17 Tahun Lalu
Sistem kerajaan begitu carut marut saat dipegang oleh Raja Fatah. Peraturan yang dibuat tidak memihak kepada rakyat, bahkan kadang, peraturan itu dibuat asal-asalan yang mementingkan kesenangan dirinya sendiri.
Salah satu orang yang terkena dampak dari ini semua adalah …. Sangga Astawi. Seorang anak sepuluh tahun yang harus kehilangan kedua orangtuanya. Kedua orangtua Sangga Astawi ditangkap begitu saja di rumahnya waktu itu. Sangga Astawi ditinggal tanpa ada bantuan dari kerajaan.
Pada awalnya, Sangga Astawi merasa jika dia bisa hidup sendiri dengan bekerja serabutan di pojok-pojok kota. Namun ada masa dirinya benar-benar down. Anak sepuluh tahu bukan manusia berumur 25 tahun yang bisa lebih gampang menjaga dirinya.
“Namamu siapa?” itu pertemuan pertama Sangga Astawi dengan seorang lelaki.
Sangga yang sedang termenung di depan danau, mengamati lelaki itu. “Sangga. Kau siapa?”
&ld
Kami sampai di Dunia Pelarian. Dunia yang masih sama seperti dulu. Tersembunyi dan samar. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat dan masuk ke perkampungan itu. Sama halnya seperti kami. Kami bisa masuk karena ada Tuan Yugas. Dia yang membuka perkampungan supaya bisa kami lihat.Meski Dunia Pelarian masih sama, ada berbagai hal yang tampak beda. Aku melihat rumah-rumah yang berjejer rapi dan bersih. Lalu lalang orang-orang. Ibu-ibu, Bapak-bapak. Pokoknya, orang-orang di perkampungan ini lebih variatif dari yang kulihat tahunan lalu.“Kita ke rumah Tetua kita,” ucap Tuan Yugas. Dia berjalan di depan kami dengan begitu percaya diri.Sementara sambil menyusuri perkampungan, kami mendapati orang-orang yang tersenyum lebar. Beberapa ada yang berlari cepat, melesat seperti angin. Tampaknya, semua hal yang berhubungan dengan itu sudah biasa dilakukan di sini.Oh, kamu mungkin bertanya-tanya juga, di mana kuda-kuda kami? Ya, mereka disimpan di po
Setelah istirahat beberapa jam, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju kota. Kamu tahu? Danau yang waktu itu pernah kami lintasi menggunakan perahu, dan sempat akan membuat kami tenggelam, sekarang lebih modern. Di atas danau itu ada jembatan yang lebarnya sekitar 5 meter. Terbuat dari beton yang di sisi-sisinya juga dipagari dengan besi besar dan kokoh. Pembangunan di Negeri Bayangan memang sangat-sangat pesat. Sehingga kami tidak perlu susah-susah melintas. Kami tinggal melewati jembatan itu.“Ini jam berapa?” tanya Gala.“Sepertinya sekitar setengah enam.” Bukan asal ngomong aku menjawab begitu, tetapi aku melihat matahari yang akan terbenam di depan kami. Matahari itu seperti bersinggungan dengan gedung-gedung tinggi di kota."Berhenti dulu dong,” ucapku. Kontan, ucapan itu membuat Gala berhenti. Kami pun berhenti tepat di pinggir danau yang sudah dilintasi. “Kita nikmati dulu matahari terbenam. Jarang-jarang kan kita
“Jadi sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Nara.Malam ini, Nara sedang mengobrol dengan Sangga. Tentu saja, dia mengobrol sambil memomong Aga yang begitu baik. Ya, Nara menganggapnya begitu. Anak itu benar-benar tidak rewel selama ada di Negeri Bayangan.“Tidak ada yang perlu kau lakukan selain …. berdoa.” Sangga menghela napas panjang. “Kenapa saya bilang begini? Karena cepat atau lambat, mereka akan menemukanmu. Dan lagi, jika pun kita harus kabur dari lokasi ini, Candra pasti sudah menyiapkan banyak pasukan di setiap titik.”Wajah Nara memerah mendengar fakta itu.“Tapi, saya akan ada di posisi terdepan untuk membelamu. Jika suatu hari ada masalah besar, saya yang akan menjaga kalian.”“Terima kasih ….,” ucap Nara pada akhirnya.Sangga mengangguk-angguk.“Ngomong-ngomong, kenapa kamu memilih hidup menyendiri di hutan seperti ini?” tanya N
Sangga menyabut pedang yang digantung di dinding rumah. Dia benar-benar tidak habis pikir, meski dirinya sudah menyembunyikan rumah dari orang lain, tetap saja ada yang bisa melacak. Sangga pikir, orang yang melacak rumahnya ini benar-benar tidak bisa dianggap remeh.Sudah lama dia tidak bertarung menggunakan pedang. Nah, hal tersebut membuatnya bersemangat untuk bisa menggunakan alat tajam itu.Sangga bergerak perlahan-lahan, mengendap-ngendap. Dia tidak mau pergerakkannya terhitung orang lain. Sangga tahu jika saat ini, dirinya pasti diincar karena telah membawa Nara dan bayinya yang begitu penting untuk mereka.Sangga keluar. Angin malam membuatnya sedikit bergidik. Suara hewan-hewan malam juga membuatnya merasa sedikit resah. Dia memang sudah lama tinggal di hutan ini, tetapi bukan berarti dia tidak takut dengan hal-hal yang mungkin bisa membahayakan.“Siapa!” teriaknya.Teriakkan itu menggema.“Jangan main-main sama sa
Sangga membawa anak panah itu ke dalam rumah. Di dalam rumah, Nara sedang mondar-mandir di depan kamar. Dia terlihat cemas tentang gangguan yang menimpanya saat ini.“Mereka mengirim anak panah beracun,” ucap Sangga.Nara melotot. Dia melihat beberapa anak panah yang dipegang sangga.“Lebih dari 10 anak panah.” Sangga menggeleng. “Untuk beberapa hari ke depan, sepertinya kamu harus diam di rumah. Saya tidak mau sesuatu terjadi kepadamu. Di luar itu banyak sekali hal yang mungkin akan membahayakan kamu dan anakmu.”Nara mengangguk. “Kamu sendiri nggak apa-apa?”“Tidak.” Sangga mengangguk-angguk. “Lebih tepatnya …. belum. Saya tidak tahu sesakti apa kekuatan yang mereka siapkan.”Nara membenarkan rambut yang acak-acakkan. Semenjak di Negeri Bayangan, penampilannya begitu buruk. Awut-awutan. Dia sadar betul, penampilan bukan lagi hal utama. Yang terpenting sekarang a
Kota Bayang tak seprimitif di bayanganku. Mungkin dua tahun lalu iya, tetapi saat ini …. luar biasa. Tata letak kota sungguh rapi. Aku tidak menyangka jika semua ini hanya dibangun dalam waktu dua tahun saja. Beginikah jika suatu negeri diurus oleh anak muda?Saat Gimbil berjalan di jalurnya, aku melihat bangunan-bangunan khas perkotaan. Para pedagang. Pekerja yang lalu lalang. Anak-anak yang akan berangkat sekolah. Aku melihat Negeri Bayangan seperti luar negeri di belahan bumi.“Indah sekali,” desahku. “Kamu yang membuat semua ini?”Ucapanku disambut senyum khas Cakra yang tipis. “kerjasama semua pihak.”“Tapi di balik itu semua, pasti ada idemu.” Aku tidak mau kalah. “Iya kan?”Cakra mengangguk, agak kikuk aku puji.“Cak, kenapa sih, kamu harus nemenin aku? Kamu nggak gengsi? Kamu itu raja lho. Gimana kata rakyatmu jika mereka semua tahu kalau kamu nemenin aku jalan-
Perjalanan dari Utara ke kota tidaklah sulit untuk Candra. Di antara kemampuan-kemampuannya, Candra bisa dengan gampang pergi, tanpa harus menunggangi hewan-hewan atau berjalan sejauh puluhan kilometer. Dia cukup menggunakan kekuatannya, lantas bisa dengan gampang ada di kota.Beberapa hari ini, dia berbaur dengan warga-warga di perkotaan. Dia ke pasar, berkeliling di gedung-gedung perbelanjaan, melihat situasi di kerajaan, hingga dia mendapati namanya diteriaki dari seberang jalanan.Candra menoleh, lantas melotot saat melihat seseorang yang dia kenal ada di seberangnya.“Melica?” tanyanya pelan.Jelas dia langsung berlari, memilih masuk ke gedung yang terdapat kerumunan orang-orang. Dia tidak tahu jika Melica bisa sampai ke Negeri Bayangan. Candra kira, Melica masih ada di bumi. Tapi nyatanya? Melica ada di sini, bahkan Candra lihat, istrinya itu ada di sisi Gimbil yang merupakan kendaraan yang sering dipakai kerajaan.Candra du
Raras tengah berjalan bolak-balik di dalam rumah. Setelah Nara menghilang, dia benar-benar cemas. Takut-takut jika Nara dan anaknya bisa lolos dan bisa jatuh ke tangan kerajaan sebelum semua misi terlaksana. Jika jatuh ke tangan kerajaan, bisa saja Nara dan Aga akan dikembalikan ke bumi.Saat sedang cemas, tiba-tiba pintu depan terbuka. Raras terenyak, dia tahu, pasti itu adalah Candra. Tentu saja Raras tidak tega membicarakan soal fakta bahwa Nara sudah tiada dari rumah ini.“Ibu,” teriak Candra. Dia terdengar tidak sabar.“Sudah pulang, Can?” tanya Ibu. Wanita itu terlihat begitu tenang.“Gawat!” teriaknya. “Sepertinya Mas Gala dan Melica menyusul ke sini. Saya bertemu Melica di Kota Bayang. Dan …. sepertinya mereka akan mencari Mbak Nara juga ke sini. Kita harus benar-benar mengamankan Mbak Nara dan anaknya.”Setelah berbicara seperti itu, Candra melihat ke setiap sudut ruangan. Dia mendapat
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,