“Sekarang, kamu tahu kan cerita sebenarnya?” tanya Candra. “Saya dan Ibu tidak serta merta ingin merebut kekusaan. Tapi kami punya hak atas itu semua!”
Nara mengembuskan napas. Setelah mendengar cerita itu, dia ikut tersayat saat tahu bagaimana kejinya Raja Fatah yang berbuat seperti itu kepada Raras.
“Terus, bagaimana bisa kamu ke bumi, Can?” tanya Nara pada akhirnya. “Apa yang membuatmu bisa menemukan Melica dan menikahinya? Kamu telah menghianatinya. Kamu menikahinya karena punya misi. Padahal, dia begitu menghargaimu.”
Ucapan itu membuat wajah Candra mendadak merah. Dia lantas mengembuskan napas. “Masalah saya pergi ke bumi, saya dibantu oleh ratu kegelapan. Saya dan Ibu meminta kepada Ratu kegelapan supaya saya bisa dipertemukan dengan keturunan dari pemilik batu kembar. Sampai kemudian, saya bisa ke bumi berkat bantuan ratu kegelapan tadi.”
“Kamu ….” Nara menggeleng. &ldq
Nara mengembuskan napas lega karena pada akhirnya, banyak hal yang dikirim dari kota ke hutan itu. Salah satunya adalah makanan hingga perlengkapan bayi. Setidaknya, meskipun sebenarnya dia sedang ditawan, tetapi dia dalam keadaan aman. Nara berpikir jika Candra dan Ibunya tidak bisa dianggap remeh. Untuk saat ini, Nara memilih bersandiwara demi keselamatan.“Bu …..” Nara berucap pelan. “Kenapa di sini tidak dingin ya? Ini kan tengah hutan. Kemudian, ada di dataran tinggi juga. Aku merasa hangat, bahkan begitu nyaman ada di sini.”Raras yang sedang menyiapkan makanan di atas dipan kayu, mendongak. “Saya belum cerita ya ke kamu?”Nara menggeleng.“Saya memiliki kemampuan menghangatkan suhu. Makannya, saya juga bisa bertahan hidup selama tahunan di sini.”Nara mengangguk-angguk. “Ibu sudah lama hidup di sini?”“Sejak Candra memutuskan ke bumi.” Raras tersenyum. Dia
“Yeah!”Aku berteriak girang saat mulai melajukan kuda dengan cepat. Sampai sekarang, aku masih seperti di dalam mimpi. Seorang Melica yang melow, akhirnya bisa menjadi seorang penunggang kuda setelah selama seminggu latihan. Itu hal yang menakjubkan bukan?“Gala! Aku bisa menunggangi kuda!” teriakku.Gala yang ada di depanku, membalas teriakkan itu, “Jangan berisik. Jangan lebbay!”“Menyebalkan!” tegasku.Ucapan itu disambut tawa oleh Nana yang mengiringi aku dan Gala dari belakang.Ngomong-ngomong, kami menyusuri jalanan setapak yang sebenarnya sudah lebih bersih dari pada dua tahunan lalu saat kami berkelana di sini. Ini masih hutan, hanya saja keadaannya jadi lebih terawat. Aku seperti melihat hutan di Indonesia yang masih dipenuhi pohon-pohon kecil hingga pohon besar. Bahkan aku juga melihat hewan-hewan melata yang bergelantungan di atas pohon.Saat aku, Gala, dan Nana sedang asyik
Kami menunggangi kuda lebih cepat dari biasanya. Tentu saja, Gala memimpin dari belakang. Sementara Nana masih menggiring dari belakang.Selama perjalanan, aku melihat berbagai hewan yang lebih besar. Lintah yang pernah melitit Nara waktu itu juga beberapa kali kulihat menempel di pepohonan dengan ukuran yang hampir sama. Negeri Bayangan memang telah berubah, tetapi banyak hal yang masih terkesan sama.Hingga kemudian, aku terperanjat saat suara Awang menggelegar. Dia seperti kesakitan dan terguling. Gala sendiri terpental cukup jauh ke semak-semak.Aku sama sekali tidak tahu ada apa dengan mereka. Sampai kemudian, aku benar-benar tahu jika ada yang menubruk mereka. Seorang lelaki berambut panjang dengan tatapan tajam berhenti di hadapan kami. Bagaimana dia bisa ada di sekitar sini? Dari mana dia berasal.“Maaf!” tegasnya.Dia berjalan dan membangunkan Gala. Hingga kemudian, aku melihat raut terkejut dari lelaki itu maupun dari Gala.
Semakin jauh dari gubuk, langkah Nara semakin cepat. Dia seperti diikuti oleh makhluk tak kasat mata dari tadi. Dia merasakan panas dingin saat berjalan dengan perasaan takut.Semakin jauh, hutan itu semakin menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda manusia. Matahari saja hampir tidak bisa bersinar ke hadapan Nara saking banyaknya pohon. Ini benar-benar hutan rimba. Dan tentu saja, Nara merasa telah menceburkan diri ke bahaya yang lebih besar.“Enggak!” tegas Nara. “Ini bukan apa-apa! Nara, apa kamu ingat kalau petualanganmu dua tahun lalu lebih menyeramkan dari ini? Kamu dililit lintah! Hampir mati! Kamu pernah nyebur ke danau ditarik oleh makhluk air. Sekarang? Ah, ayolah. Kamu pasti bisa!”Nara terus meyakinkan diri. Namun saat gerakkannya terasa lebih kencang, dia sadar bahwa dirinya tidak sedang sendiri. Dia sedang bersama seorang bayi. Lantas, langkahnya terhenti sekarang.“Nak ….” Nara terengah-engah. “Maaf
17 Tahun LaluSistem kerajaan begitu carut marut saat dipegang oleh Raja Fatah. Peraturan yang dibuat tidak memihak kepada rakyat, bahkan kadang, peraturan itu dibuat asal-asalan yang mementingkan kesenangan dirinya sendiri.Salah satu orang yang terkena dampak dari ini semua adalah …. Sangga Astawi. Seorang anak sepuluh tahun yang harus kehilangan kedua orangtuanya. Kedua orangtua Sangga Astawi ditangkap begitu saja di rumahnya waktu itu. Sangga Astawi ditinggal tanpa ada bantuan dari kerajaan.Pada awalnya, Sangga Astawi merasa jika dia bisa hidup sendiri dengan bekerja serabutan di pojok-pojok kota. Namun ada masa dirinya benar-benar down. Anak sepuluh tahu bukan manusia berumur 25 tahun yang bisa lebih gampang menjaga dirinya.“Namamu siapa?” itu pertemuan pertama Sangga Astawi dengan seorang lelaki.Sangga yang sedang termenung di depan danau, mengamati lelaki itu. “Sangga. Kau siapa?”&ld
Kami sampai di Dunia Pelarian. Dunia yang masih sama seperti dulu. Tersembunyi dan samar. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat dan masuk ke perkampungan itu. Sama halnya seperti kami. Kami bisa masuk karena ada Tuan Yugas. Dia yang membuka perkampungan supaya bisa kami lihat.Meski Dunia Pelarian masih sama, ada berbagai hal yang tampak beda. Aku melihat rumah-rumah yang berjejer rapi dan bersih. Lalu lalang orang-orang. Ibu-ibu, Bapak-bapak. Pokoknya, orang-orang di perkampungan ini lebih variatif dari yang kulihat tahunan lalu.“Kita ke rumah Tetua kita,” ucap Tuan Yugas. Dia berjalan di depan kami dengan begitu percaya diri.Sementara sambil menyusuri perkampungan, kami mendapati orang-orang yang tersenyum lebar. Beberapa ada yang berlari cepat, melesat seperti angin. Tampaknya, semua hal yang berhubungan dengan itu sudah biasa dilakukan di sini.Oh, kamu mungkin bertanya-tanya juga, di mana kuda-kuda kami? Ya, mereka disimpan di po
Setelah istirahat beberapa jam, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Kamu tahu? Danau yang waktu itu pernah kami lintasi menggunakan perahu, dan sempat akan membuat kami tenggelam, sekarang lebih modern. Di atas danau itu ada jembatan yang lebarnya sekitar 5 meter. Terbuat dari beton yang di sisi-sisinya juga dipagari dengan besi besar dan kokoh. Pembangunan di Negeri Bayangan memang sangat-sangat pesat. Sehingga kami tidak perlu susah-susah melintas. Kami tinggal melewati jembatan itu.“Ini jam berapa?” tanya Gala.“Sepertinya sekitar setengah enam.” Bukan asal ngomong aku menjawab begitu, tetapi aku melihat matahari yang akan terbenam di depan kami. Matahari itu seperti bersinggungan dengan gedung-gedung tinggi di kota."Berhenti dulu dong,” ucapku. Kontan, ucapan itu membuat Gala berhenti. Kami pun berhenti tepat di pinggir danau yang sudah dilintasi. “Kita nikmati dulu matahari terbenam. Jarang-jarang kan kita
“Jadi sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Nara.Malam ini, Nara sedang mengobrol dengan Sangga. Tentu saja, dia mengobrol sambil memomong Aga yang begitu baik. Ya, Nara menganggapnya begitu. Anak itu benar-benar tidak rewel selama ada di Negeri Bayangan.“Tidak ada yang perlu kau lakukan selain …. berdoa.” Sangga menghela napas panjang. “Kenapa saya bilang begini? Karena cepat atau lambat, mereka akan menemukanmu. Dan lagi, jika pun kita harus kabur dari lokasi ini, Candra pasti sudah menyiapkan banyak pasukan di setiap titik.”Wajah Nara memerah mendengar fakta itu.“Tapi, saya akan ada di posisi terdepan untuk membelamu. Jika suatu hari ada masalah besar, saya yang akan menjaga kalian.”“Terima kasih ….,” ucap Nara pada akhirnya.Sangga mengangguk-angguk.“Ngomong-ngomong, kenapa kamu memilih hidup menyendiri di hutan seperti ini?” tanya N