Part 04 - The truth
Satu bulan kemudian.
Sepulangnya Axel ke mansion yang terletak di bagian barat Italia, menjadi kabar besar bagi seluruh pelayannya di mansion. Setelah dirinya sempat menunda kepulangannya karena memilih menjalani perawatan agar dirinya bisa segera berjalan normal, walau ternyata semua tak semudah dipikirkannya. Dirinya yang tak tahan dan merindukan tempat yang memiliki banyak kenangan bersama kedua orang tuanya di mansion, membuatnya memutuskan kembali.
Namun, saat ini dirinya tetap masih harus menggunakan kursi roda untuk bergerak, ia tetap bersyukur dan menatap bangunan luas di hadapannya dengan tatapan sendu mengingat kedua orang tuanya yang tiada, walau semua itu tertutupi dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Aroma daun di sekitar pekarangannya seolah menyambut kedatangan sang pemilik tunggal. Membuatnya mengenang malam terakhir sebelum ia dan kedua orang tuanya berangkat makan malam, sebagai kepergian terakhir mereka dari mansion.
Roberto telah menyiapkan segala kebutuhan yang diminta Axel. Pria yang dulunya memiliki keangkuhan setiap kali turun dari limosinnya itu, kini harus menunggu Roberto membuka kursi roda untuknya memasuki hunian mewahnya. Namun, hal tersebut tak membuat para pelayan yang bekerja dengan Axel bisa bertingkah sesuka mereka. Bahkan barisan para pelayan kini menunduk patuh tanpa ada yang menunjukan tatapan iba, karena itu adalah perintah langsung dari Axel.
Dia tak ingin dan tak mau ada yang menatapnya kasihan. Baginya, selagi otaknya masih bisa bekerja untuk menjalankan tampuk kejayaan Dante’s Corporation, selama itu juga Axel masih bisa menggaji seluruh pekerjanya dengan harga fantastis. Banyak pelayan yang tetap bertahan karena bayaran itu, tetapi ada juga yang tak tahan karena sikap angkuhnya yang selalu menginginkan kesempurnaan disetiap aspek penilaiannya.
“Selamat datang kembali, Tuan.” Seorang kepala pelayan menyapa Axel dengan ramah.
Seperti biasa, Axel tak acuh dan tetap menekan tombol otomatis untuk membuat kursinya berjalan melewati seluruh pelayannya. Calisto -kepala pelayan- menatap Roberto yang hanya mengedikkan bahunya. Meminta untuk memaklumi suasana hati tuannya.
“Calisto, siapkan makan malam untukku dan antarkan langsung ke kamarku. Selain itu, tak ada yang boleh menggangguku.” Suara berat itu memerintah tanpa berniat menoleh kepada lawan bicaranya.
Pria dingin itu malah terus melaju menuju lift, diikuti Roberto yang tetap dengan tenang mengekori Axel untuk segera tiba di kamarnya. Namun, baru saja mereka tiba di depan lift, suara Calisto memanggil Axel hingga pria itu berhenti.
“Tuan Muda,” panggil Calisto setelah mendapatkan sebuket bunga dari salah satu pelayan yang berlari melaporkan kiriman yang baru saja tiba itu. “Ada kiriman untuk, Tuan,” ujar Calisto.
“Bunga itu lagi?” Roberto mengerutkan keningnya. “Berikan padaku, Calisto. Aku akan membuangnya,” imbuhnya.
“Tidak perlu, Rob. Kali ini aku akan menerimanya.” Axel menahan pergerakan Roberto.
Lantas sekretarisnya itu memberikan buket bunga lily dengan amplop hitam sebagai kartu ucapan dari si pengirim. Bunga itu juga sudah beberapa kali dikirimkan ke ruangan Axel saat di rumah sakit. Namun, sayang … semuanya selalu berakhir ke tempat sampah sebelum Axel mengamuk saat melihatnya.
Axel memasuki lift melanjutkan niatnya yang sempat tertunda. Roberto sempat ingin mengikuti, tetapi bunyi ponselnya menghentikan niatnya. Axel mengangguk membiarkan Roberto menjawabnya, dan dia meninggalkan pria itu untuk menyusul.
Axel memasuki kamarnya dan membuka kartu dari si pengirim bunga. Sayangnya, tak terdapat nama siapapun di sana, akan tetapi isi dari kartu ucapan itu bukanlah ucapan doa, melainkan sebuah informasi yang membuatnya terkejut.
“Kecelakaan yang terjadi padamu disebabkan oleh unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakaimu. Aku adalah saksi mata.”
Pupil mata Axel seketika membesar. Ia meremas kartu itu dan membuangnya ke sembarang arah bersama dengan lily tersebut. Ia menatap tajam gumpalan kertas itu sampai Roberto mengetuk meminta izin untuk masuk.
Roberto masuk setelah mendapat jawaban dari Axel. Ia melihat wajah Axel yang memerah padam dan tatapan tajam itu tertuju pada kartu ucapan dari bunga yang diterima tuan mudanya tadi.
“Ada apa, Ax?” tanya Roberto mengambil kartu ucapan yang dibuang Axel, lalu membuka dan membaca isinya.
Ekspresi Roberto tak begitu terkejut dibandingkan Axel. Ia menatap punggung Axel yang tengah menghadap jendela. Pantulan wajah Axel tercetak dari jendela kaca di hadapannya itu. Raut kesal, sedih, marah semuanya berpadu dan tergambar dari setiap gurat wajah serta sorot matanya yang terlihat sangat berbeda dari sebelum ia mengalami kecelakaan. Seakan ada sesuatu yang sangat ingin dikeluarkan, tetapi tetap ditahan sekuatnya hingga terlihat tubuhnya yang menegang setiap kali diingatkan akan kecelakaan tersebut. Oleh sebab itu juga Roberto tak lagi membahas masalah kecelakaan itu sekalipun ia menyelidiki kasus tersebut secara diam-diam sesuai saran dari sahabatnya -Damian-
“Ax ….”
“Aku tak bisa percaya. Aku yakin itu hanya kiriman orang asing yang kurang kerjaan!” Axel berujar lamat-lamat sebelum Roberto berucap.
Roberto mendekat dan mengusap punggung Axel pelan. Saat ini dirinya berusaha bersikap seperti seorang sahabat bagi tuannya sekaligus ingin mengatakan hal yang mungkin akan membuat tuan mudanya itu semakin emosi.
“Axel, dengar … sepertinya itu bukan hanya kiriman orang iseng.” Roberto menjelaskan dengan tenang berdiri di belakang Axel yang menatap pantulan Roberto pada dinding kaca.
“Mohon maaf sebelumnya, jika aku tak segera mengabarimu. Aku bertindak sendiri saat pertama kali kau menyuruhku membuang semua kartu, tetapi aku sempat melihat isi dari kartu hitam ini.” Roberto mengangkat dua kartu yang sama dengan yang hari ini dilihat oleh Axel.
Roberto menatap Axel, cukup lama menunggu tuan mudanya menanggapi pengakuannya barusan. Namun, Axel membisu, entah apa yang tengah dipikirkan pria itu saat ini.
Merasa tak mendapat respon apapun, Roberto berniat melanjutkan ucapannya. “Lalu aku menemui temanku yang sempat berpapasan dengan kita di lift waktu itu. Dia menyarankanku untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kendaraanmu, dan barusan juga aku mendapat kabar bahwa oli rem pada limosinmu diputus dengan sengaja,” ungkap Roberto dalam satu tarikan napas.
Dia tak ingin Axel menyela kebenaran yang juga membuatnya tak habis pikir ada orang semacam itu yang ingin mencelakai keluarga Dante.
“Axel, kurasa kau juga perlu tahu. Malam ketika kau merasa ada kekacauan di ruang rawatmu, itu ternyata ada seseorang yang ingin membunuhmu,” tambah Roberto. “Dari dua kejadian itu, aku ingin menyarankanmu untuk menggunakan jasa pengawal, temanku—”
“Roberto, cukup!” Axel menyela dan berbalik dengan tatapan tajam.
Napasnya terengah-engah menahan gejolak amarah di dalam dadanya saat mendengar semua kebenaran yang diungkapkan secara detail oleh Roberto. Dirinya baru saja menerima kenyataan bahwa kecelakaan itu memang sudah menjadi takdirnya. Namun, ternyata semua itu adalah rencana manusia yang telah membuatnya menderita seperti saat ini.
“Ax, aku hanya ingin membantumu untuk—”
“Just do it!” Axel kembali menyela, nadanya terdengar sarat penekanan yang dalam. “And leave me alone!” pungkasnya.
Roberto mengangguk paham. Lalu bergegas meninggalkan tuan mudanya yang kembali terguncang akan sebuah fakta baru.
Axel mengembuskan napasnya gusar. Matanya berkedip berkali-kali menahan aliran bening di pelupuk netra abunya. Ia berusaha bangkit dari kursinya dengan perlahan.
Hasil perawatannya selama sebulan mulai membuat kakinya bisa bergerak walau tetap harus berpegangan pada sekitarnya. Biasanya Axel akan berlatih sambil memegang pegangan dinding rumah sakit dan sesekali ia bisa berjalan tanpa berpegangan. Namun, akibat gejolak amarah dalam hatinya yang memanas, membuatnya terguncang dan penyangga besi di dalam kakinya terasa ngilu. Kali ini ia hanya bisa berpegangan pada meja panjang yang terdapat beberapa minuman penghangat tubuh.
Axel mengambil dan menuangkannya dengan rasa amarah yang menguasai tubuhnya. Sehingga tumpahan pada saat ia menuangkan wine itu membasahi meja berlapis kain putih sebagai alasnya.
Melihat hal itu, Axel geram dan memilih meminum langsung dari botolnya. Namun, kekuatan pada kakinya mulai melemah. Dirinya hampir terjatuh jika tidak segera menghentikan kemarahannya pada diri sendiri. Lantas botol dalam genggamannya itu dilemparkannya ke lantai, menimbulkan suara gaduh disertai erangan dari bibirnya sebagai bentuk kemarahannya.
Sorot tajam dari kedua iris abunya mulai memerah dan terlihat bagai kilatan api yang membara. Hal tersebut seolah menyuarakan tentang balas dendam yang tak mungkin dilewatkannya.
Sementara itu, di balik pintu kamar Axel yang tertutup. Roberto hanya bisa menatap pintu tersebut dengan tatapan iba. Merasakan kesedihan dan kemarahan Axel sekaligus hanya dengan mendengar erangan dan amukan tuan mudanya. Lantas, ia meraih ponsel dari dalam sakunya. Menghubungi Damian sambil berjalan meninggalkan kamar Axel.
“Dam, aku menerima tawaran pengawalmu. Datangkan besok ke mansion tepat pukul sepuluh.”
Setelah mendapat jawaban dari Damian. Roberto menutup panggilan itu dan berlalu membiarkan Axel menenangkan diri.
**
Part 05 - Rejected Keesokan paginya Luna bergegas mengendarai sepeda motornya menuju kediaman Dante. Setelah semalam dirinya mendapat kabar yang sejak lama ia tunggu, akhirnya usahanya kini mendapatkan titik terang. Luna yakin kiriman bunganya ke mansion telah dilihat oleh targetnya yaitu Axel. Kini dengan persiapan matang, dirinya siap untuk masuk ke dunia Axel. Melalui pengawalannya, dia bisa dengan mudah mencari tahu siapa saja musuh yang ingin melenyapkan Axel dan dapat ia lakukan rencana untuk membalaskan dendam kematian sang kakak yang masih belum bisa ia terima begitu saja. Luna menghentikan kendaraan beroda dua itu dengan mengikuti arahan dari penjaga gerbang Dante's mansion. Lalu dirinya mendapat sambutan hangat dari Roberto yang memang sudah menunggunya. Wanita bersurai coklat gelombang itu tiba tepat waktu, hal tersebut men
Part 06 - First Day Luna mengendarai motor besarnya menuju Dante's mansion. Di hari pertamanya bekerja, dirinya tak ingin terlambat demi menunjukkan sikap profesionalnya sebagai bodyguard. Luna mengingat kembali kejadian kemarin. Setelah pagi hari mendapat penolakan langsung, pada malam harinya Luna melakukan sesuatu yang membuat Axel menerimanya menjadi pengawal. Tentunya semua itu memang sengaja dilakukan Luna yang kembali memohon pada Damian untuk membantunya membuat Axel berada dalam bahaya yang dibuat-buat lalu Luna datang dan menjadikan nilai plus pada dirinya di mata Axel. Cara klasik yang sering digunakan Luna dan Damian saat ingin mengerjai kakek mereka ketika bertambah umur. Sehingga kini di sinilah Luna berada, memarkirkan sepeda motornya. Di halaman belakang Dante's mansion yang tersedia garasi untuk meletakan seluruh kendaraan milik Axel dan para pelayannya. Ia membuka helm dan seketika ram
Part 07 - Awkward Setibanya di kamar, Axel beranjak dari kursi roda. Dia mendengkus kesal, lantaran tingkah Luna di hari pertama bekerja membuatnya geram. Mengganti celana bukan hal sulit bagi Axel yang sebenarnya sudah bisa berjalan, tetapi waktunya jadi terbuang untuk memulai pekerjaannya. Sudah dikatakan bahwa Axel adalah pria perfectionis dalam segala hal termasuk berpenampilan. "Dasar wanita gila! Bagaimana bisa aksi heroiknya semalam berbanding terbalik dengan tingkahnya pagi ini!" Axel merutuk lagi. Ia kembali mengingat wajah panik Luna dari jarak sedekat tadi. "Oh, ya ampun! Maafkan aku, Tuan." "Tuan, kau baik-baik saja?!" Sontak jantung Axel berdetak kuat dalam satu detik. Seketika itu juga ia memejamkan matanya saat suara dan bayangan w
Part 08 - You're welcome Setelah satu harian mengawal Axel tanpa kendala lain, Luna akhirnya bisa pulang kembali ke apartemennya. Tubuhnya cukup lelah harus berdiri selama beberapa jam, demi tetap siaga menjaga sekitar tempat pertemuan Axel dengan beberapa kliennya. Dengan malas Luna mengenakan helmnya dan hendak menaiki motornya, tetapi seketika penutup helm Luna diturunkan oleh seseorang dari belakang. Lantas dengan cekatan, wanita tangguh itu meraih tangan itu dan hendak melakukan gerakan perlindungan. Sayangnya orang tersebut lebih dulu menghindar sebelum Luna sempat memelintir pergelangan tangan itu. “Wow! Tenang Luna. Ini aku." Roberto membuka penutup helmnya. Begitu juga dengan Luna yang membuka penutup helmnya, ia terkejut mendapati Roberto yang juga sudah mengenakan helm dan jake
Part 09 - Sadden Beberapa hari kemudian… Keseharian Axel berjalan normal seperti saat dia bisa berjalan sendiri. Memimpin perusahaan seperti biasa, melakukan meeting dengan beberapa klien dan berkumpul bersama rekan bisnis. Setelah memenangkan proyek dengan membuka satu lounge di Dante's hotel untuk merayakan keberhasilannya hari itu. Bukan tanpa sebab juga Axel mau melakukan semua ini, tetapi dirinya juga ingin menjalankan misinya—walau ia harus bertahan dengan semua omongan yang terdengar di belakangnya. Bukan Axel tak tahu, ia selalu tahu dan memiliki banyak telinga serta mulut yang mengadu kepadanya. Tentunya semua orang yang mengadu adalah orang-orang yang ha
Part 10 - Valerio Justino Keesokan harinya, Axel dan Roberto sudah bersiap ke luar dari mansion. Saat ini Luna sudah menunggu di samping limosin yang terparkir di depan pintu utama. Saat melihat kemunculan Axel dari balik pintu putih itu, hijau emerald dari mata Luna menatap sorot dingin abu dari iris Axel. Luna membungkuk dan menyapanya, “Selamat pagi, Tuan.” Sambutan Luna terlontar halus. Dikarenakan hari ini Axel tak melakukan sarapan di mansion, oleh sebab itu Luna dan Axel baru bersinggungan. Namun, nyatanya Axel hanya mengangguk pelan nyaris tak terlihat. Bahkan tatapan Axel tak menoleh sedikitpun kepada Luna. Hal tersebut bukan hanya dirasakan Luna, melainkan Roberto juga merasakan aura yang sama. Pria itu paling mengenal aura layaknya gunung es di Everest itu dikeluarkan jika tuannya sedang dalam suasana sangat tidak menyenang
Part 11- Angelica de Luca Suara ketukan terdengar menyingkirkan pemikiran Axel yang mulai terganggu akan setiap gerak gerik Luna, dan kini wanita yang mulai merasuki pikiran Axel itu. Sedang berjalan menghampirinya. “Kau memanggilku, Tuan?” tanya Luna saat dirinya tiba di hadapan Axel. Pria itu mengerutkan keningnya sejenak, lalu Roberto masuk dan menunjuk Luna menggunakan isyarat matanya. Roberto sialan! Kukira dia yang akan bicara pada Luna. Axel menggerutu dalam hati. Sedikit berdeham demi menormalkan kondisinya. “Ah, ya. Malam ini kau harus lembur. Aku hendak makan malam dengan nona de Luca. Kau ….” Axel menjeda sejenak ucapannya. Melirik Roberto yang malah duduk santai di sofa single tanpa membantunya bicara sama sekali. Pria itu malah memasang wajah lugu menunggu Axel mengutarakan maksudnya. “Begini, Luna. Kau bisa duduk dulu,” pinta Axel, kembali beralih pada Luna. Luna menuruti walau ia masih belum men
Part 12 - Dinner Luna terdiam memandangi gaun hitam beludru yang kini tengah ia angkat tinggi sejajar menggunakan kedua tangannya. Gaun di atas lutut itu tampak tak nyaman untuknya gunakan. Ia menggeleng dan kembali memasukan gaun tersebut ke kotak yang ia terima dari Roberto sepulangnya tadi untuk menyiapkan diri. “Tidak! Aku tak bisa menggunakan ini.” Luna berujar pada dirinya sendiri. Lantas ia memilih membongkar pakaiannya, mengingat ada satu dua gaun sederhana yang tidak terlalu ketat dan masih bisa digunakan untuk bergerak leluasa. Dalam beberapa menit membongkar isi lemari, akhirnya ia menemukan sebuah terusan sederhana berwarna hitam. Ia tersenyum dan teringat ia memiliki boots berwarna senada untuknya melengkapi pakaian itu.
Extra Part 2 Keesokan harinya. Axel mendapat kabar bahwa keadaan perusahaan Dante yang terlalu lama ditinggalkan Axel, kini sedang membutuhkannya kembali memimpin. Hal tersebut memaksanya untuk segera pulang hari itu juga. Terlebih ada hal penting lainnya yang hendak ia persiapkan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali Axel berkemas setelah beberapa hari ia menginap di kediaman Salvatore dan mendapatkan jamuan terbaik dari Nathaniel yang begitu ramah juga terbuka dengannya, berbeda dengan Damian yang selalu mencecarnya menggunakan berbagai pertanyaan untuk menyudutkannya seolah mengibarkan bendera perang pada Axel yang gencar untuk menguasai Luna. Namun, bukan karena Axel mau berlama-lama di sana. Semua itu karena ia berjuang keras meyakinkan Luna untuk kembali ke mansionnya. Akan tetapi, wanita itu sungguh keras kepala dan menahannya lebih lama di kebun anggur. Axel bahkan sempat turun tangan ikut berkebun karena dikerjai Damian y
Extra part 1 Malam pun tiba setelah Axel dan Luna menyelesaikan ronde kedua percintaan mereka yang mengakibatkan keduanya terlambat berkumpul dan tentunya tanpa membantu Sheina menyiapkan anggur. Namun, tampaknya semua tak masalah seolah mereka memahami juga memaklumi kedua sejoli yang sedang romantis itu memadu kasih hingga lupa waktu. “Luna, ajaklah Axel melihat gudang anggur dan biarkan dia memilih beberapa botol anggur buatan kita untuk dibawa pulang. Anggaplah sebagai hadiah dariku,” ujar Nathaniel. “Sungguh kau tak perlu repot-repot, Tuan.” “Tidak sama sekali, aku memaksa jadi ambillah. Hadiah itu tak seberapa dengan terungkapnya kasus kematian anak angkatku,” ungkap Nathaniel. “Ayolah, Ax. Kakek jarang sekali memberikan tamu hadiah anggur. Kau beruntung hari ini,” goda Luna hendak beranjak dari duduknya. Namun, Damian menahannya. “Biar aku saja, Luna. Sekalian aku ingin bicara dengannya,” ujar Damian. “Ayo, kawa
Kedatangan Axel ke kebun anggur milik Salvatore menjadi kehebohan tersendiri bagi Luna. Bukan hanya karena dirinya seorang yang berada di sana. Damian dan Nathaniel yakni sang kakek juga sudah menantikan pria yang berhasil membuat cucu angkatnya memuji pria angkuh itu. Setelah bercengkrama membicarakan segala hal tentang dirinya juga bisnis yang mungkin akan terjalin, Axel dipersilakan beristirahat sejenak di kamar yang sudah di siapkan untuknya sebelum makan malam tiba. Diantarkan Luna sampai di depan pintu kamar untuknya, Axel merasa tak puas dan menarik Luna masuk lalu menciumnya tak sabaran. “Axel, aku harus membantu Sheina menyiapkan anggur untuk makan malam!” peringat Luna berbisik. “Aku tak peduli. Sejak kedatanganku kakekmu dan Damian menyerangku dengan berba
Ditemukannya Lanzo dan tertangkapnya Fausto menjadikan suasana sidang tampak begitu tegang. Terlebih saat ini Lanzo tengah bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan lampau yang dilakukannya. “Saat itu aku memang hendak menyerahkan diri, tetapi Fausto menyuruhku pergi agar aku tidak membocorkan identitasnya yang menyuruhku melakukan perampokan.” Tatapan Lanzo tertuju pada Axel. Pria itu memalingkan tatapannya. Walau Axel tahu cerita Lanzo benar karena bukti dari rekaman sang ayah yang mengatakan Lanzo hanya pion catur dan sang ayah terseret dalam masalah yang tak diinginkan terjadi. “Semua itu terjadi karena hasutan Fausto. Dia yang menyuruhku untuk melarikan diri dan bersembunyi selama belasan tahun. Bahkan aku kehilangan momen penting dalam hidup, kelahiran putriku dan tak dapat mendidiknya de
Roberto dan Damian tengah bersiap melakukan penyergapan tanpa menunggu malam tiba. Prediksi mereka ternyata benar bahwa Fausto merencanakan pelarian sebelum gelap. Dengan anggota tim bodyguard profesional mereka membentuk dua tim. Tim satu bersama Damian memimpin penyergapan dari pintu depan. Tim dua Roberto bersama sisa anak buah Damian menunggu dari pintu belakang. Para pasukan berbaris di belakang Damian. Lalu Damian memberikan instruksi untuk bersiap di sisi pintu masuk sambil menoleh pada semua anak buahnya yang mengangguk siap. “Rob, kau sudah siaga?” tanya Damian melalui alat komunikasi yang tertempel di telinganya. “Kami sudah siap, Dam. Kapanpun kau menyergap.” “Baiklah, dalam hitungan ketiga,” balas Da
Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)Setelah bermalam di tempat kakek Damian, pagi-pagi sekali keduanya berangkat ke tempat yang sudah dipastikan oleh anak buah Damian bahwa terdapat tanda kehidupan pada sebuah rumah yang diyakini seorang wanita paruh baya tengah keluar dari rumah tersebut.Roberto meyakini foto yang dikirimkan anak buah Damian adalah bibinya yang selama ini tak terlihat di mana pun. Sementara itu di dalam perjalanan mereka, Roberto mendapatkan telepon dari rumah sakit, tentang kepulangan Axel dan Luna. Hal tersebut menambahkan beban pikiran Roberto yang masih harus menyusuri perjalanan jauh. Dia sengaja tak mau mengatakan apa pun tentang pencariannya itu kepada Axel karena ia yakin, pria arogan itu akan menyusulnya dan berpotensi menggagalkan penyusupan mereka.“Aku yakin ada ruang rahasia tempat Fausto bersembunyi, ia tak mungkin bisa mengurus diri tanpa istrinya.” Roberto menatap lurus jalanan di depannya.
Part 68 - OffendedSetelah melakukan kegiatan panas di pagi hari, kini Axel mengajak Luna ke ruang kerjanya. Di mana dirinya mendapatkan penglihatan bahwa ada sebuah rekaman rahasia yang disimpan sang ayah sebagai bukti peninggalannya sebelum semua rahasia pembunuhan orang tua Luna ditutupi oleh kakeknya.“Argh, sial!” ringis Axel sambil mengumpat kesal dengan kondisinya yang begitu menyiksa.“Pelan-pelan, Ax. Sejak tadi kau sudah banyak tersiksa.”“Tadi aku tersiksa untuk kenikmatan,” kekehnya masih tak percaya melakukan percintaan di tengah rasa sakit. “Namun, kali ini aku harus menahannya lagi untuk memulihkan nama orang tuaku. Aku rasa semua ini setimpal demi menuntaskan semua hal yang terjadi dan untuk kita melanjutkan kehidupan dengan tenang. Kau setuju, bukan?” tutur Axel.Setelah itu ia tersenyum melirik Luna yang menunjukkan kekhawatirannya.“Kau terlalu baik untuk mendapatkan semua kesulitan ini, Ax.” Luna bersand
Part 67 - "You wanna f*ck with me?!"Pagi harinya di rumah sakit. Axel memaksa meminta pulang, begitu juga dengan Luna yang tampak sudah sangat rapi dan siap untuk kembali. Tak ada yang berani menahan pemilik saham terbesar di rumah sakit itu jika ia ingin pulang, sekalipun dokter yang menanganinya.Awalnya Luna yang berkeras untuk kembali demi mencari bukti penglihatan mereka di alam bawah sadar itu benar adanya. Namun, seperti yang semua orang ketahui bahwa Axel adalah bos pemaksa, maka kini keduanya bertekad mencari bersama demi menuntaskan apa yang terjadi di masa lalu.“Kau yakin tak apa dengan dadamu, Ax?” tanya Luna kesekian kalinya.“Aku yakin, Luna. Lagi pula kau bersamaku. Aku tak ingin kau bertindak gegabah dan malah membawamu dalam bahaya. Sudah kubilang itu tak akan terjadi lagi, kita akan melakukannya bersama,” tutur Axel membuat Luna tersenyum mencurigakan.“Apa ada yang lucu dari ucapanku, Luna?”“Tida
“Maaf menambahkan luka di tubuhmu,” bisik Luna. Semarah apapun dia, dirinya tetaplah luluh saat Axel memelas kesakitan sekalipun hanya pura-pura, tetapi Luna tak tega jika Axel meringis. Kini dirinya menuruti pria itu yang ingin merapatkan ranjang keduanya agar bisa lebih dekat. Luna duduk menghadap Axel yang belum bisa bergerak leluasa, wanita itu memerhatikan keadaan prianya lebih lekat dan merasa sedih akan kondisi Axel yang terjadi karena kehadirannya. “Ini tak sebanding denganmu. Jangan merasa begitu saat aku memiliki kesempatan untuk berkorban.” Luna menggeleng tak menyetujui ucapan Axel. “Tak harus sampai meregang nyawa untuk menunjukkan pengorbananmu, Ax. Aku tahu seberapa besar perasaanmu.” Axel tersenyum tipis.