Part 06 - First Day
Luna mengendarai motor besarnya menuju Dante's mansion. Di hari pertamanya bekerja, dirinya tak ingin terlambat demi menunjukkan sikap profesionalnya sebagai bodyguard. Luna mengingat kembali kejadian kemarin. Setelah pagi hari mendapat penolakan langsung, pada malam harinya Luna melakukan sesuatu yang membuat Axel menerimanya menjadi pengawal.
Tentunya semua itu memang sengaja dilakukan Luna yang kembali memohon pada Damian untuk membantunya membuat Axel berada dalam bahaya yang dibuat-buat lalu Luna datang dan menjadikan nilai plus pada dirinya di mata Axel. Cara klasik yang sering digunakan Luna dan Damian saat ingin mengerjai kakek mereka ketika bertambah umur.
Sehingga kini di sinilah Luna berada, memarkirkan sepeda motornya. Di halaman belakang Dante's mansion yang tersedia garasi untuk meletakan seluruh kendaraan milik Axel dan para pelayannya. Ia membuka helm dan seketika rambut coklat gelombangnya tergerai indah ke punggung, sambil mengibaskannya ia meletakan helm di atas motornya dengan rapi lalu mengikat rambutnya menjadi satu. Bibir tipis merah alaminya itu tersungging ke atas, Luna menyapa beberapa pelayan yang tengah menyirami pepohonan di sana.
Setelah itu, ia masuk ke mansion dan menuju ruang makan, di mana Roberto sudah menginstruksikannya semalam pada panggilan telepon.
Sementara itu di balik jendela kaca bertirai abu, berdiri di sana Axel yang sempat memerhatikan kedatangan Luna. Cukup lama bahkan sampai Luna menghilang masuk melalui pintu belakang. Dia baru saja selesai membasuh diri dan merapikan penampilannya—menggunakan setelan jas seperti biasa serta mengaitkan kancing lengannya dengan telaten.
Axeleon terbiasa tampil sempurna, dirinya mematutkan penampilan yang akan membuat orang lain memandangnya segan tanpa berani mencelanya. Walau kini ia masih harus tahan akan bisikan para karyawan yang sempat terdengar olehnya, tetapi dengan kekuasaannya … semua itu begitu mudah bagi Axel memecat mereka dan mendapatkan yang baru. Tentunya hal tersebut sempat membuat Roberto mendapatkan pekerjaan tambahan dengan mencari orang yang kompeten sesuai keinginan Axel.
Suara sapaan dari balik pintu kamarnya terdengar. Axel mempersilakan Roberto masuk.
“Selamat pagi, Axel. Pengawalmu sudah tiba. Dia menunggu di ruang makan.” Roberto menyapa akrab sambil mendorong kursi roda di samping ranjang Axel. Mendekatkan benda itu pada tuan mudanya untuk dinaiki.
“Baiklah, mari kita lihat … apa dia bisa bertahan lama bekerja denganku,” ujar Axel menaiki kursi rodanya.
Lalu keduanya berjalan bersisian, tentunya Robert tetap melakukan tugasnya dengan memaparkan laporan yang akan dikerjakan Axel hari ini, dan pertemuannya dengan beberapa klien serta rekan kerjanya. Robert juga melaporkan kondisi stabil dari rumah sakit, hotel dan restoran serta segala properti lain milik Dante's corporated yang menjadi beban berat dipundak Axel saat ini.
Seluruh pelayan menunduk hormat saat suara Axel dan Robert terdengar hadir di koridor menuju ruang makan. Mengingat mansion yang teramat besar, memang sering kali membutuhkan waktu lebih lama hanya untuk tiba ke ruangan lain.
Sementara itu di ruang makan bergaya eropa modern itu, telah berjejer rapi pelayan dan koki yang sudah menyiapkan makanan untuk tuan mereka. Callisto selaku kepala pelayan terlihat masih memeriksa satu persatu makanan yang disajikan di meja panjang dengan kursi yang berbaris rapi mengelilingi meja. Furniture yang dipesan langsung ke pengrajin di Roma itu memiliki ukiran indah pada sandarannya yang berlapis tembaga silver, sementara mejanya berlapis marmer dengan warna senada.
Axeleon tiba di sana, para pelayan pamit undur diri untuk membiarkan Axel menikmati sarapannya dengan tenang dan hanya menyisakan kepala koki serta Calisto.
Sementara Roberto sudah terbiasa menemani Axel sarapan. Kini hanya Luna yang tak tahu harus bagaimana, ia belum terbiasa menjadi pengawal pengusaha seperti Axel. Biasanya dia selalu ditugaskan untuk mengawal bos mafia atau orang dari pemerintahan, itupun dirinya hanya menunggu di luar saat tuannya menikmati makanan ataupun berjalan di depan terkadang di belakang tuan yang dikawalnya. Tentunya bersama beberapa pengawal lain. Karena memang beberapa orang yang memakai jasa pengawal adalah orang penting yang cukup dikatakan berpengaruh untuk beberapa bisnis tertentu.
“Silakan, Nona Davidde.” Roberto memainkan matanya ke arah makanan yang terbuka di hadapan Axel. Tentunya setelah sang koki menjelaskan apa yang dimasaknya hari ini.
Luna mengerutkan keningnya membaca isyarat dari Roberto yang memintanya untuk mencicipi makanan Axel. Luna yang merasa canggung, akhirnya menuruti saja tugas tersebut. Dia mendekat ke samping Axel yang seketika tercium aroma parfum milik pria dingin itu berpadu dengan hidangan di hadapan Axel dan memasuki indera penciuman Luna secara bersamaan.
Luna menggunakan garpu yang diberikan Calisto di sampingnya lalu mengambil satu bagian dari makanan Axel.
“Permisi, Tuan.” Luna meminta izin dan mendapat anggukan kecil dari Axel. Kedua mata mereka sempat bertemu sekejap. Tanpa sengaja Luna menangkap sorot dingin Axel yang terlihat sendu sekilas.
Di saat itu terjadi, Axel juga menatap wajah Luna yang sempat berada cukup dekat di hadapannya. Pria itu tak berkedip dan malah sempat mengendus aroma parfum Luna yang begitu manis. Pupilnya sedikit membulat ketika mengingat sekelebat bayangan melintas dalam pikirannya.
Aroma parfum ini, seperti aku pernah menciumnya.
Ada apa dengan sorot dinginnya yang berganti sendu dalam sekejap?
Lantas keduanya membatin dalam hitungan detik, memikirkan kontak mata barusan yang terasa berkesan, walau keduanya juga merasa itu hanya seperti kebetulan yang wajar.
Luna mengangguk setelah menelan makanan yang dicicipinya. Ia menatap yakin pada Roberto, bahwa makanannya aman untuk dinikmati, dan tentu rasanya sangat lezat.
Axel terbiasa menukar pekerjanya dari hotel, restoran lalu berpindah ke mansion. Hal tersebut dilakukannya, untuk melihat kinerja koki dan pelayannya. Hal tersebut yang membuatnya harus waspada terhadap apapun yang hendak dinikmatinya. Terlebih saat ini dirinya masih harus mencari siapa yang menyabotase mobilnya.
Setelah mendapat kepastian bahwa makanan tersebut aman, Roberto meminta kepala koki dan Callisto untuk kembali ke tempat mereka membiarkan tuannya menikmati hidangan tersebut dengan tenang.
Axel mulai menikmati makanannya, lalu Roberto juga.
“Maaf, Tuan, apa aku sudah bisa keluar?” tanya Luna. Merasa tugasnya sudah selesai dan ingin menunggu di luar.
Wanita itu hendak keluar, tetapi jawaban dari Roberto memintanya untuk tetap di samping Axel, selama sarapan itu berlangsung.
Luna merasa tak nyaman sekaligus masih tak enak dengan ucapan terakhirnya pada Axel yang menjadi kenyataan karena rencananya semalam berhasil membuat Axel menyesali penolakan terhadap Luna. Wanita itu kini jadi merasa canggung saat berada di sekitar pria dingin itu. Terlebih saat kedua matanya bertemu dengan Axel ketika baru saja tiba di ruang makan tersebut.
“Apa kau sudah makan?” tanya Roberto membuyarkan lamunan Luna.
"Aku sudah ....” Ucapan Luna terputus saat suara perutnya menjawab pertanyaan tersebut.
Seketika semburat merah terpancar di wajah putih pucat milik Luna. Ia berdeham kecil menahan malu, lantaran ucapannya kembali tertelan dan dirinya memang lupa bahwa sejak semalam ia tak memberi makan perutnya. Lantas bunyi tadi adalah jawabannya.
Roberto terkekeh dan berdiri menghampiri wanita itu. “Kalau begitu, kau harus bergabung,” usul Roberto membawa Luna untuk duduk di sisi lain meja yang berhadapan dengannya.
Sementara Axel tetap pada posisinya di tengah, tetap dingin walau acara makannya cukup terganggu.
"Tuan Saverio, sepertinya ini salah,” tolak Luna hendak berdiri, tetapi Roberto menahan kedua bahu Luna untuk kembali duduk.
“Jika lapar, kau harus makan. Apa yang salah? Aku akan meminta piring pada Callisto.” Roberto hendak meninggalkan keduanya.
“Ah, tak perlu repot-repot, Tuan. Aku bisa makan di luar.”
“Sssttt, diam di situ. Aku akan memanggil Calisto.”
“Kalau begitu biar aku saja—”
“Hei, jangan sungkan.” Roberto kembali menyela.
Pria humble itu mengedipkan sebelah matanya sebelum ia keluar dari sana, menunjukan bahwa tak perlu mempermasalahkan hal kecil itu.
Dalam diam, Luna menunggu bersama Axel yang tetap dengan tenang mulai melanjutkan makannya. Sambil tetap memasang wajah dinginnya. Pria itu seakan tak acuh dengan keberadaan Luna di sampingnya yang kembali mengeluarkan bunyi dari perutnya.
Hal tersebut membuat Luna kembali tenggelam dalam malu.
“Ma-maaf, Tuan.” Luna menggumam dengan kepala tertunduk.
“Untuk apa?” tanya Axel dengan suara beratnya yang terdengar datar.
“Untuk ucapanku kemarin dan untuk suara perutku,” jawab Luna perlahan dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Axel menghentikan gerakan tangannya dan menoleh kepada Luna yang juga memberanikan diri menatap Axel.
“Ucapanmu yang mana? Kau banyak menyelaku kemarin, tetapi sekarang …," jeda sejenak. Axel menelan makanannya, “apa kau sedang panas dalam?!” tukas Axel.
Luna menelan keluh salivanya. Tadinya ia ingin menjelaskan bahwa dirinya menyesal sempat menantang Axel kemarin, akan tetapi rasanya pria itu tampak baik-baik saja. Luna merasa hanya dirinya yang berpikir secara berlebihan.
“Perkataanku yang mana saja, yang sempat membuatmu tersinggung dan sikapku pagi ini, aku tak akan mengulanginya lagi,” tutur Luna berusaha sesopan mungkin.
“Lain kali persiapkan dirimu, aku tak ingin pengawalku mengalami sakit saat sedang mengawal. Entah apa yang orang katakan nanti!” sarkas Axel.
Pria itu telah selesai menikmati makan paginya. Axel hendak mengakhirinya dengan segelas air putih, tetapi gelasnya telah kosong. Air yang dia butuhkan terletak sedikit jauh dari jangkauannya. Melihat Axel yang hendak mengambilnya, Luna berinisiatif menawarkan bantuannya tanpa tahu bahwa Axel tak menyukai hal yang tidak diperintahkannya, tetapi dilakukan pekerjanya.
“Ah, biar aku saja, Tuan.”
Luna meraih teko tinggi bening berisi air mineral. Lalu mendekatkannya pada gelas milik Axel. Keduanya kembali sempat menabrakan tatapannya. Hingga hal tersebut membuat Luna menumpahkan air yang dituangnya ke atas celana Axel.
Sontak wanita itu memekik terkejut. “Oh, ya ampun! Maafkan aku, Tuan.” Luna dengan spontan mengambil serbet Axel di dadanya dan tanpa segan mengusapkannya ke atas paha Axel yang basah.
Tanpa ia sadari posisinya saat ini begitu dekat, bahkan Axel hanya memejamkan matanya dengan mengatupkan rahang menahan emosinya. Sekali dalam hidupnya, ada seorang wanita yang berani menyentuhnya seintens dan sedekat itu serta senekat itu juga melakukan hal yang paling dibenci Axel, yaitu disentuh.
“Ma-maafkan aku, Tuan. Sungguh, aku tak sengaja melakukannya," gelagap Luna.
Entah karena efek belum makan, atau dirinya memang menjadi kurang fokus memikirkan banyak hal buruk menimpa Axel. Biasanya Luna tak pernah melakukan kesalahan kecil seperti itu, tetapi sejak kemarin dirinya malah selalu menunjukkan sisi buruknya di depan Axel.
Luna yang masih sibuk menyeka tumpahan di celana Axel, terus mengucapkan kata maaf berulang kali. Tanpa berani menatap wajah tuannya yang kini sudah memerah padam. Sementara Axel yang menahan amarahnya sejak tadi, berusaha untuk menyudahi aksi gila Luna yang sangat mengganggu baginya.
"Cukup, Luna.” Suara Axel terdengar rendah.
Namun, karena sibuk meminta maaf, Luna tak mendengar ucapan Axel dan tetap berusaha membasuh celana Axel. Hal tersebut membuat kesabaran Axel habis. Pria itu terlihat menarik dalam napasnya dan dalam satu kali embusan kedua tangannya meraih tangan Luna lalu menariknya ke atas untuk membuat wajah panik Luna menatapnya.
“I said … enough!” sentak Axel menatap tajam wajah terkejut Luna.
Sontak wanita itu tercengang akan sentakan Axel. Keduanya sempat bergeming dalam beberapa detik. Retina mereka juga sempat saling beradu, Axel mengerutkan kening dengan alis menjurus ke dalam. Sementara Luna tetap tak dapat menghilangkan rasa terkejutnya, iris emeraldnya berusaha menghindari tabrakan netra abu milik Axel yang terlihat tajam.
Oh, sial! Wanita macam apa dia?! Beraninya menyentuh bagian berbahaya bagi kaum adam! gerutu Axel dalam hati.
Astaga …, hal bodoh apa lagi yang kau lakukan, Luna?! rutuk Luna dalam hati.
Dalam satu menit keduanya masih terdiam saling menatap dalam jarak yang cukup dekat, walau runtukan dalam hati sempat terucap. Keduanya enggan melepaskan tatapan yang bertaut itu. Sampai suara Roberto menyadarkan mereka. Sontak Axel memutuskan lebih dulu dan menyingkirkan tangan Luna dengan kasar.
“Apa yang terjadi, Ax?” tanya Roberto tampak panik.
“Tanyakan padanya, apa yang telah dia perbuat!” tukas Axel. Memilih menjalankan kursinya ke luar. “Atur ulang jadwalku, Robert. Mundurkan setengah jam dari jadwal sebelumnya!" perintah Axel meninggalkan keduanya untuk kembali ke kamarnya.
Robert menunjukkan wajah bertanya-tanya pada Luna. Wanita itu meringis dengan wajah nelangsanya. Kaki jenjangnya terasa lemas seketika hingga ia memilih duduk sejenak dan merutuki kebodohannya.
“Apa yang terjadi, Luna? Apa kau menyentuhnya?” tanya Roberto, lebih tepatnya ia menerka dengan membaca situasi dan ekspresi wajah Axel.
“Oh, ya ampun, Robert. Sepertinya aku dalam masalah besar,” ringis Luna.
**
Part 07 - Awkward Setibanya di kamar, Axel beranjak dari kursi roda. Dia mendengkus kesal, lantaran tingkah Luna di hari pertama bekerja membuatnya geram. Mengganti celana bukan hal sulit bagi Axel yang sebenarnya sudah bisa berjalan, tetapi waktunya jadi terbuang untuk memulai pekerjaannya. Sudah dikatakan bahwa Axel adalah pria perfectionis dalam segala hal termasuk berpenampilan. "Dasar wanita gila! Bagaimana bisa aksi heroiknya semalam berbanding terbalik dengan tingkahnya pagi ini!" Axel merutuk lagi. Ia kembali mengingat wajah panik Luna dari jarak sedekat tadi. "Oh, ya ampun! Maafkan aku, Tuan." "Tuan, kau baik-baik saja?!" Sontak jantung Axel berdetak kuat dalam satu detik. Seketika itu juga ia memejamkan matanya saat suara dan bayangan w
Part 08 - You're welcome Setelah satu harian mengawal Axel tanpa kendala lain, Luna akhirnya bisa pulang kembali ke apartemennya. Tubuhnya cukup lelah harus berdiri selama beberapa jam, demi tetap siaga menjaga sekitar tempat pertemuan Axel dengan beberapa kliennya. Dengan malas Luna mengenakan helmnya dan hendak menaiki motornya, tetapi seketika penutup helm Luna diturunkan oleh seseorang dari belakang. Lantas dengan cekatan, wanita tangguh itu meraih tangan itu dan hendak melakukan gerakan perlindungan. Sayangnya orang tersebut lebih dulu menghindar sebelum Luna sempat memelintir pergelangan tangan itu. “Wow! Tenang Luna. Ini aku." Roberto membuka penutup helmnya. Begitu juga dengan Luna yang membuka penutup helmnya, ia terkejut mendapati Roberto yang juga sudah mengenakan helm dan jake
Part 09 - Sadden Beberapa hari kemudian… Keseharian Axel berjalan normal seperti saat dia bisa berjalan sendiri. Memimpin perusahaan seperti biasa, melakukan meeting dengan beberapa klien dan berkumpul bersama rekan bisnis. Setelah memenangkan proyek dengan membuka satu lounge di Dante's hotel untuk merayakan keberhasilannya hari itu. Bukan tanpa sebab juga Axel mau melakukan semua ini, tetapi dirinya juga ingin menjalankan misinya—walau ia harus bertahan dengan semua omongan yang terdengar di belakangnya. Bukan Axel tak tahu, ia selalu tahu dan memiliki banyak telinga serta mulut yang mengadu kepadanya. Tentunya semua orang yang mengadu adalah orang-orang yang ha
Part 10 - Valerio Justino Keesokan harinya, Axel dan Roberto sudah bersiap ke luar dari mansion. Saat ini Luna sudah menunggu di samping limosin yang terparkir di depan pintu utama. Saat melihat kemunculan Axel dari balik pintu putih itu, hijau emerald dari mata Luna menatap sorot dingin abu dari iris Axel. Luna membungkuk dan menyapanya, “Selamat pagi, Tuan.” Sambutan Luna terlontar halus. Dikarenakan hari ini Axel tak melakukan sarapan di mansion, oleh sebab itu Luna dan Axel baru bersinggungan. Namun, nyatanya Axel hanya mengangguk pelan nyaris tak terlihat. Bahkan tatapan Axel tak menoleh sedikitpun kepada Luna. Hal tersebut bukan hanya dirasakan Luna, melainkan Roberto juga merasakan aura yang sama. Pria itu paling mengenal aura layaknya gunung es di Everest itu dikeluarkan jika tuannya sedang dalam suasana sangat tidak menyenang
Part 11- Angelica de Luca Suara ketukan terdengar menyingkirkan pemikiran Axel yang mulai terganggu akan setiap gerak gerik Luna, dan kini wanita yang mulai merasuki pikiran Axel itu. Sedang berjalan menghampirinya. “Kau memanggilku, Tuan?” tanya Luna saat dirinya tiba di hadapan Axel. Pria itu mengerutkan keningnya sejenak, lalu Roberto masuk dan menunjuk Luna menggunakan isyarat matanya. Roberto sialan! Kukira dia yang akan bicara pada Luna. Axel menggerutu dalam hati. Sedikit berdeham demi menormalkan kondisinya. “Ah, ya. Malam ini kau harus lembur. Aku hendak makan malam dengan nona de Luca. Kau ….” Axel menjeda sejenak ucapannya. Melirik Roberto yang malah duduk santai di sofa single tanpa membantunya bicara sama sekali. Pria itu malah memasang wajah lugu menunggu Axel mengutarakan maksudnya. “Begini, Luna. Kau bisa duduk dulu,” pinta Axel, kembali beralih pada Luna. Luna menuruti walau ia masih belum men
Part 12 - Dinner Luna terdiam memandangi gaun hitam beludru yang kini tengah ia angkat tinggi sejajar menggunakan kedua tangannya. Gaun di atas lutut itu tampak tak nyaman untuknya gunakan. Ia menggeleng dan kembali memasukan gaun tersebut ke kotak yang ia terima dari Roberto sepulangnya tadi untuk menyiapkan diri. “Tidak! Aku tak bisa menggunakan ini.” Luna berujar pada dirinya sendiri. Lantas ia memilih membongkar pakaiannya, mengingat ada satu dua gaun sederhana yang tidak terlalu ketat dan masih bisa digunakan untuk bergerak leluasa. Dalam beberapa menit membongkar isi lemari, akhirnya ia menemukan sebuah terusan sederhana berwarna hitam. Ia tersenyum dan teringat ia memiliki boots berwarna senada untuknya melengkapi pakaian itu.
Part 13 - You're very unexpected! Luna melepaskan tangannya dari pegangan Valerio, saat tatapannya mendarat pada netra abu Axel yang tampak menyorot tajam pada tangannya. Aura menyeramkan yang ditujukan Axel, semakin terasa mencekam saat tatapan itu beralih padanya. “Valerio, apa kau sudah memanggil Antonio untuk menyiapkan mobil?” Pertanyaan dari Angelica memutus semua tatapan Luna dan Axel serta Valerio. “Ya, aku sudah menghubunginya. Silakan, Nona,” ujar Valerio. “Baiklah, Ax. Sesuai percakapan kita, nanti kita bahas lagi pada pertemuan berikutnya,” ujar Angelica mengecup pipi kiri dan kanan Axel. Pria dingin itu mengangguk dan tersenyum. Lalu membiarkan Angelica beranjak dari sana bersama Valerio. Meninggalkan Axel bersama Luna dalam suasana canggung. “Ma-maaf, Tuan yang tadi itu terjadi begitu saja. Aku juga tak menyangka dia akan—” “Aku tak meminta penjelasan apa pun untuk apa kau menjelaskannya,” sela Ax
Part 14 - She's [Cute] Sexy Satu minggu kemudian. Kedekatan Axel dengan Angelica semakin terlihat erat, bukan karena adanya percintaan yang terjalin antara mereka berdua, melainkan karena adanya kerja sama yang terjalin dengan keuntungan yang akan mereka dapatkan jika keduanya terlihat dekat oleh media, sebagai pasangan dari perusahaan properti terbesar di Italia. Angelica ternyata bukanlah nona manja seperti yang dipikirkan Axel selama ini. Dirinya juga diterpa dengan didikan keras dan harus bisa menjalankan tampuk kejayaan de Luca dengan benar. Dia memiliki tujuan untuk mendapatkan kepercayaan sang ayah agar membiarkannya memimpin perusahaan tanpa harus mendapatkan suami yang hanya akan mengekangnya bertindak kelak. Setidaknya itulah yang dapat Axel ceritakan pada Luna dan Roberto saat
Extra Part 2 Keesokan harinya. Axel mendapat kabar bahwa keadaan perusahaan Dante yang terlalu lama ditinggalkan Axel, kini sedang membutuhkannya kembali memimpin. Hal tersebut memaksanya untuk segera pulang hari itu juga. Terlebih ada hal penting lainnya yang hendak ia persiapkan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali Axel berkemas setelah beberapa hari ia menginap di kediaman Salvatore dan mendapatkan jamuan terbaik dari Nathaniel yang begitu ramah juga terbuka dengannya, berbeda dengan Damian yang selalu mencecarnya menggunakan berbagai pertanyaan untuk menyudutkannya seolah mengibarkan bendera perang pada Axel yang gencar untuk menguasai Luna. Namun, bukan karena Axel mau berlama-lama di sana. Semua itu karena ia berjuang keras meyakinkan Luna untuk kembali ke mansionnya. Akan tetapi, wanita itu sungguh keras kepala dan menahannya lebih lama di kebun anggur. Axel bahkan sempat turun tangan ikut berkebun karena dikerjai Damian y
Extra part 1 Malam pun tiba setelah Axel dan Luna menyelesaikan ronde kedua percintaan mereka yang mengakibatkan keduanya terlambat berkumpul dan tentunya tanpa membantu Sheina menyiapkan anggur. Namun, tampaknya semua tak masalah seolah mereka memahami juga memaklumi kedua sejoli yang sedang romantis itu memadu kasih hingga lupa waktu. “Luna, ajaklah Axel melihat gudang anggur dan biarkan dia memilih beberapa botol anggur buatan kita untuk dibawa pulang. Anggaplah sebagai hadiah dariku,” ujar Nathaniel. “Sungguh kau tak perlu repot-repot, Tuan.” “Tidak sama sekali, aku memaksa jadi ambillah. Hadiah itu tak seberapa dengan terungkapnya kasus kematian anak angkatku,” ungkap Nathaniel. “Ayolah, Ax. Kakek jarang sekali memberikan tamu hadiah anggur. Kau beruntung hari ini,” goda Luna hendak beranjak dari duduknya. Namun, Damian menahannya. “Biar aku saja, Luna. Sekalian aku ingin bicara dengannya,” ujar Damian. “Ayo, kawa
Kedatangan Axel ke kebun anggur milik Salvatore menjadi kehebohan tersendiri bagi Luna. Bukan hanya karena dirinya seorang yang berada di sana. Damian dan Nathaniel yakni sang kakek juga sudah menantikan pria yang berhasil membuat cucu angkatnya memuji pria angkuh itu. Setelah bercengkrama membicarakan segala hal tentang dirinya juga bisnis yang mungkin akan terjalin, Axel dipersilakan beristirahat sejenak di kamar yang sudah di siapkan untuknya sebelum makan malam tiba. Diantarkan Luna sampai di depan pintu kamar untuknya, Axel merasa tak puas dan menarik Luna masuk lalu menciumnya tak sabaran. “Axel, aku harus membantu Sheina menyiapkan anggur untuk makan malam!” peringat Luna berbisik. “Aku tak peduli. Sejak kedatanganku kakekmu dan Damian menyerangku dengan berba
Ditemukannya Lanzo dan tertangkapnya Fausto menjadikan suasana sidang tampak begitu tegang. Terlebih saat ini Lanzo tengah bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan lampau yang dilakukannya. “Saat itu aku memang hendak menyerahkan diri, tetapi Fausto menyuruhku pergi agar aku tidak membocorkan identitasnya yang menyuruhku melakukan perampokan.” Tatapan Lanzo tertuju pada Axel. Pria itu memalingkan tatapannya. Walau Axel tahu cerita Lanzo benar karena bukti dari rekaman sang ayah yang mengatakan Lanzo hanya pion catur dan sang ayah terseret dalam masalah yang tak diinginkan terjadi. “Semua itu terjadi karena hasutan Fausto. Dia yang menyuruhku untuk melarikan diri dan bersembunyi selama belasan tahun. Bahkan aku kehilangan momen penting dalam hidup, kelahiran putriku dan tak dapat mendidiknya de
Roberto dan Damian tengah bersiap melakukan penyergapan tanpa menunggu malam tiba. Prediksi mereka ternyata benar bahwa Fausto merencanakan pelarian sebelum gelap. Dengan anggota tim bodyguard profesional mereka membentuk dua tim. Tim satu bersama Damian memimpin penyergapan dari pintu depan. Tim dua Roberto bersama sisa anak buah Damian menunggu dari pintu belakang. Para pasukan berbaris di belakang Damian. Lalu Damian memberikan instruksi untuk bersiap di sisi pintu masuk sambil menoleh pada semua anak buahnya yang mengangguk siap. “Rob, kau sudah siaga?” tanya Damian melalui alat komunikasi yang tertempel di telinganya. “Kami sudah siap, Dam. Kapanpun kau menyergap.” “Baiklah, dalam hitungan ketiga,” balas Da
Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)Setelah bermalam di tempat kakek Damian, pagi-pagi sekali keduanya berangkat ke tempat yang sudah dipastikan oleh anak buah Damian bahwa terdapat tanda kehidupan pada sebuah rumah yang diyakini seorang wanita paruh baya tengah keluar dari rumah tersebut.Roberto meyakini foto yang dikirimkan anak buah Damian adalah bibinya yang selama ini tak terlihat di mana pun. Sementara itu di dalam perjalanan mereka, Roberto mendapatkan telepon dari rumah sakit, tentang kepulangan Axel dan Luna. Hal tersebut menambahkan beban pikiran Roberto yang masih harus menyusuri perjalanan jauh. Dia sengaja tak mau mengatakan apa pun tentang pencariannya itu kepada Axel karena ia yakin, pria arogan itu akan menyusulnya dan berpotensi menggagalkan penyusupan mereka.“Aku yakin ada ruang rahasia tempat Fausto bersembunyi, ia tak mungkin bisa mengurus diri tanpa istrinya.” Roberto menatap lurus jalanan di depannya.
Part 68 - OffendedSetelah melakukan kegiatan panas di pagi hari, kini Axel mengajak Luna ke ruang kerjanya. Di mana dirinya mendapatkan penglihatan bahwa ada sebuah rekaman rahasia yang disimpan sang ayah sebagai bukti peninggalannya sebelum semua rahasia pembunuhan orang tua Luna ditutupi oleh kakeknya.“Argh, sial!” ringis Axel sambil mengumpat kesal dengan kondisinya yang begitu menyiksa.“Pelan-pelan, Ax. Sejak tadi kau sudah banyak tersiksa.”“Tadi aku tersiksa untuk kenikmatan,” kekehnya masih tak percaya melakukan percintaan di tengah rasa sakit. “Namun, kali ini aku harus menahannya lagi untuk memulihkan nama orang tuaku. Aku rasa semua ini setimpal demi menuntaskan semua hal yang terjadi dan untuk kita melanjutkan kehidupan dengan tenang. Kau setuju, bukan?” tutur Axel.Setelah itu ia tersenyum melirik Luna yang menunjukkan kekhawatirannya.“Kau terlalu baik untuk mendapatkan semua kesulitan ini, Ax.” Luna bersand
Part 67 - "You wanna f*ck with me?!"Pagi harinya di rumah sakit. Axel memaksa meminta pulang, begitu juga dengan Luna yang tampak sudah sangat rapi dan siap untuk kembali. Tak ada yang berani menahan pemilik saham terbesar di rumah sakit itu jika ia ingin pulang, sekalipun dokter yang menanganinya.Awalnya Luna yang berkeras untuk kembali demi mencari bukti penglihatan mereka di alam bawah sadar itu benar adanya. Namun, seperti yang semua orang ketahui bahwa Axel adalah bos pemaksa, maka kini keduanya bertekad mencari bersama demi menuntaskan apa yang terjadi di masa lalu.“Kau yakin tak apa dengan dadamu, Ax?” tanya Luna kesekian kalinya.“Aku yakin, Luna. Lagi pula kau bersamaku. Aku tak ingin kau bertindak gegabah dan malah membawamu dalam bahaya. Sudah kubilang itu tak akan terjadi lagi, kita akan melakukannya bersama,” tutur Axel membuat Luna tersenyum mencurigakan.“Apa ada yang lucu dari ucapanku, Luna?”“Tida
“Maaf menambahkan luka di tubuhmu,” bisik Luna. Semarah apapun dia, dirinya tetaplah luluh saat Axel memelas kesakitan sekalipun hanya pura-pura, tetapi Luna tak tega jika Axel meringis. Kini dirinya menuruti pria itu yang ingin merapatkan ranjang keduanya agar bisa lebih dekat. Luna duduk menghadap Axel yang belum bisa bergerak leluasa, wanita itu memerhatikan keadaan prianya lebih lekat dan merasa sedih akan kondisi Axel yang terjadi karena kehadirannya. “Ini tak sebanding denganmu. Jangan merasa begitu saat aku memiliki kesempatan untuk berkorban.” Luna menggeleng tak menyetujui ucapan Axel. “Tak harus sampai meregang nyawa untuk menunjukkan pengorbananmu, Ax. Aku tahu seberapa besar perasaanmu.” Axel tersenyum tipis.