Evangeline bisa bernapas lega karena akhirnya ia bisa bekerja setelah enam bulan terakhir dia terus menutup diri di apartemen. Ia merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya, membuatnya butuh waktu lebih untuk menenangkan diri.
"Nona!" panggil salah satu recepsionis apartemen milik Evangeline.
Evangeline yang baru saja melangkahkan kaki di lobby lantas menghampiri meja recepsionis.
"Iya."
"Ada surat untuk Anda," ucap petugas itu langsung menyodorkan amplop berwarna coklat.
Evangeline melihat alamat pengirim yang tertera di bagian belakang amplop. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia lantas berterima kasih baru kemudian menuju lift untuk bisa segera naik ke unit apartemen miliknya.
Evangeline menaruh tasnya, ia lantas duduk di sofa dan mulai membuka amplop itu. Tertulis jelas jika itu dari 'Philadelphia'.
"Akhirnya," gumamnya.
Menaruh kertas yang ia baca, Evangeline memilih pergi ke kamar mandi. Wanita itu menanggalkan pakaiannya dan masuk ke dalam bathtub. Ia menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam air dan menyisakan leher hingga kepala di permukaan.
Ia memejamkan matanya, terlihat senyum getir di wajah. Evangeline mengingat kejadian delapan bulan yang lalu di mana hari-harinya saat itu begitu indah.
Philadelphia-Delapan bulan yang lalu.
Evangeline keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe dengan rambut setengah basah, ia begitu terkejut ketika tangannya langsung ditarik dan seseorang meraup tubuhnya dalam gendongan.
"Ka!" serunya yang terkejut.
"Apa, hah?"
Radhika sengaja menunggu istrinya di depan pintu kamar mandi, pria itu baru saja pulang dari kantor dan secara iseng langsung menggendong istrinya.
"Aku sangat bahagia hari ini," ucap Radhika yang masih menggendong Evangeline.
"Bahagia kenapa, hah?" tanya Evangeline yang sudah melingkarkan kedua lengannya ke leher suaminya itu.
Radhika menurunkan tubuh istrinya di atas tempat tidur, ia kemudian berbaring dengan posisi miring menatap lekat wajah istrinya.
"Ada apa?" tanya Evangeline seraya menatap bola mata Radhika bergantian.
Pria itu menggenggam telapak tangan Evangeline, kemudian mengecup punggung tangan istrinya.
"Terima kasih," ucapnya dengan mata yang masih menatap wajah Evangeline.
"Terima kasih kenapa?" tanya Evangeline dengan senyum yang terus merekah di wajah cantiknya.
Radhika menangkup kedua sisi wajah Evangeline, kemudian menghujani seluruh wajah istrinya dengan kecupan yang syarat akan kasih sayang, membuat Evangeline sampai terkekeh karena tidak ada satu inci pun wajahnya yang tidak mendapat kecupan.
"Atas saranmu, aku mendapatkan proyek besar itu, kamu memang bintang keberuntunganku, pembawa kabar baik di setiap langkahku," ujar Radhika dengan nada suara penuh kebahagiaan setelah puas menghujani wajah Evangeline dengan kecupan.
Mulut Evangeline terlihat menganga tidak percaya, sedetik kemudian ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Benarkah? Selamat," ucap Evangeline yang ikut bahagia ketika tahu jika bisnis suaminya semakin berjalan dengan lancar.
"Hanya ucapan selamat?" tanya Radhika sedikit mengernyitkan dahi.
Evangeline menyipitkan mata, menatap suaminya dengan ekspresi wajah tidak mengerti. "Memangnya aku harus apa?" tanya Evangeline kemudian.
"Kamu tidak memberiku hadiah?" Radhika mengangsurkan punggung tangannya ke sisi wajah Evangeline.
"Bukannya terbalik, harusnya aku yang mendapat hadiah karena membantumu," kilah Evangeline.
"Oke, aku akan memberimu hadiah, tapi setelah aku mendapatkan hadiahku juga," ujar Radhika kemudian.
Pria itu langsung mendaratkan bibirnya ke daging tak bertulang Evangelin, menyesap serta mengulumnya perlahan penuh dengan kelembutan, menautkan dalam-dalam bibir wanita yang sangat ia cintai.
Evangeline mengalungkan kedua tangannya ke leher Radhika, ikut menautkan bibirnya dalam-dalam.
Kini kegiatan mereka semakin bergelora, Radhika sudah menanggalkan seluruh pakaiannya juga bathrobe yang dikenakan istrinya. Mereka mulai berkubang dalam peleburan yang bergelora, napas mereka saling memburu mencari kenikmatan dalam diri masing-masing.
Rasa bahagia mengalahkan rasa lelah seharian bekerja, bisa mencurahkan rasa cinta yang cukup besar kepada wanita yang sudah menemani selama lima tahun ini sangat membuat Radhika melupakan sejenak hari-hari berat ketika mengurus perusahaan miliknya.
-
-- Setelah selesai membersihkan diri sekali lagi karena perbuatan suaminya yang mengajaknya berpetualang naik ke nirwana. Evangeline kini sudah berdiri di depan lemarinya untuk berganti pakaian. Ia sedang memilih gaun mana yang akan dikenakan untuk pergi makan malam bersama suami."Ivi, jika kamu tidak segera berganti baju, jangan salahkan aku kalau akan memakanmu lagi," goda Radhika dari luar ruang ganti.
"Jangan mengada-ada, ini juga salahmu! Gara-gara perbuatanmu, aku susah mencari baju yang sesuai untuk menutupi tanda yang kamu tinggalkan!" balas Evangeline dari dalam ruang ganti dengan sedikit mengerutu.
Radhika terkekeh geli, ia sengaja meninggalkan tanda merah kebiruan di leher hingga pundak istrinya, tentu saja sekarang Evangeline tidak bisa memakai gaun dengan kerah pendek atau gaun bertali yang memperlihatkan bagian pundaknya.
Pria itu membuka pintu kamar ganti, ia melihat jika Evangeline sudah mengenakan gaun sederhana yang ia padukan dengan blazer. Radhika pun mendekat, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
Tanpa Evangeline sadari, Radhika melingkarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk malaikat bersayap yang indah.
"Hadiahmu," ucap Radhika yang disusul dengan sebuah kecupan di sisi wajah istrinya.
Evangeline menyentuh liontin itu, ia bisa melihatnya dari bayangan pantulan cermin. Wanita itu terlihat terharu dan menengok pada suaminya yang berdiri di belakang.
"Terima kasih," balas Evangeline yang kemudian mengecup sekilas bibir Radhika.
Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan."Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya."Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan."Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah."Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara m
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
"Oma!" teriak Angel begitu sampai di rumah.Angel berada di perusahaan Devan sampai sore, gadis kecil itu tidak mau dipisah dari Evangeline."Ya ampun, kenapa baru pulang?" tanya Sonia—Nenek Angel."Angel tadi sama mama Ivi," jawabnya seraya naik ke pangkuan Sonia.Sonia mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti kenapa Angel memanggil nama 'mama Ivi'."Ma-mama Ivi siapa?" tanya Sonia bingung, ia menatap Angel dengan ekspresi keheranan.Devan yang baru saja masuk rumah tampak sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di sebelah Sonia. Ia ikut mendengarkan celotehan Angel."Mama Ivi itu bibi yang kemarin nolong Angel. Itu lho yang pakai kacamata!" Angel menjelaskan pada Sonia.Sonia bisa menangkap maksud cucunya, tapi ia bingung kenapa Angel memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama Ivi'.Angel menjelaskan jika dirinya menganggap Evangeline
Devan melepas dasi kemudian membuka kemejanya, ia lantas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Pria itu menyalakan shower air, membiarkan air mengguyur tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Entah kenapa tiba-tiba Devan teringat akan kejadian lima belas tahun yang lalu setelah Evangeline menyentuhnya, kejadian di mana ia memiliki kenangan buruk yang membuatnya trauma hingga pada akhirnya ia merasa jijik dengan wanita.Devan saat itu berumur lima belas tahun, ia baru saja duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Pemuda itu menunggu Diana—Adik perempuannya, Diana kala itu duduk di kelas dua SMP.Diana terlihat berjalan cepat menuju ke arah Devan, gadis itu melambaikan tangan kepada kakaknya."Sudah lama?" tanya Diana begitu sampai di hadapan Devan."Nggak, baru saja. Ayo pulang!" ajak Devan seraya menggandeng adiknya itu.Mereka memang berjalan kaki saat pulang