Felicia memperhatikan gedung kampusnya yang memiliki empat lantai ditambah satu gedung lagi khusus laboratorium dan penelitian. Ini adalah salah satu kampus swasta jurusan farmasi di Ibukota.
Setelah cuti untuk kedua kalinya, Felicia akhirnya bisa membayar tunggakan untuk melanjutkan semester akhirnya. Walau di akhir semester ini ia masih harus mengambil beberapa mata kuliah yang belum sempat ia ambil dulu. Padahal selama tidak cuti gadis itu selalu mengambil mata kuliah yang banyak demi mencicil agar saat cuti nanti tidak terlalu banyak ketinggalan.
Nyatanya tetap masih ada mata kuliah yang harus Felicia ambil di semester delapan ini. Selain sidang seminar proposal, penelitian dan skripsi. Harusnya saat semester akhir memang lebih santai, eh gak deh. Sibuk juga cuma sibuk karena penelitian dan skripsi aja. Harusnya udah gak disibukkan dengan mengambil mata kuliah.
Mungkin agak keteteran nanti apalagi Felicia juga ikut kerja part time di sebuah cafe demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Meskipun biaya semester sudah lunas, tapi untuk penelitian nanti perlu biaya lagi. Belum wisuda dan sidang skripsi. Pengeluarannya sebagai mahasiswi demi mendapat gelar sarjana farmasi di belakang namanya memang butuh kerja keras serta uang yang lebih.
Bukan Felicia gak dapat beasiswa. Ia dapat tapi hanya lima puluh persen. Dan lima puluh persen yang harus ia bayar pun sangat besar. Mungkin setara enam bulan gajinya sebagai karyawan part time. Ditambah ia hanya hidup bersama Ibunya yang penjual nasi uduk serta bekerja di sebuah tempat catering. Tentunya biaya kuliahnya tidak akan tertutup jika Felicia tidak ikut turun tangan. Ia sudah biasa membiayai kuliahnya sendiri semenjak semester awal. Sampai saat ini.
Mengeluh? Sering. Tapi Felicia selalu sadar jika keluhan yang sering ia ucapkan tidak akan berarti apapun. Apalagi melunasi tunggakannya, tidak mungkin.
Jika gedung dan sekitarnya masih sama, lain dengan mahasiswa-mahasiswi disini yang berkuliah. Terlihat berbeda sekali dari yang ia kenal. Yang jelas mereka bukanlah angkatannya. Apalagi ketika ia masuk kelas dan mendapati tatapan-tatapan asing yang mengarah padanya. Jelas mereka sadar jika Felicia adalah kakak tingkat mereka.
Mudah sekali membedakannya, jika seseorang terlihat sendirian diantara mahasiswa mahasiswi lain di dalam kelas, ada tiga kemungkinan. Dia orang yang introvert, dia kakak tingkat dan dia adik tingkat.
Biasanya adik tingkat tipe yang banyak didekati karena berarti dia termasuk mahasiswa pintar, mengambil mata kuliah diatasnya apalagi sudah mau skripsi padahal dia masih semester enam.
Jayden contohnya.
Kalo soal kakak tingkat, beberapa ada yang senang bergabung dengan mahasiswa yang rata-rata cuek dengan penampilan bahkan ada yang cuek dengan nilai mereka. Bagi kakak tingkat yang begini, buat mereka yang penting lulus. Tapi ada juga kakak tingkat yang rajin apalagi tau banget matkul yang diambil. Atau biasanya dekat dengan dosen. Kan bisa sekalian dimanfaatkan.
Ada tipe kakak tingkat yang dijauhin, biasanya yang keliatan bodoh dan malas. Atau pekerja. Beberapa orang mungkin akan senang dengan kakak tingkat yang kuliah sambil kerja karena mereka jadi bisa dapat info lowongan kerja untuk persiapan nanti. Tapi ada juga yang malas. Karena takut jika mereka satu kelompok dengan kakak tingkat yang sudah bekerja maka dia akan lalai dengan tugasnya. Walau soal patungan pasti kakak tingkat pekerja tidak akan keberatan. Yang penting tugas selesai.
Dan, banyak orang mengira Felicia adalah tipe kakak tingkat pekerja yang akan lalai dengan tugasnya. Tentu dengan alasan sibuk kerja. Padahal Felicia bukan seperti itu. Tapi karena ia malas menjelaskan, ia membiarkan semua adik tingkat yang mengenalnya atau sekelas dengannya tetap dengan pikiran mereka.
Akibatnya Felicia sulit mendapat rekan kerja kelompok. Apalagi saat masuk kuliah lagi sehabis cuti semester pertama kali. Untung gak sampai membuat nilainya anjlok. Untungnya juga ada adik tingkat yang bahkan dua tahun lebih muda darinya mau sekelompok dengan Felicia. Membuat gadis itu merasa terselamatkan.
Sayangnya setelah mengenal mahasiswa itu, hidupnya semakin berantakan. Apalagi dia tengilnya kebangetan serta ucapannya yang gak pernah disaring. Untung aja Felicia hanya ada beberapa kelas yang sama dengannya, Jayden namanya. Walau selebihnya ia jadi sulit mencari teman sekelompok. Karena cuma Jayden yang bersiap menawarkan diri untuk sekelompok dengannya.
Sampai kemudian Jayden malah mengganggu Felicia di semester berikutnya. Entah kenapa mereka selalu berada dalam kelas yang sama. Padahal Felicia selalu mengisi KRS terakhir dan kebanyakan kelas sisa juga dengan dosen-dosen yang jarang diminati. Biasanya dosen killer atau yang sangat teliti dalam memberi nilai.
Tentu dengan kecerdasan yang Felicia miliki, mau sekiller apapun dosennya, nilainya tetap bagus. Sampai saat ini IPKnya tetap diatas 3,5. Padahal ia selalu mengambil SKS banyak, mengingat Felicia harus mengejar ketertinggalannya. Namun karena ia belajar dengan giat, ia bisa mempertahankan nilainya. Keinginan Felicia adalah lulus dengan nilai cum laude. Sederhana kan?
"Hai, Kak Fel." Sapa Jayden sok ramah saat bertemu Felicia di koridor kelas." Ketemu lagi kita."
Memang setelah Felicia cuti lagi, ia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan Jayden. Hubungan mereka hanya sebagai teman kampus dan tidak pernah bertemu diluar kampus. Jadi jelas aja Jayden menyapanya seperti itu.
Felicia menatap pintu kelas yang terbuka didepannya, tepat ditempat Jayden berdiri." Kita sekelas?" Tebak gadis itu tak yakin. Masa iya kebetulan banget? Atau sesuatu yang disengaja? Padahal ia sengaja on time demi mengisi KRS agar dapat dosen yang suka ngaret dateng ke kelas tapi selalu memulangkan mahasiswanya lebih awal. Tentu demi kelancaran pekerjaannya.
Jayden mengedikkan bahunya." Sepertinya iya. Kenapa? Gak usah seneng gitu lah." Ucapnya dengan sok kenal. Padahal ia hanya mengenal Felicia di kampus sebagai kakak tingkat yang harusnya sudah lulus itu. Tapi entah kenapa ia merasa dekat, walau Felicia tentunya tidak. Ia hanya suka memperhatikan gadis itu sejak dulu.
Felicia memutar bola matanya dengan malas." Kok bisa?"
" Bu Lastri, siapa sih yang gak mau diajar doi." Ucap Jayden yang juga tau karakter dosen muda itu.
Memang Bu Lastri hanya membuka satu kelas untuk semester ini. Felicia pun harus mantengin laptop demi bisa mendapatkan kelasnya. Tentu rebutan dengan ratusan mahasiswa yang lain. Kecepatan tangan dan jaringan sangat menentukan kelas yang akan diambil di semester berikutnya.
Felicia berdecak sebal walau ia sedikit bersyukur karena dengan adanya Jayden yang satu kelas dengannya, saat ada pembuatan kelompok nanti mungkin akan lebih mudah. Apalagi bu Lastri suka membuat kelompok untuk presentasi atau membuat proposal karena ia mengajar mata kuliah manajemen farmasi. Gadis itu tau dari beberapa temannya yang sudah mengambil mata kuliah yang sama dan memang mereka sudah lulus semua.
Namun Felicia tetap berhubungan baik dengan teman-teman seangkatannya dulu. Mereka sangat mengerti kondisinya. Tidak seperti mahasiswa yang lebih muda darinya, semua meremehkannya tanpa tau yang sebenarnya terjadi.
"Tuh kan bener." Gumam Felicia pelan saat melihat papan tulis didepannya yang sudah siap menulis kelompok-kelompok untuk membuat proposal wirausaha yang berkaitan dengam bidang farmasi.Beberapa mahasiswa sudah menulis nama disana. Karena hanya proposal biasa tanpa di realisasikan, setiap kelompok hanya boleh berisi dua orang mahasiswa. Katanya sih biar semuanya kerja jadi gak ada tuh yang terima jadi atau asal bayar printannya.Felicia menelan ludahnya sendiri, memperhatikan sekitarnya yang hampir semuanya sudah mengisi nama di papan tulis. Sekilas ia melihat Jayden meliriknya tapi tak ia gubris. Masa iya hampir semua mata kuliah yang ia ambil semenjak selesai cuti pertama kali harus selalu berhubungan dengan pria itu. Ya walaupun Jayden mahasiswa, tapi dia termasuk mahasiswa yang rajin. Tapi dia suka ngejar target banget jadi suka bikin Felicia merasa diburu-buru. Padahal Felicia tipe mahasiswi yang suka ngumpulin tugas ngepas ke deadline.&n
Felicia melirik jam tangannya kemudian menghela nafas menyadari ini sudah tiga puluh menit ia menunggu didepan ruangan Bu Dinda yang berada di lantai dua laboratorium, dekat lab farmakologi. Karena bidang dosen itu memang tentang farmakologi. Beberapa mahasiswa lain yang tengah melakukan penelitian melewatinya dengan membawa berbagai alat dan hewan penelitian. Ada yang membawa organ- organ hewan, alat-alat dari gelas kaca mau pun sebuah baki berisi hewan penelitian yang masih hidup. Tentu baunya gak karuan. Felicia sampai mual. Padahal di lantai satu tidak terlalu tercium baunya tapi disini... astaga."Eh, Felicia ya?" Tanya dosen berkacamata dengan tubuh tinggi semampai itu. Dosen muda itu pun tersenyum pada Felicia yang duduk di kursi panjang depan lab farmakologi. Gadis itu langsung bangun dan menyalaminya." Maaf ya tadi makan siang dulu," ucapnya yang kemudian masuk ke ruangannya setelah membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya lebih dahulu." Ayo
Usai bekerja di cafe, Felicia kembali ke rumahnya dengan menggunakan bus transjakarta yang kebetulan haltenya tak jauh dari lokasi cafe Matching Point. Cafe tempatnya bekerja setiap selesai jam kuliah.Felicia langsung masuk ke dalam bus yang membawanya menuju rumahnya. Lumayan jauh memang dari halte bus ke rumahnya, sekitar dua ratus meter. Tapi transportasi ini adalah yang termurah. Sehingga ia bisa irit ongkos.Sekitar 30 menit kemudian, Felicia sampai di halte bus terdekat dengan rumahnya. Ia pun turun dari sana dan keluar setelah tap kartu di pintu otomatis. Langkah kaki jenjangnya dengan santai berjalan menyusuri jalan besar lalu masuk ke sebuah gang. Tak jauh dari jalan masuk gang, di sebelah kanan terdapat gerbang kecil yang didalamnya sebuah bangunan kecil berdiri disana. Dengan dikelilingi pagar tanaman lalu beberapa pohon di sekelilingnya, seperti mengasingkan rumah itu dari keramaian. Walaupun rumah tetangga mereka cukup dekat, han
"Lah? Jayden? Lo ngapain disini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini. "Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.Felicia memutar bola matanya dengan malas, "gue serius. Gue mau balik nih mau ke kampus." "Ngapain? Kan sabtu sekarang." Jayden mengingat- ingat hari apa sekarang. Iya sabtu. Ia tak salah ingat. Tapi memang sih sabtu pun kampus tetap ramai. Ada beberapa mata kuliah dan beberapa praktikum yang membludak jadwalnya jika di weekday." Ke perpus. Ngerjain tugas proposal sama nyari materi penelitian," balas Felicia ogah- ogahan. "Yaudah yuk bareng gue." "Trus lo gak jadi pesen apa- apa
"Lah? Jayden? Lo ngapain di sini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini."Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.
Felicia merenggangkan tangannya begitu selesai menyalin materi ke laptopnya dan beberapa yang belum ia rangkum, ia foto dengan ponselnya. Agar tidak perlu bolak- balik ke perpustakaan lagi. Apalagi kesempatannya ke perpustakaan dengan banyak waktu hanya di weekend. Gadis itu pun melirik pekerjaan Jayden yang sedang merangkum jurnal- jurnal yang telah pria itu prin."Udah selesai?" tanya Felicia sambil menutup laptopnya.
Felicia baru akan masuk kelas manajemen Farmasi ketika melihat sosok Jayden yang tengah berkumpul dengan para mahasiswi dan beberapa mahasiswa di belakang asik mengobrolkan sesuatu yang tak ia mengerti. Pria itu memang sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Tidak seperti dirinya yang lebih sering menarik diri dibanding mencoba berbaur. Felicia hanya lelah berpura- pura jika mereka menyukainya sebagai teman mengobrol. Padahal mereka suka membicarakannya dari belakang. Tentu ia tau dan memiliki telinga yang masih bekerja dengan baik. Meski hanya bisikan, tapi ia sering mendengar orang- orang yang membicarakannya. Terutama soal perkuliahannya.
Felicia melirik ponselnya yang bergetar di saku seragam kerjanya. Ternyata ia sudah dimasukkan ke grup penelitian oleh Jayden. Tampak ada beberapa anggota lain dalam grup selain Jayden dan Harumi, yang Felicia tebak adalah kelompok proyek pembuatan ekstrak. Karena untuk bagian kelompok Felicia adalah khusus farmakologinya. Agar tugas dan skripsinya tidak terlalu banyak yang dibahas. Juga untuk pengerjaan bisa lebih singkat dan cepat jika dikerjakan banyak orang. Lagipula katanya untuk ekstrak akan dibuat dalam jangka waktu satu bulan lagi. Sementara seminar proposal masih sekitar tiga bulan lagi. Jadi sambil menunggu seminar proposal, ia dan yang lain bisa membuat ekstraknya dulu. Setelah seminar proposal selesai, bisa dilanjut ke uji farmakologinya. Mungkin
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.