Kepala sang supir taksi itu kemudian menyembul keluar dari jendela mobil berjenis sedan. Wajah marahnya terlihat seakan ingin menerkam Zea. Sementara Zea hanya terdiam dengan tatapan kosong lurus ke arah depan.
"Hey, mengapa kau diam saja? Minggir, aku harus cepat!" teriak sang supir taksi dengan gemas.Tak jua mendapat respon, akhirnya sang supir taksi itu keluar dari taksi-nya. Ia menghampiri Zeana masih dengan kesalnya. Menurutnya, Zea sangat mengganggu pekerjaannya."Kau tuli atau kau memang benar-benar ingin bunuh diri? Jangan libatkan aku jika kau memang ingin bunuh diri!" omelnya lagi kemudian bermaksud menarik paksa Zea.Brukk …Bukankannya mendapat jawaban, sang sopir malah ketiban sialnya, Zeana malah tiba-tiba pingsan dan jatuh tepat ke dada sang sopir. Ia dengan refleks menanggapi tubuh Zea, namun dengan kebingungan."Hey, kau! Apa-apaan ini?" Sang sopir taksi berusaha menjauhkan tubuh tak berdaya Zea."Sial! Dia benar-benar pingsan."Perlahan sekali sopir taksi itu melajukan mobilnya. Sesekali melihat ke jok belakang berharap Zea terbangun dari pingsannya. Ia tidak tahu harus membawa Zea kemana, sedang ia juga harus bekerja mencari penumpang.Fuhhh …Sopir taksi itu menghela nafasnya melihat lagi dan lagi, tetapi Zeana belum juga terbangun. Baru saja ingin melajukan lagi menyetirnya setelah berhenti sejenak, tiba-tiba sebuah pikiran datang. Matanya sampai membelalak karena pikirannya itu."Apa dia meninggal!" monolognya menerka. Ia sangat ketakutan jika Zeana meninggal, karena tentu dia yang menjadi orang yang akan bertanggung jawab meskipun itu tidak seharusnya.Sang supir taksi itu kemudian keluar lagi dan meninggalkan stir kendali mobil. Ia berpindah ke jok belakang dan mendekati Zeana. Dilihatnya lekat-lekat Zea yang masih saja terpejam mata. Namun, ia merasa ada yang tidak beres dengan wanita berwajah manis itu."Hey, dia semakin pucat saja! Apa yang harus aku lakukan?" monolognya sendiri."Baiklah aku akan membawanya ke klinik setelah itu aku akan pergi."Bertanya sendiri dan menjawab sendiri pertanyaannya, sang supir taksi itu melanjukan lagi kendali setir mobilnya. Ini sudah bulat, dia akan membawa Zea ke klinik terdekat setelah itu dia akan terbebas dari wanita yang tidak dikenalnya sama sekali itu, tetapi sudah sangat merepotkannya.Setelah sampai di Klinik terdekat, sang sopir taksi itu membawa Zea dengan menggendongnya. Ia terlihat peduli atau memang hanya seperti niatan awalnya, hanya ingin menyerahkan Zea pada Klinik itu lalu meninggalkannya."Permisi, wanita ini pingsan. Aku hanya menolongnya," ucapnya pada seorang penjaga resepsionis atau meja pendaftaran pasien."Baiklah, kami akan memprioritaskannya! Silakan masuk ke ruang periksa," sahut sang resepsionis beranjak dari duduknya lalu membukakan pintu mempersilakan sang supir taxi untuk masuk dan membaringkan Zea pada ranjang pasien."Jangan tinggalkan aku! Kau akan meninggalkanku dan lebih memilihnya, kan?" lirih Zeana, namun masih terpejam."Aku mencintaimu, tapi mengapa kau melakukan itu," sepertinya Zea mengigau tentang suaminya dan kejadian yang ia lihat tadi.Tiga orang yang berada di dekat Zea saling menatap terdiam. Sang dokter, sang suster pendamping dan sang supir taksi. Sementara sang resepsionis sudah kembali ke tempatnya, ia hanya membukakan pintu lalu mempersilakan sang supir yang terlihat berat menggendong Zea untuk segera masuk tanpa menunggu antrian."Dokter, pasien ini pingsan. Sebaiknya kita mendahuluinya," katanya tadi."Baiklah," sambut Dokter wanita itu."Semoga pasien lain memaklumi dengan keadaan pasien ini," katanya lagi lalu kembali pada tempatnya.Beberapa pasien yang duduk di bangku tunggu dan mengantri, mereka memaklumi. Meski ada sedikit rasa kecewa yang seharusnya saat ini adalah gilirannya. Klinik itu memang terbilang klinik kecil dengan terlihat ruangan yang tak besar dan hanya satu ruang tindakan. Mungkin karena klinik itu klinik terdekat dan harga berobat yang tak mahal, jadi cukup lumayan mendatangi pasien-pasien yang menderita penyakit ringan."Silakan Anda menunggu di kursi, Pak. Kami akan memeriksa pasien," ucap sang Dokter."Tapi aku …." ucap sang supir taxi terhenti, ia tak tega juga ketika pandangannya melihat Zeana."Baiklah, tolong segera tangani dia." Sang supir taksi akhirnya menurut.Sang Dokter dan suster pendampingnya mulai memeriksa Zeana. Perlahan dan teliti memeriksa Zeana ke beberapa bagian tubuhnya, sang dokter terhenti pada bagian perut Zea. Ia mulai meraba dan sedikit menekan bagian bawah perut Zea."Augh!" teriak Zea pelan, ketika perutnya sedikit ditekan."Bu! Oh, siapa nama Anda? apa kau sudah tahu keadaanmu? tanya sang Dokter.Zea tak menyahut, ia kembali dengan tatapan kosong walaupun baru saja berteriak. Ya, teriakkan itu hanya refleks saja."Dokter, apa dia pingsan karena lapar?" tanya sang supir taksi. Ia juga sempat terkejut ketika Zea berteriak tadi, lalu melihat Dokter itu tengah menekan perut Zea dan membuatnya berteriak."Tidak, Pak," sahut sang Dokter.Dokter itu kemudian duduk menghadap mejanya. Di depan mejanya itu ada sang supir taxi yang duduk di kursi. Sementara Zea masih terbaring belum merubah posisinya. Pikirannya masih tertuju pada suaminya dan peristiwa tadi."Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian sebagai suami istri! Apa kalian tidak mengetahui ada janin di dalam perut istrimu itu, Pak," ungkap sang Dokter."Janin?" kaget sang supir taksi."Ya, kurasa istri Anda sedang hamil! Anda bisa memeriksanya lebih lanjut pada Dokter kandungan," ungkap sang Dokter."Apa Anda tidak berbahagia dengan kabar ini? Setidaknya ini adalah kabar baik di tengah pertengkaran kalian … oh, maaf, aku hanya menduga itu karena istrimu mengigau tadi," ucap lanjut sang Dokter yang menurunkan intonasi bicaranya di akhir ucapnya yang sempat terjeda sesaat.Zea terbelalak mendengar ucapan sang Dokter yang baru saja memvonisnya hamil, sedang ia sendiri tidak tahu hal itu. Kesadarannya mulai terkumpul penuh, seketika peristiwa menyakitkan yang ia lihat tadi buyar begitu saja. Perlahan ia menoleh pada sang Dokter."Tapi aku tidak peduli itu, aku hanya akan pergi sementara dia sudah siuman! Silakan tanyakan saja tentang keluarganya," ucap sang supir taksi mulai beranjak dari duduknya."Pak, kau kejam sekali jika begitu. Istri Anda hamil dan kau akan meninggalkannya?" ucap marah sang suster pendamping yang telah selesai merapikan peralatan medis saat memeriksa Zeana tadi."Dia bahkan terlihat sangat sedih! Apa kau baru saja menyakitinya?" marah sang suster yang masih sangat muda itu."Hey, kalian ini Dokter dan suster yang sangat kompak! Kalian seenaknya saja mengatakan aku sudah menyakitinya! Dia bukan istriku, bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali! Argh, Sial sekali!" marah sang supir taksi berhenti dari melangkah untuk keluar.Tak ada pilihan lain, sang sopir taksi itu mengajak Zea untuk kembali menaiki taksinya. Ia memberikan bangku belakang untuk Zea tempati."Silakan beritahu alamat Anda, aku akan mengantarmu pulang," ucap sang supir taksi melihat dari kaca spion atas.Zea masih dengan terdiamnya, pikirannya banyak dipenuhi bayang-bayang. Ia baru saja tahu kalau dia hamil, dia juga baru melihat suaminya berselingkuh. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Zea belum menemukan jawaban."Atau kau akan menunggu suami mu menjemput?" tanyanya lagi. Zea masih tak menyahuti."Ckk! Argh!" decak kesal supir taksi itu."Jujur, kau sudah membuang-buang waktuku! Aku harus mengejar setoran! Kau mengerti?!" Ia mulai marah lagi dan meninggikan intonasi bicaranya."Aku tidak tahu harus kemana?" jawab Zea akhirnya. Namun, masih dengan tatapan kosong."Hey, bagaimana kau bisa mengatakan kau tidak tahu harus kemana? Kau banyak pilihan, kau bisa menghubungi suamimu, atau kau beri tahu alamatmu, kau juga bisa menghubungi keluargamu. Kau pilih saja cepat, aku harus bekerja!" Supir taksi itu masih menatap gemas Zea."Aku tidak punya keluarga lain," sahut Zea masih berposisi sama."Apa? Lalu suamimu?!" Supir taksi itu semakin kebingungan dengan Zea.Ditanya suami, Zea menangis lagi. Peristiwa tadi terputar lagi dalam memorinya, bagaimana ia melihat suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri. Hal itu juga membuat sang supir taksi bertambah kebingungannya."Argh! Aku tidak mungkin menurunkanmu."Supir taksi itu kemudian melanjutkan lagi melaju mobilnya. Merasa kasihan juga dengan Zeana, ia hanya punya satu pilihan. Mobil komersial itu terus melaju dan melaju tanpa ada pembicaraan lagi antara Zea dan sang supir taksi.Berhenti di sebuah rumah kecil, sang supir taksi kemudian turun dari mobil taksi-nya lalu membukakan pintu untuk Zea. Zea melihat ke arah rumah itu. Rumah yang sedikit terbuka pintunya itu menandakan ada penghuninya."Turunlah!" titah sang supir taksi."Tapi, ini dimana?" tanya Zea."Sudah, turun saja!" tak ingin menjawab banyak.Zea menuruti, ia keluar dari taksi itu sambil terus melihat pada rumah kecil di hadapan mereka. Sang supir taksi melangkah di depan Zea yang langkah begitu pelan. Ia merasa takut dan asing akan rumah itu."Bu!" panggil sang supir taksi.Tak mendapat sahutan sang supir taksi kemudian membuka pintu sebuah kamar. Namun hanya sesaat, hanya melongok sedikit kepalanya kemudian keluar lagi. Sepertinya ia tidak menemukan seseorang yang dicarinya, seseorang yang tadi ia panggil ibu."Kau duduklah dulu, aku akan mencari ibuku," tawarnya pada Zea yang sedari tadi melihat diam pada sang supir taksi yang terlihat sedikit khawatir."Ini rumah mu?" tanya Zea."Ya, tapi kemana ibuku?" jawab sang supir taksi sambil melihat ke arah dapur.Tak menunda lagi, sang supir taksi kemudian melangkah menuju dapur. Ia berpikir ibunya ada di ruang dapur atau mungkin di kamar mandi yang terletak di area dapur. Jarak dari ruang tamu dan ruang dapur tidaklah jauh, karena rumah itu memang berukuran kecil. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur."Ibu! Ibu sedang apa? Apa ibu akan memasak?" tanyanya pada ibunya yang sudah ditemuinya."Adam! Bagaimana kau sudah pulang? Apa kau sakit?" ucap sang ibu balik bertanya sambil menyentuh kening dan wajah putra tercintanya."Ibu aku baik-baik saja," timpal sang sopir taksi yang ternyata bernama Adam, sambil menurunkan tangan ibunya dengan lembut."Apa terjadi sesuatu?" tanya ibunya lagi.Jam kerja seorang sopir taksi itu bebas, tetapi kalau di jam yang masih terbilang belum tengah hari sudah pulang, tentu hal itu akan menjadi pertanyaan sang ibu. Adam sendiri tak biasanya pulang lebih awal, bahkan ia akan pulang lebih malam. Ia akan menghubungi ibunya hanya untuk menanyakan keadaan saja."Lalu ada apa, Adam? Kau lapar?" sang ibu masih saja bertanya penuh kekhawatiran."Ibu cukuplah pertanyaanmu, sekarang mengapa kau memasak? Aku tidak mengizinkan ibu memasak!" marah Adam sambil menyingkirkan apa-apa yang yang ada di hadapan ibunya itu sebagai acara memasaknya."Ibu ingin memasak untukmu, Adam.""Sudah, tidak perlu memasak untukku! Ayo, Bu, aku …."Belum selesai Adam berbicara, bermaksud untuk mengajak ibunya menemui Zea di ruang tamu. Ibunya Adam sudah melihat Zea lebih dulu."Adam, apa ada seseorang di ruang tamu?" tanya ibunya."Ya, itulah yang ingin ku beri tahu, Bu," jawab Adam.Ibunya Adam kemudian melangkah menuju ruang tamu, ia sangat penasaran dan ingin melihat siapa seseorang yang datang bersama Adam. Betapa terkejutnya setelah yang ia lihat adalah seorang wanita. Ia menatap detail pada Zea kemudian."Adam, siapa wanita ini?" tanya ibunya Adam dengan sedikit berbisik."Hey, kau bisa memperkenalkan diri!" pinta Adam.Perlahan Zea mengulurkan tangannya pada ibunya Adam. Ia bahkan belum memperkenalkan diri pada Adam juga. Saat keadaan Zea sudah mulai rileks, kejadian tadi sedikit terlupakan untuk saat ini."Zea," ucap Zea menyebut namanya."Kau kekasih Adam?" tanya ibu Adam tiba-tiba, membuat Adam terbelalak."Tidak, Bu! Dia hanya penumpangku," elak Adam."Lalu kau membawanya kesini?" ucap ibunya Adam dengan nada bertanya."Ya, dia sedang ada masalah. Aku juga tidak tahu persis, Bu," jawab Adam. Zea tertunduk sedih."Masalah? Bagaimana kau tahu dia sedang ada masalah? Apa dia mengisahkannya padamu? Oh, sedekat itu penumpangmu, Adam." Ibu Adam merasa keanehan."Jadi namamu Adam," ucap Zea."Terima kasih, kau sudah baik seperti ini! Kurasa, aku sudah merepotkanmu," lanjut Zea berkata dengan terjeda-jeda.Ibunya Adam semakin kebingungan dengan kedua insan itu yang malah baru saling mengetahui nama mereka. Padahal ibunya Adam sempat berpikir jika Zea adalah kekasih putranya dan ibunya itu tidak akan menyetujui jika Adam mempunyai kekasih. Jadi, dengan diketahuinya Adam dan Zea baru saling mengenal membuatnya sedikit merasa lega."Kau tidak perlu berterima kasih! Aku hanya ingin kau beristirahat sejenak di sini, barulah setelah itu kau pikirkan kau akan kemana dan bagaimana. Aku harus kembali bekerja! Ibuku akan menemanimu," balas Adam. Zea mengangguk pelan."Ibu aku menitipkan wanita ini padamu! Dia hanya sebentar dan aku harus kembali ke jalan, baru setelah itu aku kembali membawakan makanan untuk kalian! Ingat, Ibu jangan memasak atau mengerjakan pekerjaan apa pun," pesan Adam panjang lebar sebelum akhirnya ia melangkah untuk kembali bekerja."Ah, ya! Sebaiknya kau segera periksakan kehamilan mu dan katakan pada suamimu. Kurasa itu lebih," imbuh Adam kemudian melanjutkan lagi langkahnya. Zea terdiam saja begitupun dengan ibunya Adam yang sama sekali tak mengerti."Jadi kau sudah bersuami dan kau sedang hamil? Tapi … tapi mengapa kau bersama putraku?" tanya ibunya Adam setelah Adam benar-benar telah pergi."Iya, Bu. Aku hanya penumpangnya! Aku … aku belum bisa pulang untuk saat ini," sahut Zea ragu."Tapi tadi Adam bilang kau hamil?" tanyanya lagi begitu menyelidik sambil melihat ke arah perut Zea."Aku … aku belum tahu, Bu," jawab Zea."Bagaimana kau belum tahu, apa kau tidak merasakan tanda-tandanya?" Ibunya Adam sangat ingin tahu sekali, karena ia benar-benar ingin memastikan kalau Zea bukan kekasih Adam."Tidak, aku tidak merasakan apa-apa," jawab Zea, yakin.Ibunya Adam menghela nafasnya. Walaupun Zea sudah mengatakan hanya penumpang putranya, tetapi ia tetap saja merasa cemas. Ia tidak ingin ada seorang wanita pun mendekati putranya. Ya, begitulah yang sebenarnya ada, Ibunya Adam bahkan tak ingin Adam menikah."Baiklah, kau bisa membantuku memasak?""Memasak? Bukankah tadi putramu sudah melarang untuk mu memasak!""Ya, memang bukan aku yang memasak, tapi kau."Zea terdiam seketika, seorang ibu yang baru saat itu juga ia mengenalnya langsung menyuruhnya memasak. Walaupun demikian, Zea menuruti saja. Itu hanya sebagai ucapan terima kasihnya kepada Adam."Baiklah, Bu. Aku akan memasak! Di mana dapurnya?" Zea antusias.Ibunya Adam tersenyum mengandung arti. Ia berpikir dengan menyuruh Zea memasak, itu akan membuat wanita cantik yang belum apa-apa, tapi sudah membuatnya cemburu itu akan pergi dengan cepat karena kapok.Sudah berada di ruang dapur, ibunya Adam menyerahkan apa-apa yang tadi untuk acara memasaknya. Dia hanya menyerahkan bahannya tanpa merequest satu masakan apapun untuk dimasak Zea. Zea pun belum tahu apa yang harus dimasaknya dengan bahan-bahan tersebut."Apa yang harus ku masak, Bu?" tanya Zea."Terserah padamu saja, yang jelas masakan itu harus enak," jawab ibunya Adam dengan tandas.Ibunya Adam kemudian pergi meninggalkan Zea sendiri di dapur. Sementara ia belum tahu apa pun tentang dapur itu. Namun, Zea sudah terbiasa memasak. Tampaknya ia tidak akan kesulitan, meskipun rumah dan dapur itu sangat asing baginya.Zea mulai memainkan tangannya untuk mengolah masakan dengan beberapa bahan saja yang tersedia. Dapur yang tidak besar membuatnya mudah untuk mondar-mandir bergerak. Namun, peralatan memasak yang tak lengkap membuatnya harus mencuci dulu peralatan yang sudah ia pakai untuk dipakai kembali.Selesai memasak dalam waktu empat puluh lima menit. Zea merasa kelelahan. Bahkan ia merasa keram di bagian perut bawahnya. Zea belum pernah merasakan hal itu sebelumnya. Sambil memegang perutnya, Zea duduk di lantai. Ruang dapur itu memang tak memiliki meja makan yang lengkap dengan kursinya."Hey, kau duduk-duduk saja apa kau sudah selesai memasak? Sebentar lagi, Adam pulang untuk makan! Ya, dia memang selalu pulang untuk makan siang hanya bersamaku," ucap dan tanya ibunya Adam."Aku sudah selesai memasak, Bu. Itu di atas meja! Tapi entah mengapa perutku terasa kram," jawab Zea."Kau baru boleh duduk setelah kau persiapkan juga piring-piringnya. Apa kau mengerti?" tandas ibunya Adam terus saja memerintah.Zea menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa. Setelah selesai mengerjakan semua yang diperintahkan ibunya Adam. Melepaskan benar-benar tubuhnya, karena bukan hanya lelah tapi juga sakit. Ia mengatur nafasnya dengan tenang. Mulai terasa lebih baik tubuhnya dan rasa kram pada perutnya mulai berkurang."Bu!" panggil Adam tiba-tiba.Posisi Zea yang berada di sofa membuat Adam langsung melihatnya. Ia melihat Zea terlihat pucat dan lelah. Adam mendekati Zea, namun dengan ragu-ragu mengingat Zea adalah seorang istri pria lain."Kau baik-baik saja?" tanyanya."Ya, aku baik-baik saja," jawab Zea memperbaiki posisi duduknya."Di mana ibuku?" tanyanya lagi."Di dapur," jawab Zea."Ya ampun, apa dia memasak lagi. Dia tadi menelponku untuk tidak membeli makan siang."Adam segera menuju dapur untuk menemui ibunya, tanpa mendengar lagi ucapan Zea. Sementara Zea hanya terdiam sambil terus melihat pada Adam yang melangkah menyusul ibunya di dapur. Zea kebingungan sebetulnya dengan sikap Adam yang entah sangat menyayangi ibunya atau bagaimana, ia sampai melarang sang ibu untuk memasak.'Mengapa dia terlihat marah dengan ibunya memasak' gumam Zea sambil mengernyit dahi.Zea memilih untuk menyusul ke dapur bermaksud memberitahu Adam, bahwa bukan ibunya yang memasak melainkan dirinya. Zea tak ingin Adam memarahi ibunya, ia juga ingin sekali tahu mengapa Adam begitu melarang ibunya memasak dan melakukan pekerjaan lainnya di rumah mereka sendiri."Adam, ibu memasak ini semua untukmu. Ibu sangat menyayangi mu, ibu ingin kau tahu itu."Zea sudah berada di depan dapur, namun belum sampai masuk ke ruang dapur tersebut. Ia mendengar jelas apa yang dikatakan ibunya Adam.'Hah! Apa? Dia yang memasak?' gumam Zea terkejut.Ibu setengah baya itu mengatakan dengan yakinnya bahwa dia yang memasak. Gestur tubuh serta gaya ucapnya itu sangat meyakinkan seolah itu adalah hal yang nyata. Membuat Adam mempercayai begitu saja tanpa curiga atau apapun itu."Ibu aku tahu ibu menyayangiku, kau tidak perlu mengatakan atau membuktikan. Bagaimana aku tidak percaya? Tapi aku juga menyayangimu, Ibu! Ku mohon, ibu jangan memasak lagi," ucap Adam dengan ekspresi wajah yang sangat-sangat serius."Saat ini ibu sudah tampak sehat, aku ingin itu selamanya. Jadi, jangan lakukan hal apapun yang bisa membuat ibu sakit lagi." Adam memegang dua telapak tangan ibunya. Ia benar-benar sangat memohon."Ya sudah, Ibu tidak akan memasak lagi. Tapi sekarang kau makan dulu menu yang sudah terlanjur ibu masak ini." Ibunya Adam menangkup wajah Adam, satu hal yang bisa membuat Adam selalu luluh."Baiklah, Ibu! Aku mencintaimu," ucap Adam dengan tulusnya.Tinggallah Zea yang masih bertanya-tanya dengan apa yang ia lihat itu. Ibunya Adam dan Adam sendiri, keduanya membuat Zea kebingungan.Mereka memang sepasang ibu dan anak yang terlihat saling menyayangi, tapi ada yang aneh di sini. Mengapa ibunya Adam tidak mengatakan jika yang memasak adalah orang lain bukan dirinya, sedangkan putranya sendiri tak ingin ia memasak. Seharusnya ia menutupi hal itu, walaupun pada kenyataannya memang bukan dia yang memasak."Hey, kau. Kemarilah!" ajak Adam begitu ia melihat Zea."Ha! Eh! Aku?" Zea terkejut, tak menyangka Adam sudah melihatnya, sedang ia dalam keadaan berpikir dan tak terfokus.Adam melangkah mendekati Zea, lalu mengajak Zea untuk lebih masuk ke dalam ruang dapur itu. Ia akan mengajak Zea turut makan bersama. Sementara ibunya Adam terlihat cemberut."Kami memang tidak memiliki meja makan, jadi kita makan di lantai saja," ucap Adam sudah membawa Zea ke dalam ruang dapur."Kau bisa membantu ibuku untuk meletakkannya di bawah, aku akan mencuci tanganku dulu," lanjut Adam sambil melangkah ke wastafel."Ya, baiklah," balas Zea.Zea mulai menurunkan satu menu ke lantai. Adam dan ibunya memang terbiasa seperti itu, rumah mereka memang teramat sederhana. Ibunya Adam kemudian melihat tajam pada Zea."Ku harap kau tidak mengatakan bahwa kau yang memasak," bisiknya pelan sekali, tepat ke wajah Zea.Zea tak menyahut, ucapan dengan berbisik itu malah membuatnya bertambah keheranan. Apa yang membuat ib
Pada akhirnya Adam membawa Zea kembali ke rumahnya. Setelah mendatangi dokter kandungan yang juga menyatakan Zea hamil, bahkan kehamilan Zea ternyata telah memasuki bulan ke lima. Pantas saja baby bum Zea sudah terlihat, hanya saja ia tidak mengalami apa-apa yang biasa dialami wanita hamil pada umumnya. Hal itulah yang membuat Zea tidak menyadari kehamilannya.Seandainya saja ia menyadari kehamilannya lebih dulu, mungkin tak akan ada kejadian yang menyakiti itu. Zea dan Ruan pasti sudah berbahagia akan kehamilan yang sudah dinanti-nantikan dalam tiga tahun pernikahan mereka. Namun, kini semuanya seakan percuma saja, hanya Zea saja yang mengetahui hal kehamilan itu."Kau jangan berdiam diri saja, enak saja jika kau tidak melakukan apa pun di rumah ini," ucap kasar ibunya Adam."Ibu, apakah boleh jika hari ini aku tidak melakukan apa pun. Perutku sakit sekali," sahut Zea sedikit merintih."Kau jangan berpura-pura dan itu hanya alasanmu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah!" Ibunya Ad
Sudah berjalan beberapa bulan, Rumah yang disewanya dengan harga lumayan besar itu sudah lengkap dengan peralatan rumah tangga. Jadi, Zea tidak kebingungan lagi masalah itu. Rumah itu pun bersih dan nyaman. Namun, keuangan Zea hasil penjualan cincin pernikahannya semakin menipis. Uang itu hanya cukup untuk beberapa kali lagi membayar rumah kontrakan itu."Zea, aku bawakan makanan untukmu," ucap Adam tiba-tiba datang saat Zea melamun, hingga ia tak mendengar suara mobil taksi Adam."Adam, kau baru saja datang?" tanya Zea terkejut."Ya, kau tidak mengetahui kedatangan mobil taksiku, kah?" Adam menanyai bagaimana Zea tidak mendengar suara mobil.Kedatangan Adam bukan hanya tidak diketahui Zea saja, tapi juga ibu pemilik rumah kontrakan yang selalu sibuk sehingga belum pernah bertemu Adam sekalipun."Tidak, aku … aku," sahut Zea terbata-bata tak ingin menceritakan tentang kekhawatirannya."Uangmu apa sudah habis?" tanya Adam."Tidak, uangku masih ada," sahut Zea.Adam melihat raut kegelisa
"CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya."Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja."I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat i
"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjag
'Dia tidak akan minum kopi pagi hari' batin Zea, tersenyum kecil merasa lucu.Angel memasang wajah cantik dan senyum yang dibuat semanis mungkin, berharap respon yang baik pula dari sang uncle pujaan hati. Hanya sesaat melihat pada Angel kemudian beralih lagi pada laptop-nya. Ruan tak merespon lebih."Aku tidak minum kopi pagi hari," jawabnya singkat. Hal itu membuat Angel cemberut.Zea menyembunyikan tertawanya, sang keponakan nakal itu tak berhasil dengan misi konyolnya. Ia kembali duduk di sofa masih dengan cemberut kesal. Ia membanting kasar cara duduknya, sehingga tubuhnya sedikit mengambul."Kau boleh membuatkan kopi untuknya jam 2 siang nanti, dia pasti akan meminumnya," ucap Zea sedikit meledek.Sontak saja membuat Angel melihat pada Zea. Antara terkejut, percaya dan bertanya apakah yang dikatakan wanita yang baru ia lihat bentuknya itu adalah benar. Angel melihat detail pada Zea, namun juga bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa mengatakan hal yang tampak seperti sudah diketahui la
"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
Sudah sampai di tempat tujuan, Ruan berjalan selangkah di depan Zea. Sesekali Ruan berhenti, agar Zea menyusulnya melangkah beriringan. Namun, Zea sepertinya tidak ingin hal itu. Ia selalu saja memperlambat langkahnya agar tertinggal lagi."Ish, kau ini kura-kura atau siput? Berjalanlah disampingku! Apa kau ingin terlihat seperti babu?" omel Ruan."Aku, aku hanya tidak terbiasa dengan sepatuku, Pak," jawab Zea beralasan yang tak sebenarnya.Tak lagi mempermasalahkan soal langkah yang tak seiringan, Ruan terus melanjutkan langkahnya lebih cepat. Ia tidak menunggu Zea lagi, hingga akhirnya Zea bersusah payah mengejar langkah tertinggal itu dengan sepatu berhak tinggi yang sebenarnya ia sudah terbiasa memakainya. Wig dan kacamatanya yang bergerak-gerak cukup membuat repot."Ruan, kau datang tepat waktu. Kita sudah akan memulai presentasi," ucap seorang wanita berpenampilan elegan."Ya, baiklah," sahut Ruan.Wanita itu adalah yang menelpon Ruan saat di mobil tadi. Dia adalah teman dekat R
"Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan
Malam yang sunyi dan sepi juga dirasakan oleh Zea. Vio sudah tertidur dengan lelapnya. Sesekali mulut mungil bayi itu mengerucut seperti mengemut sesuatu. Zea melihat tersenyum pada bayinya yang kini mengingatkannya pada ayah bayi itu."Ruan, aku harus tetap bekerja denganmu, meski aku harus melihatmu bersama wanita itu lagi," gumamnya. Ingatannya beralih pada mantan sekretaris Ruan yang datang kembali.'Demi anak kita! Tidak, Vio hanya untukku. Vio hanya anakku, bukan anakmu' batinnya kesal sendiri.Suara pintu diketuk dari luar, membuat Zea terhenyak dari segala pikirannya tentang Ruan. Melihat sejenak pada Vio, khawatir Vio terbangun, barulah Zea beranjak untuk membuka pintu. Keluar dari kamar dengan menebak yang datang adalah ibu pemilik rumah kontrakan. Namun, ada keperluan apa, sedang Zea tidak memiliki sangkutan pembayaran.'Ada perlu apa, Bu Sindy,' katanya dalam batin.Setelah sampai di depan pintu, Zea mulai membuka pintu. Yang terbayang dalam pikirannya tentulah wajah Bu Si
Sementara Ruan si pemilik nomor yang tak sengaja tertekan nomornya itu masih berada di kantornya. Ia sendiri tengah menatap layar ponselnya. Seperti biasa, dalam keadaan yang tidak melakukan apa-apa, ia selalu melihat fitur galeri ponselnya. Foto-foto Zea menjadi sasaran utama pemandangan indah baginya.'Kau sudah bersama laki-laki lain, Zea! Apa kau bermaksud untuk balas dendam, hah!' gumamnya sebelum ponselnya berdering kini.Berniat untuk men-zoom foto Zea, tetapi ia juga malah menerima panggilan yang tidak ada namanya itu. Sebenarnya pada dasarnya memang tidak sulit untuk menghubunginya. Ruan pasti akan menyahuti orang yang menelponnya, tentu jika memang dalam keadaan yang tepat. Hanya saja tak sembarang orang yang menelponnya."Hey, suara bayi siapa ini?!" teriaknya ketika sambungan telepon sudah terhubung.Ruan mengernyit heran melihat pada ponselnya ketika kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja. Dalam kebingungannya, ia melihat lagi nomor ponsel yang baru saja masu
"A-adam … iya, namanya Adam," sahut Zea sedikit tegang. Ia mengkhawatirkan Ruan menyadari nama itu adalah nama yang sama dengan orang yang bersama istrinya yaitu dirinya sendiri."Oh, kebetulan sekali! Kau ingat, Aretha. Nama itu juga yang dikatakan ibu tadi, nama putranya yang berselingkuh bersama istriku Zea."Kekhawatiran Zea menjadi nyata. Ruan mulai berpikir ke arah nama itu. Ia bahkan mengira dirinya berselingkuh dengan Adam. Ruan memang sudah mengambil kesimpulan yang salah dari keterangan ibunya Adam."Tidak! Tidak! Aku tidak berselingkuh. Percayalah!" refleks Zea membantah tuduhan itu."Hey, siapa yang mengira kau berselingkuh? Lagi pula, siapa yang bersedia berselingkuh denganmu," balas Ruan dengan mengernyitkan keningnya."Ka-kalau begitu, aku permisi, Pak. Aku akan menunggu Adam di pinggir jalan," pamit Zea gugup akan menghindari percakapan dengan Ruan saat ini.Setelah ucapan itu, Zea langsung saja berlari tanpa menunggu jawaban dari Ruan. Sementara Ruan menatap kepergian