Foto pernikahannya di atas nakas jatuh dan pecah setelah tak sengaja tersenggol olehnya, membuat Zeana Arnalitha terkejut. Namun, bukan hanya terkejut saja melainkan ada rasa khawatir yang teramat sangat akan suaminya. Zea, mempercayai jatuhnya foto pernikahan mereka merupakan pertanda buruk. Ia berpikir suaminya dalam bahaya atau terjadi sesuatu.
'Ruan, apakah telah terjadi sesuatu padamu' gumam Zeana menebak akan suaminya dengan rasa kekhawatiran yang berlebih.Zea meraih ponselnya untuk segera menghubungi suaminya. Namun, hal itu hanyalah sia-sia, tak ada sahutan dari sana. Setelah mencoba beberapa kali yang membuatnya semakin khawatir, akhirnya Zea memutuskan untuk mendatangi saja kantor Ruan.Tak lagi berbenah diri, hanya melapisi jumpsuit lengan pendeknya dengan cardigan hitam, Zea melesat keluar rumah. Disambarnya tas selempang kecil yang tergeletak di sofa.Perjalanan lancar dengan menaiki angkutan umum membawa Zea sampai ke kantor suaminya dengan cepat. Berjalan dengan tergesa-gesa dan masih dengan rasa khawatir, Zea menghampiri salah satu karyawan suaminya."Selamat pagi, Bu!" ucap karyawan itu menyapa lebih dulu dari bilik kerjanya yang terletak paling pinggir dari beberapa bilik karyawan lain."Apa suamiku ada di ruangannya atau telah terjadi sesuatu padanya?" tanya Zea tanpa basa-basi, tentu masih dengan wajah panik."Tidak, Bu. Tidak terjadi sesuatu apa pun di sini," sahut karyawan laki-laki itu dengan wajah bingung."Ya, aku berpikir telah terjadi sesuatu pada suamiku! Baiklah, aku akan segera menemuinya saja." Zea merasa telah salah bertanya.Tak ada percakapan lagi, Zea melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja Ruan. Meski kepanikan dan rasa khawatirnya menurun dengan dirasanya keadaan di gedung kantor suaminya itu baik-baik saja, tetapi tetap saja Zea ingin memastikan keadaan suami tercintanya."Ayolah, Pak, sedikit saja! Mmmph!"Suara mendayu seorang wanita terdengar dari balik pintu dimana Zea berdiri kini. Detak jantung Zea mulai berdenyut cepat, ia sudah bisa menebak dan berpikir macam-macam akan suara wanita itu. Perlahan tangannya terulur untuk membuka handle pintu.Gagang pintu mulai bergerak, Zea telah menekannya dan pintu mulai terbuka sedikitnya. Tubuh Zea mulai memasuki ruangan yang dengan cerobohnya pintu itu tak terkunci. Alhasil Zea melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu.Sebuah adegan yang tak seharusnya dilakukan sang sekretaris terhadap pimpinannya. Sementara Ruan, sang CEO yang juga adalah suaminya itu tak melawan, tapi juga tidak menimpali untuk menyentuh wanita sekretarisnya itu. Ia diam saja, membiarkan wajahnya disentuh. Namun, ia terlihat dalam keadaan tak kuasa."Ru-ruan!" ucap Zea dengan bibir yang bergetar dan rasa terkejutnya.Sontak saja Ruan pun kaget akan kedatangan Zea, istrinya. Ia langsung saja mendorong tubuh wanita berpenampilan layaknya sekretaris itu yang sedang beraktivitas tak wajar. Wanita dengan rambut di-blow yang memang sekretaris Ruan, tengah berdiri dengan bagian tubuh depannya sangat dekat."Zea!" kagetnya bangkit dari duduknya.Zea tak sanggup lagi berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang mulai mengalir bebas. Tubuhnya terasa lemas, hatinya hancur, tak ada daya untuk marah, tidak ada kekuatan yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Namun, akhirnya dengan sekuat tenaga Zea berlari meninggalkan ruangan yang baru saja memberinya luka.Ruan mengejar Zea, meski tubuhnya dalam keadaan kehilangan keseimbangan. Zea tak menoleh lagi ke belakang dan terus berlari. Beberapa karyawannya melihat kebingungan yang teramat sangat dan bertanya-tanya apa kiranya yang terjadi pada bos mereka."Zea! Tunggu!" teriak Ruan kencang mengejar Zea. Sang sekretaris memasang wajah cemberut kesal tak bisa menahan perginya sang bos dari dikuasainya tadi.Bernafas dengan terengah-engah, akhirnya Ruan berhasil mengejar Zea. Ia bahkan kini menangkap dan menggenggam tangan istrinya. Namun, Zea tak ingin melihat wajah Ruan juga ia terus saja berusaha melepas pegangan tangan Ruan."Zea, kau salah paham. Itu tidak seperti apa yang kau lihat." Ruan berusaha menjelaskan dengan harapan Zea akan percaya."Lalu apa, Ruan? Kau bilang tidak seperti apa yang aku lihat? Itu sudah jelas, Ruan. Kau sudah mengkhianati pernikahan kita, kau sudah mengkhianati cinta kita!" marah Zea, meledak tak terkendali lagi."Zea, kau tahu 'kan, aku hanya mencintaimu? Bukankah kau percaya itu?" Ruan meyakinkan Zea."Kau tahu, Ruan. Di rumah kita, aku berpikir telah terjadi sesuatu padamu yang membuatku sangat khawatir, tapi ternyata ini yang terjadi! Aku telah salah!" Zea tak menjawab pertanyaan Ruan, ia tidak tahu apakah masih percaya atau tidak."Aku rasa dia sudah memberiku suatu obat dalam minumanku atau apa itu, aku tidak tahu." Ruan membela diri, meyakinkan Zea."Kau kembali saja pada wanitamu itu!" Zea menghempas tangan Ruan dengan kencang, hingga genggaman tangan Ruan benar-benar terlepas.Tak menghiraukan Ruan lagi, Zea terus saja menjauh sambil menghapus air matanya yang mulai mengalir deras. Namun, air mata itu mengalir lagi dan lagi. Mengiringi langkahnya yang semakin menjauh.Ruan terdiam terpaku sambil terus menatap kepergian Zea. Ia gundah, ia tak rela sebenarnya. Ia masih berharap marah Zea hanya saat ini saja. Mengejar pun dirasanya percuma jika dalam keadaan marah seperti itu.'Zea, istriku. Kuharap kita akan membahas lagi di rumah nanti' gumamnya lirih.Beruntungnya di jam kerja saat ini, tak banyak orang yang berlalu-lalang. Zea bisa dengan puasnya mengeluarkan seluruh tangisnya, bahkan isaknya mulai terdengar menandakan hatinya begitu sakit dan hancur.Tangis Zea semakin terdengar memilukan, ia memegang dadanya yang terasa sesak. Air matanya tumpah ruah, terbayang bagaimana perasaan Zea saat ini. Ia sangat mencintai Ruan dan pernikahannya yang sudah menginjak di angka tiga tahun.Tubuhnya semakin melemas, Zea menjatuhkan lututnya di jalan berlapis aspal yang mulai terasa hangat karena matahari pagi. Zea benar-benar tidak menyangka, suaminya berselingkuh. Padahal tadi pagi saat akan berangkat bekerja, Ruan masih bersikap manis seperti biasanya.Pernikahan penuh cinta dan romantis, meyakinkannya akan berjalan seumur hidup. Namun, jika melihat perselingkuhan tadi, jangankan seumur hidup sedetik lagi pun tidak bisa diyakinkan bertahan atau tetap berjalan lanjut. Pernikahan itu mungkin hanya akan sepanjang tiga tahun ini saja.'Ruan, cintamu bahkan terasa begitu nyata. Lalu tadi itu apa, Ruan' lirih Zea lagi begitu pilu.Zea berpikir manisnya cinta dan segala keromantisan yang diciptakan Ruan, bahkan ia merasakan begitu jelas dan nyata apakah hanya sebuah kepalsuan. Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.Menyadari saat ini ia berada di tempat umum yang bisa saja akan banyak orang melihat nantinya, Zea bersegera bangun dari duduk berlutut dan menghapus air matanya. Namun bukan berarti Zea sudah merasa lebih baik. Tidak, bahkan tidak sama sekali. Ia hanya tidak ingin ada orang yang melihatnya.Berjalan dengan gontai, Zea bermaksud menyebrang jalan. Sebab arah pulang memang berada di seberang jalan sana. Ia harus menaiki angkutan umum dari seberang jalan itu.Baru saja beberapa langkah untuk ke tengah jalan, sebuah taksi berhenti mengerem dengan tajam. Taksi berwarna biru itu hampir saja menabrak Zea. Sang sopir taksi itu sangat terkejut dan marah kepada Zea. Menurutnya Zea sangat bodoh dengan menyeberang jalan begitu saja tanpa melihat-lihat dahulu.Kepala sang supir taksi itu kemudian menyembul keluar dari jendela mobil berjenis sedan. Wajah marahnya terlihat seakan ingin menerkam Zea. Sementara Zea hanya terdiam dengan tatapan kosong lurus ke arah depan. "Hey, mengapa kau diam saja? Minggir, aku harus cepat!" teriak sang supir taksi dengan gemas.Tak jua mendapat respon, akhirnya sang supir taksi itu keluar dari taksi-nya. Ia menghampiri Zeana masih dengan kesalnya. Menurutnya, Zea sangat mengganggu pekerjaannya."Kau tuli atau kau memang benar-benar ingin bunuh diri? Jangan libatkan aku jika kau memang ingin bunuh diri!" omelnya lagi kemudian bermaksud menarik paksa Zea.Brukk …Bukankannya mendapat jawaban, sang sopir malah ketiban sialnya, Zeana malah tiba-tiba pingsan dan jatuh tepat ke dada sang sopir. Ia dengan refleks menanggapi tubuh Zea, namun dengan kebingungan."Hey, kau! Apa-apaan ini?" Sang sopir taksi berusaha menjauhkan tubuh tak berdaya Zea."Sial! Dia benar-benar pingsan."Perlahan sekali sopir taksi itu melaj
"Hey, kau. Kemarilah!" ajak Adam begitu ia melihat Zea."Ha! Eh! Aku?" Zea terkejut, tak menyangka Adam sudah melihatnya, sedang ia dalam keadaan berpikir dan tak terfokus.Adam melangkah mendekati Zea, lalu mengajak Zea untuk lebih masuk ke dalam ruang dapur itu. Ia akan mengajak Zea turut makan bersama. Sementara ibunya Adam terlihat cemberut."Kami memang tidak memiliki meja makan, jadi kita makan di lantai saja," ucap Adam sudah membawa Zea ke dalam ruang dapur."Kau bisa membantu ibuku untuk meletakkannya di bawah, aku akan mencuci tanganku dulu," lanjut Adam sambil melangkah ke wastafel."Ya, baiklah," balas Zea.Zea mulai menurunkan satu menu ke lantai. Adam dan ibunya memang terbiasa seperti itu, rumah mereka memang teramat sederhana. Ibunya Adam kemudian melihat tajam pada Zea."Ku harap kau tidak mengatakan bahwa kau yang memasak," bisiknya pelan sekali, tepat ke wajah Zea.Zea tak menyahut, ucapan dengan berbisik itu malah membuatnya bertambah keheranan. Apa yang membuat ib
Pada akhirnya Adam membawa Zea kembali ke rumahnya. Setelah mendatangi dokter kandungan yang juga menyatakan Zea hamil, bahkan kehamilan Zea ternyata telah memasuki bulan ke lima. Pantas saja baby bum Zea sudah terlihat, hanya saja ia tidak mengalami apa-apa yang biasa dialami wanita hamil pada umumnya. Hal itulah yang membuat Zea tidak menyadari kehamilannya.Seandainya saja ia menyadari kehamilannya lebih dulu, mungkin tak akan ada kejadian yang menyakiti itu. Zea dan Ruan pasti sudah berbahagia akan kehamilan yang sudah dinanti-nantikan dalam tiga tahun pernikahan mereka. Namun, kini semuanya seakan percuma saja, hanya Zea saja yang mengetahui hal kehamilan itu."Kau jangan berdiam diri saja, enak saja jika kau tidak melakukan apa pun di rumah ini," ucap kasar ibunya Adam."Ibu, apakah boleh jika hari ini aku tidak melakukan apa pun. Perutku sakit sekali," sahut Zea sedikit merintih."Kau jangan berpura-pura dan itu hanya alasanmu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah!" Ibunya Ad
Sudah berjalan beberapa bulan, Rumah yang disewanya dengan harga lumayan besar itu sudah lengkap dengan peralatan rumah tangga. Jadi, Zea tidak kebingungan lagi masalah itu. Rumah itu pun bersih dan nyaman. Namun, keuangan Zea hasil penjualan cincin pernikahannya semakin menipis. Uang itu hanya cukup untuk beberapa kali lagi membayar rumah kontrakan itu."Zea, aku bawakan makanan untukmu," ucap Adam tiba-tiba datang saat Zea melamun, hingga ia tak mendengar suara mobil taksi Adam."Adam, kau baru saja datang?" tanya Zea terkejut."Ya, kau tidak mengetahui kedatangan mobil taksiku, kah?" Adam menanyai bagaimana Zea tidak mendengar suara mobil.Kedatangan Adam bukan hanya tidak diketahui Zea saja, tapi juga ibu pemilik rumah kontrakan yang selalu sibuk sehingga belum pernah bertemu Adam sekalipun."Tidak, aku … aku," sahut Zea terbata-bata tak ingin menceritakan tentang kekhawatirannya."Uangmu apa sudah habis?" tanya Adam."Tidak, uangku masih ada," sahut Zea.Adam melihat raut kegelisa
"CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya."Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja."I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat i
"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjag
'Dia tidak akan minum kopi pagi hari' batin Zea, tersenyum kecil merasa lucu.Angel memasang wajah cantik dan senyum yang dibuat semanis mungkin, berharap respon yang baik pula dari sang uncle pujaan hati. Hanya sesaat melihat pada Angel kemudian beralih lagi pada laptop-nya. Ruan tak merespon lebih."Aku tidak minum kopi pagi hari," jawabnya singkat. Hal itu membuat Angel cemberut.Zea menyembunyikan tertawanya, sang keponakan nakal itu tak berhasil dengan misi konyolnya. Ia kembali duduk di sofa masih dengan cemberut kesal. Ia membanting kasar cara duduknya, sehingga tubuhnya sedikit mengambul."Kau boleh membuatkan kopi untuknya jam 2 siang nanti, dia pasti akan meminumnya," ucap Zea sedikit meledek.Sontak saja membuat Angel melihat pada Zea. Antara terkejut, percaya dan bertanya apakah yang dikatakan wanita yang baru ia lihat bentuknya itu adalah benar. Angel melihat detail pada Zea, namun juga bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa mengatakan hal yang tampak seperti sudah diketahui la
"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
"Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan
Malam yang sunyi dan sepi juga dirasakan oleh Zea. Vio sudah tertidur dengan lelapnya. Sesekali mulut mungil bayi itu mengerucut seperti mengemut sesuatu. Zea melihat tersenyum pada bayinya yang kini mengingatkannya pada ayah bayi itu."Ruan, aku harus tetap bekerja denganmu, meski aku harus melihatmu bersama wanita itu lagi," gumamnya. Ingatannya beralih pada mantan sekretaris Ruan yang datang kembali.'Demi anak kita! Tidak, Vio hanya untukku. Vio hanya anakku, bukan anakmu' batinnya kesal sendiri.Suara pintu diketuk dari luar, membuat Zea terhenyak dari segala pikirannya tentang Ruan. Melihat sejenak pada Vio, khawatir Vio terbangun, barulah Zea beranjak untuk membuka pintu. Keluar dari kamar dengan menebak yang datang adalah ibu pemilik rumah kontrakan. Namun, ada keperluan apa, sedang Zea tidak memiliki sangkutan pembayaran.'Ada perlu apa, Bu Sindy,' katanya dalam batin.Setelah sampai di depan pintu, Zea mulai membuka pintu. Yang terbayang dalam pikirannya tentulah wajah Bu Si
Sementara Ruan si pemilik nomor yang tak sengaja tertekan nomornya itu masih berada di kantornya. Ia sendiri tengah menatap layar ponselnya. Seperti biasa, dalam keadaan yang tidak melakukan apa-apa, ia selalu melihat fitur galeri ponselnya. Foto-foto Zea menjadi sasaran utama pemandangan indah baginya.'Kau sudah bersama laki-laki lain, Zea! Apa kau bermaksud untuk balas dendam, hah!' gumamnya sebelum ponselnya berdering kini.Berniat untuk men-zoom foto Zea, tetapi ia juga malah menerima panggilan yang tidak ada namanya itu. Sebenarnya pada dasarnya memang tidak sulit untuk menghubunginya. Ruan pasti akan menyahuti orang yang menelponnya, tentu jika memang dalam keadaan yang tepat. Hanya saja tak sembarang orang yang menelponnya."Hey, suara bayi siapa ini?!" teriaknya ketika sambungan telepon sudah terhubung.Ruan mengernyit heran melihat pada ponselnya ketika kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja. Dalam kebingungannya, ia melihat lagi nomor ponsel yang baru saja masu
"A-adam … iya, namanya Adam," sahut Zea sedikit tegang. Ia mengkhawatirkan Ruan menyadari nama itu adalah nama yang sama dengan orang yang bersama istrinya yaitu dirinya sendiri."Oh, kebetulan sekali! Kau ingat, Aretha. Nama itu juga yang dikatakan ibu tadi, nama putranya yang berselingkuh bersama istriku Zea."Kekhawatiran Zea menjadi nyata. Ruan mulai berpikir ke arah nama itu. Ia bahkan mengira dirinya berselingkuh dengan Adam. Ruan memang sudah mengambil kesimpulan yang salah dari keterangan ibunya Adam."Tidak! Tidak! Aku tidak berselingkuh. Percayalah!" refleks Zea membantah tuduhan itu."Hey, siapa yang mengira kau berselingkuh? Lagi pula, siapa yang bersedia berselingkuh denganmu," balas Ruan dengan mengernyitkan keningnya."Ka-kalau begitu, aku permisi, Pak. Aku akan menunggu Adam di pinggir jalan," pamit Zea gugup akan menghindari percakapan dengan Ruan saat ini.Setelah ucapan itu, Zea langsung saja berlari tanpa menunggu jawaban dari Ruan. Sementara Ruan menatap kepergian