"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
Sudah sampai di tempat tujuan, Ruan berjalan selangkah di depan Zea. Sesekali Ruan berhenti, agar Zea menyusulnya melangkah beriringan. Namun, Zea sepertinya tidak ingin hal itu. Ia selalu saja memperlambat langkahnya agar tertinggal lagi."Ish, kau ini kura-kura atau siput? Berjalanlah disampingku! Apa kau ingin terlihat seperti babu?" omel Ruan."Aku, aku hanya tidak terbiasa dengan sepatuku, Pak," jawab Zea beralasan yang tak sebenarnya.Tak lagi mempermasalahkan soal langkah yang tak seiringan, Ruan terus melanjutkan langkahnya lebih cepat. Ia tidak menunggu Zea lagi, hingga akhirnya Zea bersusah payah mengejar langkah tertinggal itu dengan sepatu berhak tinggi yang sebenarnya ia sudah terbiasa memakainya. Wig dan kacamatanya yang bergerak-gerak cukup membuat repot."Ruan, kau datang tepat waktu. Kita sudah akan memulai presentasi," ucap seorang wanita berpenampilan elegan."Ya, baiklah," sahut Ruan.Wanita itu adalah yang menelpon Ruan saat di mobil tadi. Dia adalah teman dekat R
Sambil terus melihat pada Adam, Ruan keluar dari mobil. Zea pun sama, ia juga melihat pada Adam. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Jika Zea melihat dengan penuh senyum, lain halnya Ruan yang melihat dengan tanda tanya."Siapa yang memesan taksi di jam kerja seperti ini?" tanya Ruan bergumam sendiri sambil melihat jam tangannya."Itu Adam," jawab Zea."Kau mengenalnya?" tanya Ruan. Entah mengapa ada rasa cemburu untuk hal ini dihati Ruan."Dia temanku! Bolehkah aku menemuinya?" jawab sekaligus tanya Zea."Ini masih jam kerja, paham!" Ruan meninggalkan Zea begitu saja."Ini masih jam kerja, paham," ulang Zea mengejek ucapan Ruan. Zea merasa sebal sekali dengan Ruan yang sekarang.Disaat seperti itu, Adam menghampiri Zea. "Hey, siapa dia? Apa dia bos mu? Atau itukah suamimu? Lalu apa dia mengenalimu?" berondongan pertanyaan dari Adam membuat Zea kebingungan untuk menjawab."Adam, dia itu memang Ruan suamiku. Dia tidak mengenaliku sama sekali. Sekarang kau pergilah dulu, ini masih
Pintu ruangan Ruan terbuka, Angel terlihat kemudian. Ia masuk dengan wajah yang dibuat secantik mungkin. Senyumnya selalu tercurah untuk Ruan. Gadis ini memang akan kehilangan akal sehat, jika sudah di depan Ruan."Uncle Ru, kau memanggilku? Aku akan selalu ada untukmu," katanya."Ya, Angle. Aku ingin kau mengantar Aretha ke meja kerjanya," timpal Ruan."What? Kau mengganggu kerjaku hanya untuk itu? Uncle Ru, please. Meja kerja sekretaris itu hanya selangkah dari balik pintumu ini!" kesalnya, memprotes."Bukan untuk itu saja, Angel. Kau juga akan memberi arahan untuknya." Ruan sampai bangun dari tempat duduknya.Angel melihat sinis pada Zea. Dia tidak akan sudi pastinya, tetapi jika pria idamannya ini yang memerintah mau tidak mau ia harus menuruti. Sementara Zea menyembunyikan senyum merasa lucunya."Baiklah, ikut aku!" ucap Angel ketus pada Zea.'Dari pada nanti Uncle Ru yang membimbingmu lebih baik aku saja' pikir Angel.Setelah berpamitan untuk keluar ruangan Ruan dan mengikuti An
Daycare Pelangi MitraSebuah papan nama menempel tepat di atas pintu. Pintu berbahan kaca tebal, kemudian didorong Zea untuk masuk kedalamnya. Barulah kemudian ia menemui seorang resepsionis."Silakan," ucapnya setelah menerima sebuah kartu yang menandakan Zea adalah orang yang berkepentingan di tempat itu.Melanjutkan langkahnya, Zea memasuki ruangan inti. Banyak anak yang dititipkan disitu. Berhubung saat ini adalah jam tidur, maka anak-anak yang dititipkan itu sedang tertidur. Walaupun ada beberapa yang belum tidur, terutama usia bayi seperti Vio. Vio sendiri pun belum juga tertidur.Zea melihat seorang wanita petugas yang sedang menjaga Vio. Terlihat ia tengah menggendong Vio mencoba untuk menidurkannya. Namun, bukannya tidur, Vio malah tak bisa diam dalam gendongan petugas itu. Sebentar-sebentar, Vio juga merengek. "Dia sudah sangat menginginkan ASI Anda, Bu," ucap petugas yang menjaga Vio–putra Zea dan Ruan."Ouh, Sayang." Zea meraih Vio dari gendongan petugas wanita yang sudah
"Katakan padaku, apa kau sudah menikah?" desak Ruan tiba-tiba sudah berada di belakang Zea."Pak Ruan! Sejak kapan Anda di belakang ku? Apa Bapak mengikuti ku?" tanya Zea sedikit terkejut dan kesal mengira Ruan membuntutinya."Siapa yang mengikuti mu?! Kau tidak sepenting itu." Ruan berbalik kesal dengan tuduhan Zea. Zea memasang wajah kesal akan kalimat terakhir Ruan yang sama saja menganggap dirinya tidak penting."Kau sudah menikah dan punya anak, kan? Tadi itu suamimu, seorang supir taksi dan yang di daycare adalah anakmu! Katakan saja," desak Ruan lagi."Nah, benar, kan Bapak mengikuti ku?" Zea menunjuk hidung Ruan dengan telunjuk kecilnya dan matanya menatap selidik.Sebenarnya ada rasa ketakutan jika Ruan benar-benar tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Namun, Zea berusaha tidak menampakan hal itu. Dari caranya menerka, Ruan hanya mengira ia sudah menikah dan punya anak saja. Bukan sudah mengetahui siapa dirinya, itu artinya Zea masih aman sebagai Aretha."Aku hanya kebetulan
Meja kerjanya yang berada dekat dengan ruangan Ruan membuat Zea melihat Angel yang kegirangan membawa kopi untuk Ruan. Zea tersenyum kecil sambil sedikit menggelengkan kepalanya. Zea berpikir Angel benar-benar telah melakukan hal yang gila.Gadis itu masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Zea masih melihat pada Angel yang kemudian menutup pintu ruang kerja Ruan itu. Tak peduli dan tak ingin ambil pusing, Zea melanjutkan pekerjaannya. Ia terfokus kembali pada layar laptop di depannya. Zea benar-benar menjadi sekretaris sungguhan kini.Tak lama kemudian, Angel keluar dari ruang kerja Ruan. Wajah cerianya berubah menjadi cemberut dan kesal. Sering sekali gadis itu dengan ekspresi wajah yang seperti itu. Sayang sekali, jika wajah cantik itu selalu seperti itu. Matanya menyorot tajam kearah Zea kemudian."Kau dasar penikung!" hardiknya pada Zea.Zea menghentikan aktivitasnya lalu melihat heran pada Angel. Mata gadis itu masih menyorot tajam dan marah. Gadis itu merasa didahului oleh Zea perihal
"Eum, aku permisi, Bu. Aku akan mengerjakan tugas ini sekarang," pamit Zea tak melanjutkan lagi pembicaraan tentang Ruan.Angel bergeming, ada rasa heran juga kepuasan seperginya Zea. Ia ketakutan jika pertanyaan Zea tadi mengisyaratkan ketertarikan pada Ruan, pamannya itu. Zea yang tidak protes akan semua tugas yang dilimpahkan kepadanya membuat Angel merasa senang dan puas.'Ah, sudahlah. Kalau wanita buruk rupa itu memang menyukainya Uncle Ru, dia tidak akan mungkin mendapatkannya! Dia tidak pantas menjadi sainganku. Aku tidak perlu memikirkannya' gumamnya sambil mengibaskan tangannya.Angel merapikan meja kerjanya untuk bersiap-siap pulang. Ia juga merapikan dirinya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi. Tatanannya tentu tidaklah berubah secara dia tak banyak melakukan pekerjaan di ruangan yang harum, nyaman dan sejuknya alat pendingin ruangan.Waktu sudah berjalan setengah jam dari jam pulang kerja tadi, hingga ruangan kantor itu menjadi sepi. Zea mencoba untuk mengerjakan p
"Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan
Malam yang sunyi dan sepi juga dirasakan oleh Zea. Vio sudah tertidur dengan lelapnya. Sesekali mulut mungil bayi itu mengerucut seperti mengemut sesuatu. Zea melihat tersenyum pada bayinya yang kini mengingatkannya pada ayah bayi itu."Ruan, aku harus tetap bekerja denganmu, meski aku harus melihatmu bersama wanita itu lagi," gumamnya. Ingatannya beralih pada mantan sekretaris Ruan yang datang kembali.'Demi anak kita! Tidak, Vio hanya untukku. Vio hanya anakku, bukan anakmu' batinnya kesal sendiri.Suara pintu diketuk dari luar, membuat Zea terhenyak dari segala pikirannya tentang Ruan. Melihat sejenak pada Vio, khawatir Vio terbangun, barulah Zea beranjak untuk membuka pintu. Keluar dari kamar dengan menebak yang datang adalah ibu pemilik rumah kontrakan. Namun, ada keperluan apa, sedang Zea tidak memiliki sangkutan pembayaran.'Ada perlu apa, Bu Sindy,' katanya dalam batin.Setelah sampai di depan pintu, Zea mulai membuka pintu. Yang terbayang dalam pikirannya tentulah wajah Bu Si
Sementara Ruan si pemilik nomor yang tak sengaja tertekan nomornya itu masih berada di kantornya. Ia sendiri tengah menatap layar ponselnya. Seperti biasa, dalam keadaan yang tidak melakukan apa-apa, ia selalu melihat fitur galeri ponselnya. Foto-foto Zea menjadi sasaran utama pemandangan indah baginya.'Kau sudah bersama laki-laki lain, Zea! Apa kau bermaksud untuk balas dendam, hah!' gumamnya sebelum ponselnya berdering kini.Berniat untuk men-zoom foto Zea, tetapi ia juga malah menerima panggilan yang tidak ada namanya itu. Sebenarnya pada dasarnya memang tidak sulit untuk menghubunginya. Ruan pasti akan menyahuti orang yang menelponnya, tentu jika memang dalam keadaan yang tepat. Hanya saja tak sembarang orang yang menelponnya."Hey, suara bayi siapa ini?!" teriaknya ketika sambungan telepon sudah terhubung.Ruan mengernyit heran melihat pada ponselnya ketika kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja. Dalam kebingungannya, ia melihat lagi nomor ponsel yang baru saja masu
"A-adam … iya, namanya Adam," sahut Zea sedikit tegang. Ia mengkhawatirkan Ruan menyadari nama itu adalah nama yang sama dengan orang yang bersama istrinya yaitu dirinya sendiri."Oh, kebetulan sekali! Kau ingat, Aretha. Nama itu juga yang dikatakan ibu tadi, nama putranya yang berselingkuh bersama istriku Zea."Kekhawatiran Zea menjadi nyata. Ruan mulai berpikir ke arah nama itu. Ia bahkan mengira dirinya berselingkuh dengan Adam. Ruan memang sudah mengambil kesimpulan yang salah dari keterangan ibunya Adam."Tidak! Tidak! Aku tidak berselingkuh. Percayalah!" refleks Zea membantah tuduhan itu."Hey, siapa yang mengira kau berselingkuh? Lagi pula, siapa yang bersedia berselingkuh denganmu," balas Ruan dengan mengernyitkan keningnya."Ka-kalau begitu, aku permisi, Pak. Aku akan menunggu Adam di pinggir jalan," pamit Zea gugup akan menghindari percakapan dengan Ruan saat ini.Setelah ucapan itu, Zea langsung saja berlari tanpa menunggu jawaban dari Ruan. Sementara Ruan menatap kepergian