Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, sudah waktunya bagi Evangeline untuk kembali. Namun, Evangeline bingung karena Angel terus menempel padanya selepas pulang sekolah.
"Ica, Mama Ivi mau pulang. Ica sama paman, ya!" bujuk Evangeline seraya merapikan berkas di atas meja.
"Pulang? Ica ikut!" pinta Angel penuh semangat, gadis kecil itu langsung mengemas buku dan peralatan menulisnya lalu memasukannya ke tas.
Evangeline terkesiap, ia tampak bingung dengan permintaan Angel. Wanita itu sampai menggaruk-garuk kepala tidak gatal.
"Lho, Ica harus pulang sama paman," bujuk Evangeline lagi memberi alasan.
Angel menggelengkan kepala, ia malah berteriak memanggil Devan. Evangeline semakin bingung, ia kemudian berjongkok dan memberi pengertian pada gadis itu.
"Ica harus pulang, kasihan oma. Ica tega ninggalin oma? Kalau oma nyari Ica gimana?" tanya Evangeline dengan nada membujuk.
"Ica telpon dong, bilang mau tidur di rumah Mama Ivi," balas gadis itu
Evangeline menghidu uap panas yang mengepul dari makanan yang ia masak. Setelah merasa jika rasanya sudah pas dan matang, Evangeline mematikan kompor kemudian menuangkan makanan itu ke mangkuk saji.Devan yang sadar jika Evangeline telah selesai pun bergegas duduk ke sofa, jangan sampai ia ketahuan memperhatikan wanita itu sejak dari tadi."Ica! Makan malam, yuk!" ajak Evangeline.Angel yang mendengar ajakan Evangeline pun langsung bangkit dan berlarian kecil menuju meja makan, seolah sudah biasa dan tidak merasa canggung di rumah Evangeline."Pak, Anda tidak ingin bergabung?" tanya Evangeline yang melihat Devan masih duduk.Mendengar tawaran Evangeline tentu saja membuat Devan langsung bangkit dan berjalan menuju meja makan. Meski pria itu mengeluarkan ekspresi datar, tapi jauh di dalam hatinya ia merasa bahagia karena Evangeline masih ingat untuk menawari dirinya makan malam."Say
"Pak!" Danni masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa.Pemuda itu langsung menghampiri meja Devan dengan napas terengah-engah."Proposal yang kita ajukan, atas saran Angel--" Danny menjeda ucapannya, ia mengatur napasnya agar stabil."Ada apa? Semuanya gagal?" tanya Devan menebak.Danny menggelengkan kepala, ia meraup udara sebanyak-banyaknya lantas menjawab."Kita memenangkan proyek itu," jawab Danni yang langsung membuat Devan berdiri dari kursinya."Benarkah?" tanya Devan tidak percaya.Tender itu diikuti oleh beberapa perusahaan besar, persaingan memenangkan proyek itu sangat ketat. Devan tidak menyangka jika perusahaannya menang."Pihak penyelenggara menyukai proposal kita, jika Angel tidak merubahnya, sudah dipastikan jika kita tidak akan memenangkan proyek itu," imbuh Danni.Devan mengangguk mengerti, ia lalu memberi perintah pad
Jordan terlihat mengemudikan mobil dengan tergesa-gesa. Ia langsung pergi menuju rumah Devan karena beranggapan jika Angel pasti ke sana."Ma! Angel ke sini?" tanya Jordan begitu masuk ke rumah, pria itu begitu panik karena Angel langsung keluar dari rumah begitu saja, sesaat setelah marah padanya."Tidak! Memangnya gadis sekecil dia bisa pergi ke mana?" tanya Sonia balik.Jordan mengguyar kasar rambutnya, ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi."Dia marah sama aku, Ma! 'Ku pikir Angel ke sini," jawab Jordan yang sudah tidak tahu harus mencari Angel ke mana lagi."Apa? Dia tidak di rumah? Lalu ke mana dia?" Sonia ikut panik.Hari sudah malam, tapi Angel malah pergi dari rumah, membuat nenek dan ayahnya sangat cemas. Hingga Devan yang baru saja pulang bertanya-tanya kenapa dua orang itu terlihat cemas dan panik."Ada apa?" tanya De
Angel terlihat takut melihat Devan berada di sana. Ia memeluk Evangeline seakan sedang meminta perlindungan dari wanita itu."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Devan pada Angel."Sendiri," jawab Angel yang masih menutup wajahnya.Evangeline terkejut, ia langsung mendorong tubuh Angel agar bisa meliha wajah gadis kecil itu."Kalau ada apa-apa gimana? Kalau ada yang nyulik gimana? Kenapa harus pergi sih, Ica?" tanya Evangeline mencecar gadis kecil itu."Salah papah, aku maunya mama Ivi kenapa papa maunya mama Milea?"Devan hendak membuka mulut untuk bicara, tapi ia urungkan karena Evangeline berujar terlebih dahulu."Ica nggak boleh gitu. Dosa kalau Ica marah sama papah. Lagi pula, mau mama Ivi atau mama Milea, sama saja kok," ujar Evangelina penuh kelembutan memberi pengertian.Angel menatap Evangeline, ia masih tidak bisa memahami apa yang dikatakan o
Setelah dari tempat Evangeline, Devan tampak mengamati jari telunjuk yang sudah dibalut dengan plester khusus. Pria itu tampak tersenyum-senyum sendiri di kamarnya, andai ada yang melihat, mungkin Devan akan dikata orang gila, perilakunya sekarang diluar kepribadian yang biasa terlihat.Devan menghela napas pelan, ia masih mengamati jari yang kini berada di angin. "Andaipun aku disuruh terluka tiap hari, aku terima asal dia yang mengobati."Pria yang selama bertahun-tahun tidak mengenal cinta bahkan dekat dengan wanita saja tidak pernah, sekarang ia malah bisa langsung terpesona dengan sosok wanita yang baru dikenal selama kurang dari sebulan terakhir.---Hari berikutnya, Evangeline mengajak Angel bertemu Milea. Awalnya Milea terkejut ketika temannya itu meminta bertemu untuk memperkenalkan Angel, Milea tidak tahu jika ternyata putri kekasihnya sangat akrab dengan Evangeline. Malam sebelumnya Ev
Evangeline tengah fokus dengan laptop dan berkas-berkas yang sedang disusun. Hingga suara Devan mengagetkan dan hampir membuatnya menjatuhkan berkas yang ada di tangan."Ehem ...." Devan berdeham, pria itu sudah berdiri di depan meja Evangeline.Evangeline yang baru sadar dengan kehadiran Devan pun langsung berdiri, ia terlihat membetulkan letak kacamata tebalnya."Iya Pak!""Nanti malam temani aku pergi ke sebuah pesta yang dibuat oleh kolegaku!" perintah Devan.Evangeline terkejut dengan mulut menganga, tidak percaya kenapa Devan mengajaknya dan bukan orang lain."Ta-tapi kenapa saya?" tanya Evangeline tergagap.Devan menatap tajam pada Evangeline, membuat wanita itu sampai menelan saliva karena takut jika pertanyaannya salah."Siapa bos? Siapa bawahan? Anggap ini kerja lembur, akan aku bayar untuk hal itu!" Devan langsung meninggalkan meja Evangeline.Mulut Evangeline masih terbuka karena rasa terkejut, ia menatap punggung Dev
Devan berjalan dengan Evangeline yang melingkarkan tangan ke lengannya. Pria itu terlihat elegan dan tidak memperlihatkan sama sekali wajah senang meski hatinya begitu bahagia.Devan berbincang dengan beberapa teman koleganya, membuat Evangeline merasa sedikit canggung karena tidak mengenal teman atasannya."Pak, saya ke sana saja jika Anda ingin berbincang," bisik Evangeline seraya menunjuk pada stand makanan.Devan mengangguk, ia membiarkan Evangeline pergi sendiri. Melihat Evangeline yang hanya diam dengan sesekali tersenyum canggung sudah cukup membuat Devan mengerti jika wanita itu merasa tidak nyaman.Evangeline mengambil piring kecil dan kue yang dihidangkan, ia memilih berdiri sendiri seraya menikmati apa yang tersaji dari pada ikut mendengarkan pembicaraan para pebisnis."Nona, Anda sendiri?"Seorang pria menepuk pundak Evangeline, membuat wanita itu hampir tersedak karena
Devan mengajak Evangeline ke sebuah kamar, pria itu juga meminta tolong pada pelayan untuk membawakan salep memar. Devan duduk berhadapan dengan Evangeline, membuat wanita itu salah tingkah dibuatnya."Biar saya lakukan sendiri!" Evangeline hendak mengambil salep yang dipegang Devan tapi dihalau oleh pria itu."Diam dan biarkan aku yang melakukannya!" ujar Devan menolak permintaan Evangeline.Evangeline hanya bisa pasrah, mau memberontak seperti apapun tetap akan kalah dengan sifat otoriter Devan. Devan mulai mengoleskan salep itu, membuat Evangeline sampai memejamkan mata karena rasa dingin yang menyentuh kulit wajah.Devan mencuri pandang, diliriknya bibir Evangeline yang begitu menggoda. Ia bahkan sampai menelan saliva dengan susah payah agar tidak tergoda melakukan hal yang tidak boleh dilakukan."Katakan padaku! Kenapa kamu harus berpenampilan seperti ini?" tanya Devan setel