"Tuh kan bener." Gumam Felicia pelan saat melihat papan tulis didepannya yang sudah siap menulis kelompok-kelompok untuk membuat proposal wirausaha yang berkaitan dengam bidang farmasi.
Beberapa mahasiswa sudah menulis nama disana. Karena hanya proposal biasa tanpa di realisasikan, setiap kelompok hanya boleh berisi dua orang mahasiswa. Katanya sih biar semuanya kerja jadi gak ada tuh yang terima jadi atau asal bayar printannya.
Felicia menelan ludahnya sendiri, memperhatikan sekitarnya yang hampir semuanya sudah mengisi nama di papan tulis. Sekilas ia melihat Jayden meliriknya tapi tak ia gubris. Masa iya hampir semua mata kuliah yang ia ambil semenjak selesai cuti pertama kali harus selalu berhubungan dengan pria itu. Ya walaupun Jayden mahasiswa, tapi dia termasuk mahasiswa yang rajin. Tapi dia suka ngejar target banget jadi suka bikin Felicia merasa diburu-buru. Padahal Felicia tipe mahasiswi yang suka ngumpulin tugas ngepas ke deadline.
Selama satu kelompok dengan Jayden, Felicia selalu mengumpulkan tugas lebih awal. Entah ini kemajuan atau bukan.
Felicia pasrah jika ia memang harus sendirian menyusun proposalnya. Toh cuma proposal. Gampang. Ia merasa bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi begitu gadis itu melihat ke papan tulis lagi, namanya sudah ada disana tentu berdampingan dengan nama yang ia kira.
Jayden.
Felicia memicingkan matanya menatap kearah Jayden yang malah tersenyum lebar sambil menunjuk dengan jari telunjuk dan ibu jarinya kearah Felicia. Seakan pria itu memang sengaja melakukannya, membuat ia dan pria itu dalam kelompok yang sama lagi.
Tentu bukan tak ada maksud lain Jayden senang sekelompok dengan gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu. Karena ia tau Felicia mahasiswi yang rajin dan bertanggung jawab dengan tugasnya. Tidak seperti anak-anak lain yang suka mengabaikan atau terlalu santai dengan tugas. Walau Jayden harus ekstrak sabar menyuruh Felicia untuk mengerjakan tugasnya karena kesibukan gadis itu juga dia tipe yang ngerjain tugas pas mepet deadline. Oh tentu berbeda dengan Jayden. Ia tak suka diburu-buru saat menjelang deadline.
Felicia membuang nafas dengan kasar. Ia harap ini terakhir kali ia sekelompok dengan pria itu. Untungnya di mata kuliah lain tidak ada pembuatan kelompok semacam ini jika memang ia akan sekelas lagi dengan Jayden. Tapi entah kenapa Felicia merasa Jayden seakan mengikuti jadwal KRSnya. "Padahal gue gak suka screenshoot-screenshoot jadwal gue di sosmed. Dia tau darimana ya? Masa iya kebetulan?" Gadis itu jadi larut dalam pikirannya sendiri.
.......
Ternyata pikiran Felicia salah. Selain mata kuliah Manajemen Farmasi, semua jadwalnya dengan Jayden berbeda. Ia tau karena selama seminggu ini ia tidak bertemu pria itu dalam satu kelas. Bahkan pernah ia bertemu Jayden saat pria itu baru keluar dari kelas dengan mata kuliah sama tapi beda jam pelajaran.
Waktu itu Jayden hanya berkata," Yah kita gak sekelas. Jangan kangen sama gue ya." Ucap pria itu dengan pedenya. Bahkan tangannya terulur mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Tentu saat itu Felicia menjadi pusat perhatian disana. Apalagi Jayden termasuk tampan dan pintar. Buktinya di semester lima ini pria itu full mengambil mata kuliah semester akhir dan pengajuan skripsi juga. Sementara Felicia juga mengambil banyak matkul karena ketertinggalannya. Untungnya ini akan menjadi semester akhirnya untuk mengambil mata kuliah. Walau ia mati-matian belajar dengan keras demi mempertahankan IPKnya.
Yang membuat Felicia mengenal Jayden adalah waktu ia baru masuk dari cuti pertama kali. Saat itu Jayden masih semester dua sepertinya dan dia mengambil mata kuliah semester empat yang satu kelas dengan Felicia. Saat itu gadis itu sudah tahun ke tiga tapi masih ambil mata kuliah tahun kedua. Hanya Jayden yang berbaik hati menawarinya untuk sekelompok. Hingga di kelas- kelas lain jika bertemu dan satu kelas apalagi ada pembuatan kelompok, Jayden selalu mengajaknya.
Felicia memang harusnya lulus satu tahun yang lalu jika saja ia punya cukup biaya untuk kuliahnya. Tapi ia tidak menyesali ketertinggalannya. Masih bisa lulus saja sudah bersyukur.
Gadis itu tanpa sadar berjalan kearah gedung laboratorium demi mencari wifi untuk sekedar menghabiskan waktunya. Mata kuliah selanjutnya masih satu jam lagi. Dan untuk mahasiswi semester tua sepertinya ini sulit untuk beradaptasi apalagi dengan adik tingkat. Padahal dulu pas masih awal-awal kuliah, kumpul dengan teman seangkatannya di lobby laboratorium adalah favoritnya. Sambil streaming tentu saja karena wifi disini sangat kencang sinyalnya.
Felicia memilih kursi paling ujung yang kosong dan berada dekat tangga. Biasanya jarang ditempati karena tempatnya dipojokan dan banyak dilihat lalu lalang orang yang lewat tangga. Belum lagi bau-bau hewan penelitian seperti mencit dan tikus yang bangkainya dikubur di belakang gedung lab. Tak jauh dari tempat Felicia duduk sekarang.
"Ogah amat gue nanti ambil penelitian yang pake hewan gitu. Gak tahan baunya." Ucap Felicia kala itu. Ya walaupun nyatanya sekarang gadis itu bertahan di kursinya.
"Felic." Suara pria yang sangat Felicia kenal itu membuat gadis yang sedang mendengarkan lagu lewat headset menoleh.
"Ansel?" Kening Felicia berkerut. Menyadari salah satu teman seangkatannya masih berada di kampus ini. Padahal dia lulus satu tahun yang lalu. Bareng angkatannya yang lain. Kecuali Felicia tentu saja." Kok disini?" Padahal ia dan Ansel tak bertemu sejak terakhir kali memberikan pria itu bunga saat yudisiumnya. Bunga pertama dan terakhir yang Felicia berikan. Tepat setelah satu tahun mereka putus. Ya, Ansel adalah mantan kekasih Felicia.
"Iya. Aku kan laboran disini sekarang. Baru sih. Tadinya mau lanjut apoteker eh gak lolos. Jadi mau coba kerja sambil nunggu kelas baru dibuka." Jelas Ansel dengan senyuman seperti biasa. Senyum yang dulu sempat membuat Felicia terbang. Tapi sekarang biasa aja karena pria itu telah menyakitinya lebih dulu.
"Kenapa gak kerja di rumah sakit atau klinik?" Tanya Felicia yang tau gaji laboran disini tidak besar. Mungkin dibawah rata-rata.
"Gak ah. Kan sekalian memperdalam ilmu juga. Biar pas lanjut apoteker ilmunya udah masuk semua."
Felicia hanya mengangguk sok mengerti. Ansel aja gak lulus ujian masuk apoteker, padahal dia termasuk pintar. Apalagi dirinya nanti yang IPKnya lebih kecil dari Ansel? Gadis itu mendengus, toh ia tidak akan lanjut karena biaya kuliah apoteker itu sangat besar. Ia tak sanggup membayarnya. Mungkin beberapa tahun lagi. "Tapi kok semester kemarin gue gak liat lo disini?"
"Lo kan sibuk." Ucap Ansel dengan senyum penuh arti.
Sibuk.
Satu kata itu cukup meninggalkan rasa sesak pada rongga dada Felicia. Satu kata yang menjadi alasan Ansel meninggalkannya. Karena ia sibuk kerja part time dan mengejar ketertinggalan mata kuliahnya. Ia pikir Ansel bisa mengerti saat itu, ternyata tidak. Apalagi tak banyak ia dan Ansel berada di kelas yang sama. Semakin membuat Ansel tak memiliki waktu bersama Felicia.
"Oh iya ya. Gak ngeh. Gue fokus kuliah sih. Biasa. Semester tua." Felicia berusaha bersikap santai walau tatapan Ansel masih terasa mengintimidasinya. Entah kenapa Felicia merasa sangat bersalah dengan pria itu padahal Ansel lah yang memutuskan hubungan mereka lebih dulu. Tapi rasanya jadi ia yang mengkhianati pria itu duluan.
"Akhirnya ini semester akhir lo kan. Ngambil skripsi kapan?" Ansel mengalihkan pembicaraan.
"Semester depan kayaknya deh. Sekarang kan mau ngajuin proposal dulu. Terus penelitian."
"Oh iya. Ngomong-ngomong soal penelitian. Lo kan IPKnya bagus. Ikut proyek Bu Dinda aja. Lumayan penelitiannya dibiayain kampus." Ansel tiba-tiba teringat pesan Bu Dinda hari ini untuk mencarikannya mahasiswa yang mau mengerjakan proyeknya. Biasa dosen di kampus ini memang harus membuat proyek demi akreditasi kampus.
"Lo serius?" Felicia tampak sangat tertarik. Apalagi mendengar proyek penelitiannya akan dibiayai. Itu berarti ia tidak perlu bekerja terlalu keras demi mengumpulkan biaya penelitiannya sendiri.
Ansel mengangguk sambil tersenyum lebar. Senang karena telah memberi berita baik pada mantan pacarnya yang sebenarnya masih ia sukai ini." Kalo lo mau besok dateng aja ke ruangannya. Biar gue hubungin beliau."
Felicia mengangguk cepat, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini." Makasih infonya ya."
"Yaudah gue balik kerja dulu." Ucap Ansel yang langsung menaiki tangga, menuju ruang laboran.
Felicia tak sabar untuk hari esok. Akhirnya ia menemukan titik terang soal penelitiannya. Tanpa harus memikirkan judul maupun biaya.
Tanpa ia sadari seseorang telah memperhatikannya dari jauh, seseorang yang sudah memperhatikan gadis itu sejak pertama kali kuliah disini.
Felicia melirik jam tangannya kemudian menghela nafas menyadari ini sudah tiga puluh menit ia menunggu didepan ruangan Bu Dinda yang berada di lantai dua laboratorium, dekat lab farmakologi. Karena bidang dosen itu memang tentang farmakologi. Beberapa mahasiswa lain yang tengah melakukan penelitian melewatinya dengan membawa berbagai alat dan hewan penelitian. Ada yang membawa organ- organ hewan, alat-alat dari gelas kaca mau pun sebuah baki berisi hewan penelitian yang masih hidup. Tentu baunya gak karuan. Felicia sampai mual. Padahal di lantai satu tidak terlalu tercium baunya tapi disini... astaga."Eh, Felicia ya?" Tanya dosen berkacamata dengan tubuh tinggi semampai itu. Dosen muda itu pun tersenyum pada Felicia yang duduk di kursi panjang depan lab farmakologi. Gadis itu langsung bangun dan menyalaminya." Maaf ya tadi makan siang dulu," ucapnya yang kemudian masuk ke ruangannya setelah membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya lebih dahulu." Ayo
Usai bekerja di cafe, Felicia kembali ke rumahnya dengan menggunakan bus transjakarta yang kebetulan haltenya tak jauh dari lokasi cafe Matching Point. Cafe tempatnya bekerja setiap selesai jam kuliah.Felicia langsung masuk ke dalam bus yang membawanya menuju rumahnya. Lumayan jauh memang dari halte bus ke rumahnya, sekitar dua ratus meter. Tapi transportasi ini adalah yang termurah. Sehingga ia bisa irit ongkos.Sekitar 30 menit kemudian, Felicia sampai di halte bus terdekat dengan rumahnya. Ia pun turun dari sana dan keluar setelah tap kartu di pintu otomatis. Langkah kaki jenjangnya dengan santai berjalan menyusuri jalan besar lalu masuk ke sebuah gang. Tak jauh dari jalan masuk gang, di sebelah kanan terdapat gerbang kecil yang didalamnya sebuah bangunan kecil berdiri disana. Dengan dikelilingi pagar tanaman lalu beberapa pohon di sekelilingnya, seperti mengasingkan rumah itu dari keramaian. Walaupun rumah tetangga mereka cukup dekat, han
"Lah? Jayden? Lo ngapain disini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini. "Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.Felicia memutar bola matanya dengan malas, "gue serius. Gue mau balik nih mau ke kampus." "Ngapain? Kan sabtu sekarang." Jayden mengingat- ingat hari apa sekarang. Iya sabtu. Ia tak salah ingat. Tapi memang sih sabtu pun kampus tetap ramai. Ada beberapa mata kuliah dan beberapa praktikum yang membludak jadwalnya jika di weekday." Ke perpus. Ngerjain tugas proposal sama nyari materi penelitian," balas Felicia ogah- ogahan. "Yaudah yuk bareng gue." "Trus lo gak jadi pesen apa- apa
"Lah? Jayden? Lo ngapain di sini?" tanya Felicia dengan alis tertaut. Ia baru saja akan selesai shift kerja tapi tiba- tiba rekannya meminta tolong untuk melayani pelanggan yang baru datang karena dia sedang melayani pelanggan lain. Siang itu kafe memang cukup ramai. Apalagi di weekend seperti ini."Mau ngajak lo makan siang. Sini sini," Jayden malah menepuk- nepuk kursi kosong disampingnya.
Felicia merenggangkan tangannya begitu selesai menyalin materi ke laptopnya dan beberapa yang belum ia rangkum, ia foto dengan ponselnya. Agar tidak perlu bolak- balik ke perpustakaan lagi. Apalagi kesempatannya ke perpustakaan dengan banyak waktu hanya di weekend. Gadis itu pun melirik pekerjaan Jayden yang sedang merangkum jurnal- jurnal yang telah pria itu prin."Udah selesai?" tanya Felicia sambil menutup laptopnya.
Felicia baru akan masuk kelas manajemen Farmasi ketika melihat sosok Jayden yang tengah berkumpul dengan para mahasiswi dan beberapa mahasiswa di belakang asik mengobrolkan sesuatu yang tak ia mengerti. Pria itu memang sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Tidak seperti dirinya yang lebih sering menarik diri dibanding mencoba berbaur. Felicia hanya lelah berpura- pura jika mereka menyukainya sebagai teman mengobrol. Padahal mereka suka membicarakannya dari belakang. Tentu ia tau dan memiliki telinga yang masih bekerja dengan baik. Meski hanya bisikan, tapi ia sering mendengar orang- orang yang membicarakannya. Terutama soal perkuliahannya.
Felicia melirik ponselnya yang bergetar di saku seragam kerjanya. Ternyata ia sudah dimasukkan ke grup penelitian oleh Jayden. Tampak ada beberapa anggota lain dalam grup selain Jayden dan Harumi, yang Felicia tebak adalah kelompok proyek pembuatan ekstrak. Karena untuk bagian kelompok Felicia adalah khusus farmakologinya. Agar tugas dan skripsinya tidak terlalu banyak yang dibahas. Juga untuk pengerjaan bisa lebih singkat dan cepat jika dikerjakan banyak orang. Lagipula katanya untuk ekstrak akan dibuat dalam jangka waktu satu bulan lagi. Sementara seminar proposal masih sekitar tiga bulan lagi. Jadi sambil menunggu seminar proposal, ia dan yang lain bisa membuat ekstraknya dulu. Setelah seminar proposal selesai, bisa dilanjut ke uji farmakologinya. Mungkin
Felicia duduk di kursi kosong lobby gedung laboratorium seperti biasa. Gadis itu sibuk dengan laptopnya, merevisi proposal yang sudah dicoret oleh bu Dinda kemarin dan mengirim proposal ke Bu Rahmi. Ia sengaja mengirim yang sudah direvisi lagi biar mengurangi kesalahan yang mungkin akan direvisi lagi oleh bu Rahmi. Bu Rahmi itu dosen fitokimia, biasa yang berhubungan dengan tanaman dan ekstrak. Sesuai skripsi Felicia dan kelompoknya.Saking seriusnya, Felicia tidak menyadari ada pria yang duduk didepannya dan menatap gadis itu
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.