Senang banget sobat readers mendukung cerita ini dengan memberikan vote/gem. Terima kasih banyak ya. Semua itu sangat berarti buat author. Apalagi kalau sobat readers juga ikut meramaikan kolom review, tambah senang deh. I love y'all!
Layung senja telah memudar dan berganti kelam. Dae Hyun masih tergolek dengan kedua mata tertutup rapat. Qeiza terus menemaninya, duduk di atas kursi sambil tangannya sesekali mengompres lagi kening Dae Hyun. Suhu tubuhnya sudah mulai turun, tetapi keringat masih membanjiri pelipis dan leher Dae Hyun.Qeiza membiarkan tirai jendela kamar Dae Hyun tetap terbuka. Memberi kesempatan kepada rembulan untuk menampakkan rupa sekaligus menebar kehangatan pendarnya ke setiap penjuru kamar Dae Hyun.“Kenapa dia belum juga sadar?” Qeiza membatin. Tatapannya beralih dari wajah Dae Hyun ke tabung infus yang tergantung. Tubuh Dae Hyun telah menyerap lebih dari setengah cairan tersebut.Qeiza tak menyangka kalau efek alergi Dae Hyun bisa separah itu. Sepengetahuannya, alergi hanya menyebabkan gatal, ruam merah pada kulit, atau pembengkakan pada bagian tubuh tertentu. Pasti tubuh Dae Hyun sangat sensitif sampai dia kehilangan kesadaran dalam waktu lama.Dia merasa iba pada Dae Hyun. Tak disangka lelak
Laki-laki dan perempuan ibarat dua kutub magnet yang berbeda dan akan saling menarik satu sama lain.***“Maaf! A–aku hanya merapikan selimutmu.”Qeiza menarik mundur kepalanya dari wajah Dae Hyun. Jantungnya berdetak cepat. Pipinya bersemu merah lantaran merasa malu dan canggung.“Syukurlah kau akhirnya sadar,” ujar Qeiza setelah berjuang mengatasi kegugupannya. “Kau pasti haus sekali. Mau kuambilkan minum?”Qeiza tahu itu sebenarnya sebuah pertanyaan yang menggelikan. Hampir dua hari pingsan, tentu saja Dae Hyun akan merasa tenggorokannya kering. Seharusnya dia tidak perlu bertanya.Melihat Dae Hyun hanya diam, Qeiza jadi semakin salah tingkah. Buru-buru dia beranjak dari sana dan meninggalkan kamar Dae Hyun.“Huh! Kenapa dia harus bangun di saat seperti itu?” Qeiza mengelus dada. Sebelah tangannya bertumpu pada meja makan. “Bikin malu saja.”Sementara Dae Hyun berusaha untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Sama seperti Qeiza, dia pun merasakan hatinya berdebar-debar. Cukup
Mata Dae Hyun berkilat senang menerima perlakuan Qeiza. Rasanya sudah lama sekali dia tidak diperlakukan seperti anak kecil. Tanpa ragu-ragu, dia pun membuka mulutnya. Dia mengunyah sushi tersebut secara perlahan seakan-akan dia sedang meresapi setiap kunyahannya.“Tidak enak ya?” Qeiza bertanya kikuk ketika melihat Dae Hyun menghentikan kunyahannya. “Maaf. Masakanku tidak seenak buatanmu.”Menyadari dia telah menyebabkan Qeiza salah sangka atau mungkin juga sedikit menyinggung perasaannya, Dae Hyun segera menelan makanan tersebut, lalu tersenyum. “Enak kok. Aku sudah lama tidak merasakan sushi seenak ini.”Dae Hyun tidak berbohong saat mengatakan bahwa sushi itu enak. Rasanya memang sangat berbeda dari sushi yang biasa dinikmatinya di restoran Jepang. Apa itu karena Qeiza yang memasakkan khusus untuknya? Yang jelas cita rasanya benar-benar menggoyang lidah.“Kalau begitu, kau harus menghabiskan semuanya.” Wajah kaku Qeiza kembali berbinar cerah. Satu suapan lagi mendarat di dalam mulu
Suara dering bel sayup-sayup terdengar ke kamar Dae Hyun. Daniel baru saja selesai memeriksa kondisi kesehatan Dae Hyun dan melepaskan stetoskop dari telinganya.“Sepertinya kau punya tamu spesial di akhir pekan,” seloroh Daniel.Dae Hyun menurunkan gulungan lengan bajunya yang tadi tersingkap ketika Daniel mengukur tensi darahnya.“Kau mengejekku?” tanya Dae Hyun, bersandar lagi pada kepala ranjang.Daniel mengedikkan bahu, lalu menarik sebuah kursi dan duduk di samping tempat tidur Dae Hyun.“Memangnya ada untungnya buatku?”“Bisa jadi itu pacarmu.”“Pacarku sangat percaya padaku,” bangga Daniel. “Dia tidak mungkin menyusulku ke sini.”Dae Hyun mengerutkan alis. “Kalau bukan pacarmu, lalu siapa?”“Mana kutahu,” sahut Daniel. “Mau kubukakan pintu untuk mengeceknya?”“Terserah kau saja,” kata Dae Hyun.Daniel meninggalkan kursi yang baru saja didudukinya itu. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, teriakan Dae Hyun menghentikannya.“Kalau tamu itu mencari Ae Ri, katakan saja bahwa
[Kamu di mana?][Aku di depan pintu apartemenmu sekarang]Dua pesannya kemarin pagi masih belum bercentang biru. Pertanda Qeiza belum membuka pesan itu sama sekali.“Dia mengabaikan pesanku sebelumnya,” dumel Ansel.Jemarinya mencengkeram erat gawai di tangannya seolah-olah dia akan meremukkan benda pipih itu menjadi serpihan debu. Sikap cuek Qeiza benar-benar menantang ego lelakinya.[Kau marah?][Oke. Aku minta maaf]Masih belum ada tanda-tanda Qeiza telah membaca pesannya. Emosi Ansel kembali tersulut naik. Dia sudah rela menurunkan harga dirinya untuk minta maaf, tetapi wanita itu masih saja mengabaikan pesannya.Berpikir bahwa dia memang berada dalam posisi salah, Ansel menarik napas panjang untuk meredakan kemarahannya. Dia harus bisa meruntuhkan egonya untuk sesaat demi mendapatkan pengampunan Qeiza. Hanya dengan begitu mimpinya untuk memperkenalkan wanita yang telah mencuri hatinya itu kepada mamanya dapat terwujud.[Aku akui aku salah, Ae Ri][Dan aku benar-benar minta maaf][
Kalau kau mampu mengendalikan amarahmu, berarti kau adalah orang yang kuat.***“Tante, kenapa teriak-teriak?”Xander yang juga mendengar jeritan Alina menerobos masuk kamar sebelum Ansel tiba di sana. Dia membungkuk dan celingukan ke segala arah.“Mana kecoaknya?” tanyanya sambil menggeser kursi. Alina diam saja.“Tikus?”Alina menggeleng. Berdiri dengan tatapan terpaku pada kedua tangannya dan tampak seperti orang linglung.“Ular?” Xander terus memindahkan posisi barang-barang di kamar tersebut, mencari hewan melata atau binatang apa pun yang sekiranya telah membuat Alina memekik histeris.“Aduh!” Xander merintih kesakitan dan mengusap kepalanya. Pukulan Ansel cukup keras bersarang di sana.“Kamu pikir ini hutan atau kebun binatang?” omel Ansel.“Lah, terus kenapa Tante menjerit begitu kalau enggak ada apa-apa?”Ansel menghampiri mamanya. Wanita paruh itu masih tercacak tegak dengan tangan gemetar, memegang selembar kertas.“Qe–Qeiza,” lirih Alina terbata. “Di–dia pergi.”Ansel menge
Ansel syok. Matanya terbelalak. Ucapan Alina seperti sambaran petir di telinganya. Dia menggeleng tak percaya. “Tidak mungkin!” lirihnya.“Harusnya saat itu kubiarkan saja kau membusuk di penjara!”Alina benar-benar kecewa dengan sikap putra semata wayangnya itu. Dia berlari meninggalkan kamar itu dengan membawa beban batin dan rasa bersalah yang teramat dalam.Ansel merasa dunia baru saja runtuh di sekitarnya dan dia terkubur di dalam reruntuhan itu. Seluruh tubuh Ansel bergetar. Perkataan Alina terngiang-ngiang di telinganya laksana teriakan lantang yang memantul balik pada dinding gua.“A–aku yang membunuh orang tua Qeiza? Tidak mungkin! Mama pasti bohong. Aku bukan pembunuh.” Mulut Ansel terus komat-kamit melafal racauan yang menyangkal fakta mengerikan tersebut.“Aku bukan pembunuuuh!” Ansel berteriak sembari tangannya meraih apa pun yang ada di atas nakas dan melemparkan benda itu ke sembarang arah.Suara kaca pecah terdengar berisik. Sebuah jam beker baru saja menjadi korban amu
Musuh tak perlu dicari, tetapi kalau mereka datang tak perlu juga dihindari.***“Minum dulu!”Xander menyodorkan segelas air putih kepada Ansel. Perasaan cemasnya mulai berkurang setelah Ansel sadar. Lelaki itu telah tertidur selama lebih dari dua puluh empat jam.Ansel meraih gelas yang diulurkan Xander dengan tangan lemas. Matanya menyipit saat melihat jarum infus yang menempel di punggung tangannya.“Ah, biar kubantu!” Xander baru menyadari kesulitan Ansel.“Berapa lama aku pingsan?” tanya Ansel setelah menghabiskan sepertiga isi gelas itu.“Berapa lama kau tak sadarkan diri, itu tidak penting,” sahut Xander. “Yang penting sekarang kau sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?”“Entahlah,” sahut Ansel. “Mimpi buruk itu terus menghantuiku.”Ansel memijat pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing dan berdenyut-denyut. Setiap kali ia mengalami mimpi buruk itu, kepalanya bagaikan dipukul dengan palu.“Jelaskan padaku, Ma!” tuntut Ansel, menatap penuh harap pada Alina yang tertunduk karena me