Part 01 - Accident
Desing suara knalpot motor melaju cepat di jalanan lenggang itu. Decitan dari ban yang beradu dengan aspal terdengar melengking hingga ke ujung jalan saat si pengendara bertubuh mungil itu melintasi tikungan jalan.
Luna mengingat kembali bayangan sebelum dirinya mendadak pergi dari apartemen.
Wanita bersurai coklat itu mendekati pintu balkon di mana sang kekasih tengah melakukan panggilan telepon. Suara pria dengan logat latin itu terdengar menyebutkan sebuah transaksi tentang mencelakai seseorang.
Bukan hanya itu, Luna juga mendengar sebuah jalan yang diduga menjadi tempat terjadinya tragedi. Dirinya semakin terkejut ketika membaca pesan dari sang kakak mengatakan sudah berada di jalan yang sama dengan perkataan Valerio dalam panggilannya.
“Baiklah, aku akan ke sana dalam waktu tiga puluh menit. Setelah memastikan kecelakaan itu terjadi, bayaranmu akan aku kirimkan.” Suara Valerio mengakhiri panggilannya.
Luna bergegas sambil menghubungi kakaknya. Beberapa kali nada dering terdengar, tetapi tak mendapat jawaban. Dia terus mendial ulang panggilan itu. Sambil menyalakan kendaraannya ia segera meluncur, tentunya setelah ia menyelipkan benda pipih itu di samping helm yang ia kenakan.
Hingga ketika di pertengahan jalan sambungan itu terjawab, tetapi baru saja kakaknya menyapanya seketika suara teriakan terdengar memekik kuat dan benturan mobil terdengar kencang.
“Alona, apa yang terjadi?!” pekik Luna. Setelah mendengar decitan ban dan jeritan dari ujung sambungan itu, serta suara gaduh tabrakan kencang memekakan telinganya.
“Alona, jawab aku,” lirih Luna. Mempercepat lajunya agar segera tiba di tempat kejadian.
Kini hanya erang kesakitan yang terdengar dari panggilan itu, diiringi jerit tangis yang diduga Luna adalah suara Grace. Perlahan matanya mulai memanas merasakan cairan bening berkumpul di pelupuk matanya.
“Graceline,” lirih Luna memanggil, walau tahu tak akan ada jawaban.
Oh, ya Tuhan. Kumohon lindungilah mereka, harap Luna dalam hati. Seketika merasa sesak akibat menahan tangis yang tak diizinkannya keluar agar ia tetap bisa fokus mengendarai motor itu.
Sampai beberapa menit kemudian dirinya tiba dan tercengang dengan apa yang terjadi. Luna menghentikan kendaraan beroda dua itu dan meraih ponsel serta membuka helm lalu membuangnya sembarangan. Dengan sigap ia menghubungi ambulans dan polantas melaporkan kecelakaan yang terjadi di hadapannya.
Kedua kakinya terus melangkah mendekat pada dua mobil pribadi, dan satu truk pengangkut barang, juga sebuah minibus yang menutupi jalan tersebut. Luna mengenali satu mobil yang dalam posisi terbalik. Mendadak jantungnya sempat berhenti sedetik kemudian berdetak kencang, tatkala nomor plat yang dikenalnya benar milik Alona yakni sang kakak.
Langkahnya mulai melambat begitu ia melihat langsung penghuni di dalam mobil itu, dalam sekejap kedua kakinya terasa lemas dan aliran panas di matanya mulai mengalir. Dirinya tak dapat menahan lebih lama lagi. Air bening itu tumpah ruah membasahi pipinya saat Luna mendekat ke hadapan mobil yang terhimpit pembatas jalan dan limosin hitam di sisi satu lagi.
“Alona,” lirihnya. Menatap kondisi sang kakak dan iparnya di dalam mobil dengan keadaan tak sadarkan diri.
Samar-samar Luna mendengar suara tangis kecil dari dalam mobil.
“Grace?! Oh, ya Tuhan. Tenanglah. Aunty akan membantumu keluar,” tekad Luna mulai panik. Ketika mendapati keponakannya masih selamat dan belum terlepas dari kursinya di dekat sisi pintu dekat pembatas jalan dalam kondisi ketakutan dan terus menangis.
Luna mencari cara dan memerhatikan mobil tersebut dari segala sisi. Posisi mobil yang terhimpit, menyulitkannya untuk membuka kedua pintu mobil.
Lantas ia bergegas mencari celah untuk menaiki kemudi limosin dengan menggeser sang supir yang sudah tak sadarkan diri, terlihat darah segar yang mengalir dari kepala hingga menutupi wajah pria itu. Luna mencoba berkali-kali menyalakan kendaraan panjang itu. Akan tetapi, belum juga berhasil.
“Oh, Jesus christ! C’mon!” Luna berseru mengharapkan keajaiban diberikan Sang Pencipta.
Sampai beberapa detik kemudian usahanya untuk membuat mesin itu menyala berhasil. “Yes, Thank God!” ucap Luna bersyukur, dengan segera ia bergegas memundurkan kendaraan itu sedikit agar mobil sang kakak memiliki ruang untuk membuka pintu dan bisa mengeluarkan Grace.
Luna mengeluarkan sang kakak dan iparnya yang dalam posisi terbalik dengan melepaskan seat belt mereka masing-masing, lalu ia berusaha menenangkan Grace yang terus menangis melihat keadaan orang tuanya.
“It’s okay, Grace. I'm here,” lirih Luna.
Tangisan Grace membuat Luna juga tak dapat berhenti meneteskan air matanya. Ia berusaha menenangkan, tetapi dirinya juga tak kuat meratapi tubuh tak bernyawa itu. Gejolak di dadanya terasa menyesakkan setelah mengecek keadaan nadi keduanya yang tak lagi berdenyut. Luna hanya bisa memeluk Grace dengan erat dan menangis dalam diam yang menyiksanya seperti tercekik.
Hingga saat Luna dan Grace tengah terlarut dalam tangis, samar-samar mereka mendengar suara meminta tolong.
“Tolong, siapa pun …. Tolong kami,” rintihan itu terdengar semakin lemah. Memaksa Luna mengajak Grace untuk melihat siapa kiranya yang meminta tolong.
***
"Enough, Mom!" seruan yang keluar dari mulut Axel mengejutkan kedua orang tuanya.
Hal tersebut membuat suasana di dalam limosin hitam yang ditumpanginya berubah dingin. Bak hakim yang sedang berada di ruang sidang, orang tua Axel memegang sejumlah dokumen di tangan mereka, menggunakannya untuk menghakimi pemuda itu. Isi dokumen tersebut tak lain merupakan informasi mengenai para wanita yang ingin dijodohkan dengan Axel.
"Axeleon! Beraninya kau membentak ibumu!" hardik sang ayah.
Axel menghela napas dan memilih membuang tatapannya. Ketiganya kini tengah dalam perjalanan untuk menghadiri jamuan makan malam dari rekan bisnis yang hendak menjalin kerja sama, sekaligus untuk memperkenalkan Axel pada putri rekan bisnisnya itu.
"Berapa kali harus kukatakan. Aku tak ingin dan tak akan mau dijodohkan. Bukankah kalian juga tahu, bahwa aku sudah memiliki kekasih?"
"Justru karena ayahmu tahu dan mengenal keluarga dari kekasihmu itu, Axel. Kami bertindak cepat agar kau berhenti bermain dengan wanita itu!" Balasan sang ibu membuat Axel semakin memanas dan hendak kembali menyanggah ucapan tersebut.
Namun, seketika kedua orang tuanya terlempar ke hadapannya akibat guncangan dari tabrakan yang terjadi secara tiba-tiba.
"Mom, Dad!" seru Axel.
Pria itu baru saja mengangkat sang ibu dari pangkuannya dan melihat keadaan wanita paruh baya itu. Sialnya dari samping mobil, tepatnya di hadapan tempat Axel duduk. Ia mendengar suara klakson dari sebuah bus.
"Philipe, get out of the way!" perintahnya lantang.
Mengingat pembatas tempatnya dengan pengemudi tertutup kaca—walau kaca itu terlihat telah hancur dan menyebabkan kepingan beling itu menusuk ke tubuh Ayah dan Ibunya.
Nahas, seketika hantaman dari bus di samping limosinnya kembali menabrak sisi kirinya yakni tepat dari hadapannya yang duduk menyamping. Sehingga limosin hitam itu terdorong kembali menabrak sebuah sedan putih yang telah terjungkal dan menyeret mereka ke pembatas jalan.
Hal tersebut semakin memperparah keadaan di dalamnya, membuat Axel menunduk lantaran jok di sebrangnya menghajar kakinya hingga terjepit, dan serpihan kaca jendela menusuk ke dada serta dari belakang juga mengenai punggungnya yang mengakibatkan cairan merah mengalir membasahi tubuhnya. Di sisi kirinya terdapat sang ayah yang sudah tak bergerak dengan darah bersimba memenuhi seluruh wajah paruh baya itu. Sementara sang ibu berada di sisi kanannya dengan kondisi yang sama mengenaskannya.
“Mom, Dad, sadarlah,” lirih Axel. Suaranya begitu berat menahan rasa sesak dan sakit di sekujur tubuhnya.
Axel berusaha untuk tetap sadar dan meraih kedua orang tuanya sebisa jangkauan tangannya. Ia menyentuh mereka sambil terus mengharapkan keduanya dapat tersadar, setidaknya sampai bantuan datang untuk memberikan pertolongan. Sedangkan kondisinya saat ini begitu tersiksa, keadaan kakinya yang terjebak pada jok mobil itu.
“Argh! Damn!” erangan disertai umpatan kembali terlontar saat ia mencoba untuk mengeluarkannya dari himpitan tersebut. Rasa ngilu begitu menusuk hingga ke tulang.
Dirinya menatap dari celah pembatas ke arah pengemudi. Terlihat Philipe juga tak berkutik dengan kepala di atas kemudi. Cukup lama dirinya memerhatikan sekitar menjaga kesadarannya tetap ada. Suasana gelap di jalan itu tampak tak ada pengendara yang melintas. Karena memang jalan tersebut hanya dilalui oleh penghuni perumahan baru yang menjadi tempat pertemuan Axel dengan rekan bisnis yang mengundang jamuan makan di rumah baru mereka.
Ya, Tuhan. Bagaimana bisa ini terjadi? keluhnya dalam hati. Menyayangkan hal ini terjadi hanya demi kesepakatan bisnis.
Beberapa menit ia menunggu bantuan datang, hingga dirinya sempat terpejam setelah lelah menahan rasa sakit. Sampai suara mesin limosinnya terdengar berusaha dinyalakan berkali-kali dan berhasil. Kemudian kendaraan itu bergerak mundur. Axel membuka matanya dan mengintip sekilas siluet dari pembatas tempatnya ke posisi pengemudi. Menunjukkan sebuah sosok wanita dengan rambut gelombang terikat menjadi satu.
Axel baru saja hendak memanggil. Namun, wanita itu bergegas keluar dan meninggalkannya. Memaksa Axel yang masih ingin bertahan hidup menoleh ke belakang pada jendela kaca yang telah hancur. Dirinya melihat apa yang tengah dilakukan wanita itu pada mobil yang bertahan oleh besi pembatas jalan.
“Tolong, siapa pun …. Tolong kami.” Dengan bibir yang bergetar, Axel berusaha memanggil dan meminta tolong agar dirinya dikeluarkan juga dari sana.
Sialnya, ia tak mempunyai cukup tenaga untuk berteriak lebih kencang. Dirinya hanya bisa mengeluarkan suara kecil dan lirih akibat rasa sakit yang menusuk dadanya tadi, bahkan kini cairan merah keluar dari mulutnya.
Kumohon, siapapun kau …, semoga kau mendengarku. Axel berharap dalam hati melirik kedua orang tuanya bergantian. Mom, Dad. Bangunlah, kalian harus selamat, kumohon. Tetaplah bertahan. Dia kembali berharap dalam hatinya.
"Tuan, kau baik-baik saja?!" pekik suara wanita berpakaian serba hitam itu.
Axel menatap samar wanita itu, melihat aliran darah yang keluar dari mulutnya. Ia hanya bisa mengangguk lemah, dan mengusap kedua tangan orang tuanya yang sejak tadi ia genggam.
“Bertahanlah, aku akan membantumu keluar,” ujar lagi wanita itu dengan wajah paniknya yang samar, tersorot cahaya remang dari lampu jalan.
Wanita itu terlihat cekatan menyingkirkan jok yang menindih kakinya, hingga seketika erangan terdengar saat jok itu berhasil disingkirkan. Lalu wanita itu hendak membantunya melihat kondisi kakinya, akan tetapi Axel menggeleng.
“Tolong selamatkan kedua orang tuaku lebih dulu, kumohon,” lirihnya pelan. Kesadarannya semakin menipis, ia memejamkan mata walau masih bisa mendengar apa yang diucapkan wanita itu.
“Ambulans akan segera datang, Tuan. Jadi bertahanlah sebentar lagi.” Wanita itu hanya bisa meyakinkan hal tersebut.
Dirinya sudah melihat kedua paruh baya di samping pria tersebut sudah tak bergerak, dan nadinya tak lagi berdenyut. Sama halnya dengan keluarganya. Ia hanya mencoba menolong yang masih bisa tertolong. Hingga suara sirine dari ambulans terdengar mendekat. Beberapa kendaraan lain yang sesekali melintasi jalan itu, kini mulai berdatangan hingga menyebabkan kemacetan akibat kecelakaan tersebut.
Wanita itu yang tak lain adalah Luna, bergegas keluar dan memanggil petugas yang baru saja tiba dan hendak melakukan pertolongan.
“Para petugas! Di sini masih ada yang bisa diselamatkan!" Teriakan suara itu masih samar terdengar oleh Axel.
Walau beberapa suara bising keramaian orang yang mengalami kepadatan kendaraan mulai meramaikan suasana yang tadinya terasa sunyi. Kini setelah Luna meminta pertolongan untuk membantu Axel beserta tiga orang lain yang berada di mobil itu, dirinya memilih mundur dan kembali pada Grace.
Namun, suasana ramai itu tetap tak mengganggu pendengaran Axel akan suara Luna yang tengah mengatakan keluarganya yang juga terkena imbas dari tabrakan tersebut. Axel hanya mendengar suara lantang itu dengan jelas tanpa mendengar keributan lain. Dia memaksakan matanya untuk terbuka walau terasa berat. Memastikan kedua orang tuanya telah diselamatkan lebih dulu. Menyisakan dirinya yang menangkap sosok Luna semakin menjauh.
Bibirnya hendak mengucapkan terima kasih. Namun, pandangannya sungguh semakin kabur. Axel hanya bisa menatap punggung berbalut jaket kulit hitam yang dikenakan wanita itu, menunjukan sebuah lambang sindikat tertentu yang tercetak di punggung tersebut.
Disaat yang bersamaan gambaran tersebut menghilang lantaran dirinya telah dimasukan ke mobil ambulans. Axeleon masih bisa merasakan setiap alat penunjang kehidupan dipasangkan pada tubuhnya disertai suara paramedis yang bertindak melakukan pertolongan pertama pada dirinya.
Whoever you are …. Thank you, for saving me and my parents. Hanya di dalam hati dirinya dapat berucap terima kasih.
Perlahan gelap mengambil penglihatan Axel dan suara melengking mendominasi seluruh indera pendengarannya. Kesadarannya benar-benar telah menghilang. Pria itu tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
**
Haii selamat datang bagi pembaca yang menunggu karya terbaruku, ini adalah yang terbaru dariku. silakan klik tanda + untuk ditambahkan ke daftar bacaan kalian. Well , karena ini baru, jadi akan menjadi ongoing di sini, yeay!!! semoga suka yaa. with love, N.J
Part 02 - PlanDante's Hospital • 10.00 AMPintu ruangan VVIP mendadak dibuka, menunjukkan seseorang yang baru saja terbangun setelah beberapa hari pasca operasi, pasien tersebut tak juga tersadar. Alat penunjang kehidupan tampak berserakan di lantai, membuat beberapa petugas kewalahan merapikan dan hendak kembali memasangkan kepada pemiliknya.Namun, dengan keras pria itu menolaknya kasar dan kembali mengancam akan memecat semua petugas yang berani memasangkan infus ke punggung tangannya. Kehadiran pria yang sejak tadi tergesa menuju ruangan itu, membantu para perawat merapikan sisa infus dan membiarkannya di sana atas perintahnya."Terima kasih, biar aku yang mengurusnya," ujar pria ramah tersebut, berbanding jauh dengan si pasien.Axeleon El Dante menatap tajam
Part 03 - Finding HimSetelah pertemuan tak disengaja yang terjadi antara Damian dengan seseorang yang dikenalnya, membuat Luna memiliki waktu untuk menelisik wajah pria di kursi roda itu selama beberapa menit. Luna meyakini bahwa pria itu adalah benar orang yang ia tolong saat kecelakaan malam nahas itu.Seusai percakapan basa basi yang dilakukan Damian dengan teman lamanya bernama Roberto. Luna segera mengatakannya pada Damian. Di parkiran mobil saat Damian hendak pergi, Luna mengungkapkan ingatannya akan sosok pria itu."Kau yakin dia orangnya?" tanya Damian untuk kedua kalinya."Ya, Dam. Aku sangat yakin dia orangnya," jawab Luna menegaskan.Damian tampak berpikir dalam diam. Membuat Luna berharap cemas menunggu tanggapan lain selain pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.Pandangan dari sorot setajam elang itu menatap Luna yang menunjukkan keyakinan pada ucapan akan ingatannya malam itu. Hingga pria itu akhirnya membuka suaranya.
Part 04 - The truth Satu bulan kemudian. Sepulangnya Axel ke mansion yang terletak di bagian barat Italia, menjadi kabar besar bagi seluruh pelayannya di mansion. Setelah dirinya sempat menunda kepulangannya karena memilih menjalani perawatan agar dirinya bisa segera berjalan normal, walau ternyata semua tak semudah dipikirkannya. Dirinya yang tak tahan dan merindukan tempat yang memiliki banyak kenangan bersama kedua orang tuanya di mansion, membuatnya memutuskan kembali. Namun, saat ini dirinya tetap masih harus menggunakan kursi roda untuk bergerak, ia tetap bersyukur dan menatap bangunan luas di hadapannya dengan tatapan sendu mengingat kedua orang tuanya yang tiada, walau semua itu tertutupi dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Aroma daun di sekitar pekarangannya seolah menyambut kedatangan sang pemilik tun
Part 05 - Rejected Keesokan paginya Luna bergegas mengendarai sepeda motornya menuju kediaman Dante. Setelah semalam dirinya mendapat kabar yang sejak lama ia tunggu, akhirnya usahanya kini mendapatkan titik terang. Luna yakin kiriman bunganya ke mansion telah dilihat oleh targetnya yaitu Axel. Kini dengan persiapan matang, dirinya siap untuk masuk ke dunia Axel. Melalui pengawalannya, dia bisa dengan mudah mencari tahu siapa saja musuh yang ingin melenyapkan Axel dan dapat ia lakukan rencana untuk membalaskan dendam kematian sang kakak yang masih belum bisa ia terima begitu saja. Luna menghentikan kendaraan beroda dua itu dengan mengikuti arahan dari penjaga gerbang Dante's mansion. Lalu dirinya mendapat sambutan hangat dari Roberto yang memang sudah menunggunya. Wanita bersurai coklat gelombang itu tiba tepat waktu, hal tersebut men
Part 06 - First Day Luna mengendarai motor besarnya menuju Dante's mansion. Di hari pertamanya bekerja, dirinya tak ingin terlambat demi menunjukkan sikap profesionalnya sebagai bodyguard. Luna mengingat kembali kejadian kemarin. Setelah pagi hari mendapat penolakan langsung, pada malam harinya Luna melakukan sesuatu yang membuat Axel menerimanya menjadi pengawal. Tentunya semua itu memang sengaja dilakukan Luna yang kembali memohon pada Damian untuk membantunya membuat Axel berada dalam bahaya yang dibuat-buat lalu Luna datang dan menjadikan nilai plus pada dirinya di mata Axel. Cara klasik yang sering digunakan Luna dan Damian saat ingin mengerjai kakek mereka ketika bertambah umur. Sehingga kini di sinilah Luna berada, memarkirkan sepeda motornya. Di halaman belakang Dante's mansion yang tersedia garasi untuk meletakan seluruh kendaraan milik Axel dan para pelayannya. Ia membuka helm dan seketika ram
Part 07 - Awkward Setibanya di kamar, Axel beranjak dari kursi roda. Dia mendengkus kesal, lantaran tingkah Luna di hari pertama bekerja membuatnya geram. Mengganti celana bukan hal sulit bagi Axel yang sebenarnya sudah bisa berjalan, tetapi waktunya jadi terbuang untuk memulai pekerjaannya. Sudah dikatakan bahwa Axel adalah pria perfectionis dalam segala hal termasuk berpenampilan. "Dasar wanita gila! Bagaimana bisa aksi heroiknya semalam berbanding terbalik dengan tingkahnya pagi ini!" Axel merutuk lagi. Ia kembali mengingat wajah panik Luna dari jarak sedekat tadi. "Oh, ya ampun! Maafkan aku, Tuan." "Tuan, kau baik-baik saja?!" Sontak jantung Axel berdetak kuat dalam satu detik. Seketika itu juga ia memejamkan matanya saat suara dan bayangan w
Part 08 - You're welcome Setelah satu harian mengawal Axel tanpa kendala lain, Luna akhirnya bisa pulang kembali ke apartemennya. Tubuhnya cukup lelah harus berdiri selama beberapa jam, demi tetap siaga menjaga sekitar tempat pertemuan Axel dengan beberapa kliennya. Dengan malas Luna mengenakan helmnya dan hendak menaiki motornya, tetapi seketika penutup helm Luna diturunkan oleh seseorang dari belakang. Lantas dengan cekatan, wanita tangguh itu meraih tangan itu dan hendak melakukan gerakan perlindungan. Sayangnya orang tersebut lebih dulu menghindar sebelum Luna sempat memelintir pergelangan tangan itu. “Wow! Tenang Luna. Ini aku." Roberto membuka penutup helmnya. Begitu juga dengan Luna yang membuka penutup helmnya, ia terkejut mendapati Roberto yang juga sudah mengenakan helm dan jake
Part 09 - Sadden Beberapa hari kemudian… Keseharian Axel berjalan normal seperti saat dia bisa berjalan sendiri. Memimpin perusahaan seperti biasa, melakukan meeting dengan beberapa klien dan berkumpul bersama rekan bisnis. Setelah memenangkan proyek dengan membuka satu lounge di Dante's hotel untuk merayakan keberhasilannya hari itu. Bukan tanpa sebab juga Axel mau melakukan semua ini, tetapi dirinya juga ingin menjalankan misinya—walau ia harus bertahan dengan semua omongan yang terdengar di belakangnya. Bukan Axel tak tahu, ia selalu tahu dan memiliki banyak telinga serta mulut yang mengadu kepadanya. Tentunya semua orang yang mengadu adalah orang-orang yang ha
Extra Part 2 Keesokan harinya. Axel mendapat kabar bahwa keadaan perusahaan Dante yang terlalu lama ditinggalkan Axel, kini sedang membutuhkannya kembali memimpin. Hal tersebut memaksanya untuk segera pulang hari itu juga. Terlebih ada hal penting lainnya yang hendak ia persiapkan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali Axel berkemas setelah beberapa hari ia menginap di kediaman Salvatore dan mendapatkan jamuan terbaik dari Nathaniel yang begitu ramah juga terbuka dengannya, berbeda dengan Damian yang selalu mencecarnya menggunakan berbagai pertanyaan untuk menyudutkannya seolah mengibarkan bendera perang pada Axel yang gencar untuk menguasai Luna. Namun, bukan karena Axel mau berlama-lama di sana. Semua itu karena ia berjuang keras meyakinkan Luna untuk kembali ke mansionnya. Akan tetapi, wanita itu sungguh keras kepala dan menahannya lebih lama di kebun anggur. Axel bahkan sempat turun tangan ikut berkebun karena dikerjai Damian y
Extra part 1 Malam pun tiba setelah Axel dan Luna menyelesaikan ronde kedua percintaan mereka yang mengakibatkan keduanya terlambat berkumpul dan tentunya tanpa membantu Sheina menyiapkan anggur. Namun, tampaknya semua tak masalah seolah mereka memahami juga memaklumi kedua sejoli yang sedang romantis itu memadu kasih hingga lupa waktu. “Luna, ajaklah Axel melihat gudang anggur dan biarkan dia memilih beberapa botol anggur buatan kita untuk dibawa pulang. Anggaplah sebagai hadiah dariku,” ujar Nathaniel. “Sungguh kau tak perlu repot-repot, Tuan.” “Tidak sama sekali, aku memaksa jadi ambillah. Hadiah itu tak seberapa dengan terungkapnya kasus kematian anak angkatku,” ungkap Nathaniel. “Ayolah, Ax. Kakek jarang sekali memberikan tamu hadiah anggur. Kau beruntung hari ini,” goda Luna hendak beranjak dari duduknya. Namun, Damian menahannya. “Biar aku saja, Luna. Sekalian aku ingin bicara dengannya,” ujar Damian. “Ayo, kawa
Kedatangan Axel ke kebun anggur milik Salvatore menjadi kehebohan tersendiri bagi Luna. Bukan hanya karena dirinya seorang yang berada di sana. Damian dan Nathaniel yakni sang kakek juga sudah menantikan pria yang berhasil membuat cucu angkatnya memuji pria angkuh itu. Setelah bercengkrama membicarakan segala hal tentang dirinya juga bisnis yang mungkin akan terjalin, Axel dipersilakan beristirahat sejenak di kamar yang sudah di siapkan untuknya sebelum makan malam tiba. Diantarkan Luna sampai di depan pintu kamar untuknya, Axel merasa tak puas dan menarik Luna masuk lalu menciumnya tak sabaran. “Axel, aku harus membantu Sheina menyiapkan anggur untuk makan malam!” peringat Luna berbisik. “Aku tak peduli. Sejak kedatanganku kakekmu dan Damian menyerangku dengan berba
Ditemukannya Lanzo dan tertangkapnya Fausto menjadikan suasana sidang tampak begitu tegang. Terlebih saat ini Lanzo tengah bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan lampau yang dilakukannya. “Saat itu aku memang hendak menyerahkan diri, tetapi Fausto menyuruhku pergi agar aku tidak membocorkan identitasnya yang menyuruhku melakukan perampokan.” Tatapan Lanzo tertuju pada Axel. Pria itu memalingkan tatapannya. Walau Axel tahu cerita Lanzo benar karena bukti dari rekaman sang ayah yang mengatakan Lanzo hanya pion catur dan sang ayah terseret dalam masalah yang tak diinginkan terjadi. “Semua itu terjadi karena hasutan Fausto. Dia yang menyuruhku untuk melarikan diri dan bersembunyi selama belasan tahun. Bahkan aku kehilangan momen penting dalam hidup, kelahiran putriku dan tak dapat mendidiknya de
Roberto dan Damian tengah bersiap melakukan penyergapan tanpa menunggu malam tiba. Prediksi mereka ternyata benar bahwa Fausto merencanakan pelarian sebelum gelap. Dengan anggota tim bodyguard profesional mereka membentuk dua tim. Tim satu bersama Damian memimpin penyergapan dari pintu depan. Tim dua Roberto bersama sisa anak buah Damian menunggu dari pintu belakang. Para pasukan berbaris di belakang Damian. Lalu Damian memberikan instruksi untuk bersiap di sisi pintu masuk sambil menoleh pada semua anak buahnya yang mengangguk siap. “Rob, kau sudah siaga?” tanya Damian melalui alat komunikasi yang tertempel di telinganya. “Kami sudah siap, Dam. Kapanpun kau menyergap.” “Baiklah, dalam hitungan ketiga,” balas Da
Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)Setelah bermalam di tempat kakek Damian, pagi-pagi sekali keduanya berangkat ke tempat yang sudah dipastikan oleh anak buah Damian bahwa terdapat tanda kehidupan pada sebuah rumah yang diyakini seorang wanita paruh baya tengah keluar dari rumah tersebut.Roberto meyakini foto yang dikirimkan anak buah Damian adalah bibinya yang selama ini tak terlihat di mana pun. Sementara itu di dalam perjalanan mereka, Roberto mendapatkan telepon dari rumah sakit, tentang kepulangan Axel dan Luna. Hal tersebut menambahkan beban pikiran Roberto yang masih harus menyusuri perjalanan jauh. Dia sengaja tak mau mengatakan apa pun tentang pencariannya itu kepada Axel karena ia yakin, pria arogan itu akan menyusulnya dan berpotensi menggagalkan penyusupan mereka.“Aku yakin ada ruang rahasia tempat Fausto bersembunyi, ia tak mungkin bisa mengurus diri tanpa istrinya.” Roberto menatap lurus jalanan di depannya.
Part 68 - OffendedSetelah melakukan kegiatan panas di pagi hari, kini Axel mengajak Luna ke ruang kerjanya. Di mana dirinya mendapatkan penglihatan bahwa ada sebuah rekaman rahasia yang disimpan sang ayah sebagai bukti peninggalannya sebelum semua rahasia pembunuhan orang tua Luna ditutupi oleh kakeknya.“Argh, sial!” ringis Axel sambil mengumpat kesal dengan kondisinya yang begitu menyiksa.“Pelan-pelan, Ax. Sejak tadi kau sudah banyak tersiksa.”“Tadi aku tersiksa untuk kenikmatan,” kekehnya masih tak percaya melakukan percintaan di tengah rasa sakit. “Namun, kali ini aku harus menahannya lagi untuk memulihkan nama orang tuaku. Aku rasa semua ini setimpal demi menuntaskan semua hal yang terjadi dan untuk kita melanjutkan kehidupan dengan tenang. Kau setuju, bukan?” tutur Axel.Setelah itu ia tersenyum melirik Luna yang menunjukkan kekhawatirannya.“Kau terlalu baik untuk mendapatkan semua kesulitan ini, Ax.” Luna bersand
Part 67 - "You wanna f*ck with me?!"Pagi harinya di rumah sakit. Axel memaksa meminta pulang, begitu juga dengan Luna yang tampak sudah sangat rapi dan siap untuk kembali. Tak ada yang berani menahan pemilik saham terbesar di rumah sakit itu jika ia ingin pulang, sekalipun dokter yang menanganinya.Awalnya Luna yang berkeras untuk kembali demi mencari bukti penglihatan mereka di alam bawah sadar itu benar adanya. Namun, seperti yang semua orang ketahui bahwa Axel adalah bos pemaksa, maka kini keduanya bertekad mencari bersama demi menuntaskan apa yang terjadi di masa lalu.“Kau yakin tak apa dengan dadamu, Ax?” tanya Luna kesekian kalinya.“Aku yakin, Luna. Lagi pula kau bersamaku. Aku tak ingin kau bertindak gegabah dan malah membawamu dalam bahaya. Sudah kubilang itu tak akan terjadi lagi, kita akan melakukannya bersama,” tutur Axel membuat Luna tersenyum mencurigakan.“Apa ada yang lucu dari ucapanku, Luna?”“Tida
“Maaf menambahkan luka di tubuhmu,” bisik Luna. Semarah apapun dia, dirinya tetaplah luluh saat Axel memelas kesakitan sekalipun hanya pura-pura, tetapi Luna tak tega jika Axel meringis. Kini dirinya menuruti pria itu yang ingin merapatkan ranjang keduanya agar bisa lebih dekat. Luna duduk menghadap Axel yang belum bisa bergerak leluasa, wanita itu memerhatikan keadaan prianya lebih lekat dan merasa sedih akan kondisi Axel yang terjadi karena kehadirannya. “Ini tak sebanding denganmu. Jangan merasa begitu saat aku memiliki kesempatan untuk berkorban.” Luna menggeleng tak menyetujui ucapan Axel. “Tak harus sampai meregang nyawa untuk menunjukkan pengorbananmu, Ax. Aku tahu seberapa besar perasaanmu.” Axel tersenyum tipis.