Kami sampai di Dunia Pelarian. Dunia yang masih sama seperti dulu. Tersembunyi dan samar. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat dan masuk ke perkampungan itu. Sama halnya seperti kami. Kami bisa masuk karena ada Tuan Yugas. Dia yang membuka perkampungan supaya bisa kami lihat.
Meski Dunia Pelarian masih sama, ada berbagai hal yang tampak beda. Aku melihat rumah-rumah yang berjejer rapi dan bersih. Lalu lalang orang-orang. Ibu-ibu, Bapak-bapak. Pokoknya, orang-orang di perkampungan ini lebih variatif dari yang kulihat tahunan lalu.
“Kita ke rumah Tetua kita,” ucap Tuan Yugas. Dia berjalan di depan kami dengan begitu percaya diri.
Sementara sambil menyusuri perkampungan, kami mendapati orang-orang yang tersenyum lebar. Beberapa ada yang berlari cepat, melesat seperti angin. Tampaknya, semua hal yang berhubungan dengan itu sudah biasa dilakukan di sini.
Oh, kamu mungkin bertanya-tanya juga, di mana kuda-kuda kami? Ya, mereka disimpan di po
Setelah istirahat beberapa jam, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Kamu tahu? Danau yang waktu itu pernah kami lintasi menggunakan perahu, dan sempat akan membuat kami tenggelam, sekarang lebih modern. Di atas danau itu ada jembatan yang lebarnya sekitar 5 meter. Terbuat dari beton yang di sisi-sisinya juga dipagari dengan besi besar dan kokoh. Pembangunan di Negeri Bayangan memang sangat-sangat pesat. Sehingga kami tidak perlu susah-susah melintas. Kami tinggal melewati jembatan itu.“Ini jam berapa?” tanya Gala.“Sepertinya sekitar setengah enam.” Bukan asal ngomong aku menjawab begitu, tetapi aku melihat matahari yang akan terbenam di depan kami. Matahari itu seperti bersinggungan dengan gedung-gedung tinggi di kota."Berhenti dulu dong,” ucapku. Kontan, ucapan itu membuat Gala berhenti. Kami pun berhenti tepat di pinggir danau yang sudah dilintasi. “Kita nikmati dulu matahari terbenam. Jarang-jarang kan kita
“Jadi sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Nara.Malam ini, Nara sedang mengobrol dengan Sangga. Tentu saja, dia mengobrol sambil memomong Aga yang begitu baik. Ya, Nara menganggapnya begitu. Anak itu benar-benar tidak rewel selama ada di Negeri Bayangan.“Tidak ada yang perlu kau lakukan selain …. berdoa.” Sangga menghela napas panjang. “Kenapa saya bilang begini? Karena cepat atau lambat, mereka akan menemukanmu. Dan lagi, jika pun kita harus kabur dari lokasi ini, Candra pasti sudah menyiapkan banyak pasukan di setiap titik.”Wajah Nara memerah mendengar fakta itu.“Tapi, saya akan ada di posisi terdepan untuk membelamu. Jika suatu hari ada masalah besar, saya yang akan menjaga kalian.”“Terima kasih ….,” ucap Nara pada akhirnya.Sangga mengangguk-angguk.“Ngomong-ngomong, kenapa kamu memilih hidup menyendiri di hutan seperti ini?” tanya N
Sangga menyabut pedang yang digantung di dinding rumah. Dia benar-benar tidak habis pikir, meski dirinya sudah menyembunyikan rumah dari orang lain, tetap saja ada yang bisa melacak. Sangga pikir, orang yang melacak rumahnya ini benar-benar tidak bisa dianggap remeh.Sudah lama dia tidak bertarung menggunakan pedang. Nah, hal tersebut membuatnya bersemangat untuk bisa menggunakan alat tajam itu.Sangga bergerak perlahan-lahan, mengendap-ngendap. Dia tidak mau pergerakkannya terhitung orang lain. Sangga tahu jika saat ini, dirinya pasti diincar karena telah membawa Nara dan bayinya yang begitu penting untuk mereka.Sangga keluar. Angin malam membuatnya sedikit bergidik. Suara hewan-hewan malam juga membuatnya merasa sedikit resah. Dia memang sudah lama tinggal di hutan ini, tetapi bukan berarti dia tidak takut dengan hal-hal yang mungkin bisa membahayakan.“Siapa!” teriaknya.Teriakkan itu menggema.“Jangan main-main sama sa
Sangga membawa anak panah itu ke dalam rumah. Di dalam rumah, Nara sedang mondar-mandir di depan kamar. Dia terlihat cemas tentang gangguan yang menimpanya saat ini.“Mereka mengirim anak panah beracun,” ucap Sangga.Nara melotot. Dia melihat beberapa anak panah yang dipegang sangga.“Lebih dari 10 anak panah.” Sangga menggeleng. “Untuk beberapa hari ke depan, sepertinya kamu harus diam di rumah. Saya tidak mau sesuatu terjadi kepadamu. Di luar itu banyak sekali hal yang mungkin akan membahayakan kamu dan anakmu.”Nara mengangguk. “Kamu sendiri nggak apa-apa?”“Tidak.” Sangga mengangguk-angguk. “Lebih tepatnya …. belum. Saya tidak tahu sesakti apa kekuatan yang mereka siapkan.”Nara membenarkan rambut yang acak-acakkan. Semenjak di Negeri Bayangan, penampilannya begitu buruk. Awut-awutan. Dia sadar betul, penampilan bukan lagi hal utama. Yang terpenting sekarang a
Kota Bayang tak seprimitif di bayanganku. Mungkin dua tahun lalu iya, tetapi saat ini …. luar biasa. Tata letak kota sungguh rapi. Aku tidak menyangka jika semua ini hanya dibangun dalam waktu dua tahun saja. Beginikah jika suatu negeri diurus oleh anak muda?Saat Gimbil berjalan di jalurnya, aku melihat bangunan-bangunan khas perkotaan. Para pedagang. Pekerja yang lalu lalang. Anak-anak yang akan berangkat sekolah. Aku melihat Negeri Bayangan seperti luar negeri di belahan bumi.“Indah sekali,” desahku. “Kamu yang membuat semua ini?”Ucapanku disambut senyum khas Cakra yang tipis. “kerjasama semua pihak.”“Tapi di balik itu semua, pasti ada idemu.” Aku tidak mau kalah. “Iya kan?”Cakra mengangguk, agak kikuk aku puji.“Cak, kenapa sih, kamu harus nemenin aku? Kamu nggak gengsi? Kamu itu raja lho. Gimana kata rakyatmu jika mereka semua tahu kalau kamu nemenin aku jalan-
Perjalanan dari Utara ke kota tidaklah sulit untuk Candra. Di antara kemampuan-kemampuannya, Candra bisa dengan gampang pergi, tanpa harus menunggangi hewan-hewan atau berjalan sejauh puluhan kilometer. Dia cukup menggunakan kekuatannya, lantas bisa dengan gampang ada di kota.Beberapa hari ini, dia berbaur dengan warga-warga di perkotaan. Dia ke pasar, berkeliling di gedung-gedung perbelanjaan, melihat situasi di kerajaan, hingga dia mendapati namanya diteriaki dari seberang jalanan.Candra menoleh, lantas melotot saat melihat seseorang yang dia kenal ada di seberangnya.“Melica?” tanyanya pelan.Jelas dia langsung berlari, memilih masuk ke gedung yang terdapat kerumunan orang-orang. Dia tidak tahu jika Melica bisa sampai ke Negeri Bayangan. Candra kira, Melica masih ada di bumi. Tapi nyatanya? Melica ada di sini, bahkan Candra lihat, istrinya itu ada di sisi Gimbil yang merupakan kendaraan yang sering dipakai kerajaan.Candra du
Raras tengah berjalan bolak-balik di dalam rumah. Setelah Nara menghilang, dia benar-benar cemas. Takut-takut jika Nara dan anaknya bisa lolos dan bisa jatuh ke tangan kerajaan sebelum semua misi terlaksana. Jika jatuh ke tangan kerajaan, bisa saja Nara dan Aga akan dikembalikan ke bumi.Saat sedang cemas, tiba-tiba pintu depan terbuka. Raras terenyak, dia tahu, pasti itu adalah Candra. Tentu saja Raras tidak tega membicarakan soal fakta bahwa Nara sudah tiada dari rumah ini.“Ibu,” teriak Candra. Dia terdengar tidak sabar.“Sudah pulang, Can?” tanya Ibu. Wanita itu terlihat begitu tenang.“Gawat!” teriaknya. “Sepertinya Mas Gala dan Melica menyusul ke sini. Saya bertemu Melica di Kota Bayang. Dan …. sepertinya mereka akan mencari Mbak Nara juga ke sini. Kita harus benar-benar mengamankan Mbak Nara dan anaknya.”Setelah berbicara seperti itu, Candra melihat ke setiap sudut ruangan. Dia mendapat
Suara hewan malam membuat suasana kian mencekam. Angin seolah berbicara, daun-daun saling bergesek, ranting-ranting terpelenting, kala seorang Candra dan Raras tengah duduk. Mengenakan jubah berwarna hitam.Mereka berdua berkomat-kamit, seperti sedang membacakan sesuatu. Hingga rumah itu berubah menjadi rumah berasap, seolah sedang ada yang membakar sesuatu. Dan setelah itu, disusul pula dengan kehadiran cahaya berwarna kemerahan yang sangat kuat.“Kau sudah kembali, Candra?” Cahaya itu bersuara. Tentu, yang berbicara itu bukan benar-benar cahaya, melainkan makhluk tak kasat mata yang selama ini membantu Candra.“Iya, Ratu.” Candra menelungkupkan kedua tangan, seolah sedang menyembah. “Saya siap untuk melanjutkan rencana.”“Sebenarnya, saya kecewa kepadamu,” ucapnya lagi. “Dari awal, kau membawa mereka ke Negeri ini, saya sudah mengatakan jika kau terlalu cepat bertindak. Kau terlalu cepat membawa mere