Felicia melirik jam tangannya kemudian menghela nafas menyadari ini sudah tiga puluh menit ia menunggu didepan ruangan Bu Dinda yang berada di lantai dua laboratorium, dekat lab farmakologi. Karena bidang dosen itu memang tentang farmakologi. Beberapa mahasiswa lain yang tengah melakukan penelitian melewatinya dengan membawa berbagai alat dan hewan penelitian. Ada yang membawa organ- organ hewan, alat-alat dari gelas kaca mau pun sebuah baki berisi hewan penelitian yang masih hidup. Tentu baunya gak karuan. Felicia sampai mual. Padahal di lantai satu tidak terlalu tercium baunya tapi disini... astaga.
"Eh, Felicia ya?" Tanya dosen berkacamata dengan tubuh tinggi semampai itu. Dosen muda itu pun tersenyum pada Felicia yang duduk di kursi panjang depan lab farmakologi. Gadis itu langsung bangun dan menyalaminya." Maaf ya tadi makan siang dulu," ucapnya yang kemudian masuk ke ruangannya setelah membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya lebih dahulu." Ayo masuk."
"Baik, Bu." Agak canggung, Felicia memasuki ruangan sempit namun tampak nyaman itu. Ada satu set meja kerja dan bangku disana juga dua bangku lainnya didepan meja. Karpet kecil juga terdapat di sebelahnya, sepertinya biasa digunakan untuk sholat karena ada mukena dan sejadah disana. Beberapa buku dan skripsi yang telah di hard cover tertumpuk rapih di lemari kayu bertingkat.
"Silahkan duduk. Saya mau ambil dokumennya dulu." Ucap Bu Dinda mempersilahkan kemudian dosen muda itu menuju lemari kayu bertingkat, mengambil buku jurnal tebal disana. Ia kembali ke mejanya dan meletakkan buku jurnal didepan Felicia. " Kita tunggu dua orang lagi ya. Yang akan sekelompok sama kamu."
"Oh. Emang ada berapa orang, bu?" tanya Felicia, penasaran. Ia sih sudah menduga tidak akan sendirian mengerjakan proyek. Ia harap sih teman proyeknya nanti tidak masalah dengan dirinya yang sudah setahun molor kuliah.
"Sama kamu jadi tiga sih," jawab Bu Dinda sambil menatap ponselnya, membaca pesan disana." Eh tuh pada dateng."
Felicia melihat dua orang lagi masuk ke ruangan bu Dinda. Satu orang wanita dengan rambut digerai lurus warna hitam, juga kacamata yang bertengger di hidungnya semakin memperlihatkan keangkuhannya. Membuat Felicia menelan ludahnya sendiri dengan perasaan tidak enak. Tapi begitu satu mahasiswa lagi masuk, gadis itu langsung membuka mulutnya. Ingin bersuara tapi urung karena ada Bu Dinda disini.
"Bagus kalian udah dateng. Jadi kita bicarain soal penelitiannya ya. Saya udah siapin tiga judul," ucap bu Dinda yang kemudian membuka buku jurnal besarnya setelah tiga mahasiswa itu duduk didepan kursi mejanya.
Sekilas Felicia melirik kearah Jayden yang tampak serius walau kemudian pria itu melirik kearahnya juga dengan senyum meledek. Felicia ingin berdecih tapi ia urungkan lagi.
"Felic," panggil bu Dinda karena merasa mahasiswinya itu tak fokus." Kamu siap kan dengan judulnya?"
Felicia malah melirik Jayden yang lagi- lagi hanya mengedikkan bahunya.
"Kamu bagian uji toksisitas subakut tikus ya. Dan histopatologi hati," jelas bu Dinda lagi. Untung dia memang tipe dosen yang sabar walau terkadang juga tegas.
"Eh, iya bu. Saya siap," jawab Felicia dengan yakin. Kemudian gadis itu berpikir lagi. Tikus? What?
Jayden hanya geleng- geleng kepala di tempatnya melihat Felicia yang tampak sibuk sendiri.
"Jadi udah fix ya. Kalian akan pake hewan tikus dan sama- sama uji toksisitas. Kalo Jayden uji toksisitas subakut dan uji histopatologis ginjal. Felicia histopatologis hati. Dan Harumi, kamu bagian cek profil darahnya ya. Darah lengkap,"
Jadi namanya Harumi. Batin Felicia yang baru tau nama mahasiswi yang sekelompok dengannya itu. Tapi agaknya gadis itu memang angkuh. Buktinya dia sibuk sendiri aja. Jayden pun tak mengajak bicara. Pria itu malah sibuk mengkode dirinya dengan tatapan meledek.
Menyebalkan.
"Untuk pembuatan ekstrak kita akan mulai setelah seminar proposal. Jadi selama dua bulan ini kalian fokus aja ke seminar proposal ya. Dua bulan lagi jadwal pendaftaran sidang semprop. Kita harus kejar target. Apalagi kamu kan, Felic," ucap Bu Dinda sambil menatap Felicia penuh arti." Ini semester ke sepuluh kamu. Walaupun memang karena cuti kamu jadi terlambat lulus. Saya maunya kamu segera lulus biar menyusul teman- teman angkatanmu. Maksimal di semester sebelas InshaAllah kamu udah bisa lulus dan wisuda." Wanita yang baru menginjak umur tiga puluh tahun itu tersenyum tulus.
Ya. Tulus.
Felicia bisa membedakan mana senyuman tulus dan mana senyuman meremehkan. Toh Bu Dinda juga tau IPKnya dan pernah mengajarnya waktu semester awal. Memang hanya orang yang tau ceritanya sejak awal semester lah yang bisa mengerti kondisinya saat ini. Siapa sih yang mau lulus lama? Kalo gak ada hambatan?
Jika saja Ayah Felicia tidak mengalami kecelakaan lima tahun lalu, tentu ia tak akan mengalami hal seperti ini. Tapi namanya musibah, siapa yang bisa menebak dan mencegahnya? Mungkin memang sudah takdir Allah menjemput Ayahnya lebih dulu. Membuat ia dan Ibunya harus berpikir lebih keras dan bekerja tanpa mengenal waktu demi bertahan hidup. Karena saudara mereka pun tak peduli melihat kesengsaraan ia dan Ibunya. Felicia jadi enggan meminta bantuan orang lain. Meski itu saudaranya sekalipun. Ia lebih baik bekerja sendiri, dibanding menjadikan dirinya seperti pengemis saat meminta bantuan sanak saudaranya.
Ditambah Ibunya hanya anak dari panti asuhan, tak punya saudara satu pun. Hanya Ayahnya yang malah pergi lebih dulu. Sementara keluarga Ayahnya adalah keluarga terpandang. Yang sempat tak direstui pernikahannya.
Setelah membicarakan proyek dengan Bu Dinda, mereka bertiga pun keluar dari ruangan dosen muda itu.
"Jay, ke perpus yuk cari materi buat proposal penelitian." Sahut Harumi dengan nada sok ramah. Kenapa sok? Karena saat gadis itu menatap Felicia, ia seperti tak suka dengan keberadaan seniornya itu. Sepertinya dia anak konversi dari D3 yang melanjutkan jenjang ke S1.
Felicia tau dari pembicaraan dengan Bu Dinda tadi. Mungkin dia merass lebih tau segalanya karena anak konversi dan pernah melakukan penelitian untuk tugas akhirnya, makanya dia terlihat angkuh didepan Felicia yang semester tua tapi belum lulus.
"Eh, Felic. Ikut juga yuk sekalian kita ngerjain proposal kewirausahaan," ajak Jayden yang teringat tugas proposal dari bu Lastri.
"Oke deh tapi gue gak bisa lama- lama ya soalnya mau kerja part time," jawab Felicia antusias.
"Ya, terserah sih. Kalo lo nyari materinya lama ya proposal lo juga lama jadinya. Materi kita emang sama tapi Cuma di metode ya. Sisanya cari sendiri- sendiri di buku," sahut Harumi dengan nada ketus, membuat Felicia mengerutkan keningnya. Heran tiba- tiba diketusin sama anak konversi itu.
"Tenang aja. Gak harus dari buku kok. Bisa dari jurnal dan internet. Yang penting datanya valid," ucap Jayden seakan membela Felicia.
Harumi menipiskan bibirnya," Terserah kalian aja. Yang penting jangan sampe menghambat yang mau lulus cepet. Kalo lo kan ya udah keliatan lulusnya lama. Gue gak mau, apalagi Jayden yang cerdas dan mau lulus cepet. Ya kan?" ia menatap Jayden seakan minta pembelaan.
"Santai aja kali. Gue tau tanggung jawab gue kok. Toh gue lulus lama tapi IPK gue bagus. Daripada lo, udah konversi tapi udah hampir tiga tahun disini belum juga lulus," balas Felicia tak kalah tajam. Ia tau Harumi satu angkatan dengan Jayden hanya bedanya dia anak konversi dari D3.
"Beraninya lo..."
"Udah udah. Kita kan satu kelompok sekarang. Gak boleh cekcok gini. Gak baik." Jayden berusaha menengahi.
"Gue duluan aja ke perpus. Terserah kalian sih. Gue mau nyari materi dari buku aja biar skripsi gue bagus. Bukan asal- asalan buka google terus kayak pikiran kalian."
Jayden memundurkan dirinya dengan tatapan heran. Padahal Bu Dinda pun tak masalah mau cari data darimana asal valid dan bisa dipertanggung jawabkan saat sidang seminar proposal nanti.
Harumi segera berjalan dengan cepat menuju gedung perpustakaan yang berada di belakang gedung laboratorium tanpa menoleh lagi. Langkahnya pun terlihat angkuh.
"Dia kenapa sih?" Felicia tampak kesal.
"Biasa. Dikejar buru- buru lulus, soalnya udah ketuaan. Ngejar target nikah kali." Canda Jayden dengan tawa khasnya. Ia memang tidak terlalu ambil pusing.
Felicia berdecak sebal.
"Makanya lo mending diem aja gak usah ditanggepin. Kan keliatan cara orang pinter dan orang sok pinter kalo ngomong. Dia mah tipe sok pinter. Padahal mau lulus S1 udah ngabisin tujuh tahun. Lo baru lima tahun kan? Apa mau kayak dia?"
"Amit- amit." Balas Felicia dengan cepat. Lima tahun di kampus ini aja sudah cukup menyiksanya dengan pandangan buruk orang lain.
"Dia juga bisa dapet proyek ini karena mohon- mohon sama Bu Dinda kok. Padahal IPKnya gak sampe tiga." Jayden seperti mata- mata yang sedang melapor ke bosnya sekarang.
"Lo tukang ghibah ya?"
Jayden mengangkat tangannya," gue liat sendiri. Dan dia dulu tipe yang sambil kerja mulu makanya lama lulusnya. Per semester ambil SKS aja dikit. Giliran udah mau tahun ke empat gini baru deh sok mau lulus cepet. Padahal emang dia takut aja kali dapet surat peringatan dari kampus."
Felicia terdiam. Memang di kampus ini punya peraturan ketat untuk menuntut mahasiswanya lulus sebelum batas waktu. Biasanya dua belas semester. Kalo konversi biasanya delapan semester karena beban SKS lebih sedikit dibanding mahasiswa regular. Gadis itu pun jadi berpikir lagi tentang dirinya. Semoga di semester depan yang adalah semester ke sebelasnya di kampus ini, ia bisa segera sidang skripsi.
Usai bekerja di cafe, Felicia kembali ke rumahnya dengan menggunakan bus transjakarta yang kebetulan haltenya tak jauh dari lokasi cafe Matching Point. Cafe tempatnya bekerja setiap selesai jam kuliah.Felicia langsung masuk ke dalam bus yang membawanya menuju rumahnya. Lumayan jauh memang dari halte bus ke rumahnya, sekitar dua ratus meter. Tapi transportasi ini adalah yang termurah. Sehingga ia bisa irit ongkos.Sekitar 30 menit kemudian, Felicia sampai di halte bus terdekat dengan rumahnya. Ia pun turun dari sana dan keluar setelah tap kartu di pintu otomatis. Langkah kaki jenjangnya dengan santai berjalan menyusuri jalan besar lalu masuk ke sebuah gang. Tak jauh dari jalan masuk gang, di sebelah kanan terdapat gerbang kecil yang didalamnya sebuah bangunan kecil berdiri disana. Dengan dikelilingi pagar tanaman lalu beberapa pohon di sekelilingnya, seperti mengasingkan rumah itu dari keramaian. Walaupun rumah tetangga mereka cukup dekat, han
"Lah? Jayden? Lo ngapain disini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini. "Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.Felicia memutar bola matanya dengan malas, "gue serius. Gue mau balik nih mau ke kampus." "Ngapain? Kan sabtu sekarang." Jayden mengingat- ingat hari apa sekarang. Iya sabtu. Ia tak salah ingat. Tapi memang sih sabtu pun kampus tetap ramai. Ada beberapa mata kuliah dan beberapa praktikum yang membludak jadwalnya jika di weekday." Ke perpus. Ngerjain tugas proposal sama nyari materi penelitian," balas Felicia ogah- ogahan. "Yaudah yuk bareng gue." "Trus lo gak jadi pesen apa- apa
"Lah? Jayden? Lo ngapain di sini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini."Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.
Felicia merenggangkan tangannya begitu selesai menyalin materi ke laptopnya dan beberapa yang belum ia rangkum, ia foto dengan ponselnya. Agar tidak perlu bolak- balik ke perpustakaan lagi. Apalagi kesempatannya ke perpustakaan dengan banyak waktu hanya di weekend. Gadis itu pun melirik pekerjaan Jayden yang sedang merangkum jurnal- jurnal yang telah pria itu prin."Udah selesai?" tanya Felicia sambil menutup laptopnya.
Felicia baru akan masuk kelas manajemen Farmasi ketika melihat sosok Jayden yang tengah berkumpul dengan para mahasiswi dan beberapa mahasiswa di belakang asik mengobrolkan sesuatu yang tak ia mengerti. Pria itu memang sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Tidak seperti dirinya yang lebih sering menarik diri dibanding mencoba berbaur. Felicia hanya lelah berpura- pura jika mereka menyukainya sebagai teman mengobrol. Padahal mereka suka membicarakannya dari belakang. Tentu ia tau dan memiliki telinga yang masih bekerja dengan baik. Meski hanya bisikan, tapi ia sering mendengar orang- orang yang membicarakannya. Terutama soal perkuliahannya.
Felicia melirik ponselnya yang bergetar di saku seragam kerjanya. Ternyata ia sudah dimasukkan ke grup penelitian oleh Jayden. Tampak ada beberapa anggota lain dalam grup selain Jayden dan Harumi, yang Felicia tebak adalah kelompok proyek pembuatan ekstrak. Karena untuk bagian kelompok Felicia adalah khusus farmakologinya. Agar tugas dan skripsinya tidak terlalu banyak yang dibahas. Juga untuk pengerjaan bisa lebih singkat dan cepat jika dikerjakan banyak orang. Lagipula katanya untuk ekstrak akan dibuat dalam jangka waktu satu bulan lagi. Sementara seminar proposal masih sekitar tiga bulan lagi. Jadi sambil menunggu seminar proposal, ia dan yang lain bisa membuat ekstraknya dulu. Setelah seminar proposal selesai, bisa dilanjut ke uji farmakologinya. Mungkin
Felicia duduk di kursi kosong lobby gedung laboratorium seperti biasa. Gadis itu sibuk dengan laptopnya, merevisi proposal yang sudah dicoret oleh bu Dinda kemarin dan mengirim proposal ke Bu Rahmi. Ia sengaja mengirim yang sudah direvisi lagi biar mengurangi kesalahan yang mungkin akan direvisi lagi oleh bu Rahmi. Bu Rahmi itu dosen fitokimia, biasa yang berhubungan dengan tanaman dan ekstrak. Sesuai skripsi Felicia dan kelompoknya.Saking seriusnya, Felicia tidak menyadari ada pria yang duduk didepannya dan menatap gadis itu
"Karena gue terlalu sibuk dengan dunia gue, gue sadar gue gak punya banyak uang kayak mahasiswa lain makanya gue perlu kerja keras. Orang yang gue pikir bisa menemani gue disaat- saat terendah hidup gue, nyatanya malah ninggalin gue. Dan sekarang dia balik lagi dengan muncul didepan gue. Padahal gue mulai melupakannya."Jayden masih sangat mengingat bagaimana ekspresi Felicia saat mengatakan soal masa lalunya, tepatnya alasan gadis itu akhirnya putus dari Ansel. Sebenarnya ia hanya bercanda soal Felicia yang seakan tak pantas
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.