"Lah? Jayden? Lo ngapain disini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini.
"Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.
Felicia memutar bola matanya dengan malas, "gue serius. Gue mau balik nih mau ke kampus."
"Ngapain? Kan sabtu sekarang." Jayden mengingat- ingat hari apa sekarang. Iya sabtu. Ia tak salah ingat. Tapi memang sih sabtu pun kampus tetap ramai. Ada beberapa mata kuliah dan beberapa praktikum yang membludak jadwalnya jika di weekday.
" Ke perpus. Ngerjain tugas proposal sama nyari materi penelitian," balas Felicia ogah- ogahan.
"Yaudah yuk bareng gue."
"Trus lo gak jadi pesen apa- apa?"
"Lo diajak gak mau sih. Kita makan di kantin aja deh nanti. Gak enak diliatin senior lo." Jayden tampak memperhatikan sekelilingnya. Mereka memang sedang jadi pusat perhatian. Mungkin karena Felicia malah mengobrol dengannya. Pria itu pun beranjak dari tempatnya.
"Gue ganti baju dulu sama ambil tas. Bentar." Felicia langsung masuk ke dalam back office sementara Jayden memilih untuk menunggu diluar, menghindari tatapan bertanya orang- orang padanya.
"Susah deh orang ganteng mah, banyak yang liatin," gumam pria itu sambil mengusap rambutnya dengan gaya tengil.
"Cih! Siapa yang ganteng?" Felica yang baru menghampiri pria itu setelah ganti baju dan mengambil tasnya tjba- tiba berdecih begitu mendengar Jayden bicara sendiri.
"Gue? Kenapa?" Jayden malah nyolot.
Felicia menepuk- nepuk dadanya berusaha sabar menghadapi junior yang unik seperti Jayden. Kalo bukan karena mengingat jasa adik tingkatnya itu yang selalu mengajaknya di setiap kelompok diskusi mau pun kelompok presentasi di kelas, ingin ia tendang pria ini jauh- jauh. "Udah ayo berangkat. Keburu sore. Ntar kampus sepi."
"Cieee takut kesepian. Tenang. Ada babang Jay." Jayden menepuk- nepuk dadanya dengan gaya angkuh.
"Babang Jay? Jijay sih iya!" Felicia langsung berjalan lebih dulu menuju halte bus. Jayden yang sibuk menggerutu itu pun akhirnya mengikuti dibelakangnya.
"Tadinya gue mau bawa mobil, tapi takut dikira sombong sama lo," ucap Jayden yang menyejajarkan langkah gadis jangkung disampingnya. Jika dilihat- lihat tinggi mereka hampir sama. Bahkan Felicia tingginya sama dengan telinganya. Padahal ia sendiri tingginya 180 sentimeter. Berarti Felicia termasuk tinggi untuk ukuran gadis Asia.
Felicia memutar bola matanya dengan malas ketika Jayden mulai meninggikan dirinya sendiri. Telinganya sudah terbiasa mendengar kata- kata sombong pria itu. Ia tau, Jayden hanya bercanda. Tepatnya ingin mencairkan suasana.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan bus transjakarta, mereka pun sampai tepat didepan pintu utama kampus yang memang menyatu dengan halte bus. Sebagai salah satu fasilitas untuk memudahkan perjalanan mahasiswa disini.
"Adem ya naek bus tadi," ucap Jayden lagi begitu turun dari bus dan menuju gerbang kampus.
"Jangan norak deh!"
"Maklum, biasa naik angkot gue."
"Bodo amat! Gue gak nanya!" Felicia jadi kesal sendiri mendengar kalimat- kalimat random dan gak penting yang Jayden ucapkan. Ia harap di perpustakaan nanti mulut pria itu mendadak tak bisa terbuka daripada mengganggunya. Padahal hanya di weekend seperti ini ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan karena ia selalu dapat shift pagi saat weekend. Sudah perjanjian sejak awal kontrak kerja.
Setelah sampai di gedung perpustakaan, Felicia mengabsen dirinya dan mengambil kunci loker. Ia pun meletakkan tasnya didalam loker setelah mengeluarkan laptopnya untuk mengerjakan tugas.
Sementara Jayden membawa setumpuk kertas beserta laptopnya juga lalu mengikuti Felicia masuk ke dalam ruang baca. Mereka memilih duduk lesehan di paling pojok. Karena paling adem dan deket wifi. Jelas jaringannya jadi kencang.
Felicia beranjak dari tempatnya untuk mencari beberapa buku referensi.
Perpustakaan ini cukup ramai, beberapa mahasiswa memang sengaja mengerjakan tugas atau jurnal disini, atau yang mengerjakan laporan kelompok dan laporan individu praktikum. Beberapa mungkin hanya sekedar menemani dan numpang wifi. Dengan alibi mengambil buku dari rak, dibuka, tapi pandangannya fokus ke hape.
Felicia mengambil beberapa buku referensi penelitiannya seperti buku toksikologi klinik, anatomi tubuh hewan dan tentang ekstrak tumbuhan yang akan diuji. Setelah dapat, ia kembali ke tempatnya.
Jayden masih sibuk dengan lembaran kertas yang dibawanya tadi." Gue udah bawa jurnal- jurnal yang berkaitan sama penelitian kita."
"Bagus deh. Jadi referensi kita banyak. Gue juga udah nyari jurnal sih tapi gak di prin."
"Eh iya kalo soal proposal kewirausahaan lo udah ada ide?" tanya Jayden yang teringat tugas lain yang sekelompok juga dengan Felicia.
"Baru gue mau omongin. Gue ada ide," ucap Felicia dengan santai. Ia pun mengeluarkan buku catatannya yang bergambar hati itu.
"Pfftt!" Jayden tidak bisa mengontrol tawanya. "Cewek banget buku lo."
Felicia menutup bukunya lagi dengan keras lalu melotot kearah Jayden dengan garang." Lo mau gue kasih tau gak idenya?! Atau gue bisa nyusun proposal ini sendiri," ucapnya penuh ancaman. Ia lupa pria didepannya selain jadi penyelamat dirinya saat butuh kelompok tapi juga pria yang menyebalkan.
Jayden mengontrol nafasnya. "Iya maaf. Yaelah gitu aja ngambek. Gak asik lo!"
Felicia berdecak sebal. Ia pun membuka buku catatannya kembali. Catatan ide yang ia kerjakan saat di sepertiga malam hari ini.
"Apa tuh?" Jayden tampak penasaran.
"Lipbalm dari buah naga merah. Keren kan? Sederhana tapi peminatnya banyak. Bahannya juga mudah didapet. Kemasannya kita pake jar aja jadi cara pakainya dioles pake jari ke bibir bukan yang pake kuas atau kayak lipstick."
"Buat cewek sih iya." Jayden mencibir.
"Terus ide lo apa?" Felicia kembali garang. Emang dasarnya seorang Jayden gak bisa dibaikin.
Jayden menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. Ia memang sudah mencoba mencari ide tapi belum ketemu yang unik dan sederhana. Meski hanya proposal kan harus diliat juga realisasinya nanti bagaimana. Apakah memang bisa dikerjakan mahasiswa atau malah menyulitkan untuk direalisasikan. "Yaudah ide lo aja."
"Serius? Tinggal cari bahan tambahan aja nih. Sama cara pembuatan. Urusan latar belakang sama teori mah gampang."
"Iya iya serah lo." Jayden mengibas-ngibaskan tangannya kemudian fokus dengan jurnalnya lagu.
Felicia mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Ia pun memasukkan kembali buku catatan ke dalam tas laptopnya kemudian mulai membaca buku yang ia ambil tadi. Beberapa materi yang ia perlukan di foto, tak lupa pustakanya. Karena ini yang penting. Suka dipertanyakan sama pembimbing kebenaran dari pustakanya. Makanya saat mencari jurnal pun harus yang sesuai. Biasanya jurnal yang sudah ada nomor ISSNnya yang dibolehkan.
Diam- diam Jayden memperhatikan Felicia yang tampak serius menyalin beberapa materi ke laptopnya, juga sibuk mengambil foto buku- buku itu dengan ponselnya. Ia tersenyum kecil.
Gue tau. Yang orang pikir tentang lo itu salah. Lo bahkan lebih giat dari mereka. Tindakan lo bener. Lo cukup fokus sama diri lo sendiri tanpa pusing mikirin kata orang.
"Lah? Jayden? Lo ngapain di sini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini."Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.
Felicia merenggangkan tangannya begitu selesai menyalin materi ke laptopnya dan beberapa yang belum ia rangkum, ia foto dengan ponselnya. Agar tidak perlu bolak- balik ke perpustakaan lagi. Apalagi kesempatannya ke perpustakaan dengan banyak waktu hanya di weekend. Gadis itu pun melirik pekerjaan Jayden yang sedang merangkum jurnal- jurnal yang telah pria itu prin."Udah selesai?" tanya Felicia sambil menutup laptopnya.
Felicia baru akan masuk kelas manajemen Farmasi ketika melihat sosok Jayden yang tengah berkumpul dengan para mahasiswi dan beberapa mahasiswa di belakang asik mengobrolkan sesuatu yang tak ia mengerti. Pria itu memang sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Tidak seperti dirinya yang lebih sering menarik diri dibanding mencoba berbaur. Felicia hanya lelah berpura- pura jika mereka menyukainya sebagai teman mengobrol. Padahal mereka suka membicarakannya dari belakang. Tentu ia tau dan memiliki telinga yang masih bekerja dengan baik. Meski hanya bisikan, tapi ia sering mendengar orang- orang yang membicarakannya. Terutama soal perkuliahannya.
Felicia melirik ponselnya yang bergetar di saku seragam kerjanya. Ternyata ia sudah dimasukkan ke grup penelitian oleh Jayden. Tampak ada beberapa anggota lain dalam grup selain Jayden dan Harumi, yang Felicia tebak adalah kelompok proyek pembuatan ekstrak. Karena untuk bagian kelompok Felicia adalah khusus farmakologinya. Agar tugas dan skripsinya tidak terlalu banyak yang dibahas. Juga untuk pengerjaan bisa lebih singkat dan cepat jika dikerjakan banyak orang. Lagipula katanya untuk ekstrak akan dibuat dalam jangka waktu satu bulan lagi. Sementara seminar proposal masih sekitar tiga bulan lagi. Jadi sambil menunggu seminar proposal, ia dan yang lain bisa membuat ekstraknya dulu. Setelah seminar proposal selesai, bisa dilanjut ke uji farmakologinya. Mungkin
Felicia duduk di kursi kosong lobby gedung laboratorium seperti biasa. Gadis itu sibuk dengan laptopnya, merevisi proposal yang sudah dicoret oleh bu Dinda kemarin dan mengirim proposal ke Bu Rahmi. Ia sengaja mengirim yang sudah direvisi lagi biar mengurangi kesalahan yang mungkin akan direvisi lagi oleh bu Rahmi. Bu Rahmi itu dosen fitokimia, biasa yang berhubungan dengan tanaman dan ekstrak. Sesuai skripsi Felicia dan kelompoknya.Saking seriusnya, Felicia tidak menyadari ada pria yang duduk didepannya dan menatap gadis itu
"Karena gue terlalu sibuk dengan dunia gue, gue sadar gue gak punya banyak uang kayak mahasiswa lain makanya gue perlu kerja keras. Orang yang gue pikir bisa menemani gue disaat- saat terendah hidup gue, nyatanya malah ninggalin gue. Dan sekarang dia balik lagi dengan muncul didepan gue. Padahal gue mulai melupakannya."Jayden masih sangat mengingat bagaimana ekspresi Felicia saat mengatakan soal masa lalunya, tepatnya alasan gadis itu akhirnya putus dari Ansel. Sebenarnya ia hanya bercanda soal Felicia yang seakan tak pantas
Setelah revisi dua kali dengan dua dosen yang sama, akhirnya proposal Felicia sudah sempurna. Ia sudah memeriksanya lagi mulai dari typo atau tanda baca yang salah juga format kepenulisan proposal penelitian sangat ia perhatikan. Demi menghindari adanya revisi lagi. Karena baik Bu Dinda maupun Bu Rahmi sangat teliti dengan tanda baca dan kesalahan penulisan. Entah mereka mungkin sudah terbiasa membimbing banyak mahasiswa jadi sudah hapal kesalahan- kesalahan dalam proposal.Berhubung masih pagi, Felicia segera ke tempat fotoko
"Mending lo abisin makanan lo cepetan. Kita mau ke Bu Dinda loh.""Santai. Doi juga ngajar kok hari ini. Pasti ada sampe siang." Jayden tampak santai mengunyah makanannya tidak seperti Felicia yang bahkan sudah menghabiskan semangkuk soto dan teh manisnya.
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.