Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.
Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.
Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar keduanya riuh karena suara tawa.
Berbanding terbalik dengan tempatku duduk, sebuah bangku panjang yang terletak di ujung kantin. Dari jarak yang cukup jauh ditambah dengan keramaian di sini, gadis itu takkan melihatku yang terus menatapnya.
Di sini aku hanya bisa melamun dan membayangkan sebuah dunia, di mana aku menggantikan sosok Kak Chandra yang bisa bermesraan dengannya. Sampai suatu ketika sebuah tepukan yang mendarat pelan di atas bahu, membuyarkan dunia di dalam pikiranku.
“Ada apa?” tanyaku pada Zidan yang duduk di samping.
Pria itu hanya menggelengkan kepala dan menutup mata, sembari mendecakkan lidah. “Orang ini udah ga bisa ditolong lagi rupanya.”
“Kasian banget teman kita satu ini, mimpiin sesuatu yang enggak mungkin terjadi,” sambar Reza yang duduk di depanku, matanya menatapku dengan iba.
“Kenapa engga cari yang lain aja? Udah kayak cewek di dunia cuma dia aja!” sindir Nando, yang tengah memakan nasi uduknya di bangku yang sama denganku. Ia adalah teman sebangku Reza, yang juga menjadi teman nongkrongku.
“Ya mau gimana lagi? Gue udah terlanjur suka sama dia.”
“Mau sama ibu gue?”
“Lu stress, Sumpah!” balasku dengan sinis.
Jujur saja, saat ini aku sedang tidak berniat untuk meladeni guyonan macam apa pun. Kalau saja situasinya lebih baik, aku pasti akan menanggapi gurauan Nando. Perasaan di dalam hatiku seperti tengah ada badai besar yang berkecamuk, sehingga tak bisa menangkap hal lain yang masuk.
Di antara banyak teman yang kumiliki, hanya mereka bertigalah yang tahu tentang perasaanku pada Ditha. Tentu karena aku sering bergaul dengan mereka, ketiganya dapat tahu tanpa harus kuberitahu. Untungnya mereka bukan orang menyebalkan yang suka membeberkan rahasia orang lain. Tiga orang itu mengunci informasi ini hanya di antara mereka saja.
Meski terkadang teman-temanku suka menggoda ketika aku sedang mengobrol berdua dengan Ditha, mereka adalah orang yang bisa dipercaya. Setidaknya itulah yang kupikirkan tentang Zidan, Reza, dan Nando.
“Ya udah, kalo masih lu mau lanjut ya terusin aja. Tapi kalo nanti patah hati, jangan ngerasa jadi orang yang paling disakiti. Itu kan pilihan lu sendiri.”
Ucapan Zidan membuatku tersentak. Benar katanya. Entah apa pun akhir ceritanya nanti, aku tidak boleh sampai membenci Ditha. Karena ini adalah jalan pilihanku sendiri yang terus maju meskipun kesempatanku bahagia sangat kecil.
Apabila dilihat dari sisi lain, yang dilakukan Ditha hanyalah berusaha akrab dan berbuat baik ke semua orang. Tidak akan ada yang bisa menyalahkannya jika ada satu atau dua lelaki yang jatuh hati pada gadis itu karena sifatnya. Mau bagaimana pun, aku tak bisa memaksakan perasaanku padanya. Ditambah aku yang belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati pada Ditha. Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak berhak protes dengan kondisi ini.
Aku tertawa dalam hati, bisa-bisanya pengecut sepertiku jatuh hati padanya? Takdir mungkin memang menghalangi orang sepertiku agar tidak bisa bersamanya.
Hari-hari berlalu dengan cepat seperti air yang mengalir tanpa disadari. Kegiatanku sehari-hari hanya bersekolah, berdagang, memikirkan Ditha, bermain dengan teman, lalu dihukum guru karena tidak mengerjakan tugas. Hal-hal itu terus berulang setiap harinya seperti lingkaran setan yang tak berujung.
Hingga suatu ketika, datang sebuah hari yang berbeda dari biasanya. Ditha, murid paling rajin yang ada di sekolah ini tidak masuk sekolah. Normalnya, dia pasti akan mengabari wali kelas jika sakit atau berhalangan hadir. Jadi guru yang mengisi mata pelajaran pertama mengumumkan keabsenan dirinya dari daftar kehadiran siswa. Namun kali ini, wali kelas tidak tahu-menahu tentang ketidakhadiran Ditha.
Ini cukup aneh. Ditha adalah orang selalu datang ke sekolah meski terlambat atau hujan badai sekalipun. Jika ia tidak sakit atau terlambat, lantas apa yang membuat dirinya berhalangan hadir pagi ini? Itu cukup menganggu pikiranku, namun kucoba tidak terlalu memusingkannya. Mungkin saja dia sakit dan lupa untuk memberi kabar pada wali kelas.
Keanehan itu berlanjut hingga esok harinya, Ditha masih absen tanpa kabar. Membuat satu kelas keheranan dengan hal ini. Wali kelas masih belum mendapatkan kabar apa pun dari gadis itu. Begitu pula dengan teman-teman dekat perempuannya, mereka sudah mencoba berkabar dan menelepon Ditha, tapi nomornya tidak aktif sejak kemarin. Kendati demikian, aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin saja Ditha sedang memiliki urusan keluarga atau mendadak yang perlu diselesaikan.
Kenyataannya, absennya Ditha terus berlangsung hingga seminggu penuh. Ini sudah bukan aneh lagi, melainkan sangat aneh. Ditha menghilang bak ditelan bumi tanpa kabar. Nomor ponsel miliknya tak aktif sejak lama. Bahkan saat aku mengirim pesan lewat sosial media, status pesanku selalu centang satu yang mengindikasikan pesan tidak pernah diterima. Aku dan beberapa teman sekelas sempat berkunjung ke rumah Ditha kemarin, namun rumahnya kosong tanpa penghuni. Tetangganya pun tidak tahu ke mana satu keluarga itu pergi.
Entah suatu kebetulan atau bukan, Kak Chandra, yang menjadi kekasih gadis itu turut tak masuk sekolah tanpa kabar sejak hari ini. Persis dengan apa yang terjadi pada Ditha, kapten eskul bola basket di sekolah itu tak bisa dihubungi.
“Aneh banget, ya?” ucap Zidan yang tiba-tiba memecah keheningan. “Ini udah lebih seminggu sejak Ditha ngilang tanpa kabar. Kita jadi ngga bisa minjem contekan lagi, loh.”
“HP-nya juga nggak aktif terus. Kemana dia, ya?” sahutku mengabaikan lawakan Zidan yang garing. Lalu memeriksa layar ponselku, berharap status pesan yang kukirim pada Ditha berubah menjadi centang dua.
Namun tidak peduli berapa kali aku memeriksanya, status centang satu tetap melekat di kanal obrolanku. Seakan Ditha sudah berganti nomor atau membuang ponselnya. Informasi waktu terakhir dia daring pun sudah lebih dari seminggu yang lalu.
Mengecek layar ponsel kini sudah menjadi kebiasaanku di tengah aktivitas sehari-hari. Seolah-olah sudah menjadi satu dengan rutinitas lingkaran setanku. Aku sempat mengirim beberapa pesan padanya, berpikir mungkin pesanku gagal terkirim dan mencoba mengirim ulang pesan. Namun harapan hanyalah hal semu yang tak nyata. Tidak pernah muncul tanda-tanda Ditha akan menerima pesanku.
Hingga ahirnya tepat dua minggu sejak Ditha absen, murid satu kelas mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan dari wali kelas saat jam pertama dimulai.
“Karena ketidakkadirannya selama dua minggu penuh tanpa kabar, mulai hari ini Ditha sudah resmi dikeluarkan dari sekolah.”
“Sena, Bapak akan menjodohkanmu dengan putri sahabat lamaku. Kamu siap, kan?”Masih melekat dalam memoriku, kata-kata yang bapakku ucapkan sebelum semua kegilaan yang terjadi. Kala itu seharusnya aku tengah menyantap makan malam bersama bapak. Menu malam itu adalah nasi goreng dengan ayam suwir beserta segelas teh hangat. Uap panas mengepul dari hidangan yang baru saja turun dari wajan penggorengan. Potongan daun bawang yang harum membuat makan malam ini terasa istimewa walau sederhana.Namun entah mengapa di tengah makan malam kami, mendadak bapak mengucapkan hal yang membuatku tertegun. Itu bukanlah sesuatu yang biasa dikatakan dari seorang ayah pada puteranya ketika makan malam. Masih banyak pilihan lain seperti menanyakan kabar di sekolah atau tentang pelajaran, bisa juga ia membahas pertandingan sepak bola minggu lalu, atau mungkin tentang sesuatu yang terjadi belakangan ini. Namun bapakku yang satu ini malah mengutarakan keinginannya ingin me
Kau tahu? Cinta itu memiliki musim. Ada kalanya ia bersinar dengan keindahan yang membuat kita tersenyum. Namun tak terkadang juga ia menyiram dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat kau meniti jalan kecil yang bernama cinta, hanya ada dua tujuan akhir. Bahagia atau nestapa.Aku yakin semua orang setuju ketika kukatakan cinta sepihak hanya mendatangkan kesedihan. Pilihan terbaik bagi yang menjalaninya adalah mundur sebelum semuanya terlambat. Kendati demikian, ada pula orang bodoh yang akan tetap bertahan meskipun tahu dia akan berakhir seperti apa. Seolah dibutakan harapan, tak lagi mampu berpikir dengan akal logika dan mengabaikan kenyataan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang bodoh seperti itu. Aku tahu, aku tak bisa membenci orang seperti mereka. Karena aku adalah salah satunya.Sudah lebih tiga tahun sejak aku memendam perasaan yang terus berkembang dalam hati. Perasaan itu … tidak pernah kulepaskan sekali pun. Hanya menyimpannya dengan rapi bagai kole
Selepas menghembus napas panjang, aku melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Meski tidak empuk, kasur ini membuatku ingin menggeliat guna melepas lelah. Suara kipas angin yang mirip mesin mobil tua memang menyebalkan. Namun masih bisa kutoleransi karena angin segar yang dihasilkan membebaskanku dari hawa gerah dan panas. Peluh keringat dari sekujur tubuhku perlahan menghilang, rasanya seakan baru saja menyelam ke hulu sungai yang dingin setelah berjalan di gurun pasir berhari-hari.Beuhhh, mantap!Pandanganku beralih pada jam weker yang berada di atas meja belajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Aku baru saja sampai ke rumah setelah memeras keringat di pinggir jalan. Ya, tebakanmu benar! Untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan mendapat uang jajan lebih, aku rela berjualan serabi selepas pulang sekolah.Aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Jadi setelah pukul dua siang tepat, aku langsung pulang ke rumah. Setelah beristirahat sej
Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semang
Di balik gerbang besi berkarat, terdapat bangunan utama sekolah bertingkat dua. Cat pada dindingnya terkelupas dan retak, sebagian gentengnya pecah, lantai berubin tampak menghitam di beberapa bagian. Hidup segan mati pun tak mau, seperti inilah kondisi sekolahkuPadahal beberapa tahun yang lalu, sekolahku adalah yang bergengsi di kota ini. Pergantian kepemilikan dan hilangnya donatur jadi penyebab utama tersendatnya pemugaran gedung beserta aktivitas sekolah. Aku tidak ingin mengatakan ini, seiring dengan kondisi yang apa adanya, biaya SPP bulanan sekolah ini tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya yang rata-rata di atas Rp 500.000 per bulannya.Adapun alasan mengapa aku memilih sekolah swasta adalah karena aku tidak diterima di sekolah negeri. Aku tidak akan membual dengan berbagai alasan manis meskipun itu akan membuat imejku baik. Lebih baik jujur tapi pahit dari pada bohong tapi manis. Itu prinsipku.Baru saja dari gerbang, tiba-tib
Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak