"Hey, kau. Kemarilah!" ajak Adam begitu ia melihat Zea.
"Ha! Eh! Aku?" Zea terkejut, tak menyangka Adam sudah melihatnya, sedang ia dalam keadaan berpikir dan tak terfokus.Adam melangkah mendekati Zea, lalu mengajak Zea untuk lebih masuk ke dalam ruang dapur itu. Ia akan mengajak Zea turut makan bersama. Sementara ibunya Adam terlihat cemberut."Kami memang tidak memiliki meja makan, jadi kita makan di lantai saja," ucap Adam sudah membawa Zea ke dalam ruang dapur."Kau bisa membantu ibuku untuk meletakkannya di bawah, aku akan mencuci tanganku dulu," lanjut Adam sambil melangkah ke wastafel."Ya, baiklah," balas Zea.Zea mulai menurunkan satu menu ke lantai. Adam dan ibunya memang terbiasa seperti itu, rumah mereka memang teramat sederhana. Ibunya Adam kemudian melihat tajam pada Zea."Ku harap kau tidak mengatakan bahwa kau yang memasak," bisiknya pelan sekali, tepat ke wajah Zea.Zea tak menyahut, ucapan dengan berbisik itu malah membuatnya bertambah keheranan. Apa yang membuat ibu itu melakukan kebohongan untuk putranya sendiri dan apa tujuannya. Apakah itu baik untuk putranya, sampai-sampai ia mau melakukan hal itu."Ini lezat sekali, Bu. Tidak seperti biasanya," ucapnya kagum."Jadi maksudmu kemarin-kemarin masakan ibu tidak lezat?" sahut ibunya Adam balik bertanya dan cemberut."Bukan begitu maksudku, Bu." Adam menjadi panik, ketakutan ibunya tersinggung."Mm, maaf sebaiknya kita tidak berdebat disaat makan," ucap Zea menengahi."Ya, kau benar." Adam menyetujui ucapan Zea."Maafkan aku, Bu. Masakanmu selalu yang terlezat! Tapi bukan berarti Ibu akan memasak lagi setelah ini, Ibu harus tetap beristirahat," lanjutnya tegas. Ibunya Adam hanya terdiam lalu melihat kepada Zea.Hanya pulang untuk makan siang, Adam harus kembali lagi bekerja. Ia bahkan belum memenuhi uang setoran kepada bosnya atas taksinya. Jam kerjanya sudah terpotong karena membantu Zea tadi.Ketika Adam beranjak untuk pergi, ibunya kemudian memanggil lalu menghampirinya. Zea yang tertinggal untuk menghampiri Adam itu terdiam, tak ingin mengetahui itu untuk urusan apa. Walaupun Zea sedikit mencurigai itu berhubungan dengan dirinya."Sebaiknya kau ajak saja wanita itu pergi. Ibu tidak ingin ada yang berpikir dia itu istrimu sedangkan dia sudah bersuami, bukan?" bujuknya. Adam melihat pada Zea."Baiklah, Bu." Adam melangkah ke arah Zea.Zea melihat pada Adam sampai pria berwajah tampan itu kini sudah ada di depannya. Ia sudah yakin pria itu akan menuruti permintaan ibunya walaupun ia belum tahu apa itu."Kau, siapa namamu tadi?" tanya Adam."Zea," jawab Zea singkat."Aku akan mengantarmu pulang," ucap Adam.Dari belakang Adam, tampak ibunya tersenyum senang. Dia berpikir kehadiran Zea hanya sesaat saja menjadi penghalangnya. Ibu yang hanya memiliki satu anak dan suami yang telah tiada itu benar-benar tidak menginginkan adanya wanita dalam hidup putranya itu.Sudah berada di samping mobil taksi Adam, Zea masih belum siap untuk pulang sebenarnya. Ia tak ingin bertemu dengan suaminya, sanak saudara pun ia tak punya. Ia hanya sebatang kara di dunia ini. Menikah dengan Ruan itu karena sebuah kebaikan dilakukannya yang membuat Ruan jatuh cinta. Pernikahan dan restu dari keluarga Ruan pun terjadi tak lama setelah itu."Ponselmu!" Adam mengulurkan ponsel milik Zea."Tidak, aku belum bisa mengganti uangmu," sahut Zea."Memangnya kau tidak ingin menghubungi suamimu? Atau barangkali suamimu sudah menghubungimu berkali-kali."Zea terdiam melihat pada ponselnya yang masih diulurkan Adam. Ia menggunakan ponselnya itu untuk jaminan atas biaya ke klinik tadi sementara Zea tidak membawa uang lebih. Akhirnya Adam yang mengeluarkan uangnya untuk hal itu, tetapi Zea tidak ingin berhutang. Jadi, ia memberikan ponselnya untuk jaminan dan akan diambil kembali jika sudah mengganti uang yang dikeluarkan Adam yang memang tak banyak sebenarnya.Ponselnya itu dalam keadaan tidak aktif. Adam yang memintanya, karena tak ingin terganggu dengan panggilan atau pesan chat yang bukan untuknya. Namun, kini Adam merasa tidak enak jika itu hanya akan membuat Zea tak bisa menghubungi atau dihubungi suaminya."Untuk apa? Dia tidak akan menghubungiku," tolak Zea."Lalu aku akan mengantarmu kemana?" tanya Adam. Zea menggeleng pelan.Zea belum menceritakan apa yang terjadi tadi. Namun, saat mengigau di klinik tadi Adam bisa menduga jika suami wanita yang ada di depannya itu berselingkuh. Ia menjadi serba salah, tak tega tetapi ia juga harus bekerja."Kau tidak mencoba untuk berbicara baik-baik dengannya?" Adam berharap Zea menerima sarannya."Hey! Tunggu! Dokter tadi bilang kau hamil, apa suamimu tidak peduli … atau dia memang belum tahu? Secara kau sendiri belum menyadarinya juga, kan?"Zea sedikit terperanjat juga dengan ucapan Adam yang ini. Iya, dia juga baru ingat lagi dengan apa yang dikatakan Dokter tadi. Ia dinyatakan hamil, sementara ia sendiri tidak tahu kalau dia hamil. Zea juga tidak merasakan apa yang biasa terjadi pada wanita hamil."Ya, kau benar! Aku harus mengetahui apa aku benar-benar hamil," ucap Zea dengan terkejutnya."Kau … maukah kau membantuku untuk itu? Kau … kau bisa memakai ponselku sebagai bayarannya atau kau akan menjual dan mengambil uangnya, itu pun bisa kau lakukan." Zea memohon pada Adam sambil memegang tangan Adam juga mengguncang-guncangnya."Ku mohon!" Zea memohon lagi dengan mengatupkan kedua tangannya."Ya, ya, baiklah." Adam menuruti juga setelah sejenak melihat pada ponsel Zea yang memang terbilang mahal.Zea masuk ke dalam mobil taksi Adam dengan segera. Ia sudah sangat ingin mengetahui apakah ia benar-benar hamil. Kehamilan yang sudah sangat dinanti-nanti selama tiga tahun pernikahannya.Dalam mobil itu, perlahan Zea memegang perutnya. Ia memang menyadari bahwa bentuk perutnya memang ada perubahan. Tadinya ia berpikir itu karena ia mulai banyak makan sehingga membuat perutnya sedikit membuncit. Ia baru menyadari hal itu satu minggu lalu. Ia bahkan berniat untuk melakukan diet setelah melihat bentuk perutnya.Adam melirik Zea dari kaca spion atas. Zea masih berposisi seperti tadi, memegang perutnya dan memikirkan hal-hal yang terjadi belakangan kemarin-kemarin. Rasa kasihan pada Zea kembali menyerangnya.Adam melihat lagi pada ponsel Zea, dia tidak akan setega itu memanfaatkan kesulitan seseorang. Ia berpikir, biarlah ponsel itu bersamanya dahulu baru kemudian ia akan berikan jika wanita itu membutuhkan."Kau yakin ponsel ini untukku? ini ponsel dengan harga yang sangat mahal. Jika aku menjualnya aku bisa membeli dua ponsel baru dengan harga dibawahnya," pancing Adam."Aku sudah tidak membutuhkan ponsel itu! sudah ku katakan, tidak ada lagi yang bisa kuhubungi dengan ponsel itu," balas Zea."Oke, baiklah." Adam melajukan mobil taksinya dengan yakinnya kemudian.Pada akhirnya Adam membawa Zea kembali ke rumahnya. Setelah mendatangi dokter kandungan yang juga menyatakan Zea hamil, bahkan kehamilan Zea ternyata telah memasuki bulan ke lima. Pantas saja baby bum Zea sudah terlihat, hanya saja ia tidak mengalami apa-apa yang biasa dialami wanita hamil pada umumnya. Hal itulah yang membuat Zea tidak menyadari kehamilannya.Seandainya saja ia menyadari kehamilannya lebih dulu, mungkin tak akan ada kejadian yang menyakiti itu. Zea dan Ruan pasti sudah berbahagia akan kehamilan yang sudah dinanti-nantikan dalam tiga tahun pernikahan mereka. Namun, kini semuanya seakan percuma saja, hanya Zea saja yang mengetahui hal kehamilan itu."Kau jangan berdiam diri saja, enak saja jika kau tidak melakukan apa pun di rumah ini," ucap kasar ibunya Adam."Ibu, apakah boleh jika hari ini aku tidak melakukan apa pun. Perutku sakit sekali," sahut Zea sedikit merintih."Kau jangan berpura-pura dan itu hanya alasanmu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah!" Ibunya Ad
Sudah berjalan beberapa bulan, Rumah yang disewanya dengan harga lumayan besar itu sudah lengkap dengan peralatan rumah tangga. Jadi, Zea tidak kebingungan lagi masalah itu. Rumah itu pun bersih dan nyaman. Namun, keuangan Zea hasil penjualan cincin pernikahannya semakin menipis. Uang itu hanya cukup untuk beberapa kali lagi membayar rumah kontrakan itu."Zea, aku bawakan makanan untukmu," ucap Adam tiba-tiba datang saat Zea melamun, hingga ia tak mendengar suara mobil taksi Adam."Adam, kau baru saja datang?" tanya Zea terkejut."Ya, kau tidak mengetahui kedatangan mobil taksiku, kah?" Adam menanyai bagaimana Zea tidak mendengar suara mobil.Kedatangan Adam bukan hanya tidak diketahui Zea saja, tapi juga ibu pemilik rumah kontrakan yang selalu sibuk sehingga belum pernah bertemu Adam sekalipun."Tidak, aku … aku," sahut Zea terbata-bata tak ingin menceritakan tentang kekhawatirannya."Uangmu apa sudah habis?" tanya Adam."Tidak, uangku masih ada," sahut Zea.Adam melihat raut kegelisa
"CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya."Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja."I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat i
"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjag
'Dia tidak akan minum kopi pagi hari' batin Zea, tersenyum kecil merasa lucu.Angel memasang wajah cantik dan senyum yang dibuat semanis mungkin, berharap respon yang baik pula dari sang uncle pujaan hati. Hanya sesaat melihat pada Angel kemudian beralih lagi pada laptop-nya. Ruan tak merespon lebih."Aku tidak minum kopi pagi hari," jawabnya singkat. Hal itu membuat Angel cemberut.Zea menyembunyikan tertawanya, sang keponakan nakal itu tak berhasil dengan misi konyolnya. Ia kembali duduk di sofa masih dengan cemberut kesal. Ia membanting kasar cara duduknya, sehingga tubuhnya sedikit mengambul."Kau boleh membuatkan kopi untuknya jam 2 siang nanti, dia pasti akan meminumnya," ucap Zea sedikit meledek.Sontak saja membuat Angel melihat pada Zea. Antara terkejut, percaya dan bertanya apakah yang dikatakan wanita yang baru ia lihat bentuknya itu adalah benar. Angel melihat detail pada Zea, namun juga bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa mengatakan hal yang tampak seperti sudah diketahui la
"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
Sudah sampai di tempat tujuan, Ruan berjalan selangkah di depan Zea. Sesekali Ruan berhenti, agar Zea menyusulnya melangkah beriringan. Namun, Zea sepertinya tidak ingin hal itu. Ia selalu saja memperlambat langkahnya agar tertinggal lagi."Ish, kau ini kura-kura atau siput? Berjalanlah disampingku! Apa kau ingin terlihat seperti babu?" omel Ruan."Aku, aku hanya tidak terbiasa dengan sepatuku, Pak," jawab Zea beralasan yang tak sebenarnya.Tak lagi mempermasalahkan soal langkah yang tak seiringan, Ruan terus melanjutkan langkahnya lebih cepat. Ia tidak menunggu Zea lagi, hingga akhirnya Zea bersusah payah mengejar langkah tertinggal itu dengan sepatu berhak tinggi yang sebenarnya ia sudah terbiasa memakainya. Wig dan kacamatanya yang bergerak-gerak cukup membuat repot."Ruan, kau datang tepat waktu. Kita sudah akan memulai presentasi," ucap seorang wanita berpenampilan elegan."Ya, baiklah," sahut Ruan.Wanita itu adalah yang menelpon Ruan saat di mobil tadi. Dia adalah teman dekat R
Sambil terus melihat pada Adam, Ruan keluar dari mobil. Zea pun sama, ia juga melihat pada Adam. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Jika Zea melihat dengan penuh senyum, lain halnya Ruan yang melihat dengan tanda tanya."Siapa yang memesan taksi di jam kerja seperti ini?" tanya Ruan bergumam sendiri sambil melihat jam tangannya."Itu Adam," jawab Zea."Kau mengenalnya?" tanya Ruan. Entah mengapa ada rasa cemburu untuk hal ini dihati Ruan."Dia temanku! Bolehkah aku menemuinya?" jawab sekaligus tanya Zea."Ini masih jam kerja, paham!" Ruan meninggalkan Zea begitu saja."Ini masih jam kerja, paham," ulang Zea mengejek ucapan Ruan. Zea merasa sebal sekali dengan Ruan yang sekarang.Disaat seperti itu, Adam menghampiri Zea. "Hey, siapa dia? Apa dia bos mu? Atau itukah suamimu? Lalu apa dia mengenalimu?" berondongan pertanyaan dari Adam membuat Zea kebingungan untuk menjawab."Adam, dia itu memang Ruan suamiku. Dia tidak mengenaliku sama sekali. Sekarang kau pergilah dulu, ini masih
"Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan
Malam yang sunyi dan sepi juga dirasakan oleh Zea. Vio sudah tertidur dengan lelapnya. Sesekali mulut mungil bayi itu mengerucut seperti mengemut sesuatu. Zea melihat tersenyum pada bayinya yang kini mengingatkannya pada ayah bayi itu."Ruan, aku harus tetap bekerja denganmu, meski aku harus melihatmu bersama wanita itu lagi," gumamnya. Ingatannya beralih pada mantan sekretaris Ruan yang datang kembali.'Demi anak kita! Tidak, Vio hanya untukku. Vio hanya anakku, bukan anakmu' batinnya kesal sendiri.Suara pintu diketuk dari luar, membuat Zea terhenyak dari segala pikirannya tentang Ruan. Melihat sejenak pada Vio, khawatir Vio terbangun, barulah Zea beranjak untuk membuka pintu. Keluar dari kamar dengan menebak yang datang adalah ibu pemilik rumah kontrakan. Namun, ada keperluan apa, sedang Zea tidak memiliki sangkutan pembayaran.'Ada perlu apa, Bu Sindy,' katanya dalam batin.Setelah sampai di depan pintu, Zea mulai membuka pintu. Yang terbayang dalam pikirannya tentulah wajah Bu Si
Sementara Ruan si pemilik nomor yang tak sengaja tertekan nomornya itu masih berada di kantornya. Ia sendiri tengah menatap layar ponselnya. Seperti biasa, dalam keadaan yang tidak melakukan apa-apa, ia selalu melihat fitur galeri ponselnya. Foto-foto Zea menjadi sasaran utama pemandangan indah baginya.'Kau sudah bersama laki-laki lain, Zea! Apa kau bermaksud untuk balas dendam, hah!' gumamnya sebelum ponselnya berdering kini.Berniat untuk men-zoom foto Zea, tetapi ia juga malah menerima panggilan yang tidak ada namanya itu. Sebenarnya pada dasarnya memang tidak sulit untuk menghubunginya. Ruan pasti akan menyahuti orang yang menelponnya, tentu jika memang dalam keadaan yang tepat. Hanya saja tak sembarang orang yang menelponnya."Hey, suara bayi siapa ini?!" teriaknya ketika sambungan telepon sudah terhubung.Ruan mengernyit heran melihat pada ponselnya ketika kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja. Dalam kebingungannya, ia melihat lagi nomor ponsel yang baru saja masu
"A-adam … iya, namanya Adam," sahut Zea sedikit tegang. Ia mengkhawatirkan Ruan menyadari nama itu adalah nama yang sama dengan orang yang bersama istrinya yaitu dirinya sendiri."Oh, kebetulan sekali! Kau ingat, Aretha. Nama itu juga yang dikatakan ibu tadi, nama putranya yang berselingkuh bersama istriku Zea."Kekhawatiran Zea menjadi nyata. Ruan mulai berpikir ke arah nama itu. Ia bahkan mengira dirinya berselingkuh dengan Adam. Ruan memang sudah mengambil kesimpulan yang salah dari keterangan ibunya Adam."Tidak! Tidak! Aku tidak berselingkuh. Percayalah!" refleks Zea membantah tuduhan itu."Hey, siapa yang mengira kau berselingkuh? Lagi pula, siapa yang bersedia berselingkuh denganmu," balas Ruan dengan mengernyitkan keningnya."Ka-kalau begitu, aku permisi, Pak. Aku akan menunggu Adam di pinggir jalan," pamit Zea gugup akan menghindari percakapan dengan Ruan saat ini.Setelah ucapan itu, Zea langsung saja berlari tanpa menunggu jawaban dari Ruan. Sementara Ruan menatap kepergian