Part 08 - You're welcome
Setelah satu harian mengawal Axel tanpa kendala lain, Luna akhirnya bisa pulang kembali ke apartemennya. Tubuhnya cukup lelah harus berdiri selama beberapa jam, demi tetap siaga menjaga sekitar tempat pertemuan Axel dengan beberapa kliennya.
Dengan malas Luna mengenakan helmnya dan hendak menaiki motornya, tetapi seketika penutup helm Luna diturunkan oleh seseorang dari belakang. Lantas dengan cekatan, wanita tangguh itu meraih tangan itu dan hendak melakukan gerakan perlindungan. Sayangnya orang tersebut lebih dulu menghindar sebelum Luna sempat memelintir pergelangan tangan itu.
“Wow! Tenang Luna. Ini aku." Roberto membuka penutup helmnya.
Begitu juga dengan Luna yang membuka penutup helmnya, ia terkejut mendapati Roberto yang juga sudah mengenakan helm dan jaket kulit berwarna coklat. Hal yang membuat tampilan Roberto selalu dikagumi oleh Luna sejak pertama bertemu dan telah menjuluki pria itu dengan sebutan -si pria coklat maskulin- berbeda dengan Axel yang mendapat julukan -si dingin grey- mirip seperti pria di film fifty shades, walau Luna tetap merasa Axel lebih dingin dibanding Mr.Grey. Tentunya semua itu hanya ada di dalam pikiran Luna seorang.
Luna tersenyum mendapati Roberto. “Maafkan aku. Kupikir kau—”
“It's okay, Luna. Aku juga sudah bisa menduganya.” Roberto menyela dan turut tersenyum. “By the way, aku akan mengantarmu malam ini. Ini tugas terakhirku hari ini.”
Luna mengerutkan keningnya, saat Roberto dengan leluasa menaiki motor hitam besarnya. Tak mengerti dengan maksud kata 'tugas terakhirnya hari ini', lantas ia menghentikan gerakan memutar kunci yang hendak dilakukan pria maskulin itu, dan Luna kembali memperdalam kerutan di keningnya saat menyadari Roberto telah mengambil kunci dari saku jaketnya.
“Tunggu, kenapa kau harus mengantarku? Lagipula aku bisa—”
“Naiklah, aku akan jelaskan nanti. Lebih baik kau mempermudah pekerjaanku, agar aku juga bisa beristirahat.” Roberto kembali menyela, mengabaikan Luna yang meminta penjelasan lebih.
Wanita itu akhirnya memahami perkataan Roberto barusan. Ia tahu betapa berat pekerjaan Robert hari itu, lantas dirinya menurut dan menaiki motor lalu berpegangan pada Robert saat kendaraan itu melaju meninggalkan mansion. Tentunya semua itu kembali disaksikan Axel yang cukup kesal melihat kedekatan keduanya tampak cepat akrab.
Kekesalan Axel terlihat saat tarikan tirai yang ditutupnya begitu kasar. Lalu ia melangkah lebar untuk segera tiba di kamar mandi, menunjukkan ada hati yang panas saat melihat kejadian tersebut. Namun, pria dingin itu menggubris semua perasaan aneh yang menyerangnya seketika.
Axel memilih bergegas mandi dengan langsung mengguyur tubuhnya di bawah kucuran air shower. Kedua tangannya mengusap wajahnya lalu naik membiarkan rambutnya bersatu ke belakang. Setelah itu ia menunduk dan kedua tangannya ia sandarkan pada dinding kamar mandi.
Punggung lebarnya terdapat beberapa bekas jahitan kecil sebagai tanda sisa kecelakaan yang membuatnya memiliki rencana balas dendam kepada orang yang menyebabkan penderitaannya saat ini.
Axel memejamkan sejenak matanya. Kilasan balik saat kejadian berlangsung kembali berputar dalam ingatannya. Hal yang disesalinya sebelum kecelakaan itu terjadi adalah dirinya yang tengah berseteru dengan kedua orang tuanya.
Seketika sekelebat bayangan bus yang mendekat dengan cepat ke arahnya memberikan hantaman cukup kuat hingga membuat pecahan kaca di sampingnya menusuk punggung yang digunakan untuk melindungi sang ibu dalam pangkuannya, dan teringat wajah berlumur darah sang ayah di hadapannya.
"Axeleon! Beraninya kau membentak ibumu!" hardik sang ayah.
"Berapa kali harus kukatakan. Aku tak ingin dan tak akan mau dijodohkan. Bukankah kalian juga tahu, bahwa aku sudah memiliki kekasih?"
"Justru karena ayahmu tahu dan mengenal keluarga dari kekasihmu itu, Axel. Kami bertindak cepat agar kau berhenti bermain dengan wanita itu!"
Ucapan terakhir mereka membuat Axel tersadar akan kejadian mengerikan itu. Axel membuka mata, tatapan tajamnya bergerak gelisah terlihat pada retina yang memerah. Napasnya terengah-engah menunjukkan kemarahan yang masih terpendam dalam dirinya.
Guyuran air shower itu seakan tengah menyirami kobaran api di hatinya saat ini. Ia selalu berusaha mengingat wanita yang menolongnya itu. Bukan hanya sebagai penolong, tetapi Axel meyakini wanita itu adalah salah satu saksi yang bisa ia tanyakan secara detail keadaan di sekitar kecelakaannya hari itu.
Akan tetapi, sudah satu minggu dirinya belum menemukan titik terang dari kasusnya. Lantas ia meninju kuat dinding kamar mandi dengan geram lalu membiarkan memar itu membekas pada jemarinya. Axel menyudahi mandinya. Ia bergegas membalut dirinya dengan pakaian tidur dan melemparkan tubuh itu di atas ranjang besarnya.
Sementara itu di tempat lain, Roberto menghentikan kendaraan beroda dua milik Luna di depan sebuah hunian minimalis, tetapi cukup besar dan nyaman untuk ditinggali oleh dua orang.
Luna tercengang saat menatap rumah bercat putih tingkat satu, dengan list hitam pada balkon dan halaman kecil di depan rumah tersebut, menambahkan kesan nyaman untuk berlama-lama berada di teras.
Dia sempat mengira itu adalah tempat tinggal Roberto, tetapi pria itu menjelaskan bahwa itu adalah pemberian Axel untuknya tinggali bersama keponakan juga kedua pelayan untuk menjaga Grace saat Luna bekerja. Semua itu diberikan sebagai perjanjian awal bekerja dengan bos arogannya itu.
Property yang juga milik Dante's Corp itu memang disediakan bagi beberapa orang tertentu yang bekerja dengan keluarga Dante. Luna merasa itu sangat berlebihan, ia sungguh tak mengira Axel akan memberikannya sebuah hunian yang cukup mewah untuknya tinggali.
“Oh ya ampun, aku masih tak percaya, dia memberikan ini untukku dan Grace tinggali?” tanya Luna untuk kesekian kali, dan Robert juga menganggukkan kepalanya lagi.
“Ya. Sudah kubilang, dia tak seperti yang kau pikirkan.” Roberto mengejek pemikiran Luna.
Wanita itu mendelik dengan senyuman manis khasnya. Ia menyenggol lengan Roberto sambil terkekeh. “Hei, memangnya kau tahu apa yang kupikirkan?”
Roberto membalas kekehan Luna dan menerka dari data yang diingatnya tentang apa yang menjadi hobi wanita di hadapannya itu. “Hm …, mungkin kau berpikir Axel akan seperti Christian Grey dalam film fifty shades? Atau—”
“Oh ya ampun!” sela Luna memekik terkejut menutup mulut menganganya dengan kedua tangan. “Kau sungguh mengerikan! Apa kau pembaca pikiran?!” tanya Luna mendekati wajah Roberto, mendesis sambil memicingkan kedua matanya.
Roberto memundurkan tubuhnya saat tatapan Luna begitu menyelidik. Ia menggunakan jarinya untuk menjauhkan Luna dari hadapannya. Sedetik kemudian ia terbahak mendengar ucapan Luna barusan, mengingatkan ia akan ucapan Axel pagi tadi, yang mengatakan dirinya juga dikira sebagai pembaca pikiran.
“Hei, apa ekspresiku selucu itu?”
Robert menghentikan tawa yang membuat Luna cemberut. “Tidak. Tapi ucapanmu yang sangat lucu. Kau ingin tahu, bagian mana yang lucu?”
Luna mengangguk masih dengan wajah menyelidik.
Roberto mendekatkan bibirnya pada telinga Luna dan berbisik. “Bagian itu terletak pada kata ‘pembaca pikiran’.” Roberto menjauhkan wajahnya untuk melihat raut wajah Luna yang berubah menjadi kebingungan. “Axel mengatakan hal yang sama pagi tadi. Jadi kurasa kalian memang berjodoh,” imbuh Roberto.
Pria itu kembali terkekeh dan memberikan kunci motor Luna ke dalam genggaman tangan wanita itu. Membiarkan Luna mendengkus kesal karena diejek habis-habisan oleh Roberto.
“Masuklah, Grace sudah menunggumu,” ujar lagi Roberto, “Oh, ya besok jangan tinggalkan aku. Kau harus mengantarku karena aku meninggalkan mobil di mansion.” Roberto setengah berteriak saat dirinya berjalan mundur menjauh dari Luna.
“Hei, kau mau kemana? Aku akan mengantarmu pulang.” Luna hendak menyusul.
“Terima kasih. Sayangnya, aku sudah sampai. Selamat malam, Luna ..., dan selamat datang tetangga baru!” seru Roberto di seberang, memasuki gerbang rumahnya.
Menimbulkan tanya pada wajah Luna yang masih tak mengerti apa yang terjadi kini. Ia mengembuskan napasnya panjang dan memijat sisi pelipisnya. Memilih beristirahat lebih dulu untuk menjernihkan pikirannya. Sebelum besok kembali memulai aktifitasnya lagi.
Luna berjalan lunglai memasuki halaman rumahnya ia kembali mengagumi bangunan bercat putih di hadapannya itu.
“Ya, kurasa kau tak seburuk itu untuk kujuluki seperti Christian Grey. Pemeran di film itu juga cukup royal terhadap karyawannya.” Luna menaikan kedua alisnya lengkap dengan gerakan bahunya yang naik lalu turun.
Namun, sedetik kemudian ia berhenti dan kedua alisnya mengernyit berpikir, “Tapi tunggu dulu … apa aku salah mengingat film?” gumam Luna. Kembali mengedikkan bahunya masa bodoh dengan pemikiran absurdnya tentang Axel.
***
Keesokan harinya ….
Kali ini tak ada drama menumpahkan air pada celana Axel. Luna sangat berhati-hati dan begitu menjaga sikapnya untuk tetap profesional. Ia bahkan datang lebih pagi bersama Roberto yang kembali menumpang di motornya.
Mereka kembali menikmati sarapan, tetapi tidak dengan Luna yang sudah mengisi perutnya di rumah bersama Grace. Mengingat ucapan sarkas Axel kemarin membuatnya begitu matang mempersiapkan diri untuk memulai tugasnya dengan baik. Kini wanita dengan rambut gelombang yang terikat rapi menjadi satu itu, hanya berdiri di samping Axel. Menunggu Tuannya selesai menikmati sarapan.
Namun, satu hal yang mengganggu penglihatan Luna saat ini. Yaitu goresan luka pada jari Axel yang terlihat memar dibiarkan telanjang tanpa pengobatan apapun.
Apa dia habis memukul pelayannya? Tapi tak ada yang terluka sejak pagi aku tiba dan melihat semuanya tetap bekerja, batin Luna.
“Apa yang kau lamunkan, Luna?” tanya Roberto memecah lamunan Luna.
Wanita itu tersadar lalu tersenyum. Kedua iris emeraldnya bertemu dengan Axel yang menoleh padanya.
“Bukan—”
Suara ponsel Roberto menghentikan ucapan Luna. Lantas pria itu meminta izin untuk menjawab panggilannya dan meninggalkan Axel bersama Luna. Kembali hanya berdua di ruang makan membuat keadaan menjadi hening seketika. Luna tak berani berucap apalagi bertingkah seperti kemarin yang berpotensi membuatnya mengulangi kecerobohan.
“Bagaimana tempat tinggalmu saat ini, apa kau nyaman?” tanya Axel tiba-tiba.
Pendengaran Luna seketika menjadi tuli. Seorang Axel yang sejak kemarin —setelah tragedi memalukan— diam seribu bahasa padanya, tetapi kini mengajaknya bicara bahkan menanyakan hal yang bersifat kepedulian.
“Sangat nyaman, Tuan. Terima kasih atas pemberianmu. Maaf aku baru mengucapkannya," ujar Luna sesopan mungkin.
Axel mengangguk. “Mengenai keponakanmu, aku juga sudah meminta Robert mengurusnya. Jadi fokuslah saja pada pekerjaanmu. Aku tak ingin kau melamun saat sedang bekerja denganku.” Ucapan Axel kali ini menjawab keterkejutan Luna barusan.
Heh … sepertinya aku terlalu cepat menyimpulkan dirinya peduli terhadap pekerjanya. Ternyata semua itu berujung pada dirinya sendiri. Luna membatin.
“Kau mendengarku, Luna?!” tegur Axel saat tak mendapat jawaban.
Lantas Luna terkesiap dan kembali meminta maaf serta menjawab ucapan Axel dengan sigap.
“Mulai sekarang biasakan untuk menjawabku jika aku bertanya ataupun menuturkan pernyataan. Kau kubayar untuk itu. Bukan hanya sebagai pajangan untuk membuat orang lain takut.” Axel kembali menukas.
Hal tersebut membuat Luna menjawab singkat. Dadanya sungguh berdebar saat Axel mengatakan ucapan sarkas padanya, tetapi ia yakin Roberto sudah lebih banyak menelan semua itu.
“Baik, Tuan. Maaf, aku tak akan mengulanginya lagi.” Luna kembali berujar sopan.
Keadaan kembali hening, dan Luna kembali terganggu dengan tangan Axel. Terlebih saat pria itu mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Jangan mencari masalah lagi, Luna. Jangan pedulikan itu. Fokus saja pada tugasmu, yaitu melindungi bukan mengobati! Luna menanamkan pikirannya untuk tak peduli akan hal itu.
Namun, ia sungguh tak tahan, dirinya geram akan luka yang dibiarkan begitu saja. Terlebih tuannya hanya memiliki kedua tangan untuk bekerja. Seharusnya Axel bisa menjaga itu. Perhatian Luna tetap tak teralihkan hingga Axel selesai makan dan menenggak minumannya. Ia meminta izin untuk keluar sebentar yang sebenarnya dirinya hendak meminta obat antiseptik untuk mengobati luka memar Axel.
Luna bertemu Calisto dan segera mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Ia kembali ke ruang makan, melihat Axel yang sibuk melihat tablet Roberto. Luna mendekat dan hendak menunjukan niatnya meminta izin terlebih dahulu untuk mengobati tangan Axel.
“Maaf, Tuan. Bolehkah aku mengobati tanganmu?” tanya Luna tanpa berniat menanyakan apa yang terjadi pada tangan itu.
Axel melirik sekotak perlengkapan obat yang ditunjukan Luna di hadapannya. Lalu tatapannya kembali pada Luna yang menunjukan niat tulusnya.
“Ini bukan tugasmu," ujar Axel.
Keangkuhan dan gengsinya yang setinggi langit itu membuatnya menolak niat baik Luna. Axel malah berlalu membawa kursinya menuju ke halaman belakang ruang makan tersebut. Di mana ia mendapatkan udara pagi yang menyejukkan hati dan pikirannya, sambil menunggu Roberto selesai menjawab panggilan.
Sementara Luna memicingkan matanya menatap punggung angkuh di balik kursi roda tersebut. Ia berdecak kesal setelah Axel keluar melalui pintu kaca otomatis yang terbuka saat pria menyebalkan itu hendak keluar. Axel dengan sengaja meminta seluruh pintu dibuat otomatis untuknya lebih leluasa menjalankan peran sebagai pria lumpuh.
Dengan tekad yang sudah bulat. Luna tak menyerah begitu saja setelah mendapat penolakan. Kaki jenjangnya melangkah menyusul Axel yang tampak memejamkan mata menghadap ke langit menikmati sinar matahari pagi yang menerpa kulit wajahnya.
Hal tersebut digunakan Luna sebagai kesempatannya untuk membalut luka Axel. Luna kembali membuka suara sambil meraih tangan Axel.
“Ini termasuk tugasku. Melihat tanganmu memar apa yang akan dikatakan orang di luar sana? Apa seorang Axeleon El Dante salah memilih pengawal? Hingga tangannya terluka,” gerutu Luna tanpa segan meraih tangan Axel dan memerhatikan memarnya yang beruntung tak begitu parah.
Axel terkesiap, dan membuka mata. Seketika sorot tajam nan dingin tercetak dari netra abu itu. Masih dengan keangkuhannya, Axel menarik kasar tangannya dari genggaman Luna.
“Aku tak peduli dengan ucapan orang lain. Lagipula ucapan mereka tak penting untuk kupikirkan!” balas Axel tetap dengan nada sarkastiknya yang angkuh.
Namun, wanita itu juga keras kepala. Luna mengambil obat antiseptik dan meneteskannya pada cotton bud, melirik Axel yang juga menatap tajam Luna. Dengan perlahan Luna kembali meraih tangan Axel yang masih sempat ditahan oleh pria itu, tetapi Luna tetap melakukannya. Memaksa Axel membuka kepalan tangannya dan mengobati luka tersebut dengan perlahan sambil ditiupkan demi mengurangi perih di sana.
Axel tak sadar, dirinya telah terhipnotis membiarkan Luna melakukan pengobatan dengan telaten. Ia malah tertegun menatap wajah Luna yang sesekali tampak mengernyit sambil membalut tangannya dengan perban dan menempelkan ujungnya menggunakan plester khusus.
“Begini lebih baik. Bukankah hanya kedua tanganmu ini yang sangat berharga saat ini? Seharusnya kau menjaganya dengan baik,” tutur Luna menoleh pada Axel.
Pria itu kembali terkesiap saat Luna menatapnya. Ia memalingkan pandangannya ke sembarang arah dengan raut wajah memerah dan alis yang bertaut gelisah karena tertangkap basah memandangi Luna hingga tertegun.
Wanita itu menyadari sikap gengsi Axel. Luna memilih merapikan obat dan perban kembali ke dalam kotaknya.
“Well, you're welcome,” sindir Luna sambil mengulas senyum mengejek lalu berdiri dari posisi berlututnya.
Axel melirik saat Luna beranjak melintasinya. “Terima kasih,” kata Axel.
Luna berhenti tepat di pintu masuk, ia kembali menoleh. Melihat Axel yang tetap menatap lurus ke depan. Luna terkekeh dan menjawab Axel dengan berani.
“Bukan apa-apa. Lagipula aku melakukannya karena seluruh pekerjamu membutuhkan tangan itu, untuk membubuhi tanda tanganmu pada selembar cek agar kami mendapat upah dari kerja keras kami.” Luna membalikkan setiap ucapan Axel yang memiliki alasan dibalik kepeduliannya. Entah kerasukan setan apa, dirinya dengan berani berkata demikian pada Axel.
Namun, hal itu sukses membuat Axel berbalik dan terkekeh lalu berhenti seketika dengan tatapan yang kembali menusuk.
“Ya, sepertinya kau sudah mulai mengerti bagaimana aku bersikap dan berkata.” Axel mendekat sambil memalingkan tatapan tajamnya dari Luna. Ia melintasi wanita itu sambil kembali berucap, “Aku tarik kembali ucapan terima kasihku. Kugantikan dengan bonus pengobatanmu hari ini!” tandas Axel berlalu meninggalkan Luna yang tercengang atas ucapan pedas yang kembali terlontar dari bibir tuannya.
Wajah Luna kini memerah padam dengan mata melirik tajam punggung angkuh itu. “Oh, ya ampun! Aku tak percaya Tuhan menciptakan manusia seperti dia!” gerutu Luna. Sedetik kemudian ia meminta ampun pada Sang Pencipta atas ucapan lancangnya yang terlampau kesal terhadap Axel.
Ketika tiba di ruang makan, terlihat Robert baru saja menyelesaikan makanannya. Ia melihat wajah Axel yang tampak kesal, disusul Luna yang juga memasang ekspresi sama dengan tuan mudanya.
“Jangan bertanya apapun! Cepat selesaikan sarapanmu lalu kita berangkat!” Axel menukas sebelum Roberto membuka mulut hendak berkomentar. Pria angkuh itu Meninggalkannya dengan Luna yang saling menatap.
“Hal ajaib apa lagi yang kau lakukan terhadapnya?” tanya Roberto sedikit terkekeh mengingat Luna selalu membuat mood Axel memburuk setiap paginya.
“Sepertinya kau menikmati makananmu dengan menyaksikan drama tuan antagonis,” balas Luna mendesis.
Gelak tawa keluar begitu saja. Roberto tak memungkiri bahwa Axel dan Luna memang mirip dalam hal mengejek.
“Cepatlah, Roberto. Sebelum dia semakin memburuk!” peringat Luna.
Roberto beranjak dari duduknya walau ia tetap terkekeh. Sangat jarang dirinya mendapat hiburan gratis selagi bekerja. Dan sepertinya kehadiran Luna akan membuat otot wajahnya sedikit mengendur karena sering mendapat lelucon.
**
Part 09 - Sadden Beberapa hari kemudian… Keseharian Axel berjalan normal seperti saat dia bisa berjalan sendiri. Memimpin perusahaan seperti biasa, melakukan meeting dengan beberapa klien dan berkumpul bersama rekan bisnis. Setelah memenangkan proyek dengan membuka satu lounge di Dante's hotel untuk merayakan keberhasilannya hari itu. Bukan tanpa sebab juga Axel mau melakukan semua ini, tetapi dirinya juga ingin menjalankan misinya—walau ia harus bertahan dengan semua omongan yang terdengar di belakangnya. Bukan Axel tak tahu, ia selalu tahu dan memiliki banyak telinga serta mulut yang mengadu kepadanya. Tentunya semua orang yang mengadu adalah orang-orang yang ha
Part 10 - Valerio Justino Keesokan harinya, Axel dan Roberto sudah bersiap ke luar dari mansion. Saat ini Luna sudah menunggu di samping limosin yang terparkir di depan pintu utama. Saat melihat kemunculan Axel dari balik pintu putih itu, hijau emerald dari mata Luna menatap sorot dingin abu dari iris Axel. Luna membungkuk dan menyapanya, “Selamat pagi, Tuan.” Sambutan Luna terlontar halus. Dikarenakan hari ini Axel tak melakukan sarapan di mansion, oleh sebab itu Luna dan Axel baru bersinggungan. Namun, nyatanya Axel hanya mengangguk pelan nyaris tak terlihat. Bahkan tatapan Axel tak menoleh sedikitpun kepada Luna. Hal tersebut bukan hanya dirasakan Luna, melainkan Roberto juga merasakan aura yang sama. Pria itu paling mengenal aura layaknya gunung es di Everest itu dikeluarkan jika tuannya sedang dalam suasana sangat tidak menyenang
Part 11- Angelica de Luca Suara ketukan terdengar menyingkirkan pemikiran Axel yang mulai terganggu akan setiap gerak gerik Luna, dan kini wanita yang mulai merasuki pikiran Axel itu. Sedang berjalan menghampirinya. “Kau memanggilku, Tuan?” tanya Luna saat dirinya tiba di hadapan Axel. Pria itu mengerutkan keningnya sejenak, lalu Roberto masuk dan menunjuk Luna menggunakan isyarat matanya. Roberto sialan! Kukira dia yang akan bicara pada Luna. Axel menggerutu dalam hati. Sedikit berdeham demi menormalkan kondisinya. “Ah, ya. Malam ini kau harus lembur. Aku hendak makan malam dengan nona de Luca. Kau ….” Axel menjeda sejenak ucapannya. Melirik Roberto yang malah duduk santai di sofa single tanpa membantunya bicara sama sekali. Pria itu malah memasang wajah lugu menunggu Axel mengutarakan maksudnya. “Begini, Luna. Kau bisa duduk dulu,” pinta Axel, kembali beralih pada Luna. Luna menuruti walau ia masih belum men
Part 12 - Dinner Luna terdiam memandangi gaun hitam beludru yang kini tengah ia angkat tinggi sejajar menggunakan kedua tangannya. Gaun di atas lutut itu tampak tak nyaman untuknya gunakan. Ia menggeleng dan kembali memasukan gaun tersebut ke kotak yang ia terima dari Roberto sepulangnya tadi untuk menyiapkan diri. “Tidak! Aku tak bisa menggunakan ini.” Luna berujar pada dirinya sendiri. Lantas ia memilih membongkar pakaiannya, mengingat ada satu dua gaun sederhana yang tidak terlalu ketat dan masih bisa digunakan untuk bergerak leluasa. Dalam beberapa menit membongkar isi lemari, akhirnya ia menemukan sebuah terusan sederhana berwarna hitam. Ia tersenyum dan teringat ia memiliki boots berwarna senada untuknya melengkapi pakaian itu.
Part 13 - You're very unexpected! Luna melepaskan tangannya dari pegangan Valerio, saat tatapannya mendarat pada netra abu Axel yang tampak menyorot tajam pada tangannya. Aura menyeramkan yang ditujukan Axel, semakin terasa mencekam saat tatapan itu beralih padanya. “Valerio, apa kau sudah memanggil Antonio untuk menyiapkan mobil?” Pertanyaan dari Angelica memutus semua tatapan Luna dan Axel serta Valerio. “Ya, aku sudah menghubunginya. Silakan, Nona,” ujar Valerio. “Baiklah, Ax. Sesuai percakapan kita, nanti kita bahas lagi pada pertemuan berikutnya,” ujar Angelica mengecup pipi kiri dan kanan Axel. Pria dingin itu mengangguk dan tersenyum. Lalu membiarkan Angelica beranjak dari sana bersama Valerio. Meninggalkan Axel bersama Luna dalam suasana canggung. “Ma-maaf, Tuan yang tadi itu terjadi begitu saja. Aku juga tak menyangka dia akan—” “Aku tak meminta penjelasan apa pun untuk apa kau menjelaskannya,” sela Ax
Part 14 - She's [Cute] Sexy Satu minggu kemudian. Kedekatan Axel dengan Angelica semakin terlihat erat, bukan karena adanya percintaan yang terjalin antara mereka berdua, melainkan karena adanya kerja sama yang terjalin dengan keuntungan yang akan mereka dapatkan jika keduanya terlihat dekat oleh media, sebagai pasangan dari perusahaan properti terbesar di Italia. Angelica ternyata bukanlah nona manja seperti yang dipikirkan Axel selama ini. Dirinya juga diterpa dengan didikan keras dan harus bisa menjalankan tampuk kejayaan de Luca dengan benar. Dia memiliki tujuan untuk mendapatkan kepercayaan sang ayah agar membiarkannya memimpin perusahaan tanpa harus mendapatkan suami yang hanya akan mengekangnya bertindak kelak. Setidaknya itulah yang dapat Axel ceritakan pada Luna dan Roberto saat
Part 15 - "Don't Touch My Bodyguard!" Malam kencan kedua setelah kesepakatan bisnis yang dilakukan Axel bersama Angelica berhasil mengelabui ayah Angelica, kini keduanya tampak lebih santai karena tak ada lagi kepalsuan yang mereka tunjukan. Mereka adalah penggila bisnis dan sama-sama memiliki jiwa pekerja keras. Kali ini makan malam mereka hanyalah membicarakan rencana dalam beberapa bulan ke depan setelah menjalin kerja sama berkedok hubungan cinta keduanya. Salah satu perjanjiannya adalah melakukan kegiatan makan malam rutin seperti saat ini. Axel menikmatinya karena dirinya tak harus berpura-pura menjadi menggelikan, terlebih jika itu harus dilakukannya di depan Luna dan Roberto. Axel sangat yakin di belakangnya, kedua orang itu pasti sering membicarakan hal-hal memuakkan yang dilakukannya pada Angelica.
Part 16 - Embarrassed Axel terus memerhatikan memar di tangan dan pipi sampai ke leher Luna. Dirinya merasa sangat bersalah tengah mempertemukan kembali Luna dengan mantan sialannya yang berujung kini menyakiti Luna. Axel tak tahu jika tindakan Valerio begitu kasar, dan Luna bukanlah lawan seimbang untuk menghadapi pria itu, terlebih dulu mereka pernah menjalin kasih dan pastinya Luna akan merasakan sakit hati terhadap tindakan kasar tersebut. Dasar pria b*jingan, beraninya dia membuat Luna terluka! umpat Axel tak tahan melihat memar merah pada Luna hanya membuatnya semakinnya kesal. “Jangan menatapku seperti itu, Tuan. Aku baik-baik saja, lagipula aku sudah melawannya tadi,” ujar Luna merasa tak nyaman mendapatkan sorotan secara terus mener
Extra Part 2 Keesokan harinya. Axel mendapat kabar bahwa keadaan perusahaan Dante yang terlalu lama ditinggalkan Axel, kini sedang membutuhkannya kembali memimpin. Hal tersebut memaksanya untuk segera pulang hari itu juga. Terlebih ada hal penting lainnya yang hendak ia persiapkan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali Axel berkemas setelah beberapa hari ia menginap di kediaman Salvatore dan mendapatkan jamuan terbaik dari Nathaniel yang begitu ramah juga terbuka dengannya, berbeda dengan Damian yang selalu mencecarnya menggunakan berbagai pertanyaan untuk menyudutkannya seolah mengibarkan bendera perang pada Axel yang gencar untuk menguasai Luna. Namun, bukan karena Axel mau berlama-lama di sana. Semua itu karena ia berjuang keras meyakinkan Luna untuk kembali ke mansionnya. Akan tetapi, wanita itu sungguh keras kepala dan menahannya lebih lama di kebun anggur. Axel bahkan sempat turun tangan ikut berkebun karena dikerjai Damian y
Extra part 1 Malam pun tiba setelah Axel dan Luna menyelesaikan ronde kedua percintaan mereka yang mengakibatkan keduanya terlambat berkumpul dan tentunya tanpa membantu Sheina menyiapkan anggur. Namun, tampaknya semua tak masalah seolah mereka memahami juga memaklumi kedua sejoli yang sedang romantis itu memadu kasih hingga lupa waktu. “Luna, ajaklah Axel melihat gudang anggur dan biarkan dia memilih beberapa botol anggur buatan kita untuk dibawa pulang. Anggaplah sebagai hadiah dariku,” ujar Nathaniel. “Sungguh kau tak perlu repot-repot, Tuan.” “Tidak sama sekali, aku memaksa jadi ambillah. Hadiah itu tak seberapa dengan terungkapnya kasus kematian anak angkatku,” ungkap Nathaniel. “Ayolah, Ax. Kakek jarang sekali memberikan tamu hadiah anggur. Kau beruntung hari ini,” goda Luna hendak beranjak dari duduknya. Namun, Damian menahannya. “Biar aku saja, Luna. Sekalian aku ingin bicara dengannya,” ujar Damian. “Ayo, kawa
Kedatangan Axel ke kebun anggur milik Salvatore menjadi kehebohan tersendiri bagi Luna. Bukan hanya karena dirinya seorang yang berada di sana. Damian dan Nathaniel yakni sang kakek juga sudah menantikan pria yang berhasil membuat cucu angkatnya memuji pria angkuh itu. Setelah bercengkrama membicarakan segala hal tentang dirinya juga bisnis yang mungkin akan terjalin, Axel dipersilakan beristirahat sejenak di kamar yang sudah di siapkan untuknya sebelum makan malam tiba. Diantarkan Luna sampai di depan pintu kamar untuknya, Axel merasa tak puas dan menarik Luna masuk lalu menciumnya tak sabaran. “Axel, aku harus membantu Sheina menyiapkan anggur untuk makan malam!” peringat Luna berbisik. “Aku tak peduli. Sejak kedatanganku kakekmu dan Damian menyerangku dengan berba
Ditemukannya Lanzo dan tertangkapnya Fausto menjadikan suasana sidang tampak begitu tegang. Terlebih saat ini Lanzo tengah bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan lampau yang dilakukannya. “Saat itu aku memang hendak menyerahkan diri, tetapi Fausto menyuruhku pergi agar aku tidak membocorkan identitasnya yang menyuruhku melakukan perampokan.” Tatapan Lanzo tertuju pada Axel. Pria itu memalingkan tatapannya. Walau Axel tahu cerita Lanzo benar karena bukti dari rekaman sang ayah yang mengatakan Lanzo hanya pion catur dan sang ayah terseret dalam masalah yang tak diinginkan terjadi. “Semua itu terjadi karena hasutan Fausto. Dia yang menyuruhku untuk melarikan diri dan bersembunyi selama belasan tahun. Bahkan aku kehilangan momen penting dalam hidup, kelahiran putriku dan tak dapat mendidiknya de
Roberto dan Damian tengah bersiap melakukan penyergapan tanpa menunggu malam tiba. Prediksi mereka ternyata benar bahwa Fausto merencanakan pelarian sebelum gelap. Dengan anggota tim bodyguard profesional mereka membentuk dua tim. Tim satu bersama Damian memimpin penyergapan dari pintu depan. Tim dua Roberto bersama sisa anak buah Damian menunggu dari pintu belakang. Para pasukan berbaris di belakang Damian. Lalu Damian memberikan instruksi untuk bersiap di sisi pintu masuk sambil menoleh pada semua anak buahnya yang mengangguk siap. “Rob, kau sudah siaga?” tanya Damian melalui alat komunikasi yang tertempel di telinganya. “Kami sudah siap, Dam. Kapanpun kau menyergap.” “Baiklah, dalam hitungan ketiga,” balas Da
Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)Setelah bermalam di tempat kakek Damian, pagi-pagi sekali keduanya berangkat ke tempat yang sudah dipastikan oleh anak buah Damian bahwa terdapat tanda kehidupan pada sebuah rumah yang diyakini seorang wanita paruh baya tengah keluar dari rumah tersebut.Roberto meyakini foto yang dikirimkan anak buah Damian adalah bibinya yang selama ini tak terlihat di mana pun. Sementara itu di dalam perjalanan mereka, Roberto mendapatkan telepon dari rumah sakit, tentang kepulangan Axel dan Luna. Hal tersebut menambahkan beban pikiran Roberto yang masih harus menyusuri perjalanan jauh. Dia sengaja tak mau mengatakan apa pun tentang pencariannya itu kepada Axel karena ia yakin, pria arogan itu akan menyusulnya dan berpotensi menggagalkan penyusupan mereka.“Aku yakin ada ruang rahasia tempat Fausto bersembunyi, ia tak mungkin bisa mengurus diri tanpa istrinya.” Roberto menatap lurus jalanan di depannya.
Part 68 - OffendedSetelah melakukan kegiatan panas di pagi hari, kini Axel mengajak Luna ke ruang kerjanya. Di mana dirinya mendapatkan penglihatan bahwa ada sebuah rekaman rahasia yang disimpan sang ayah sebagai bukti peninggalannya sebelum semua rahasia pembunuhan orang tua Luna ditutupi oleh kakeknya.“Argh, sial!” ringis Axel sambil mengumpat kesal dengan kondisinya yang begitu menyiksa.“Pelan-pelan, Ax. Sejak tadi kau sudah banyak tersiksa.”“Tadi aku tersiksa untuk kenikmatan,” kekehnya masih tak percaya melakukan percintaan di tengah rasa sakit. “Namun, kali ini aku harus menahannya lagi untuk memulihkan nama orang tuaku. Aku rasa semua ini setimpal demi menuntaskan semua hal yang terjadi dan untuk kita melanjutkan kehidupan dengan tenang. Kau setuju, bukan?” tutur Axel.Setelah itu ia tersenyum melirik Luna yang menunjukkan kekhawatirannya.“Kau terlalu baik untuk mendapatkan semua kesulitan ini, Ax.” Luna bersand
Part 67 - "You wanna f*ck with me?!"Pagi harinya di rumah sakit. Axel memaksa meminta pulang, begitu juga dengan Luna yang tampak sudah sangat rapi dan siap untuk kembali. Tak ada yang berani menahan pemilik saham terbesar di rumah sakit itu jika ia ingin pulang, sekalipun dokter yang menanganinya.Awalnya Luna yang berkeras untuk kembali demi mencari bukti penglihatan mereka di alam bawah sadar itu benar adanya. Namun, seperti yang semua orang ketahui bahwa Axel adalah bos pemaksa, maka kini keduanya bertekad mencari bersama demi menuntaskan apa yang terjadi di masa lalu.“Kau yakin tak apa dengan dadamu, Ax?” tanya Luna kesekian kalinya.“Aku yakin, Luna. Lagi pula kau bersamaku. Aku tak ingin kau bertindak gegabah dan malah membawamu dalam bahaya. Sudah kubilang itu tak akan terjadi lagi, kita akan melakukannya bersama,” tutur Axel membuat Luna tersenyum mencurigakan.“Apa ada yang lucu dari ucapanku, Luna?”“Tida
“Maaf menambahkan luka di tubuhmu,” bisik Luna. Semarah apapun dia, dirinya tetaplah luluh saat Axel memelas kesakitan sekalipun hanya pura-pura, tetapi Luna tak tega jika Axel meringis. Kini dirinya menuruti pria itu yang ingin merapatkan ranjang keduanya agar bisa lebih dekat. Luna duduk menghadap Axel yang belum bisa bergerak leluasa, wanita itu memerhatikan keadaan prianya lebih lekat dan merasa sedih akan kondisi Axel yang terjadi karena kehadirannya. “Ini tak sebanding denganmu. Jangan merasa begitu saat aku memiliki kesempatan untuk berkorban.” Luna menggeleng tak menyetujui ucapan Axel. “Tak harus sampai meregang nyawa untuk menunjukkan pengorbananmu, Ax. Aku tahu seberapa besar perasaanmu.” Axel tersenyum tipis.