dikerjakan di kantornya. Jadi mau tidak mau pekerjaannya harus tuntas sebelum pulang.
Aku tidak tahu apa ia sudah makan atau belum. Lebih baik aku membuat porsi lebih untuk berjaga-jaga barangkali bapak belum sempat makan karena kesibukan seperti yang terjadi padaku.
Dengan lihai tanganku mengaduk-aduk nasi di atas wajan yang sudah tercampur dengan bumbu instan. Kemudian menambahkan sedikit kecap dan potongan daun bawang. Aromanya mulai tercium harum ketika tercampur nasi di atas kompor yang panas.
Setelah kurasa sudah cukup matang, aku mematikan kompor dan segera menyajikan dua porsi nasi goreng di atas piring. Ketika itulah telingaku sayup-sayup mendengar suara yang kukenal dari luar rumah. Lama-kelamaan suaranya terasa makin akrab hingga berhenti tepat di depan rumah.
Bapak sudah pulang. Suara mesin motor Supra kesayangannya yang khas, begitu melekat dalam memori hingga mustahil bagiku salah mengenalinya.
Waktunya pas sekali, menurutku. Dari luar terdengar bunyi pagar bergerak dengan suara gemerincing, sebelum akhirknya bertumbuk dengan pintu pagar besi. Bersamaan dengan bapak yang menutup pagar, aku membawa dua porsi nasi goreng ke ruang tamu.
“Assalamu’alaikum,” ujar bapak yang baru saja membuka pintu depan. Raut wajahnya tampak kelelahan setelah lembur dan menempuh macetnya jalanan ibukota.
“Wa’alaikumsalam,” sahutku sembari menyalakan televisi dan mencari saluran yang menayangkan film aksi dari barat.
“Wah … anak Bapak pengertian sekali, yah! Tau aja kalau Bapak belum makan.” Pria yang nyaris menyentuh kepala lima itu menunjukkan senyum sumringah yang lebar. Ekspresi ceria yang ditampilkan menghapus raut letih di wajahnya.
“Kalau lembur Bapak memang sering telat makan, kan? Kenapa tidak makan di luar saja, sih?” saranku dengan sungguh-sungguh. Bapak memang kerap telat makan jika sedang lembur. Aku khawatir dengan kesehatannya kalau terus begini. “Kalau nanti sampe sakit bagaimana?”
Mendengar nada suaraku yang meninggi, dia tidak marah sama sekali. Ia justru melempar senyum tipis. “Kalau sering makan di luar, akan lebih boros. Buat apa Bapak mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bisa didapatkan gratis di rumah?”
“Ya ampun!” Aku menepuk jidat sendiri. “Kalau Bapak nanti sakit dan dirawat bukannya akan lebih boros?”
“Kamu lupa? Kita kan ikut program BPJS Kesehatan. Jadi mau sakit apa pun pasti ditanggung,” kilahnya dengan tidak menyingkirkan senyum menyebalkan itu dari wajahnya.
“Tapi bukan berarti kita harus abai dengan kesehatan sendiri. Kita kan bisa mencegahnya.”
“Buat apa kita ikut BPJS kalo enggak dipake?” jawabnya santai dengan senyum yang masih berkembang di wajahnya.
“Argh! Ni orang tua susah banget kalo dibilangin!” sergahku dengan gemas. “Ah sudahlah! Debat sama Bapak nggak akan ada habisnya.”
“Betul itu. Lebih baik kita makan aja, keburu nasinya dingin.”
Bapak berlalu melewati ruang tamu dan segera ke kamarnya. Bila pulang terlalu larut Bapak tidak pergi mandi dan hanya berganti baju. Sepertinya bukan hanya dia saja sih, aku juga sama. Seperti apa yang aku lakukan tadi. Entah mengapa jika sudah malam begini, tubuhku malas jika harus menyentuh air. Mungkin itu yang dirasakan kebanyakan lelaki di dunia ini.
Bapak kembali ke ruang tamu sembari mengenakan baju partai berlogo banteng salto bermata merah. Dilengkapi sarung yang menggantung sampai mata kaki, membuat setelannya begitu ‘khas’ bapak-bapak.
“Ini bagian Bapak, ya?” tanya Bapak sembari mengambil sepiring nasi goreng yang masih utuh di atas meja. Kemudian ia duduk di atas sofa dan mulai menyantapnya setelah membaca do’a.
Aku tidak menanggapinya. Jawabannya sudah begitu jelas, apalagi ia sudah mulai memakannya dengan lahap. Bapak mengunyah cepat-cepat, menelannya, lalu menyendok sesuap nasi lagi setelahnya. Benar-benar nyaris tanpa jeda, seakan-akan bapak belum pernah makan selama beberapa hari.
Ingin sekali kutegur cara makannya yang brutal seperti itu. Namun belum sempat aku melakukannya, bapak langsung tersedak. Tangannya memukul-mukul dada supaya makanan yang berada di kerongkongannya lekas masuk ke dalam perut. Sementara aku melihatnya dengan santai sembari menyantap makananku, seakan hal itu lebih seru dari film laga yang saat ini kutonton.
Bapak tampaknya masih tersedak meski sudah memukul-mukul dadanya, ia segera menyambar gelas air putihku yang di atas meja. Sepersekian detik sebelum ia menyentuhnya, dengan cekatan aku mengambil gelas itu dan menjauhkannya. Berulang kali ia berusaha meraih gelas, namun tak sampai karena aku memindahkannya ke ujung meja.
Sedetik kemudian sebuah jitakan mendarat tepat di atas kepalaku. Kekuatannya cukup besar hingga bisa menciptakan suara dalam kepala.
“Adudududuh … !” jeritku meringis kesakitan, memegangi kepala dengan kedua tanganku. Kemudian melemparkan pandangan pada bapak yang berhasil mendapatkan segelas air dan langsung meneguknya banyak-banyak. “Sakit tahu, Pak!”
“Makanya jadi anak jangan iseng!” sahut bapakku yang tak kalah ketusnya.
Perdebatan aku dan bapak pun berlanjut setelahnya. Bapak memang tipe orang tua yang seperti itu. Tidak terlalu kaku dan lebih sering bercanda. Sangat jarang ia menanggapi sesuatu hal dengan serius. Apa pun itu bapak selalu menanggapinya dengan candaan yang membuatku tertawa. Tak ayal aku sering membalas candaannya dengan balik mengisenginya seperti yang baru saja kulakukan.
Memiliki hubungan yang akrab dengan bapak membuatku merasa beruntung. Karena selain bisa diajak bercanda, juga dapat bertukar pikiran layaknya teman sebaya. Selang beberapa waktu setelah perdebatan usai, kami kembali melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. Bapak kini menyantap porsinya dengan pelan-pelan. Sementara aku yang sudah habis, memfokuskan diri pada acara laga di televisi.
“Oh iya, Sena! Ada yang ingin Bapak beri tahu padamu!” ujar bapak yang memecah keheningan di antara kami.
Jam sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam. Suasana di luar rumah begitu hening dan senyap, kebanyakan orang sudah bergumul dengan tempat tidurnya saat ini. Efek suara film aksi dari televisi menjadi suara latar di ruang tamu berukuran 3 x 3 meter ini. Kala itu adegan tengah seru-serunya, sang protagonis film tengah baku tembak dengan antagonis yang hendak meledakkan sebuah gedung. Sekarang adalah adegan klimaks film ini, dan aku tak mau melewatkannya.
“Apa?” tanyaku dengan pandangan yang masih terpaku pada layar kaca.
Namun bapak tak mengucapkan kata apa pun. Membisu seakan terpaku pada adegan yang ditayangkan di televisi, padahal aku tahu acara seperti ini bukanlah favoritnya.
Penasaran dengan bapak yang terus diam, aku menoleh padanya.
“Mau ngomong apa?” tanyaku dengan rasa ingin tahu.
Ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Aku akan memberitahumu saat sudah waktunya.”
“Apa-apaan coba?” balasku yang sedikit terganggu dengan sikap bapak.
Jarang sekali bapak bertingkah seperti ini. Biasanya dia akan ngomong langsung tanpa ragu. Tidak ingin memusingkan hal semacam itu, aku memalingkan pandanganku kembali ke layar kaca. Menyaksikan pertunjukan hebat sang protagonis yang mengejar penjahat dengan melompat ke dalam helikopter.
Yah, kalau bapak memang ingin mengatakan sesuatu pasti dia akan bilang.
*ZSSSHH!
Sebuah suara seperti angin yang bertiup sepoi-sepoi terdengar jelas di ruang tamu, lebih nyaring dari suara film yang kutonton..
Tentu saja itu bukanlah suara angin betulan. Itu juga bukan suara kipas yang menggantung di dinding kamarku, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, kipasku memiliki bunyi seperti mesin tua ketika berputar. Suara angin berhembus tadi adalah nada dering di ponselku, kupakai khusus sebagai nada dering pesan untuk orang yang memberiku kesegaran seperti angin berhembus.
Tanganku mengusap layar ponsel untuk membuka kunci dan melihat ikon balon chat di ponsel.
“Ditha?”
Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semang
Di balik gerbang besi berkarat, terdapat bangunan utama sekolah bertingkat dua. Cat pada dindingnya terkelupas dan retak, sebagian gentengnya pecah, lantai berubin tampak menghitam di beberapa bagian. Hidup segan mati pun tak mau, seperti inilah kondisi sekolahkuPadahal beberapa tahun yang lalu, sekolahku adalah yang bergengsi di kota ini. Pergantian kepemilikan dan hilangnya donatur jadi penyebab utama tersendatnya pemugaran gedung beserta aktivitas sekolah. Aku tidak ingin mengatakan ini, seiring dengan kondisi yang apa adanya, biaya SPP bulanan sekolah ini tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya yang rata-rata di atas Rp 500.000 per bulannya.Adapun alasan mengapa aku memilih sekolah swasta adalah karena aku tidak diterima di sekolah negeri. Aku tidak akan membual dengan berbagai alasan manis meskipun itu akan membuat imejku baik. Lebih baik jujur tapi pahit dari pada bohong tapi manis. Itu prinsipku.Baru saja dari gerbang, tiba-tib
Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak
Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar
“Sena, Bapak akan menjodohkanmu dengan putri sahabat lamaku. Kamu siap, kan?”Masih melekat dalam memoriku, kata-kata yang bapakku ucapkan sebelum semua kegilaan yang terjadi. Kala itu seharusnya aku tengah menyantap makan malam bersama bapak. Menu malam itu adalah nasi goreng dengan ayam suwir beserta segelas teh hangat. Uap panas mengepul dari hidangan yang baru saja turun dari wajan penggorengan. Potongan daun bawang yang harum membuat makan malam ini terasa istimewa walau sederhana.Namun entah mengapa di tengah makan malam kami, mendadak bapak mengucapkan hal yang membuatku tertegun. Itu bukanlah sesuatu yang biasa dikatakan dari seorang ayah pada puteranya ketika makan malam. Masih banyak pilihan lain seperti menanyakan kabar di sekolah atau tentang pelajaran, bisa juga ia membahas pertandingan sepak bola minggu lalu, atau mungkin tentang sesuatu yang terjadi belakangan ini. Namun bapakku yang satu ini malah mengutarakan keinginannya ingin me
Kau tahu? Cinta itu memiliki musim. Ada kalanya ia bersinar dengan keindahan yang membuat kita tersenyum. Namun tak terkadang juga ia menyiram dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat kau meniti jalan kecil yang bernama cinta, hanya ada dua tujuan akhir. Bahagia atau nestapa.Aku yakin semua orang setuju ketika kukatakan cinta sepihak hanya mendatangkan kesedihan. Pilihan terbaik bagi yang menjalaninya adalah mundur sebelum semuanya terlambat. Kendati demikian, ada pula orang bodoh yang akan tetap bertahan meskipun tahu dia akan berakhir seperti apa. Seolah dibutakan harapan, tak lagi mampu berpikir dengan akal logika dan mengabaikan kenyataan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang bodoh seperti itu. Aku tahu, aku tak bisa membenci orang seperti mereka. Karena aku adalah salah satunya.Sudah lebih tiga tahun sejak aku memendam perasaan yang terus berkembang dalam hati. Perasaan itu … tidak pernah kulepaskan sekali pun. Hanya menyimpannya dengan rapi bagai kole