Raras tengah berjalan bolak-balik di dalam rumah. Setelah Nara menghilang, dia benar-benar cemas. Takut-takut jika Nara dan anaknya bisa lolos dan bisa jatuh ke tangan kerajaan sebelum semua misi terlaksana. Jika jatuh ke tangan kerajaan, bisa saja Nara dan Aga akan dikembalikan ke bumi.
Saat sedang cemas, tiba-tiba pintu depan terbuka. Raras terenyak, dia tahu, pasti itu adalah Candra. Tentu saja Raras tidak tega membicarakan soal fakta bahwa Nara sudah tiada dari rumah ini.
“Ibu,” teriak Candra. Dia terdengar tidak sabar.
“Sudah pulang, Can?” tanya Ibu. Wanita itu terlihat begitu tenang.
“Gawat!” teriaknya. “Sepertinya Mas Gala dan Melica menyusul ke sini. Saya bertemu Melica di Kota Bayang. Dan …. sepertinya mereka akan mencari Mbak Nara juga ke sini. Kita harus benar-benar mengamankan Mbak Nara dan anaknya.”
Setelah berbicara seperti itu, Candra melihat ke setiap sudut ruangan. Dia mendapat
Suara hewan malam membuat suasana kian mencekam. Angin seolah berbicara, daun-daun saling bergesek, ranting-ranting terpelenting, kala seorang Candra dan Raras tengah duduk. Mengenakan jubah berwarna hitam.Mereka berdua berkomat-kamit, seperti sedang membacakan sesuatu. Hingga rumah itu berubah menjadi rumah berasap, seolah sedang ada yang membakar sesuatu. Dan setelah itu, disusul pula dengan kehadiran cahaya berwarna kemerahan yang sangat kuat.“Kau sudah kembali, Candra?” Cahaya itu bersuara. Tentu, yang berbicara itu bukan benar-benar cahaya, melainkan makhluk tak kasat mata yang selama ini membantu Candra.“Iya, Ratu.” Candra menelungkupkan kedua tangan, seolah sedang menyembah. “Saya siap untuk melanjutkan rencana.”“Sebenarnya, saya kecewa kepadamu,” ucapnya lagi. “Dari awal, kau membawa mereka ke Negeri ini, saya sudah mengatakan jika kau terlalu cepat bertindak. Kau terlalu cepat membawa mere
Utara Negeri Bayangan hampir mirip dengan Selatan Negeri Bayangan. Bedanya, Selatan Negeri Bayangan itu lebih kepada pegunungan. Dari dataran rendah, ke dataran tinggi. Sementara di Selatan, lebih kepada hutan-hutan yang terkesan datar. Aku, Gala, dan juga Nana sudah keluar dari kota Bayang. Kami masuk ke jalanan setapak yang rumput-rumputnya itu begitu tinggi. Sampai kemudian, kuda-kuda kami terhenti. Seperti ada sesuatu yang menghalangi di depan kami. “Gilda, kenapa diam?” Nana bertanya kepada kudanya. Ya, sekarang, Gilda dan Nana ada di posisi depan. “Ada apa?” Kuda itu bersuara nyaring. Hingga kemudian, kami menyadari sesuatu. Ya, ada lintah raksasa yang melintang di tengah jalan. Aku jadi ingat Nara. Dulu, Nara pernah dililit lintah sebesar itu. Bahkan hampir menghabisi nyawanya. “Gala, kamu punya senjata kan?” tanyaku dengan penuh percaya diri. Gala mengacungkan jempol. Dia lantas mengeluarkan buku gambar yang diberikan tetua di Dunia Ke
Sekarang, aku sudah bisa duduk di atas kasur. Meskipun badanku sebenarnya masih lemas. Wanita yang bernama Suri itu juga sudah duduk di hadapanku. Aku melihat jika dia adalah perempuan yang sangat tangguh dan terlihat .... perkasa. Ya, aku menyebutnya begitu.“Sekali lagi, terima kasih ....” Ucapku kepada Suri.“Sama-sama, Melica.” Dia tersenyum. “Apa kau lapar? Nana sudah makan, sementara kau belum.”“Sedikit,” kataku agak malu.“Oh ....” Dia melirik ke belakang. “Pelayan, tolong ambilkan makanan ya.”“Siap Nona Suri,” jawab seseorang yang saat kulihat adalah perempuan yang masih sangat muda.“Sebenarnya, Dunia Api ini ada di sebelah mana?” tanyaku. “Utara Negeri Bayangan itu seperti tidak ada kehidupan, tapi, bagaimana mungkin masih ada sebuah pemukiman seperti Dunia Api ini?”Suri terkekeh. “Utara berbeda dengan Selatan
Semalaman, Nara mengompres kepala Sangga. Dia tidak tahu harus melakukan apa terhadap lelaki itu. Sangga ditemukan tergeletak setelah keadaan cukup aman. Tentu, Nara awalnya tidak mau keluar rumah. Namun pada akhirnya, dia memberanikan diri dan membantu Sangga yang tak berdaya untuk berdiri.“Terima kasih ya, Nara,” ucap Sangga pelan. “Saya tidak tahu, jika tidak ada kamu, mungkin saya akan mati.”Nara menggeleng. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan Sangga. Justru, seharusnya aku minta maaf ke kamu. Berkat masalahku, sekarang kamu malah terkena getahnya.”Sangga menggeleng. “Tidak. Ini murni kemauan saya. Kalau saya tidak peduli kepadamu, saya tidak akan mungkin membawamu ke sini.”Nara mengangguk-angguk. Dia lantas mengembuskan napas kasar. “Sebenarnya, apa yang membuatmu bisa selemah ini?”Sangga mengembuskan napas berat. Dia terlihat kesusahan untuk berbicara lebih panjang.
Seperti biasa, malam-malam begini selalu dijadikan ajang mengobrol yang dilakukan Nara bersama Sangga. Bagaimana lagi? Tidak ada orang lagi selain mereka berdua. Untuk membuat hari-hari lebih ringan, mengobrol adalah salah satu hal yang menyenangkan.“Bagaimana mungkin kamu bisa sembuh secepat kilat?” tanya Nara.“Tidak secepat kilat juga, Nara.” Sangga terkekeh. “Kamu berlebihan. Bukannya saya sakit semalaman?”“Ah, maksudku, kondisimu itu parah banget. Kalau misalkan di bumi, mungkin kamu butuh perawatan antara satu sampai dua minggu.”Sangga meneguk air yang masih tersisa. Dia terkekeh setelahnya. “Bumi memang hampir sama dengan Negeri Bayangan. Tapi dari segi masyarakatnya, tentu saja berbeda. Di kota, rata-rata mereka lebih modern. Tidak terlalu memikirkan kekuatan. Banyak di antara mereka yang lebih memikirkan pendidikan tentang dunia. Sementara di pedalaman seperti di Selatan dan di Utara, masih
“Hahahahaha ....”Suara itu menggema dengan begitu kencang. Sangga yang saat ini tengah terkapar di tanah, dengan tangan memegang anak panah yang masih menancap di perut, terlihat cape.“Kau tidak bisa bermain-main dengan ratu kegelapan.” Suara itu menggema lagi. “Ratu kegelapan tidak akan pernah bisa dilawan.”“Meski saya harus terperangkap oleh rencana kalian, saya bahagia,” ucap Sangga pada akhirnya. “Bagi saya, kemenangan bukan hanya soal bisa mengalahkan, tetapi bagiku, kemenangan cukup sederhana. Sesederhana saya yang bisa melakukan kewajiban saya dalam menolong seseorang.”Ucapan itu ditanggapi tawa yang panjang, lantas tawa tersebut menghilang begitu saja. Suasana kembali hening, suara hewan malam yang justru ikut meramaikan.“Bagaimana?” Candra mendekat. Dia melihat Sangga dari atas. “Apa kau puas dengan semua ini?”Sangga tidak bisa berkata-kata. Di
Nara mengerjapkan mata sesaat setelah badannya terasa dingin. Saat membuka mata, alangkah terkejutnya dia setelah mendapati sesuatu yang aneh. Dia melihat awan-awan yang seolah dekat dengannya. Dia melihat pegunungan di depan sana yang terlihat begitu indah. Tentu, dia juga ingat Aga. Di mana dia?Nara bangun. Dia menyingkap selimut yang terbuat dari kain, kemudian, dia berjalan perlahan-lahan ke depan. Dia masih belum paham dengan keberadaannya sekarang. Apakah dia sedang ada di dalam mimpi?“Hei ....”Ucapan itu membuat langkah Nara terhenti. Dia menengok.“Kamu siapa?” tanya Nara.Seorang perempuan berperawakan tinggi, dengan senyum manis, tampak di pelupuk mata Nara. Perempuan itu terlihat ayu, anggun, mirip sekali seperti peri-peri yang sering ada di film-film. Tentu, Nara terpaku lama kepada wanita itu.“Saya Villa,” ucapnya. “Saya salah satu penghuni Dunia Udara.”“Dunia uda
Cahaya dari lampu minyak yang ada di depan terlihat samar. Sangga berusaha membuka mata semakin lebar. Dia merasa harus bangkit. Pertemuannya dengan orangtua, juga tetua, membuat Sangga memiliki motivasi besar untuk bisa kembali bangun. Sampai akhirnya, mata itu benar-benar terbuka lebar. “Kau sudah sadar?” tanya seseorang yang ada di depan Sangga. Sangga mengaduh saat merasa jika perutnya masih terasa sakit. “Oh, rupanya, anak panah beracun itu yang membuatmu hampir meninggal.” Ucap lelaki itu. “Saya Yugas.” “Yugas?” “Saya salah satu pendekar dari Dunia Pelarian,” ucap Yugas. “Saya sengaja ke sini untuk mencari Nara. Tapi saat sampai di tempat ini, saya malah melihatmu tergeletak di luar.” Sangga mengembuskan napas lega. “Terima kasih telah menolongku.” “Kau mendapatkan keajaiban. Dari semalam, kau seperti akan mati. Tapi pagi ini, kau kembali sadar. Saya hanya mengobati perutmu sebisa saya dengan ramuan-ramuan yang saya olah
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,