“Sena, Bapak akan menjodohkanmu dengan putri sahabat lamaku. Kamu siap, kan?”
Masih melekat dalam memoriku, kata-kata yang bapakku ucapkan sebelum semua kegilaan yang terjadi. Kala itu seharusnya aku tengah menyantap makan malam bersama bapak. Menu malam itu adalah nasi goreng dengan ayam suwir beserta segelas teh hangat. Uap panas mengepul dari hidangan yang baru saja turun dari wajan penggorengan. Potongan daun bawang yang harum membuat makan malam ini terasa istimewa walau sederhana.
Namun entah mengapa di tengah makan malam kami, mendadak bapak mengucapkan hal yang membuatku tertegun. Itu bukanlah sesuatu yang biasa dikatakan dari seorang ayah pada puteranya ketika makan malam. Masih banyak pilihan lain seperti menanyakan kabar di sekolah atau tentang pelajaran, bisa juga ia membahas pertandingan sepak bola minggu lalu, atau mungkin tentang sesuatu yang terjadi belakangan ini. Namun bapakku yang satu ini malah mengutarakan keinginannya ingin menjodohkan putranya dengan anak dari rekannya.
Luar biasa, memang.
Kalimat itu membawaku ke dalam keadaan yang menurutku begitu ‘gila.’ Saat ini aku tengah duduk di sofa pendek yang hanya muat untuk dua orang dewasa jika duduk secara berdampingan. Di layar televisi adalah acara film barat yang biasa kutonton pada malam seperti ini. Sekilas ini adalah aktivitas sehari-hariku. Namun yang membuat tak biasa adalah keberadaan seorang gadis yang duduk di sebelahku.
Ia mengerling ke arahku, mungkin karena merasa sedang dipandangi dengan tatapan yang intens. Gadis itu memiliki mata cokelat yang indah, berkerlip seakan memiliki cahaya sendiri. Bulu matanya panjang dan lentik, dibingkai dengan hidung mancung dan wajah orientalnya membuat parasnya begitu memukau. Jantungku selalu berdegup kencang setiap kali mataku bertemu. Tapi aku tak ingin berpaling dari keindahannya sedetik pun.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya gadis itu dengan sedikit memiringkan kepala.
“Tidak, tidak ada,” jawabku dengan tenang sembari menahan malu.
“Kamu aneh.”
Gadis itu lalu menyandarkan kepalanya pada dadaku, yang membuatku tidak bisa menahan keinginan untuk mendekapnya. Kubelai-belai rambutnya yang lembut terurai hingga punggung. Mau dilihat dari sisi mana pun, ia bagai perwujudan bidadari yang turun ke hidupku.
Percaya atau tidak, gadis yang ada dalam dekapanku ini adalah istri yang kunikahi secara resmi.
Kau tahu? Cinta itu memiliki musim. Ada kalanya ia bersinar dengan keindahan yang membuat kita tersenyum. Namun tak terkadang juga ia menyiram dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat kau meniti jalan kecil yang bernama cinta, hanya ada dua tujuan akhir. Bahagia atau nestapa.Aku yakin semua orang setuju ketika kukatakan cinta sepihak hanya mendatangkan kesedihan. Pilihan terbaik bagi yang menjalaninya adalah mundur sebelum semuanya terlambat. Kendati demikian, ada pula orang bodoh yang akan tetap bertahan meskipun tahu dia akan berakhir seperti apa. Seolah dibutakan harapan, tak lagi mampu berpikir dengan akal logika dan mengabaikan kenyataan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang bodoh seperti itu. Aku tahu, aku tak bisa membenci orang seperti mereka. Karena aku adalah salah satunya.Sudah lebih tiga tahun sejak aku memendam perasaan yang terus berkembang dalam hati. Perasaan itu … tidak pernah kulepaskan sekali pun. Hanya menyimpannya dengan rapi bagai kole
Selepas menghembus napas panjang, aku melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Meski tidak empuk, kasur ini membuatku ingin menggeliat guna melepas lelah. Suara kipas angin yang mirip mesin mobil tua memang menyebalkan. Namun masih bisa kutoleransi karena angin segar yang dihasilkan membebaskanku dari hawa gerah dan panas. Peluh keringat dari sekujur tubuhku perlahan menghilang, rasanya seakan baru saja menyelam ke hulu sungai yang dingin setelah berjalan di gurun pasir berhari-hari.Beuhhh, mantap!Pandanganku beralih pada jam weker yang berada di atas meja belajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Aku baru saja sampai ke rumah setelah memeras keringat di pinggir jalan. Ya, tebakanmu benar! Untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan mendapat uang jajan lebih, aku rela berjualan serabi selepas pulang sekolah.Aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Jadi setelah pukul dua siang tepat, aku langsung pulang ke rumah. Setelah beristirahat sej
Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semang
Di balik gerbang besi berkarat, terdapat bangunan utama sekolah bertingkat dua. Cat pada dindingnya terkelupas dan retak, sebagian gentengnya pecah, lantai berubin tampak menghitam di beberapa bagian. Hidup segan mati pun tak mau, seperti inilah kondisi sekolahkuPadahal beberapa tahun yang lalu, sekolahku adalah yang bergengsi di kota ini. Pergantian kepemilikan dan hilangnya donatur jadi penyebab utama tersendatnya pemugaran gedung beserta aktivitas sekolah. Aku tidak ingin mengatakan ini, seiring dengan kondisi yang apa adanya, biaya SPP bulanan sekolah ini tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya yang rata-rata di atas Rp 500.000 per bulannya.Adapun alasan mengapa aku memilih sekolah swasta adalah karena aku tidak diterima di sekolah negeri. Aku tidak akan membual dengan berbagai alasan manis meskipun itu akan membuat imejku baik. Lebih baik jujur tapi pahit dari pada bohong tapi manis. Itu prinsipku.Baru saja dari gerbang, tiba-tib
Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak
Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar