Langkah kakinya kembali berlanjut. Entah kenapa ia melangkah ke arah sana. Perasaannya membawanya pada sebuah luar ruangan yang tak begitu jauh dari ruangan sebelumnya."Aaarghhh!" rintih Amilie. "Semoga bisa berjalan dari sini, Theo pasti mencariku," ucapnya.Satu rintihan sebelumnya ternyata sampai terdengar ke telinga Theo yang baru saja melewati ruangan itu. Kakinya langsung berhenti dengan kepala yang ikut menoleh ke jendela. Jendela ruangan yang terbuka, membuat dirinya melihat sosok wanita yang sepertinya ia kenal. Kedua alisnya saling bertautan. "Amilie," gumamnya.Perlahan, ia membuka pintu ruangan itu dan langsung masuk ke dalamnya.Dokter yang melihat Theo masuk ke dalam sana pun langsung mengikuti. "Amilie?" ujarnya saat melihat sosok Amilie yang kini ada di hadapannya tersebut.Amilie mengangkat wajahnya, melihat suaminya yang tiba-tiba ada di sana. "Bagaimana mungkin kamu bisa menemukan aku di sini?" ucapnya.Theo mendekat dan terus melangkah untuk menghampiri Amilie.
Dengan wajah malas, Amilie hanya terdiam. Sebab, dirinya pun menyimpan sedikit kekesalan dalam benaknya tersebut."Aku mau pulang, Mas. Aku sudah tidak betah berada di sini. Emmhh! Di sini bau obat!" umpatnya sembari menutup hidung dengan jarinya."Tunggu saja sampai beberapa hari. Lagi pula, di rumah pun sama saja. Kamu hanya diam dan tidak melakukan apapun," balas Theo. Nada bicaranya langsung berubah, tidak semanis sebelumnya."Ya sudah, kalau begitu kamu pulang saja ke rumah. Apalagi aku tahu, kamu pasti banyak pekerjaan sekarang-sekarang ini," kata Amilie.Theo tidak menyahut, ia hanya menoleh sebentar dan kemudian duduk di sofa."Eh, aku mau keluar sebentar. Nanti kembali lagi," ujar Theo berpamitan.Setelah meminta izin kepada Amilie, ia pun melangkah keluar dari ruang rawat inap itu. Dirinya terus fokus melangkah.Amilie yang tidak tahu suaminya akan pergi ke mana, membuatnya langsung mengomel dalam hati."Baru saja aku bilang buat pulang, dia malah pergi. Ah ... Ya sudahlah,
"Sayang, kamu lapar, ya? Sini, aku bawakan makanan yang enak untukmu. Makanan kesukaanmu~!" ucap Theo tiba-tiba datang dengan membawa plastik putih yang tampaknya ada dua box makanan. Aromanya belum sampai ke hidung. Tetapi, Amilie melihatnya dengan antusias seolah sudah tahu apa yang dibawa oleh suaminya itu."Mas, kamu bawa makanan? Jadi, tadi itu ..." "Iya, aku pergi untuk membeli makanan. Kebetulan, aku juga belum makan dari tadi pagi. Jadi, aku beli saja sekalian sama kamu," lanjutnya.Amilie mendekat. Tetapi, Theo melarang. "Kamu cukup duduk cantik saja di kursi, biar aku yang menyiapkan semuanya untuk kamu," kata Theo.Begitu baiknya Theo pada Amilie. Amilie kembali memandang kagum suaminya. Walau dirinya masih berpikir apakah pernikahan ini akan bertahan lama. Sedangkan saja, sebelumnya niat Theo menikahinya hanya agar Stephen menyesal dan menyelamatkan dirinya dari bunuh diri. "Aku tidak menyangka kalau dia sampai memikirkan hal seperti ini. Aku pikir ... Ah, ternyata dia
"Kamu begitu yakin sekali, padahal kamu tidak melihatnya secara langsung," ledek Theo sembari mengaduk-aduk nasi yang diatasnya ada sambal goreng kecombrang. "Tapi aku mendengarnya tadi!" balas Amilie sembari membuka box nasi. Pertama kali dibuka, wanginya sudah mulai tercium dan menusuk hingga ke hidung. Wangi bawang goreng dan ayam pedas begitu menggugah lidah."Mas, kamu beli ini di mana? Wanginya sangat enak dan ... eeemhhh ..."Amilie mencium aromanya dengan mata terpejam, merasakan aroma yang begitu nikmat di hidung dan lidah."Sudah makan, sana. Aku tahu kamu lapar, mumpung tidak ada siapa-siapa," celetuk Theo sembari menyuap satu sendok. "Eh ada Stephen!" ujar Amilie sembari menoleh ke arah pintu.UHUUUK-UHUUUK! Theo langsung tersedak. Ia mencari air yang ada di dekatnya. Amilie yang melihat hal itu pun malah tertawa cekikikan.Ia menoleh ke arah istrinya yang malah menertawainya itu. "Omonganku malah kamu anggap serius, jadinya malah tersedak, 'kan!""Cepat ambilkan aku
"Iya, Mas."Lalu, Amilie melanjutkan makan kembali. Karena lapar, ia menyantap semua makanan dalam box itu dengan lahap. Bahkan, sayuran selada yang biasanya ia abaikan, untuk kali ini ia telan habis.Seusai makan, Amilie pun membereskan semuanya. Tetapi, Theo menghentikan tangan Amilie yang tengah beres-beres."Kamu diam saja, biar aku yang melakukannya.""Tidak usah, Mas. Aku juga sudah bisa banyak bergerak.""Tidak boleh! Aku tidak mau melihatmu begitu."Keduanya terus saja begitu sampai ponsel berdering. Perdebatan itu pun antara terjeda dan berhenti. Keduanya saling menatap satu sama lain.Theo mengambil ponsel miliknya, ia melihatnya sebentar dan mematikannya.Sanjaya yang kini berada di kantor pun menjadi kesal. Ia kembali menghubungi anak pertamanya, tetapi tak lagi dijawab."Heh! Anak itu benar-benar ...!"Lantas, Sanjaya pun menghubungi Stephen. Saat itu, Stephen baru meluncur pergi ke kantor. Karena, beberapa hari ini ia selalu keluar kantor sebelum semua pekerjaannya se
"Mungkin saja 'kan, Pa. Emm ... Ya sudah, kalau begitu aku permisi," ucap Stephen sembari bergegas pergi.Tetapi, kemudian Sanjaya menahannya. "Kamu mau pergi ke mana lagi? Kerjaan di kantor masih banyak!""M-mmaksudnya mau pergi ke ruangan aku, Pa. Gitu. Boleh 'kan, Pa?" "Tidak boleh. Kamu di sini dulu, Papa belum selesai bicara sama kamu!""Iya, Pa."Stephen pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui dokter itu. Tetapi, di samping itu ia juga merasa pusing dengan pekerjaan yang ada di kantor ini.Seeettt! Tap ... Tap ... Tap ..."Sepertinya aku mendengar suara orang lewat," gumam Stephen. Lalu, menoleh ke arah pintu.Sanjaya pun mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu. Namun, setelah ia membukanya ... Ternyata tidak ada siapapun di sana."Pa, Papa juga dengar suara langkah kaki?" tanya Stephen."Benar. Mungkin karyawan yang lewat," sahutnya.Kemudian, Sanjaya kembali duduk di kursi untuk melanjutkan obrolan yang tadi.*** Di tempat lain, Amanda yang
"Kamu yakin tidak mau memberitahu mereka tentang keadaan kamu sekarang ini?" tanya Theo seraya menatap wajah Amilie.Walaupun sebelumnya sempat marahan, tetapi untungnya hal itu tidak bertahan lagi.Ketika menuju sore harinya, mereka kembali baikan dan berbicara seperti biasa lagi."Tidak usah, Mas. Kalau mereka khawatir dan peduli, mereka pasti bertanya. Aku yakin, tidak sulit bagi mereka untuk mengetahuinya.""Tapi, kalau tidak kamu beritahu, mana mungkin mereka bisa tahu."Amilie menghela nafas dalam-dalam. "Jangan, Mas. Lebih baik mereka tidak usah tahu saja. Aku juga tidak mau mengundang Stephen yang malah datang tiba-tiba dan modus ingin menjengukku. Padahal ..."Mendengar ucapan Amilie, itu membuat Theo pasrah. Dirinya tidak mau memaksakan kehendak lagi, ia juga tidak akan menyarankan lagi. Sebab, ia sudah tahu bagaimana jawabannya."Baiklah, kalau begitu sekarang kamu istirahat saja.""Tapi, bagaimana dengan kamu, Mas?" tanya Amilie. Theo yang baru mengingat sesuatu pun lan
"Omong-omong, bagaimana keadaan Papa, Ma?" tanya Amilie.Obrolan itu masih berlanjut. Tetapi, perasaannya sudah tidak lagi sama."Papa, baik. Sesekali kamu jangan sungkan untuk berkunjung ke sini, biar kamu bisa melihat sendiri kondisi Papa kamu sekarang.""Iya, Ma. Lain kali aku akan datang ke sana. Ya sudah, kalau begitu aku sudahi dulu teleponnya," kata Amilie. Panggilan suara pun berakhir. Amilie menaruh ponselnya kembali, tetapi pandangannya terus mengarah kepada Theo."Amilie, kamu kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu? Atau, ada ucapan yang menyakiti hatimu?" "Mas, pintu rumah tidak dikunci? Sebelum ke sini kamu tidak menguncinya sama sekali?" tanya Amilie dengan serius."Aku mengunci--...."Theo tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, begitu dirinya teringat pada David. "Yang terakhir keluar dari rumah itu David."Mas, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke sana! Kita bahkan tidak tahu, apa yang akan orang jahat itu lakukan. Aku khawatir sekali, karena di
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,