Kau tahu? Cinta itu memiliki musim. Ada kalanya ia bersinar dengan keindahan yang membuat kita tersenyum. Namun tak terkadang juga ia menyiram dengan kesedihan yang teramat sangat. Saat kau meniti jalan kecil yang bernama cinta, hanya ada dua tujuan akhir. Bahagia atau nestapa.
Aku yakin semua orang setuju ketika kukatakan cinta sepihak hanya mendatangkan kesedihan. Pilihan terbaik bagi yang menjalaninya adalah mundur sebelum semuanya terlambat. Kendati demikian, ada pula orang bodoh yang akan tetap bertahan meskipun tahu dia akan berakhir seperti apa. Seolah dibutakan harapan, tak lagi mampu berpikir dengan akal logika dan mengabaikan kenyataan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang bodoh seperti itu. Aku tahu, aku tak bisa membenci orang seperti mereka. Karena aku adalah salah satunya.
Sudah lebih tiga tahun sejak aku memendam perasaan yang terus berkembang dalam hati. Perasaan itu … tidak pernah kulepaskan sekali pun. Hanya menyimpannya dengan rapi bagai koleksi barang kuno dan menunggu keberanian datang untuk meluapkannya. Hingga akhirnya harus meratap ketika perempuan pujaan hatinya menambatkan perasaanya pada pria lain.
Aku tertawa. Bukankah ini akhir yang pantas untuk pengecut dan pecundang handal sepertiku?
Sakit hati? Sudah tentu.
Cemburu? Pasti.
Menyesal? Jangan ditanya.
Menyerah?
Entahlah. Untuk hal terakhir aku benar-benar tidak tahu. Normalnya orang yang memiliki akal sehat pasti akan berhenti dan mencari wanita lain yang pantas untuk melabuhkan hati. Sayangnya, aku adalah orang gila yang berharap gadis pujaanku akan putus dengan kekasihnya suatu hari nanti. Lalu aku bisa mendekatinya lagi dan memberitahunya tentang perasaan yang selama ini kubingkai rapi.
Cinta ini sudah membara dalam sukma begitu lama, sampai aku tidak tahu bagaimana cara untuk memadamkannya sampai benar-benar hilang.
Kau lihat saja dia hari ini! Gadis yang kusukai begitu lama berkilau dari pada orang lain. Ia mudah bergaul dengan orang lain, entah itu sesama murid, guru, tukang sapu, atau penjaga kantin. Senyumnya seolah memberi energi pada setiap orang di dekatnya. Tak ayal, hampir di sekolah ini tak ada yang tidak mengenalnya. Hal itulah yang membuatnya menjadi gadis paling populer di sekolah ini.
Sifatnya yang ramah dan rendah hati menjadi panutan banyak orang. Ia tak pernah membeda-bedakan atau menjadi pemilih dalam berkawan. Berkat sifatnya itu, banyak orang yang menyukainya. Lingkaran pertemanannya semakin luas setiap hari dengan dirinya sendiri sebagai pusatnya. Seakan-akan ia adalah protagonis dari dunia ini, sementara yang lain hanya pemain figuran. Benar-benar berbeda jauh dariku yang hanya karakter pendukung, yang mungkin namanya tak akan pernah disebutkan dalam cerita.
“Biar aku bantu, ya, Sena!” ujar gadis bersurai sebahu seraya mengambil setengah dari tumpukan buku paket yang kubawa dengan kedua tangan.
“Ya ampun! Ngga perlu padahal. Kan aku yang disuruh,” protesku yang tidak ingin merepotkannya.
Sebenarnya, pagi ini aku kebetulan bertemu guru Bahasa Indonesia yang akan menjadi mata pelajaran pertama hari ini. Beliau memintaku untuk membawakan buku-buku paket yang cukup untuk semua murid kelas dari perpustakaan. Untungnya buku ini tidak tebal. Jadi tidak terlalu berat bagiku untuk membawa buku-buku ini dengan kedua tanganku. Aku bisa membawanya tanpa kesulitan dari perpustakaan.
Itulah yang akan kulakukan jika saja gadis ini tak ikut campur.
“Nggak apa-apa, kok. Aku juga mau ke kelas. Justru tidak enak rasanya kalau tidak membantu, padahal kita searah. Kita kan teman.”
“Terserah kau saja kalau begitu.”
Senyum manisnya tersungging indah di wajahnya, mengalahkan sinar mentari pagi yang berseri dari ufuk timur. Rambutnya berjuntai mengikuti irama langkah yang ia buat. Sembari bersenandung, gadis itu berjalan di sampingku sembari membawa setumpuk buku dengan tangannya. Penampilannya rapi, seragam yang gadis itu kenakan sesuai dengan standar sekolah. Sebagai murid teladan, ia tak mau melanggar peraturan. Meskipun dia kelihatan begitu sederhana, daya tarik dari dalam dirinya berpendar kuat. Membuat perhatianku terus melekat padanya.
Cinta itu hal yang sangat simpel, ya? Berada sedekat ini dengannya saja sudah membuatku bahagia.
Aku paham betul ia membantuku hanya karena ingin berbuat baik, bukan karna maksud tertentu. Gadis memang terkenal karena baik dan kerap menolong semua orang. Seharusnya aku membalasnya dengan terima kasih, bukan dengan perasaan. Namun apalah dayaku sebagai remaja yang sama sekali belum mengenal cinta. Hanya dengan perhatian sekecil itu saja sudah membuatku terlena dan salah paham mengartikannya.
Hatiku begitu mendambanya. Setiap aku melihat wajahnya, perasaan bahagia muncul tiba-tiba dan membuat pikiranku melayang jauh kemana-mana.
Misalnya saja ketika kami mengobrol barusan. Entah mengapa pikiranku membuat dunia sendiri di mana aku berandai telah menikah dengannya, lalu kami berjalan berdampingan menyusuri rak etalase di supermarket. Aku mendorong troli belanjaan, sementara ia memilah barang untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Gadis itu lalu menuju etalase kosmetik dan menginginkan sebuah lipstik yang sedang santer diiklankan. Ia memandangiku dengan mata memelas seperti anak kecil. Aku yang lemah dengan sikap lucunya pun tidak kuasa mengiyakan permintaannya.
Sumpah, menghalu itu menyenangkan! Meski tahu itu hanya imajinasi semata, aku tidak bisa berhenti untuk terus membuat dunia sendiri. Aku tudak tahu apa yang akan menantiku nanti, namun setidaknya biarkan aku bahagia walau hanya sekejap saat ini.
Mungkin karena aku terlalu hanyut dalam dunia buatanku, gadis itu menoleh setelah mendapatiku yang tersenyum kegirangan.
“Aku nggak tahu apa yang lucu. Tapi kalau kau tersenyum seperti itu, itu bagus!” ucap gadis itu sembari tertawa kecil.
Suaranya yang renyah masuk dan menggema ke telingaku, lalu turun ke hati dan membuat jantungku berdegup lebih cepat. Sepertinya, apa pun yang ia lakukan selalu membuat hatiku bereaksi. Seperti itulah dia, Ditha Ayu Kirana, gadis yang kusukai selama tiga tahun ini.
Setelah kupikir berulang kali, rasanya sangat mustahil menghilangkan perasaanku padanya yang sudah melekat erat di hati. Mungkin bisa, namun aku tidak sanggup.
Untuk kalian yang memahami perasaanku, tolong beri tahu aku cara terhebat untuk berhenti jatuh cinta!
Selepas menghembus napas panjang, aku melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Meski tidak empuk, kasur ini membuatku ingin menggeliat guna melepas lelah. Suara kipas angin yang mirip mesin mobil tua memang menyebalkan. Namun masih bisa kutoleransi karena angin segar yang dihasilkan membebaskanku dari hawa gerah dan panas. Peluh keringat dari sekujur tubuhku perlahan menghilang, rasanya seakan baru saja menyelam ke hulu sungai yang dingin setelah berjalan di gurun pasir berhari-hari.Beuhhh, mantap!Pandanganku beralih pada jam weker yang berada di atas meja belajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam tepat. Aku baru saja sampai ke rumah setelah memeras keringat di pinggir jalan. Ya, tebakanmu benar! Untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan mendapat uang jajan lebih, aku rela berjualan serabi selepas pulang sekolah.Aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Jadi setelah pukul dua siang tepat, aku langsung pulang ke rumah. Setelah beristirahat sej
Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semang
Di balik gerbang besi berkarat, terdapat bangunan utama sekolah bertingkat dua. Cat pada dindingnya terkelupas dan retak, sebagian gentengnya pecah, lantai berubin tampak menghitam di beberapa bagian. Hidup segan mati pun tak mau, seperti inilah kondisi sekolahkuPadahal beberapa tahun yang lalu, sekolahku adalah yang bergengsi di kota ini. Pergantian kepemilikan dan hilangnya donatur jadi penyebab utama tersendatnya pemugaran gedung beserta aktivitas sekolah. Aku tidak ingin mengatakan ini, seiring dengan kondisi yang apa adanya, biaya SPP bulanan sekolah ini tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya yang rata-rata di atas Rp 500.000 per bulannya.Adapun alasan mengapa aku memilih sekolah swasta adalah karena aku tidak diterima di sekolah negeri. Aku tidak akan membual dengan berbagai alasan manis meskipun itu akan membuat imejku baik. Lebih baik jujur tapi pahit dari pada bohong tapi manis. Itu prinsipku.Baru saja dari gerbang, tiba-tib
Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak
Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar
“Sena, Bapak akan menjodohkanmu dengan putri sahabat lamaku. Kamu siap, kan?”Masih melekat dalam memoriku, kata-kata yang bapakku ucapkan sebelum semua kegilaan yang terjadi. Kala itu seharusnya aku tengah menyantap makan malam bersama bapak. Menu malam itu adalah nasi goreng dengan ayam suwir beserta segelas teh hangat. Uap panas mengepul dari hidangan yang baru saja turun dari wajan penggorengan. Potongan daun bawang yang harum membuat makan malam ini terasa istimewa walau sederhana.Namun entah mengapa di tengah makan malam kami, mendadak bapak mengucapkan hal yang membuatku tertegun. Itu bukanlah sesuatu yang biasa dikatakan dari seorang ayah pada puteranya ketika makan malam. Masih banyak pilihan lain seperti menanyakan kabar di sekolah atau tentang pelajaran, bisa juga ia membahas pertandingan sepak bola minggu lalu, atau mungkin tentang sesuatu yang terjadi belakangan ini. Namun bapakku yang satu ini malah mengutarakan keinginannya ingin me