Evangelin berjalan ke arah lift dengan sedikit tertatih, lutut dan sikunya terasa perih. Evangeline mengusap sikunya dengan tissue saat berada di dalam lift, kini ia benar-benar terlambat di hari pertamanya bekerja.
Di sisi lain, di ruangan Ceo-D.R Corporation. Atasan Evangeline tampak mengetukkan jari telunjuk di meja kerjanya, ia menatap tajam pada asisten pribadi yang berdiri di depan mejanya dengan kepala tertunduk.
"Dan! Mana sekretaris yang kamu bicarakan?" tanya Ceo perusahaan itu.
"Mungkin dia ada sedikit kendala di perjalanan, Pak!" jawab Danny, asisten pribadi petinggi perusahaan itu.
Evangeline sudah sampai di depan pintu atasannya, ia mencoba mengatur napas sebelum mengetuk pintu.
TOK! TOK! TOK!
"Itu pasti dia," ucap Danny yang langsung berjalan mearah pintu kemudian membukanya.
Danny membukakan pintu dan melihat penampilan Evangeline yang sedikit berantakan. Helaian rambut yang diikat model ekor kuda sedikit mencuat tak beraturan dengan kaca mata tebal yang menutup bola mata coklat indahnya, tidak ada anggun-anggunnya seperti penampilannya yang dulu.
"Pagi Pak! Maaf saya terlambat," ucap Evangeline pada Danny.
"Masuklah!" perintah pemuda itu.
Evangeline bisa merasakan hawa dingin menusuk begitu ia melangkahkan kaki ke ruangan pria yang akan jadi atasannya itu. Gadis itu sekilas terkesima dengan pria yang duduk dengan sedikit membusungkan dada menatap ke arah dirinya.
Pria itu adalah Devan Rajendra, pemilik D.R Corporation. Pria berumur tiga puluh tahun, memiliki wajah tampan dengan rahang yang kuat, hidung mancung bahkan bulu matanya lentik dengan bibir seksi yang begitu menggoda. Sayang, sifatnya tidak seperti penampilannya yang terlihat lembut dan penyabar, Devan adalah pria tegas dan paling benci ketidak disiplinan, waktu adalah hal yang paling ia hargai, karena itu keterlambatan Evangeline sepertinya akan menjadi masalah untuk wanita itu.
"Aku paling benci ketidak disiplinan dan orang yang suka membuang-buang waktu. Jika tidak berniat bekerja atau hanya ingin main-main saja, maka silahkan pergi dan keluar dari sini!!" teriak Devan begitu keras seraya menunjuk pada pintu keluar ruangannya.
Evangeline sampai mengedikkan pundak karena terkejut, berpikir apa kata-kata itu adalah sebuah pemecatan.
"Ma-maaf, Pak?" Evangeline bertanya-tanya.
"Kamu tuli? Tidak perlu aku suruh harusnya kamu sadar diri, jika hari pertama bekerja saja sudah terlambat, apalagi hari berikutnya, hah!!" bentak Devan.
Evangeline terkejut, ia sampai menundukan kepala karena takut. Sejak tiga tahun setelah lulus kuliah dia tidak pernah bekerja. Namun, sayangnya begitu mendapatkan pekerjaan, ia harus memiliki atasan yang begitu galak dan sombong, tega memecatnya begitu saja di hari pertama tanpa tidak mau tahu alasan dirinya terlambat.
Danny memegangi keningnya, ia sendiri tidak mengerti dengan kriteria sekretaris yang diinginkan atasannya. Evangeline adalah wanita ketiga yang dipecat dalam satu minggu ini.
"Bu-bukan maksud saya terlambat, Pak! Saya punya alasan," ucap Evangeline sedikit tergagap karena takut.
"Alasan? Hah, alasan apa? Jalanan macet? Orangtua sakit? Tidak tahu lokasi? Alasan klasik!" cibir pria itu yang tidak memberikan kesempatan pada Evangeline untuk bicara.
Evangeline tidak berani bicara, ia hanya bisa menggenggam erat tali tas yang melingkar di depan dadanya.
"KELUAR!!" usir Devan. "Kamu dipecat!" imbuhnya.
Jika bisa menangis saat itu, mungkin Evangeline ingin menangis. Baru kali ini ia dibentak seperti itu, berpikir kenapa atasannya itu tidak mau mendengar alasannya.
"Saya permisi!" Evangeline sedikit membungkukkan badan, ia kemudian pergi keluar dari ruangan itu.
Danny menghela napas kasar, ia menatap Devan dengan air muka malas.
"Ini artinya aku harus buka lowongan pekerjaan lagi!" gerutu Danny.
Devan memicingkan mata ke arah Danny ketika mendengar kata yang keluar dari mulut asistennya.
"Makanya, lain kali pilih sekretaris yang selektif. Jangan cuman pandai, tapi kedisiplinan itu juga perlu!" Devan tidak mau tahu, ia membuka dokumen yang ada di meja lantas membacanya.
Evangeline berjalan dengan sedikit gontai. Lutut dan siku sakit, kini hatinya juga sakit karena kena pecat dan bentakan berkali-kali.
"Dasar pria sombong dan galak, kenapa tidak mendengar penjelasan dariku dulu, seenaknya langsung pecat!" gerutu Evangeline.
Evangeline duduk di sebuah bangku yang berada di halaman perusahaan, ia memperhatikan lututnya kemudian mendesah kasar. Evangeline mengingat kejadian yang membuatnya terlambat masuk kerja.
"Angel! Awas!" teriak seorang wanita berumur lima puluhan lebih.
Wanita itu memanggil seorang anak kecil yang tengah berlari ingin menyeberang jalan.
Evangeline yang mengira jika dirinya lah yang dipanggil pun menoleh, ia terkejut melihat gadis kecil berumur sekitar lima tahunan itu berlari menyeberang padahal lampu lalu lintas saat itu menunjukkan merah untuk pejalan kaki.
Takut terjadi sesuatu hal yang buruk pada gadis kecil itu, Evangeline pun berbalik dan berlari ke arah gadis kecil tadi karena sadar jika wanita yang mengejar gadis itu tidak akan bisa menggapainya.
Sebuah mobil melaju dengan kencang, gadis itu terkejut karena posisinya tepat berada di tengah jalan. Tapi, Evangeline bisa meraih tangan gadis itu terlebih dahulu sebelum mobil yang melaju ke arah mereka sampai.
Mendekap tubuh mungil gadis itu, Evangeline malah terjerambab dan jatuh dengan masih memeluk gadis itu.
"Angel!!" teriak wanita tua itu panik.
Wanita berumur lima puluh tahun itu langsung mengambil gadis kecil itu dari pelukan Evangeline kemudian memeluknya erat dengan air muka penuh kecemasan.
Evangeline bangkit, ia menepuk rok bagian belakang yang kotor. Ia sadar jika lutut sebelah kiri dan lengannya tergores aspal. Wanita itu tidak sempat menanyakan kondisi gadis kecil itu karena ia harus bergegas masuk ke perusahaan.
"Kenapa nasibku sial!" gerutunya seraya menghentakkan bergantian kedua kakinya ke tanah.
"Tidak bisakah Evangeline memberi berita baik untukku?"
Evangeline menangkup kedua sisi wajahnya, meratapi kenapa ia terus terkena sial. Sepertinya arti namanya tidak berlaku untuk dirinya.
Evangeline kini dipanggil kembali masuk ke dalam ruang Devan, awalnya ia bingung ketika seorang security memintanya masuk lagi."Ada apa dengan pria itu? Tadi mengusirku, tapi sekarang memintaku balik lagi," gumam Evangeline yang sedang berjalan di lorong menuju ruang Devan.Evangeline sudah berdiri di depan pintu Devan, ia tampak ragu ketika ingin mengetuk pintu, hingga pintu itu terbuka membuatnya terkesiap."Kamu sudah datang, silahkan masuk!" Danny mempersilahkan Evangeline.Evangeline tersenyum canggung, tapi ia tetap masuk ke dalam. Wanita itu terkejut ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu, ia jadi ingat kejadian beberapa menit yang lalu.Evangeline mengamati lututnya kemudian sikunya, wanita itu tengah meratapi nasib sial yang terus menghampiri hidupnya."Bibi!"Mendengar suara anak kecil, Evangeline pun menoleh ke arah sumber suara. Ia bisa melihat seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya dengan wanita tua di be
Evangeline bisa bernapas lega karena akhirnya ia bisa bekerja setelah enam bulan terakhir dia terus menutup diri di apartemen. Ia merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya, membuatnya butuh waktu lebih untuk menenangkan diri."Nona!" panggil salah satu recepsionis apartemen milik Evangeline.Evangeline yang baru saja melangkahkan kaki di lobby lantas menghampiri meja recepsionis."Iya.""Ada surat untuk Anda," ucap petugas itu langsung menyodorkan amplop berwarna coklat.Evangeline melihat alamat pengirim yang tertera di bagian belakang amplop. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia lantas berterima kasih baru kemudian menuju lift untuk bisa segera naik ke unit apartemen miliknya.Evangeline menaruh tasnya, ia lantas duduk di sofa dan mulai membuka amplop itu. Tertulis jelas jika itu dari 'Philadelphia'."Akhirnya," gumamnya.Menaruh kertas yang ia baca, Evangeline memilih pergi ke kamar mandi. Wanita itu menanggalk
Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan."Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya."Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan."Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah."Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara m
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb