Seperti biasa, malam-malam begini selalu dijadikan ajang mengobrol yang dilakukan Nara bersama Sangga. Bagaimana lagi? Tidak ada orang lagi selain mereka berdua. Untuk membuat hari-hari lebih ringan, mengobrol adalah salah satu hal yang menyenangkan.
“Bagaimana mungkin kamu bisa sembuh secepat kilat?” tanya Nara.
“Tidak secepat kilat juga, Nara.” Sangga terkekeh. “Kamu berlebihan. Bukannya saya sakit semalaman?”
“Ah, maksudku, kondisimu itu parah banget. Kalau misalkan di bumi, mungkin kamu butuh perawatan antara satu sampai dua minggu.”
Sangga meneguk air yang masih tersisa. Dia terkekeh setelahnya. “Bumi memang hampir sama dengan Negeri Bayangan. Tapi dari segi masyarakatnya, tentu saja berbeda. Di kota, rata-rata mereka lebih modern. Tidak terlalu memikirkan kekuatan. Banyak di antara mereka yang lebih memikirkan pendidikan tentang dunia. Sementara di pedalaman seperti di Selatan dan di Utara, masih
“Hahahahaha ....”Suara itu menggema dengan begitu kencang. Sangga yang saat ini tengah terkapar di tanah, dengan tangan memegang anak panah yang masih menancap di perut, terlihat cape.“Kau tidak bisa bermain-main dengan ratu kegelapan.” Suara itu menggema lagi. “Ratu kegelapan tidak akan pernah bisa dilawan.”“Meski saya harus terperangkap oleh rencana kalian, saya bahagia,” ucap Sangga pada akhirnya. “Bagi saya, kemenangan bukan hanya soal bisa mengalahkan, tetapi bagiku, kemenangan cukup sederhana. Sesederhana saya yang bisa melakukan kewajiban saya dalam menolong seseorang.”Ucapan itu ditanggapi tawa yang panjang, lantas tawa tersebut menghilang begitu saja. Suasana kembali hening, suara hewan malam yang justru ikut meramaikan.“Bagaimana?” Candra mendekat. Dia melihat Sangga dari atas. “Apa kau puas dengan semua ini?”Sangga tidak bisa berkata-kata. Di
Nara mengerjapkan mata sesaat setelah badannya terasa dingin. Saat membuka mata, alangkah terkejutnya dia setelah mendapati sesuatu yang aneh. Dia melihat awan-awan yang seolah dekat dengannya. Dia melihat pegunungan di depan sana yang terlihat begitu indah. Tentu, dia juga ingat Aga. Di mana dia?Nara bangun. Dia menyingkap selimut yang terbuat dari kain, kemudian, dia berjalan perlahan-lahan ke depan. Dia masih belum paham dengan keberadaannya sekarang. Apakah dia sedang ada di dalam mimpi?“Hei ....”Ucapan itu membuat langkah Nara terhenti. Dia menengok.“Kamu siapa?” tanya Nara.Seorang perempuan berperawakan tinggi, dengan senyum manis, tampak di pelupuk mata Nara. Perempuan itu terlihat ayu, anggun, mirip sekali seperti peri-peri yang sering ada di film-film. Tentu, Nara terpaku lama kepada wanita itu.“Saya Villa,” ucapnya. “Saya salah satu penghuni Dunia Udara.”“Dunia uda
Cahaya dari lampu minyak yang ada di depan terlihat samar. Sangga berusaha membuka mata semakin lebar. Dia merasa harus bangkit. Pertemuannya dengan orangtua, juga tetua, membuat Sangga memiliki motivasi besar untuk bisa kembali bangun. Sampai akhirnya, mata itu benar-benar terbuka lebar. “Kau sudah sadar?” tanya seseorang yang ada di depan Sangga. Sangga mengaduh saat merasa jika perutnya masih terasa sakit. “Oh, rupanya, anak panah beracun itu yang membuatmu hampir meninggal.” Ucap lelaki itu. “Saya Yugas.” “Yugas?” “Saya salah satu pendekar dari Dunia Pelarian,” ucap Yugas. “Saya sengaja ke sini untuk mencari Nara. Tapi saat sampai di tempat ini, saya malah melihatmu tergeletak di luar.” Sangga mengembuskan napas lega. “Terima kasih telah menolongku.” “Kau mendapatkan keajaiban. Dari semalam, kau seperti akan mati. Tapi pagi ini, kau kembali sadar. Saya hanya mengobati perutmu sebisa saya dengan ramuan-ramuan yang saya olah
Aku dan Nana diajak jalan-jalan oleh Suri. Beberapa hari mendekam di kamar terus membuat kami bosan. Terlebih, Gala juga belum sadarkan diri. Dia masih kritis. Bahkan, tabib yang sering menyembuhkan orang sakit pun sekarang lebih sering datang ke kamarnya.Sekarang, aku ada di luar rumah. Begitu terkejutnya aku saat melihat semua hal yang ada di sini serba merah. Rumah merah berjejer yang dipadukan dengan tanaman berwarna hijau. Sesuai namanya, tempat ini seolah-olah adalah api beku. Aku sempat bergidik jika seandainya semua ini adalah api yang menyala-nyala, mungkin aku sedang terbakar sekarang.“Penduduk Dunia Api itu sedikit. Karena orang-orang di sini itu hanya orang yang memiliki keistimewahan. Semakin sini, keturunan kami semakin berkurang. Entah ada yang dibunuh, memutuskan untuk melepaskan semua ilmu, atau bahkan memang tidak mengakui sebagai keturunan perkampungan ini.” Suri berbicara panjang lebar.Penjelasan Suri masuk akal. Pasalnya, aku
Aku membuka pintu kamar Gala. Saat masuk, aku sudah melihatnya bangun dan menyender di dinding dipan. Tentu, aku langsung menangis saat mendapatinya senyum. Dua hari ini, aku selalu mengamati wajah pucat Gala. Nah sekarang, semua itu sudah tergantikan dengan Gala yang sudah sadar.“Apa yang bikin kamu sadar, Gala?” tanyaku dengan mata melotot. “Kamu udah bosen bikin kami cemas?”Gala terkekeh pelan mendapati suaraku. Dia langsung merentangkan tangan, kemudian merengkuhku begitu erat. “Saya rindu kamu, Mel.”“Huh.” Aku melepaskan pelukan itu. “Nggak ada rindu-rindu! Kamu udah bikin aku dan Nana cemas. Kamu jahat. Kenapa harus koma sih? Kenapa nggak sadarkan diri selama dua hari sih?”“Dua hari?” Gala terbengong. “Ya ampun, padahal saya merasa baru tidur satu jam. Tadi saya mimpi berkumpul dengan Nara dan Aga. Bahkan dalam mimpi itu, saya tidak mau pisah dengan mereka. Terlalu seb
Nara sudah selesai makan. Sekarang, dia tengah siap-siap untuk bertemu dengan peri-peri yang lain. Dia begitu bersemangat. Bagaimana sebenarnya peri-peri itu. Apakah mereka sama cantiknya dengan Villa?Sekarang, Nara mengenakan baju serba biru. Lebih bersih dan juga lebih fresh. Hidupnya di hutan dan di sini berbeda 180 derajat. Dia seperti hidup di hotel bintang lima yang semua kebutuhannya terjamin.“Bagaimana, Nara? Kau sudah siap?” tanya Villa.“Sudah ....” Nara tersenyum.“Kau tunggu di depan ya. Sebentara lagi, saya nyusul ke sana.”Nara mengangguk, lantas melangkah ke ruang depan.Di ruangan depan, Nara berdiri di hadapan pintu. Melihat awan yang bergerak oleh angin. Melihat gunung-gunung yang terlihat begitu bagus dari sini. Tentu, Nara seperti sedang berwisata. Dia seperti sedang ada di puncak gunung tertentu, kemudian melihat gunung lain dari ketinggian itu.“Ya ampun.” Nara ti
Tidak terasa, ini sudah tiga hari dari Gala sadar. Sekarang, Gala sudah bisa berjalan seperti biasa. Dia juga sudah mencoba kudanya kembali di Dunia Api. Tentu, hal tersebut membuat kami pada akhirnya memutuskan untuk pergi dan melanjutkan perjalanan, pagi ini juga.“Kalian yakin akan melanjutkan perjalanan ini?” tanya Suri. Dia menatap ragu. “Kalau masih butuh istirahat, kami tidak keberatan menampung kalian.”Gala menggeleng. “Terima kasih Suri. Tapi kami sudah terlalu lama ada di sini. Kami masih harus melakukan perjalanan yang panjang.”Suri tersenyum. Kalau begitu, temani saya dulu untuk bertemu Ayah. Kita pamit,” ucap Suri.Sebelum benar-benar pergi, kami datang kembali ke rumah tetua. Tentu saja, tetua menyayangkan kepergian kami yang menurutnya terlalu cepat. Namun, dia juga menghargai, pasalnya, kami juga masih harus bertarung dengan waktu.“Ayah, selain mau pamit, kedatangan saya ke sini jug
Sepanjang jalan bersama Suri, kami merasa begitu bahagia. Apalagi, perjalanan ini benar-benar lancar. Namun, sepertinya, semesta tidak ingin membuat perjalanan kami datar-datar saja. Pasalnya, ada danau yang lebih besar ada di dekat kami. Bahkan, kami sama sekali merasa tidak tahu ujungnya di sebelah mana. Kamu masih ingat kan danau yang dekat dengan kerajaan? Itu tidak ada apa-apanya.“Baru saja kita tertawa,” Aku mengembuskan napas. “Apa yang harus kita lakukan untuk melewati danau ini?”Suri celingukkan. “Biasanya ada kapal besar yang bisa mengangkut orang-orang yang mau menyeberang ke sana. Tapi kok ini tidak ada ya?”“Apa kita harus membiarkan kuda-kuda kita belajar di air? Lawak sekali ....” Gala ikut nimbrung.“Yang benar saja, Gal!” Aku mendengkus. “Kamu kan punya buku gambar.”Mendengarkan ucapan itu, Gala seperti tercerahkan. Tentu, Nana dan Suri pun merasa lebih lega