Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi.
"Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.
Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya.
"Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.
Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.
Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis.
"Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline.
"Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita padaku. Ingat! Susahmu susah 'ku, senangmu senang 'ku." Evangeline mengancingkan manik kemeja yang belum terpasang.
Radhika mengulas senyum, ia kemudian berpamitan untuk pergi ke kantor.
_
_
_
Setelah suaminya pergi, Evangeline merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, ia tahu jika suaminya berbohong.
Namun, tetap saja sebagai seorang istri ia berusaha untuk tetap berpikir positif, ia mengenal suaminya sudah lama dan tahu sifat Radhika dengan sangat baik.
Untuk menepis segala kecurigaan, Evangeline memilih menghabiskan waktu di dapur, ia membuat beberapa kue dan makanan kesukaan suami.
Semua tampak enak, Evangeline pun memasukkannya ke tempat makanan khusus, ia berniat membawa makanan itu untuk Radhika dan memberikan dukungan pada suaminya itu.
Ia sudah berdandan secantik mungkin, memakai dress cantik untuk menambah nilai kecantikannya, ia memang akan berpenampilan semenarik mungkin untuk suaminya itu.
_
_
_
_
Radhika baru saja selesai menghadiri rapat. Catherine juga ada di sana, tapi sepertinya ada yang lain dari sikap keduanya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Radhika yang terlihat bersikap formal pada gadis itu.
"Cukup baik, aku harus pergi!" Catherine terlihat berusaha menghindar dari Radhika.
Baru saja akan melangkahkan kaki, Catherine berbalik lagi menatap Radhika.
"Soal malam itu, aku akan merahasiakannya dari Evangeline. Aku bukan pelakor, jadi anggap saja jika malam itu hanyalah sebuah kesalahan," ucap Catherine.
Radhika terdiam, ia merasa bersalah kepada Catherine juga kepada istrinya. Meski one night itu terjadi karena keduanya benar-benar dalam keadaan mabuk dan tidak sadar, tapi tetap saja Radhika merasa jika itu adalah kesalahannya. Ia telah mengkhianati kepercayaan Evangeline.
"Cath! Jika memang terjadi sesuatu atau kalau sampai kamu hamil, aku akan bertanggung jawab," ucap Radhika.
"Bertanggung jawab apa?"
Suara lantang terdengar menggema di lorong itu, Radhika dan Catherine sama-sama menoleh dan terkejut ketika melihat siapa yang mendengar percakapan mereka.
_
_
_
Evangeline tiba di perusahaan Radhika dengan senyum merekah, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya tampak membungkuk memberi hormat. Tangannya tampak memegang keranjang berisi makanan yang ia buat.
Langkah Evangeline terhenti ketika melihat Radhika tengah berbincang dengan Catherine, wanita itu berpikir untuk mengajak temannya itu makan bersama. Hendak melangkahkan kaki untuk menghampiri, Evangeline mengurungkan niatnya dan memilih mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Radhika dan Catherine.
"Cath! Jika memang terjadi sesuatu, aku akan bertanggung jawab," ucap Radhika.
Evangeline bisa melihat suaminya itu bicara dengan penuh keseriusan.
"Bertanggung jawab apa?" tanya Evangeline dengan suara lantang.
Suaranya menggema di lorong perusahaan, membuat Radhika dan Catherine terkejut.
"Ivi!" Wajah Radhika seketika memucat.
Catherine juga terkejut, wajahnya ikut memucat melihat Evangeline ada di sana.
"Ivi, kenapa kamu ada di sini?" tanya Radhika seraya mengulas senyum, mencoba tetap tenang.
"Kenapa aku di sini? Kalau aku tidak di sini apa akan membuat kalian merasa tenang? Ahh ... aku tahu, jadi kamu berharap aku tidak ke sini dan tidak pernah ke sini, agar kalian bisa terus menyembunyikan hubungan gelap kalian?" Evangeline bicara dengan nada menyindir.
"Ivi, dengarkan dulu," ucap Radhika mencoba menghampiri Evangeline tetapi langsung mendapat isyarat tangan untuk berhenti dari wanita itu.
"Aku sudah mendengar semuanya. Ya, ternyata kepercayaanku sebatas kata-kata yang tidak dianggap. Hah! Aku begitu bodoh dengan percaya jika kalian hanya menjalin hubungan bisnis," ujar Evangeline mencoba menahan amarahnya.
"Vi, ini hanya salah paham, kami cuman--" Radhika menghentikan ucapannya tatkala Evangeline membanting keranjang yang ia bawa.
Semua yang ada di dalam keranjang tampak berceceran di lantai, hasil masakannya kini terbuang sia-sia. Evangeline menatap benci dengan penuh amarah kepada dua orang yang sangat ia percayai.
"Mari bercerai!" pinta Evangeline.
Mendengar kata 'cerai' tentu saja membuat Radhika maupun Catherine terkejut, mereka tidak menyangka jika Evangeline langsung membuat keputusan seperti itu.
"Angel, aku bisa jelaskan semuanya," ucap Catherine berusaha untuk membantu Radhika.
Evangeline menatap benci pada temannya itu, ia kemudian tersenyum sinis pada gadis itu. "Apakah nikmat? Apakah tidur dengannya membuatmu merasa bahagia? Ternyata, pengakuanmu saat kuliah masih berlaku hingga sekarang!"
Evangeline tahu jika sebenarnya Catherine pernah menyukai suaminya itu, tapi karena Radhika lebih memilih Evangeline, tentu saja membuat Catherine mundur. Hingga akhirnya hal itu membuat Evangeline semakin menganggap jika Catherine memang ingin berada di antara dirinya dan Radhika.
"Ivi, jangan bicara seperti itu, ini benar-benar salah paham," ucap Radhika masih mencoba menjelaskan.
"Ya, salah paham. Aku salah paham menganggap dirimu setia, aku salah paham karena menganggap dia teman. Aku salah paham menganggap jika dua tahun pernikahan kita akan baik-baik saja!" teriak Evangeline meluapkan emosinya.
Suaranya terdengar menggema di lorong itu, Evangeline sampai memegangi keningnya dengan satu tangan yang berkacak pinggang.
"A-ku, aku tidak tahu harus berkata apalagi? Aku kecewa." Evangeline berlari dari tempatnya berdiri, ia masuk ke lift dan menangis di sana.
Evangeline membuka matanya, buliran kristal bening luruh dari kelopak mata. Mengingat kejadian enam bulan yang lalu di mana suaminya memiliki hubungan dengan sahabatnya, kemudian berjanji untuk bertanggung jawab, membuat hatinya hancur, tidak menyangka jika cinta dan persahabatannya dikhianati begitu saja.
Kini ia sudah siap menghadapi kenyataan, Evangeline ingin berdiri tegap tanpa ada yang menopangnya. Baginya kini cinta hanya akan membuatnya lemah, membuat dirinya hanya bisa berharap dan mendapatkan rasa sakit setelahnya.
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
"Oma!" teriak Angel begitu sampai di rumah.Angel berada di perusahaan Devan sampai sore, gadis kecil itu tidak mau dipisah dari Evangeline."Ya ampun, kenapa baru pulang?" tanya Sonia—Nenek Angel."Angel tadi sama mama Ivi," jawabnya seraya naik ke pangkuan Sonia.Sonia mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti kenapa Angel memanggil nama 'mama Ivi'."Ma-mama Ivi siapa?" tanya Sonia bingung, ia menatap Angel dengan ekspresi keheranan.Devan yang baru saja masuk rumah tampak sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di sebelah Sonia. Ia ikut mendengarkan celotehan Angel."Mama Ivi itu bibi yang kemarin nolong Angel. Itu lho yang pakai kacamata!" Angel menjelaskan pada Sonia.Sonia bisa menangkap maksud cucunya, tapi ia bingung kenapa Angel memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama Ivi'.Angel menjelaskan jika dirinya menganggap Evangeline
Devan melepas dasi kemudian membuka kemejanya, ia lantas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Pria itu menyalakan shower air, membiarkan air mengguyur tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Entah kenapa tiba-tiba Devan teringat akan kejadian lima belas tahun yang lalu setelah Evangeline menyentuhnya, kejadian di mana ia memiliki kenangan buruk yang membuatnya trauma hingga pada akhirnya ia merasa jijik dengan wanita.Devan saat itu berumur lima belas tahun, ia baru saja duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Pemuda itu menunggu Diana—Adik perempuannya, Diana kala itu duduk di kelas dua SMP.Diana terlihat berjalan cepat menuju ke arah Devan, gadis itu melambaikan tangan kepada kakaknya."Sudah lama?" tanya Diana begitu sampai di hadapan Devan."Nggak, baru saja. Ayo pulang!" ajak Devan seraya menggandeng adiknya itu.Mereka memang berjalan kaki saat pulang
Evangeline terlihat sedang menyusun dokumen, hari ini dia terlihat begitu serius bekerja. Evangeline melihat laporan untuk pengajuan Tender yang akan diikuti oleh perusahaan Devan. Perusahaan Devan salah satunya adalah sebuah perusahaan properti, tentu saja mereka tidak akan melewatkan setiap ada proyek besar yang akan dilaksanakan.Wanita itu tampak mencermati dan mempelajari berkas itu, tapi ia merasa ada yang kurang. Evangeline yang sudah biasa membantu Radhika memenangkan Tender melalui ide-idenya agar bagian penyelenggara tertarik, tentu saja merasa perlu membantu perusahaan atasannya agar bisa menang Tender yang akan mereka ikuti.Evangeline membawa berkas itu, ia lantas berjalan menuju meja Devan. Evangeline meletakkan dokumen di tangan ke atas meja."Pak, untuk pengajuan Tender ini, saya punya usul," ucap Evangeline memberanikan diri seraya menunjuk pada berkas yang ia bawa.Meski bagian pengajuan ada sendir
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, sudah waktunya bagi Evangeline untuk kembali. Namun, Evangeline bingung karena Angel terus menempel padanya selepas pulang sekolah."Ica, Mama Ivi mau pulang. Ica sama paman, ya!" bujuk Evangeline seraya merapikan berkas di atas meja."Pulang? Ica ikut!" pinta Angel penuh semangat, gadis kecil itu langsung mengemas buku dan peralatan menulisnya lalu memasukannya ke tas.Evangeline terkesiap, ia tampak bingung dengan permintaan Angel. Wanita itu sampai menggaruk-garuk kepala tidak gatal."Lho, Ica harus pulang sama paman," bujuk Evangeline lagi memberi alasan.Angel menggelengkan kepala, ia malah berteriak memanggil Devan. Evangeline semakin bingung, ia kemudian berjongkok dan memberi pengertian pada gadis itu."Ica harus pulang, kasihan oma. Ica tega ninggalin oma? Kalau oma nyari Ica gimana?" tanya Evangeline dengan nada membujuk."Ica telpon dong, bilang mau tidur di rumah Mama Ivi," balas gadis itu