Musuh tak perlu dicari, tetapi kalau mereka datang tak perlu juga dihindari.***“Minum dulu!”Xander menyodorkan segelas air putih kepada Ansel. Perasaan cemasnya mulai berkurang setelah Ansel sadar. Lelaki itu telah tertidur selama lebih dari dua puluh empat jam.Ansel meraih gelas yang diulurkan Xander dengan tangan lemas. Matanya menyipit saat melihat jarum infus yang menempel di punggung tangannya.“Ah, biar kubantu!” Xander baru menyadari kesulitan Ansel.“Berapa lama aku pingsan?” tanya Ansel setelah menghabiskan sepertiga isi gelas itu.“Berapa lama kau tak sadarkan diri, itu tidak penting,” sahut Xander. “Yang penting sekarang kau sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?”“Entahlah,” sahut Ansel. “Mimpi buruk itu terus menghantuiku.”Ansel memijat pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing dan berdenyut-denyut. Setiap kali ia mengalami mimpi buruk itu, kepalanya bagaikan dipukul dengan palu.“Jelaskan padaku, Ma!” tuntut Ansel, menatap penuh harap pada Alina yang tertunduk karena me
Di luar kamar Dae Hyun, Qeiza mengelus dada dan mengembuskan napas kencang berulang kali. Mengurai kecemasan berantai di tengah detak jantungnya yang bergemuruh. Setelah merasa lebih tenang, Qeiza membuka ponsel dan mengetik pesan singkat kepada Dae Hyun. Sekadar memberitahu lelaki tersebut bahwa dia berangkat kerja.Mengingat jarak rumah Dae Hyun lumayan jauh dari kantor, Qeiza menggunakan jasa taksi.“Enak ya,” sindir sebuah suara. “Mentang-mentang bos tidak berada di tempat, kamu bisa datang sesuka hati.”Qeiza tahu siapa pemilik suara yang mencercanya itu. Siapa lagi kalau bukan Aleta. Akan tetapi, dia memilih untuk pura-pura tidak mendengar dan terus melangkah menuju ruangannya.“Hei! Kamu budek ya?” maki Aleta, merasa sangat jengkel karena diabaikan. “Aku bicara sama kamu!” Aleta menarik ujung hijab Qeiza, membuat kepalanya sedikit terbetot ke belakang.Qeiza mengeritkan gigi. Dia malas sekali meladeni perilaku buruk Aleta. Waktunya terlalu berharga untuk terbuang percuma demi me
Rasa iri dan dengki dapat menyebabkan seseorang kehilangan akal sehatnya.***“Kenapa kalian masih di sini?”Teguran Chin Hwa mengusir gerombolan beberapa karyawan yang menonton insiden tersebut.Aleta mengulum senyum. Dia merasa benar-benar telah berhasil menarik perhatian Chin Hwa. Sebuah bisikan licik menghasut Aleta. Wanita itu berpura-pura sangat kesakitan dan kesulitan untuk bangkit dari lantai.“Aduh, sakit sekali!” rengeknya, melirik dengan tatapan memelas pada Chin Hwa yang baru saja hendak bergerak meninggalkannya.Chin Hwa menoleh sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Freud, sini!” panggilnya. Kebetulan sekali lelaki itu datang pada waktu yang sangat tepat.“Tolong antar Nona Aleta ke ruang layanan kesehatan,” pinta Chin Hwa pada Freud yang sudah berdiri di hadapannya dengan mata menatap heran pada Aleta.Freud mengangguk. Dia membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya, bermaksud untuk membantu Aleta berdiri.“Tidak usah! Aku bisa jalan sendiri!” tolak Aleta dengan nada kesal
Qeiza terperangah tanpa berkedip. Dia tidak menduga bahwa Chin Hwa akan menghadiahinya sebuah gelang cartier mungil nan sangat indah. Gelang tersebut terbuat dari emas putih berlapis platinum, membuat kilaunya lebih bercahaya. Barisan berlian yang tertata rapi di bagian atas gelang tersebut menambah indah penampilannya dengan kemewahan desain kelas atas.“Ka–kau tidak perlu memberiku hadiah semahal ini.”Qeiza berkata gugup sambil meraba permukaan gelang tersebut. Pengerjaannya sangat halus dan rapi.Tiba-tiba saja dia terkenang dengan mahar yang diberikan Ansel kepadanya, tetapi telah dikembalikannya. Jika dibandingkan, harga gelang yang diberikan Chin Hwa memang tidak semahal perhiasan yang diberikan Ansel. Akan tetapi, perasaannya saat menerima kedua barang tersebut sungguh sangat jauh berbeda, bak siang dan malam.Hatinya diselimuti sejuta tanya dan kepedihan setiap kali dia mencoba perhiasan pemberian Ansel. Namun, sekarang dia merasa sangat bahagia. Apa itu karena Chin Hwa langsu
Cinta tak bisa dipaksa karena hati selalu tahu di mana seharusnya dia berlabuh. *** “Nona Aleta? A—” Sayang sekali pertanyaan Freud terputus begitu Aleta balik badan dan mendugas hengkang dari pintu tempatnya mengintip. Berdiri dengan membawa map di tangan, Freud masih mendengar gumaman tak jelas yang meluncur dari bibir Aleta. Namun, dia tak menghiraukannya. Itu bukan urusannya. Freud mengedikkan bahu. Bibirnya sedikit mencebik sebelum akhirnya dia masuk ke ruang kerja Qeiza dan Chin Hwa. Aleta merasa sangat kesal menyadari aksinya ketahuan oleh Freud. Yang lebih mengesalkan lagi, ternyata serangannya pada Qeiza cuma sebatas khayalan semata. Wanita yang sangat dibencinya itu masih baik-baik saja, memfokuskan pikiran pada pekerjaannya. “Kali ini kau bisa lolos dan tersenyum senang,” dumel Aleta. “Tapi lain kali, kupastikan kau akan tenggelam dalam lautan air mata.” Aleta menghempaskan semua benda yang berada di atas meja kerjanya. Melampiaskan segala kedongkolannya. Saat dia mem
Ansel langsung beranjak menuju ruangan pribadinya tanpa menunggu tanggapan dari Xander. Xander sangat memaklumi kondisi Ansel, jadi dia tak mempermasalahkannya dan terus saja konsentrasi pada pekerjaannya.Setengah jam menjelang jadwal yang sudah ditentukan, Xander sudah memacu mobilnya menuju tempat di mana mereka akan bertemu. Ansel tak banyak bicara. Dia sibuk mempelajari dokumen yang diberikan Xander.Pertemuan dengan Abel ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan Ansel. Lelaki paruh baya tersebut benar-benar kritis dan sangat teliti membaca setiap kalimat yang tertera dalam proposal Ansel.Setelah dua jam waktu berlalu, Ansel akhirnya tersenyum puas karena berhasil memenangkan hati Abel, lelaki yang terkenal sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Lelaki tersebut sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana perusahaannya untuk membiayai sebuah proyek kerja sama bisnis.“Pastikan semua hal yang berhubungan dengan proyek kerja sama Tuan Abel berjalan lancar dan tidak mengec
Penyesalan selalu datang terlambat, maka berpikir bijaklah sebelum mengambil keputusan.***Ansel menendang pintu kamarnya dengan keras. Dia membuka dasi dengan gerakan kasar, lalu melepaskan jas yang dikenakannya dan membantingnya ke atas tempat tidur.“Argh! Seharusnya aku kembali ke kafe itu lebih cepat,” sungut Ansel, mengenyakkan pantat di tepi ranjang.Saat dia tiba di kafe itu, Qeiza tak lagi di sana. Entah ke mana gadis itu pergi. Ansel kehilangan jejak.“Ah, ya. Aku melupakan sesuatu.”Ansel bergegas membuka macbook-nya dan memeriksa kotak masuk pada email-nya. Kepalanya bergerak liar dan terlihat tidak sabar saat mengunduh beberapa lampiran yang diterimanya.Muka Ansel menegang ketika dia membandingkan gambar yang terlampir di email-nya dengan foto-foto yang didapatnya dari remaja bayarannya tadi.“Siaaal!” pekik Ansel sambil menjambak kasar rambutnya sendiri. “Jadi, Ae Ri adalah Qeiza?”Ansel menggigit kepalan tinjunya. Beragam emosi campur aduk di dadanya. Marah, sesal, dan
“Alah! Berhenti bersikap pura-pura!” omel Ansel. “Dari awal kau sudah mengenali Ae Ri, kan?”Ansel teringat Xander pernah mengucapkan beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa lelaki tersebut sepertinya telah curiga bahwa Ae Ri dan Qeiza merupakan orang yang sama.“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” tutur Xander, bersikeras bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang dituduhkan Ansel kepadanya.“Aku kecewa padamu, Xander,” keluh Ansel. “Kalau kau sudah tahu Ae Ri itu Qeiza, mantan istriku, kenapa kau tak memberitahuku?”Xander melotot dengan mulut ternganga. “Apa? Kau yakin Ae Ri itu Qeiza?” tanyanya. Padahal yang sebenarnya, dia hanya sekadar ingin mengonfirmasi.Lantaran merasa sangat penasaran dengan kebenaran yang disampaikan Ansel dan bagaimana lelaki tersebut bisa seyakin itu, Xander melangkah masuk ke kamar Ansel tanpa menunggu dipersilakan. Dia duduk dengan bersilang kaki di tepi ranjang.Melihat ekspresi polos Xander, Ansel meneleng sembari menaikkan s
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal