“Qeiza! Kau baik-baik saja?” tanya Dae Hyun. Napasnya memburu karena cemas. Dia baru saja keluar dari mobil dan berlari ke arah Qeiza. Adik angkatnya itu sedang berjalan menuju mobil Chin Hwa. Sesaat dia mengamati sekujur tubuh Qeiza dari puncak kepala hingga ke ujung kaki. Dia juga tidak segan-segan memutar tubuh Qeiza. Tanpa menghiraukan keberadaan Chin Hwa di sana, Dae Hyun mendekap Qeiza setelah tak menemukan cedera serius pada tubuh Qeiza. Chin Hwa hanya bisa menarik napas dalam melihat adegan itu. Dia tahu Qeiza dan Dae Hyun bersaudara. Walaupun begitu, hatinya tetap berdesir tak suka. Dia cemburu melihat kemesraan itu. Dia merasa Dae Hyun baru saja merampas sesuatu yang seharusnya hanya menjadi miliknya. Setelah beberapa waktu, Dae Hyun mengungkai pelukannya dari tubuh Qeiza. Dia berpaling kepada Chin Hwa dan mendekatinya. Dia juga memberikan pelukan hangat kepada bos adik angkatnya itu. “Terima kasih sudah menyelamatkan Ae Ri!” bisiknya sambil menepuk pelan punggung Chin
Berprasangka baik itu bagus. Akan tetapi, terlalu percaya bahwa semua orang itu akan selalu bersikap baik bukanlah sebuah pemikiran yang bagus. *** Qeiza berjalan menyusuri jalan setapak halaman belakang rumah Dae Hyun. Dia mengenakan celana berwarna cokelat gelap. Tubuh bagian atasnya ditutupi dengan sehelai coat panjang berwarna beige. Qeiza menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku coat. Dia menengadah. Menatap dedaunan kering yang berjatuhan tertiup semilir angin pagi. Musim gugur masih lama berakhir. Cahaya mentari tidak begitu menyengat. Bahkan, sekumpulan awan kumulus berwarna kelabu. Perlakuan buruk Ansel kembali melintas di ingatannya. Qeiza mendesah. Tak percaya mantan suaminya itu tega ingin melakukan perbuatan tidak senonoh kepadanya. Dedaunan kering yang berjatuhan dan hampir memenuhi seluruh permukaan taman itu tampak seperti karpet warna-warni. Mereka tetap terlihat indah, meskipun sudah terlepas dari tempatnya. Bukankah seharusnya hubungannya dengan Ansel juga
Dae Hyun berjongkok di hadapan Qeiza. Membuat Qeiza semakin kikuk. Refleks dia menarik kakinya ke belakang tatkala Dae Hyun akan menyorongkan sandal. Dae Hyun menengadah. Memamerkan senyumannya yang memesona. Indahnya senyuman Dae Hyun seakan mengalahkan terangnya mentari pagi kala itu. “Pegang pundakku!” perintah Dae Hyun. Dia pikir Qeiza takut jatuh jika dia membantunya memakaikan sandal ke kakinya. Anehnya, lagi-lagi Qeiza seperti terhipnotis. Dia menurut saja pada instruksi Dae Hyun. Tangan kanannya segera berpegang pada bahu kiri Dae Hyun.Dae Hyun tersenyum dalam tunduk. Hatinya berbunga-bunga saat memasangkan sandal ke kaki Qeiza. “Thanks!” ujar Qeiza. Cepat-cepat dia balik badan dan kabur dari hadapan Dae Hyun. Dia khawatir jantungnya akan copot jika dia terus berada di dekat kakak angkatnya itu. Dae Hyun menumpukan lengan di atas lutut kirinya. Memandang punggung Qeiza yang terus menjauh dengan senyuman riang. Detik berikutnya dia tegak dan menyusul langkah Qeiza. Qeiz
Chin Hwa menggebrak meja kerjanya. “Sial! Mereka lebih licik dari yang kukira,” umpatnya. Matanya nanar menatap artikel yang masih terpampang di layar monitor komputernya. Tak satu pun berita tentang Ansel menyekap seorang perempuan di kamar hotel beredar di dunia maya. Entah bagaimana cara orang-orang Ansel membersihkannya. Kemarin sore, jelas-jelas Ansel ditangkap polisi. Pagi ini, lelaki itu dikabarkan sedang menjalani perawatan kesehatan karena kelelahan. Chin Hwa meraih ponselnya yang tergeletak di sudut kiri meja. Dia menghubungi orang kepercayaannya. “Selidiki kenapa kasusnya bisa bersih secepat ini!” perintahnya tanpa tedeng aling-aling. Setiap kali dia berselancar di dunia maya dan tak menemukan apa yang dicarinya, Chin Hwa mengusap mukanya dengan kasar. Dia merasa frustrasi dengan hilangnya bangkai perilaku busuk Ansel. “Argh!” Chin Hwa menggeram marah. Dia ingin melenyapkan Ansel untuk selamanya. Akan tetapi, akhirnya dia sadar bahwa itu tidak mudah untuk dilakukan.
Setelah tinggal seorang diri di dalam kamar. Ansel menutup rapat kelopak matanya. Kenangan pahitnya kemarin sore berkelebat di dalam ingatannya, seperti sebuah film pendek yang diputar ulang. “Kalian akan menyesal karena telah menangkapku!” Ansel mengutuk petugas polisi yang membawanya. “Anda salah paham, Tuan,” sahut polisi muda yang menjadi sopir, melirik Ansel dari kaca spion tengah. “Kami justru sedang menyelamatkan Anda.” “Dengan membawaku ke penjara?” sindir Ansel. Lelaki itu tersenyum membalas tatapan beringas Ansel melalui kaca spion. “Kami hanya menjalankan perintah Nyonya Alina, Tuan.” Ansel menyipitkan mata. Mereka menangkapnya atas perintah mamanya? Itu artinya dia tidak benar-benar kehilangan reputasinya. “Lalu, kenapa kalian tidak melepaskan borgolku?” Mendengar pertanyaan sindiran dari Ansel, petugas polisi yang duduk di samping Ansel segera sadar akan kelalaiannya. Dia membungkuk. “Harap maafkan saya, Tuan,” ujarnya. “Akan segera saya lepaskan.” Ansel memutar
Cinta tulus hanya memikirkan tentang saat ini dan masa depan. *** “Katanya kau juga mengundang Dae Hyun,” kata Qeiza. “Kenapa kau malah meninggalkannya?” Chin Hwa tersenyum tipis mendengar pertanyaan Qeiza. Dia baru saja mematikan mesin mobil begitu tiba di pelataran parkir sebuah bangunan teater ternama. “Dia akan segera tiba,” sahutnya. Chin Hwa keluar dari mobil. Dia bergegas melangkah ke sisi lain mobil. Membukakan pintu untuk Qeiza. Dia terus membawa Qeiza hingga ke rooftop bangunan teater tersebut. Qeiza tertegun melihat sepinya pengunjung restoran itu. Hanya tampak segelintir orang duduk berbincang-bincang di beberapa meja. Seorang wanita tergabas bangun dari tempat duduknya ketika melihat Qeiza datang. Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, Qeiza segera mengenali wanita itu. “Ae Ri!” seru Nyonya Song. “Aku senang bisa bertemu lagi denganmu.” Nyonya Song memeluk Qeiza. Tak ubahnya seperti seorang ibu yang sangat merindukan anak gadisnya setelah sekian lama berpisah.
Chin Hwa menatap dalam netra hazel Qeiza. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam kantong celana. Dia berlutut di hadapan Qeiza. Tangannya sedikit bergetar ketika membuka kotak itu. “Anin, kaulah cinta pertamaku,” ujar Chin Hwa. “Dan kuharap kau juga akan menjadi cinta terakhirku.” Chin Hwa menelan ludah. Membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. “Maukah kau menikah denganku?” Chin Hwa menengadah. Memandangi wajah cantik Qeiza, harap-harap cemas. Suasana hening. Detik demi detik terus berlalu. Qeiza masih membisu. Dia sudah mempertimbangkan masa depan hubungannya dengan Chin Hwa. Akan tetapi, dia tidak menyangka semuanya akan berlangsung secepat ini. “Kau belum mengetahui bagaimana masa laluku,” sahut Qeiza. Matanya sedikit memanas. Jujur, dia terharu dengan niat tulus Chin Hwa untuk mempersunting dirinya. “Cinta tulus tak pernah memandang masa lalu,” balas Chin Hwa. “Aku hanya tahu bahwa kau adalah masa depanku.” Chin Hwa menarik keluar cincin berlian itu dari kot
Hal tersulit dalam mencintai seorang wanita adalah menjaga perasaannya. *** Ansel seperti orang kesetanan. Berulang kali memencet bel pintu apartemen Qeiza. Suaranya meraung kencang hingga terdengar ke apertemen tetangga. Beberapa penghuni membuka pintu apartemen mereka. Sama-sama melongokkan kepala. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi sekaligus jengkel dengan tamu tak tahu adab itu. waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tidak seharusnya dia membuat keributan. “Kamu enggak tahu ya caranya menghargai privasi orang lain?” hardik seorang lelaki tua. Dia tampak sangat kesal lantaran tidurnya terganggu. Ansel menoleh sekilas. Dia tidak menanggapi omelan lelaki tersebut. Hati dan pikirannya terlalu kacau untuk bisa bersikap rasional. Dia kembali menekan bel pintu. Detik selanjutnya, dia mendesah kecewa. Pintu di depannya masih terpatri seperti sebuah dinding batu. Orang-orang yang melihat betapa putus asanya Ansel hanya bisa geleng-geleng kepala. Sesama pria yang juga pernah muda