Pada akhirnya Adam membawa Zea kembali ke rumahnya. Setelah mendatangi dokter kandungan yang juga menyatakan Zea hamil, bahkan kehamilan Zea ternyata telah memasuki bulan ke lima. Pantas saja baby bum Zea sudah terlihat, hanya saja ia tidak mengalami apa-apa yang biasa dialami wanita hamil pada umumnya. Hal itulah yang membuat Zea tidak menyadari kehamilannya.
Seandainya saja ia menyadari kehamilannya lebih dulu, mungkin tak akan ada kejadian yang menyakiti itu. Zea dan Ruan pasti sudah berbahagia akan kehamilan yang sudah dinanti-nantikan dalam tiga tahun pernikahan mereka. Namun, kini semuanya seakan percuma saja, hanya Zea saja yang mengetahui hal kehamilan itu."Kau jangan berdiam diri saja, enak saja jika kau tidak melakukan apa pun di rumah ini," ucap kasar ibunya Adam."Ibu, apakah boleh jika hari ini aku tidak melakukan apa pun. Perutku sakit sekali," sahut Zea sedikit merintih."Kau jangan berpura-pura dan itu hanya alasanmu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah!" Ibunya Adam tak mempercayai keluh Zea, bahkan lebih kearah tidak peduli.Ya, hari demi hari bahkan beberapa bulan terlewati tinggal di rumah Adam, tentu kehamilan Zea semakin membesar. Sudah sampai saat ini pun, Zea masih belum memberi tahu pada Ruan. Rasa sakit dan hancur hatinya mengalahkannya dari memberi kabar itu. Entah bagaimana dengan Ruan di sana."Aakkh!"Tak tahan dengan rasa sakit yang semakin menjadi, Zea akhirnya berteriak juga sambil memegang bagian bawah perutnya yang membuncit besar. Tentu saja rasa sakit itu karena bayi dalam kandungan Zea memberontak ingin keluar."Hey, apa kau akan melahirkan? Menyusahkan saja! Kau bukan siapa-siapa di sini, pergilah sendiri ke rumah sakit!" sungguh tega, ibunya Adam berkata seperti itu."Ibu, aku tidak kuat untuk berjalan. Apa kau bisa menghubungi Adam? Aku membutuhkan bantuannya," mohon Zea berucap dengan sedikit meringis menahan sakitnya."Hey, enak saja kau ini. Adam bukan suamimu, kau juga bukan saudaranya untuk apa Adam ke rumah sakit membawamu melahirkan!" Ibunya Adam malah memarahi Zea.Zea tak kuat lagi untuk menimpali ucapan ibunya Adam. Rasa sakit itu begitu kuat, juga membuat pucat wajahnya. Peluh keringat di dahinya mulai membasahi. Zea sungguh sudah sangat kesakitan."Ough!" ringis Zea.Zea berusaha melangkah untuk mencoba ke rumah sakit sendiri, sementara ibunya Adam hanya diam memperhatikan Zea tanpa rasa iba. Seharusnya ia tidak tega dengan hal itu, bukankah ia juga pernah merasakan bagaimana rasanya akan melahirkan.Suara deru mesin mobil terdengar walaupun sangat lembut suaranya. Ibunya Adam tahu bahwa yang datang itu adalah sopir taksi Adam, putranya. Cepat-cepat ia menghampiri Zea untuk berakting."Hey, aku akan mengantarmu ke rumah sakit," ucapnya sedikit berbisik. Zea hanya terdiam.Adam memasuki rumah, dan langsung melihat Zea yang sedang dipapah ibunya Adam. Sontak saja ia melihat keadaan Zea yang masih seperti tadi. Segera saja ia berhambur menghampiri Zea."Kau, kau kenapa?" katanya dengan panik."Adam, dia akan melahirkan. Bawa dia ke Rumah Sakit," titah ibunya Adam seolah peduli."Me-melahirkan?! Jadi, seperti ini akan melahirkan?" tanya Adam tak mengerti."Iya, Adam," jawab ibunya Adam."Adam, tolong aku," rintih Zea, sudah tidak kuat."I-iya." Adam berucap dengan gelagapan, baru kali ini ia melihat wanita yang akan melahirkan.Adam membantu memapah Zea, Ia terlihat sangat khawatir dan panik. Tak seperti ibunya yang memasang wajah tak suka jika tanpa pandangan Adam. Namun ketika Adam melihat pada ibunya sebagai ungkapan rasa khawatirnya, agar ibunya merespon dan memberi tahu apa yang harus dilakukannya. Ibunya Adam cepat merubah mimik wajahnya menunjukkan rasa khawatir tanpa berkata apa-apa sebagai solusi untuk Adam."Aku akan menggendongmu." Adam menggendong Zea agar lebih cepat. Sungguh hal yang membuat ibunya cemberut.Meski dalam kepanikan, tetapi Adam bergerak pasti dan cekatan membawa Zea ke mobil dengan menggendongnya, menyetir mobil dengan cepat namun aman, sehingga sampai di Rumah sakit pun dengan tepat waktu dan aman. Itulah betapa pedulinya Adam.Tindakan Adam benar-benar tepat waktu. Tak lama masuk ruang persalinan, Zea melahirkan bayi laki-laki. Entah mengapa, Adam merasa bahagia dan lega akan hal itu. Senyum Adam begitu lepas dan tulus turut merasa bahagia. Jangan tanya bagaimana dengan ibunya Adam, sudah dapat dipastikan dia bukan orang yang bahagia saat ini."Selamat, bayi tampanmu telah lahir," ucap Adam haru."Terima kasih, Adam. Ini semua karena bantuanmu," timpal Zea.Bayi Zea lahir dengan sempurna, wajahnya putih dan tampan. Zea tahu wajah siapa yang dibawa bayi itu, tentu wajah Ruan sebagai sang papa. Begitu pula dengan Adam, ia sudah menduga bayi itu menyerupai wajah ayah bayi itu secara tidak ada kemiripan dari wajah Zea."Apa seperti ini wajah papanya?" tanya Adam."Iya, Adam. Dia sangat mirip ayahnya," jawab Zea."Tampan sekali," puji Adam.Zea dan Adam saling tersenyum bahagia atas kelahiran bayi itu. Hal itu tak berlaku bagi ibunya Adam. Dia bahkan melihat sinis pada bayi itu, meski tanpa berkata."Kau akan memberitahu suamimu tentang hal ini?" tanya Adam."Tidak! Bayi ini hanya milikku!" tandas Zea, tak bermaksud marah pada Adam. Namun, Zea masih begitu kesal pada suaminya.Bayi yang sehat serta keadaan Zea yang juga pulih dengan cepat membuat Zea hanya sehari saja di rumah sakit itu. Ia dan bayinya kembali pulang ke rumah Adam. Suatu hal yang sangat dibenci ibunya Adam.Hari-hari bahagia Zea atas kelahiran bayinya hilang seketika. Ibunya Adam selalu menunjukkan rasa bencinya. Lebih parahnya ketika tiada Adam yang dalam bekerja."Aku sangat membencimu dan bayi laki-lakimu itu. Kuharap kau pergi saja dari rumahku ini! Aku sudah tidak bisa menahan lagi, kau selalu merebut perhatian putraku!" omelnya pada Zea yang tengah bermain dengan bayinya.Ucapan ibunya Adam tentu sangat melukai hati Zea. Ia berpikir itu adalah ungkapan seseorang yang mengusir. Ya, ibunya Adam secara langsung mengusir Zea."Ibu, aku akan pergi dari sini, tetapi aku akan berpamitan dulu pada Adam," ucap Zea."Tidak perlu! Kau punya suami, kau datangi suamimu dan katakan itu bayi kalian. Aku sudah muak, selalu saja Adam yang kau repotkan!" marahnya dahsyat.Seperti tertampar wajahnya, ucapan ibunya Adam menyadarkan Zea bahwa selama ini ia memang selalu merepotkan Adam saja. Zea membenarkan juga tentang pengusiran ibunya Adam. Ia juga membenarkan juga, ia tidak perlu berpamitan pada Adam yang mungkin akan mencegahnya untuk pergi setelah pamitnya.Berjalan waktu cukup lama di kediaman Adam, membuat Zea memiliki beberapa baju lain selain baju yang ia pakai ketika baru datang. Beberapa baju itu adalah pemberian Adam. Ia membawa serta baju itu dan beberapa baju bayi pemberian Adam juga."Ibu aku pergi, semoga kau dan Adam sehat selalu," pamit Zea."Ya, cepatlah kau pergi!" sambut ibunya Adam ketus.Zea benar-benar pergi dari rumah Adam sebelum Adam pulang. Ia masih belum tahu harus pergi kemana, sementara ia tetap tidak ingin kembali pada Ruan.Dalam kebingungannya, bayinya menangis. Zea berhenti dari perjalanannya, ia mencari tempat aman dan terhalang dari orang-orang untuk memberi ASI pada bayinya.Tempat itu sudah ia temukan dan bayinya sudah dalam pemberian ASI-nya. Bayi itu kemudian tertidur pulas setelah merasa kenyang akan ASI eksklusif Zea. Barulah Zea teringat akan cincin pernikahannya yang ia lepas setelah beberapa hari tinggal di rumah Adam lalu disimpannya di dalam tas selempangnya.Zea mendatangi toko perhiasan untuk menjual cincin itu. Ia merasa sudah tidak ada cinta dalam cincin itu. Cincin yang sebenarnya ingin ia pertahankan sampai akhir hidupnya, tapi karena perselingkuhan itu untuk apa cincin itu masih dipegangnya, begitu pikirnya."Pak apa kau tahu wanita ini? Aku sudah mencarinya sangat lama, tetapi aku belum menemukannya,"Samar-samar Zea mendengar suara seseorang bertanya, berjarak beberapa langkah kira-kira. Ia mengenali suara orang itu, sangat mengenali. Buru-buru saja ia menoleh ke belakang. Namun, ketika Zea melihat orang itu sudah pergi setelah mendapat jawaban dengan gelengan kepala dari orang yang ditanyanya."Zea!" panggil Adam."Adam!" kaget Zea ketika ia berbalik badan lagi."Akhirnya aku menemukanmu juga! Aku sudah memarahi ibuku yang sudah mengusirmu! Tadinya ibuku tidak mengakui, tapi setelah aku mendesaknya barulah ibuku mengakui," ungkap Adam dengan membara."Zea, katakan apa selama ini ibuku tidak baik padamu?" Adam baru menyadari hal itu."Tidak, Adam. Jangan menyalahkan apa pun kepada ibumu. Dia ibu yang baik, dia tidak ingin kau meninggalkannya, itu saja." Zea berusaha agar tidak menjadi kemarahan yang lebih dari Adam untuk ibunya sendiri."Baiklah, sekarang bagaimana? Kau akan tinggal di mana?" tanya Adam khawatir."Aku baru saja menjual cincin pernikahanku, Adam. Ya, kurasa cincin ini memang pantas untuk dijual," jawab Zea. Adam hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa soal itu.Cincin pernikahannya berharga fantastis, sebenarnya. Sayangnya Zea tidak membawa surat-suratnya, sehingga penjualan cincin berharga rendah. Mau tak mau Zea menerimanya. Walaupun demikian, uang hasil penjualan cincin itu cukup untuk biaya hidup dirinya dan bayinya mungkin selama dua tahun.Hal pertama yang Zea lakukan setelah cukup uang di tangannya adalah mencari tempat tinggal. Ia harus segera mencari tempat tinggal yang nyaman untuk bayinya terutama. Beruntung, Zea melihat sebuah papan kecil yang bertuliskan promosi sebuah rumah kontrakan."Biar aku yang menanyakannya," tawar Adam."Permisi, apa Ibu tahu pemilik rumah kontrakan itu?" tanya Adam lalu menunjuk pada papan iklan itu, pada seorang ibu yang tengah lewat."Oh, rumah kontrakan itu milik Bu Sindy. Rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakan itu," jawab ibu yang ditanya Adam setelah sejenak melihat Adam lalu melihat Zea yang berdiri agak jauh."Terima kasih, Bu. Kami akan menemui Bu Sindy," ucap Adam terselingi senyuman.Ibu tersebut melanjutkan langkahnya, Adam dan Zea berlanjut menuju rumah yang tadi ditunjukkan. Jarak yang tak jauh dari rumah kontrakan yang berpapan iklan itu ke rumah pemiliknya, membuat mereka tidak kesulitan mencari-cari lagi. Rumah itu sudah di depan mata Zea kini.Tiba-tiba ponsel Adam berdering, ia mendapat panggilan dari pelanggan khususnya yang memakai jasa antar jemputnya agar tidak kerepotan mencari-cari taksi lain."Zea aku harus pergi, kau tidak apa-apa sendiri? Nanti aku datang lagi ke sini," pamit Adam tak rela sebenarnya."Iya, Adam. Pergilah," balas Zea mengikhlaskan Adam tak menemaninya lagi. Ia juga merasa Adam sudah terlalu baik padanya.Adam telah meninggalkan Zea, tetapi ia mengatakan akan kembali lagi. Zea sendirian mendatangi pemilik rumah kontrakan itu. Ia berharap semoga tidak ada masalah jika ia membawa seorang bayi tanpa suami mendampinginya."Silakan, aku sangat senang sekali. Kebetulan memang belum ada yang masuk," ucap Bu Sindy si pemilik rumah kontrakan.Pembayaran untuk satu bulan telah diberikan Zea kepada pemilik rumah kontrakan itu. Mulai saat ini Zea berhak untuk menempati rumah itu sesuai pembayaran dan jangkarnya."Semoga bayi kecilmu ini nyaman tinggal di sini! Bersabarlah atas suamimu," ucapnya setelah memberikan kunci. Zea menyambut dengan senyum dan anggukan.Sang pemilik rumah kontrakan memang sempat bertanya tentang suami Zea yang kemudian dijelaskannya sekedarnya saja. Syukurnya ia mengerti dan memaklumi keadaan Zea tanpa menuntut penjelasan lebih jelas. Dari melihat penampilan Zea, ia sudah memastikan Zea bukanlah seorang wanita yang memiliki anak diluar nikah.Sudah berjalan beberapa bulan, Rumah yang disewanya dengan harga lumayan besar itu sudah lengkap dengan peralatan rumah tangga. Jadi, Zea tidak kebingungan lagi masalah itu. Rumah itu pun bersih dan nyaman. Namun, keuangan Zea hasil penjualan cincin pernikahannya semakin menipis. Uang itu hanya cukup untuk beberapa kali lagi membayar rumah kontrakan itu."Zea, aku bawakan makanan untukmu," ucap Adam tiba-tiba datang saat Zea melamun, hingga ia tak mendengar suara mobil taksi Adam."Adam, kau baru saja datang?" tanya Zea terkejut."Ya, kau tidak mengetahui kedatangan mobil taksiku, kah?" Adam menanyai bagaimana Zea tidak mendengar suara mobil.Kedatangan Adam bukan hanya tidak diketahui Zea saja, tapi juga ibu pemilik rumah kontrakan yang selalu sibuk sehingga belum pernah bertemu Adam sekalipun."Tidak, aku … aku," sahut Zea terbata-bata tak ingin menceritakan tentang kekhawatirannya."Uangmu apa sudah habis?" tanya Adam."Tidak, uangku masih ada," sahut Zea.Adam melihat raut kegelisa
"CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya."Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja."I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat i
"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjag
'Dia tidak akan minum kopi pagi hari' batin Zea, tersenyum kecil merasa lucu.Angel memasang wajah cantik dan senyum yang dibuat semanis mungkin, berharap respon yang baik pula dari sang uncle pujaan hati. Hanya sesaat melihat pada Angel kemudian beralih lagi pada laptop-nya. Ruan tak merespon lebih."Aku tidak minum kopi pagi hari," jawabnya singkat. Hal itu membuat Angel cemberut.Zea menyembunyikan tertawanya, sang keponakan nakal itu tak berhasil dengan misi konyolnya. Ia kembali duduk di sofa masih dengan cemberut kesal. Ia membanting kasar cara duduknya, sehingga tubuhnya sedikit mengambul."Kau boleh membuatkan kopi untuknya jam 2 siang nanti, dia pasti akan meminumnya," ucap Zea sedikit meledek.Sontak saja membuat Angel melihat pada Zea. Antara terkejut, percaya dan bertanya apakah yang dikatakan wanita yang baru ia lihat bentuknya itu adalah benar. Angel melihat detail pada Zea, namun juga bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa mengatakan hal yang tampak seperti sudah diketahui la
"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
Sudah sampai di tempat tujuan, Ruan berjalan selangkah di depan Zea. Sesekali Ruan berhenti, agar Zea menyusulnya melangkah beriringan. Namun, Zea sepertinya tidak ingin hal itu. Ia selalu saja memperlambat langkahnya agar tertinggal lagi."Ish, kau ini kura-kura atau siput? Berjalanlah disampingku! Apa kau ingin terlihat seperti babu?" omel Ruan."Aku, aku hanya tidak terbiasa dengan sepatuku, Pak," jawab Zea beralasan yang tak sebenarnya.Tak lagi mempermasalahkan soal langkah yang tak seiringan, Ruan terus melanjutkan langkahnya lebih cepat. Ia tidak menunggu Zea lagi, hingga akhirnya Zea bersusah payah mengejar langkah tertinggal itu dengan sepatu berhak tinggi yang sebenarnya ia sudah terbiasa memakainya. Wig dan kacamatanya yang bergerak-gerak cukup membuat repot."Ruan, kau datang tepat waktu. Kita sudah akan memulai presentasi," ucap seorang wanita berpenampilan elegan."Ya, baiklah," sahut Ruan.Wanita itu adalah yang menelpon Ruan saat di mobil tadi. Dia adalah teman dekat R
Sambil terus melihat pada Adam, Ruan keluar dari mobil. Zea pun sama, ia juga melihat pada Adam. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Jika Zea melihat dengan penuh senyum, lain halnya Ruan yang melihat dengan tanda tanya."Siapa yang memesan taksi di jam kerja seperti ini?" tanya Ruan bergumam sendiri sambil melihat jam tangannya."Itu Adam," jawab Zea."Kau mengenalnya?" tanya Ruan. Entah mengapa ada rasa cemburu untuk hal ini dihati Ruan."Dia temanku! Bolehkah aku menemuinya?" jawab sekaligus tanya Zea."Ini masih jam kerja, paham!" Ruan meninggalkan Zea begitu saja."Ini masih jam kerja, paham," ulang Zea mengejek ucapan Ruan. Zea merasa sebal sekali dengan Ruan yang sekarang.Disaat seperti itu, Adam menghampiri Zea. "Hey, siapa dia? Apa dia bos mu? Atau itukah suamimu? Lalu apa dia mengenalimu?" berondongan pertanyaan dari Adam membuat Zea kebingungan untuk menjawab."Adam, dia itu memang Ruan suamiku. Dia tidak mengenaliku sama sekali. Sekarang kau pergilah dulu, ini masih
Pintu ruangan Ruan terbuka, Angel terlihat kemudian. Ia masuk dengan wajah yang dibuat secantik mungkin. Senyumnya selalu tercurah untuk Ruan. Gadis ini memang akan kehilangan akal sehat, jika sudah di depan Ruan."Uncle Ru, kau memanggilku? Aku akan selalu ada untukmu," katanya."Ya, Angle. Aku ingin kau mengantar Aretha ke meja kerjanya," timpal Ruan."What? Kau mengganggu kerjaku hanya untuk itu? Uncle Ru, please. Meja kerja sekretaris itu hanya selangkah dari balik pintumu ini!" kesalnya, memprotes."Bukan untuk itu saja, Angel. Kau juga akan memberi arahan untuknya." Ruan sampai bangun dari tempat duduknya.Angel melihat sinis pada Zea. Dia tidak akan sudi pastinya, tetapi jika pria idamannya ini yang memerintah mau tidak mau ia harus menuruti. Sementara Zea menyembunyikan senyum merasa lucunya."Baiklah, ikut aku!" ucap Angel ketus pada Zea.'Dari pada nanti Uncle Ru yang membimbingmu lebih baik aku saja' pikir Angel.Setelah berpamitan untuk keluar ruangan Ruan dan mengikuti An
"Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan
Malam yang sunyi dan sepi juga dirasakan oleh Zea. Vio sudah tertidur dengan lelapnya. Sesekali mulut mungil bayi itu mengerucut seperti mengemut sesuatu. Zea melihat tersenyum pada bayinya yang kini mengingatkannya pada ayah bayi itu."Ruan, aku harus tetap bekerja denganmu, meski aku harus melihatmu bersama wanita itu lagi," gumamnya. Ingatannya beralih pada mantan sekretaris Ruan yang datang kembali.'Demi anak kita! Tidak, Vio hanya untukku. Vio hanya anakku, bukan anakmu' batinnya kesal sendiri.Suara pintu diketuk dari luar, membuat Zea terhenyak dari segala pikirannya tentang Ruan. Melihat sejenak pada Vio, khawatir Vio terbangun, barulah Zea beranjak untuk membuka pintu. Keluar dari kamar dengan menebak yang datang adalah ibu pemilik rumah kontrakan. Namun, ada keperluan apa, sedang Zea tidak memiliki sangkutan pembayaran.'Ada perlu apa, Bu Sindy,' katanya dalam batin.Setelah sampai di depan pintu, Zea mulai membuka pintu. Yang terbayang dalam pikirannya tentulah wajah Bu Si
Sementara Ruan si pemilik nomor yang tak sengaja tertekan nomornya itu masih berada di kantornya. Ia sendiri tengah menatap layar ponselnya. Seperti biasa, dalam keadaan yang tidak melakukan apa-apa, ia selalu melihat fitur galeri ponselnya. Foto-foto Zea menjadi sasaran utama pemandangan indah baginya.'Kau sudah bersama laki-laki lain, Zea! Apa kau bermaksud untuk balas dendam, hah!' gumamnya sebelum ponselnya berdering kini.Berniat untuk men-zoom foto Zea, tetapi ia juga malah menerima panggilan yang tidak ada namanya itu. Sebenarnya pada dasarnya memang tidak sulit untuk menghubunginya. Ruan pasti akan menyahuti orang yang menelponnya, tentu jika memang dalam keadaan yang tepat. Hanya saja tak sembarang orang yang menelponnya."Hey, suara bayi siapa ini?!" teriaknya ketika sambungan telepon sudah terhubung.Ruan mengernyit heran melihat pada ponselnya ketika kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja. Dalam kebingungannya, ia melihat lagi nomor ponsel yang baru saja masu
"A-adam … iya, namanya Adam," sahut Zea sedikit tegang. Ia mengkhawatirkan Ruan menyadari nama itu adalah nama yang sama dengan orang yang bersama istrinya yaitu dirinya sendiri."Oh, kebetulan sekali! Kau ingat, Aretha. Nama itu juga yang dikatakan ibu tadi, nama putranya yang berselingkuh bersama istriku Zea."Kekhawatiran Zea menjadi nyata. Ruan mulai berpikir ke arah nama itu. Ia bahkan mengira dirinya berselingkuh dengan Adam. Ruan memang sudah mengambil kesimpulan yang salah dari keterangan ibunya Adam."Tidak! Tidak! Aku tidak berselingkuh. Percayalah!" refleks Zea membantah tuduhan itu."Hey, siapa yang mengira kau berselingkuh? Lagi pula, siapa yang bersedia berselingkuh denganmu," balas Ruan dengan mengernyitkan keningnya."Ka-kalau begitu, aku permisi, Pak. Aku akan menunggu Adam di pinggir jalan," pamit Zea gugup akan menghindari percakapan dengan Ruan saat ini.Setelah ucapan itu, Zea langsung saja berlari tanpa menunggu jawaban dari Ruan. Sementara Ruan menatap kepergian