[Kamu di mana?][Aku di depan pintu apartemenmu sekarang]Dua pesannya kemarin pagi masih belum bercentang biru. Pertanda Qeiza belum membuka pesan itu sama sekali.“Dia mengabaikan pesanku sebelumnya,” dumel Ansel.Jemarinya mencengkeram erat gawai di tangannya seolah-olah dia akan meremukkan benda pipih itu menjadi serpihan debu. Sikap cuek Qeiza benar-benar menantang ego lelakinya.[Kau marah?][Oke. Aku minta maaf]Masih belum ada tanda-tanda Qeiza telah membaca pesannya. Emosi Ansel kembali tersulut naik. Dia sudah rela menurunkan harga dirinya untuk minta maaf, tetapi wanita itu masih saja mengabaikan pesannya.Berpikir bahwa dia memang berada dalam posisi salah, Ansel menarik napas panjang untuk meredakan kemarahannya. Dia harus bisa meruntuhkan egonya untuk sesaat demi mendapatkan pengampunan Qeiza. Hanya dengan begitu mimpinya untuk memperkenalkan wanita yang telah mencuri hatinya itu kepada mamanya dapat terwujud.[Aku akui aku salah, Ae Ri][Dan aku benar-benar minta maaf][
Kalau kau mampu mengendalikan amarahmu, berarti kau adalah orang yang kuat.***“Tante, kenapa teriak-teriak?”Xander yang juga mendengar jeritan Alina menerobos masuk kamar sebelum Ansel tiba di sana. Dia membungkuk dan celingukan ke segala arah.“Mana kecoaknya?” tanyanya sambil menggeser kursi. Alina diam saja.“Tikus?”Alina menggeleng. Berdiri dengan tatapan terpaku pada kedua tangannya dan tampak seperti orang linglung.“Ular?” Xander terus memindahkan posisi barang-barang di kamar tersebut, mencari hewan melata atau binatang apa pun yang sekiranya telah membuat Alina memekik histeris.“Aduh!” Xander merintih kesakitan dan mengusap kepalanya. Pukulan Ansel cukup keras bersarang di sana.“Kamu pikir ini hutan atau kebun binatang?” omel Ansel.“Lah, terus kenapa Tante menjerit begitu kalau enggak ada apa-apa?”Ansel menghampiri mamanya. Wanita paruh itu masih tercacak tegak dengan tangan gemetar, memegang selembar kertas.“Qe–Qeiza,” lirih Alina terbata. “Di–dia pergi.”Ansel menge
Ansel syok. Matanya terbelalak. Ucapan Alina seperti sambaran petir di telinganya. Dia menggeleng tak percaya. “Tidak mungkin!” lirihnya.“Harusnya saat itu kubiarkan saja kau membusuk di penjara!”Alina benar-benar kecewa dengan sikap putra semata wayangnya itu. Dia berlari meninggalkan kamar itu dengan membawa beban batin dan rasa bersalah yang teramat dalam.Ansel merasa dunia baru saja runtuh di sekitarnya dan dia terkubur di dalam reruntuhan itu. Seluruh tubuh Ansel bergetar. Perkataan Alina terngiang-ngiang di telinganya laksana teriakan lantang yang memantul balik pada dinding gua.“A–aku yang membunuh orang tua Qeiza? Tidak mungkin! Mama pasti bohong. Aku bukan pembunuh.” Mulut Ansel terus komat-kamit melafal racauan yang menyangkal fakta mengerikan tersebut.“Aku bukan pembunuuuh!” Ansel berteriak sembari tangannya meraih apa pun yang ada di atas nakas dan melemparkan benda itu ke sembarang arah.Suara kaca pecah terdengar berisik. Sebuah jam beker baru saja menjadi korban amu
Musuh tak perlu dicari, tetapi kalau mereka datang tak perlu juga dihindari.***“Minum dulu!”Xander menyodorkan segelas air putih kepada Ansel. Perasaan cemasnya mulai berkurang setelah Ansel sadar. Lelaki itu telah tertidur selama lebih dari dua puluh empat jam.Ansel meraih gelas yang diulurkan Xander dengan tangan lemas. Matanya menyipit saat melihat jarum infus yang menempel di punggung tangannya.“Ah, biar kubantu!” Xander baru menyadari kesulitan Ansel.“Berapa lama aku pingsan?” tanya Ansel setelah menghabiskan sepertiga isi gelas itu.“Berapa lama kau tak sadarkan diri, itu tidak penting,” sahut Xander. “Yang penting sekarang kau sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?”“Entahlah,” sahut Ansel. “Mimpi buruk itu terus menghantuiku.”Ansel memijat pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing dan berdenyut-denyut. Setiap kali ia mengalami mimpi buruk itu, kepalanya bagaikan dipukul dengan palu.“Jelaskan padaku, Ma!” tuntut Ansel, menatap penuh harap pada Alina yang tertunduk karena me
Di luar kamar Dae Hyun, Qeiza mengelus dada dan mengembuskan napas kencang berulang kali. Mengurai kecemasan berantai di tengah detak jantungnya yang bergemuruh. Setelah merasa lebih tenang, Qeiza membuka ponsel dan mengetik pesan singkat kepada Dae Hyun. Sekadar memberitahu lelaki tersebut bahwa dia berangkat kerja.Mengingat jarak rumah Dae Hyun lumayan jauh dari kantor, Qeiza menggunakan jasa taksi.“Enak ya,” sindir sebuah suara. “Mentang-mentang bos tidak berada di tempat, kamu bisa datang sesuka hati.”Qeiza tahu siapa pemilik suara yang mencercanya itu. Siapa lagi kalau bukan Aleta. Akan tetapi, dia memilih untuk pura-pura tidak mendengar dan terus melangkah menuju ruangannya.“Hei! Kamu budek ya?” maki Aleta, merasa sangat jengkel karena diabaikan. “Aku bicara sama kamu!” Aleta menarik ujung hijab Qeiza, membuat kepalanya sedikit terbetot ke belakang.Qeiza mengeritkan gigi. Dia malas sekali meladeni perilaku buruk Aleta. Waktunya terlalu berharga untuk terbuang percuma demi me
Rasa iri dan dengki dapat menyebabkan seseorang kehilangan akal sehatnya.***“Kenapa kalian masih di sini?”Teguran Chin Hwa mengusir gerombolan beberapa karyawan yang menonton insiden tersebut.Aleta mengulum senyum. Dia merasa benar-benar telah berhasil menarik perhatian Chin Hwa. Sebuah bisikan licik menghasut Aleta. Wanita itu berpura-pura sangat kesakitan dan kesulitan untuk bangkit dari lantai.“Aduh, sakit sekali!” rengeknya, melirik dengan tatapan memelas pada Chin Hwa yang baru saja hendak bergerak meninggalkannya.Chin Hwa menoleh sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Freud, sini!” panggilnya. Kebetulan sekali lelaki itu datang pada waktu yang sangat tepat.“Tolong antar Nona Aleta ke ruang layanan kesehatan,” pinta Chin Hwa pada Freud yang sudah berdiri di hadapannya dengan mata menatap heran pada Aleta.Freud mengangguk. Dia membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya, bermaksud untuk membantu Aleta berdiri.“Tidak usah! Aku bisa jalan sendiri!” tolak Aleta dengan nada kesal
Qeiza terperangah tanpa berkedip. Dia tidak menduga bahwa Chin Hwa akan menghadiahinya sebuah gelang cartier mungil nan sangat indah. Gelang tersebut terbuat dari emas putih berlapis platinum, membuat kilaunya lebih bercahaya. Barisan berlian yang tertata rapi di bagian atas gelang tersebut menambah indah penampilannya dengan kemewahan desain kelas atas.“Ka–kau tidak perlu memberiku hadiah semahal ini.”Qeiza berkata gugup sambil meraba permukaan gelang tersebut. Pengerjaannya sangat halus dan rapi.Tiba-tiba saja dia terkenang dengan mahar yang diberikan Ansel kepadanya, tetapi telah dikembalikannya. Jika dibandingkan, harga gelang yang diberikan Chin Hwa memang tidak semahal perhiasan yang diberikan Ansel. Akan tetapi, perasaannya saat menerima kedua barang tersebut sungguh sangat jauh berbeda, bak siang dan malam.Hatinya diselimuti sejuta tanya dan kepedihan setiap kali dia mencoba perhiasan pemberian Ansel. Namun, sekarang dia merasa sangat bahagia. Apa itu karena Chin Hwa langsu
Cinta tak bisa dipaksa karena hati selalu tahu di mana seharusnya dia berlabuh. *** “Nona Aleta? A—” Sayang sekali pertanyaan Freud terputus begitu Aleta balik badan dan mendugas hengkang dari pintu tempatnya mengintip. Berdiri dengan membawa map di tangan, Freud masih mendengar gumaman tak jelas yang meluncur dari bibir Aleta. Namun, dia tak menghiraukannya. Itu bukan urusannya. Freud mengedikkan bahu. Bibirnya sedikit mencebik sebelum akhirnya dia masuk ke ruang kerja Qeiza dan Chin Hwa. Aleta merasa sangat kesal menyadari aksinya ketahuan oleh Freud. Yang lebih mengesalkan lagi, ternyata serangannya pada Qeiza cuma sebatas khayalan semata. Wanita yang sangat dibencinya itu masih baik-baik saja, memfokuskan pikiran pada pekerjaannya. “Kali ini kau bisa lolos dan tersenyum senang,” dumel Aleta. “Tapi lain kali, kupastikan kau akan tenggelam dalam lautan air mata.” Aleta menghempaskan semua benda yang berada di atas meja kerjanya. Melampiaskan segala kedongkolannya. Saat dia mem