Devan berjalan dengan Evangeline yang melingkarkan tangan ke lengannya. Pria itu terlihat elegan dan tidak memperlihatkan sama sekali wajah senang meski hatinya begitu bahagia.
Devan berbincang dengan beberapa teman koleganya, membuat Evangeline merasa sedikit canggung karena tidak mengenal teman atasannya.
"Pak, saya ke sana saja jika Anda ingin berbincang," bisik Evangeline seraya menunjuk pada stand makanan.
Devan mengangguk, ia membiarkan Evangeline pergi sendiri. Melihat Evangeline yang hanya diam dengan sesekali tersenyum canggung sudah cukup membuat Devan mengerti jika wanita itu merasa tidak nyaman.
Evangeline mengambil piring kecil dan kue yang dihidangkan, ia memilih berdiri sendiri seraya menikmati apa yang tersaji dari pada ikut mendengarkan pembicaraan para pebisnis.
"Nona, Anda sendiri?"
Seorang pria menepuk pundak Evangeline, membuat wanita itu hampir tersedak karena
Devan mengajak Evangeline ke sebuah kamar, pria itu juga meminta tolong pada pelayan untuk membawakan salep memar. Devan duduk berhadapan dengan Evangeline, membuat wanita itu salah tingkah dibuatnya."Biar saya lakukan sendiri!" Evangeline hendak mengambil salep yang dipegang Devan tapi dihalau oleh pria itu."Diam dan biarkan aku yang melakukannya!" ujar Devan menolak permintaan Evangeline.Evangeline hanya bisa pasrah, mau memberontak seperti apapun tetap akan kalah dengan sifat otoriter Devan. Devan mulai mengoleskan salep itu, membuat Evangeline sampai memejamkan mata karena rasa dingin yang menyentuh kulit wajah.Devan mencuri pandang, diliriknya bibir Evangeline yang begitu menggoda. Ia bahkan sampai menelan saliva dengan susah payah agar tidak tergoda melakukan hal yang tidak boleh dilakukan."Katakan padaku! Kenapa kamu harus berpenampilan seperti ini?" tanya Devan setel
Jordan tampak turun dari mobil, ia segera masuk ke sebuah klub di mana Devan sudah menunggunya. Jordan sedikit heran karena mantan kakak iparnya itu tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu."Ada masalah apa?" tanya Jordan begitu duduk di sebuah ruangan khusus yang dipesan oleh Devan.Devan tampak menenggak minuman dari gelas sloki. Ia kemudian menatap pada Jordan yang terlihat memiliki banyak pertanyaan di otaknya."Aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Devan dengan air muka begitu serius.Jordan menajamkan pendengarannya, bersiap mendengarkan apa yang sebenarnya ingin di bicarakan mantan kakak iparnya itu.Devan mulai bercerita tentang apa yang dirasakan. Semua hal yang muncul secara tiba-tiba membuatnya merasa bimbang. Jordan mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang dirasakan oleh mantan kakak iparnya itu."Kamu sudah pernah menikah, bahk
Milea menatap Evangeline yang terlihat menjatuhkan kepala di meja, mereka sedang bertemu malam itu di sebuah klub, sejak mereka pergi bersama dengan Angel, keduanya tidak bertemu lagi."Kamu kenapa?" tanya Milea yang bingung dengan tingkah temannya.Evangeline tidak langsung menjawab pertanyaan Milea, ia memilih bangun kemudian menenggak minuman yang mereka pesan."Kamu tahu, pria yang aku muntahi malam itu siapa?" tanya Evangeline balik seraya menunjuk dengan tangan yang memegang gelas."Siapa?" tanya Milea mengernyitkan dahi.Evangeline menuangkan minuman ke gelas kemudian menenggak lagi, ia terlihat benar-benar tertekan dengan yang terjadi pada hidupnya selama beberapa hari ini."Di-a adalah atasanku," jawab Evangeline yang kembali menenggak minuman digelasnya."Apa?"Milea benar-benar terkejut."Parahnya lagi dia i
Devan melajukan mobil menuju apartemen Evangeline, tapi ia tiba-tiba menginjak pedal rem begitu dalam, hingga membuat laju mobilnya seketika berhenti. Devan menggenggam erat stir kemud, lantas menatap pada Evangeline yang sudah tidar sadarkan diri."Tunggu! Bagaimana caranya aku membawa masuk ke unitnya jika tidak tahu kode masuknya?" tanya Devan pada diri sendiri.Devan mengulurkan tangannya, menyematkan helaian rambut yang menutupi wajah Evangeline ke belakang telinga, menatap betapa merahnya wajah wanita itu. Sedetik kemudian ia tersenyum, Devan kembali memacu mobilnya.---Mobil Devan memasuki halaman rumah mewahnya, ia langsung memasukkan mobil ke garasi.Devan membuka seat belt dan keluar terlebih dahulu, ia kemudian beralih ke pintu penumpang di mana Evangeline duduk, membuka pintu kemudian melepas seat belt yang menyilang di depan dada Evangeline.Penjaga rumah Devan langsung mendekat ketika meli
Sulur surya merayap masuk melalui selah jendela, mengusik mimpi indah yang sempat singgah. Evangeline mengerjapkan kelopak mata, mencoba membukanya lebar. Dirinya menatap sisi ranjang yang kosong, entah kenapa ada sesuatu yang kosong dalam relung hatinya."Bodoh! Kenapa aku harus mengingatnya!" umpatnya pada diri sendiri.Evangeline baru sadar, secepat kilat dia bangun dan duduk di atas ranjang, Evangeline mengecek pakaiannya dan begitu terkejut karena kini yang menempel pada tubuhnya sudah berganti jadi piyama, ia pun mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, merasa asing dengan kamar yang sekarang ditempatinya."Tunggu! Ini bukan kamarku, juga bukan kamar rumah Milea!"Seketika Evangeline panik, ditengoknya tas yang berada di atas nakas, ia pun meraihnya dan mengambil benda pipih miliknya dari dalam tas. Evangeline mendial nomor Milea, ia tidak tahu sekarang berada di mana dan bagaimana keadaan temannya itu karena semalam mereka pergi bersa
Evangeline membersihkan diri seraya menggerutu berulang kali, dirinya benar-benar kesal kenapa bisa sampai di rumah Devan. Ia sudah selesai bersiap hingga saat akan keluar kamar pergerarakan tangannya terhenti ketika mendengar dua pelayan yang berbincang saat melintas."Ah, wanita itu sangat beruntung. Selama ini tuan tidak pernah dekat dengan wanita manapun, bahkan kita tanpa sengaja menyenggolnya saja dia akan sangat marah besar. Tapi semalam, benar-benar tidak menyangka tuan mengendong wanita itu bahkan sampai dimuntahi pun tidak marah," ujar salah satu pelayan wanita."Benar. Hmm ... benar-benar beruntung! Apa mungkn trauma tuan sudah hilang karena wanita itu?""Entah!"Evangeline menundukkan kepala ketika mendengar perbincangan para pelayan itu. "Trauma apa?"---Evangeline keluar kamar dengan rasa canggung, ia sampai bingung harus melangkah ke mana."Nona! Anda sudah selesai membersihkan diri?" tanya seorang p
Evangeline berjalan keluar dari lift dengan perasaan kesal, ia terlihat menggerutu berulang kali. Tanpa mengetuk pintu, Evangeline langsung masuk ke ruangan Devan, membuat atasan juga asisten itu terkejut.Devan menatap Evangeline, ia bisa melihat rasa kesal dari tatapan mata Evangeline."Danny! Keluarlah dulu!" perintah Devan.Danny sadar jika ada sesuatu yang terjadi pun langsung bangkit dari tempatnya duduk, lantas berjalan menuju pintu dan meninggalkan dua orang itu di ruangan.Devan bangkit dari duduknya, kemudian berjalan mendekat ke arah Evangeline yang sudah berdiri menatap padanya."Kamu tidak suka hadiah dariku?" tanya Devan berusaha bersikap biasa."Kenapa Anda melakukan itu?" tanya Evangeline dengan tatapan yang tidak teralihkan dari wajah Devan."Bukankah aku sudah bilang ingin mengejarmu!" ujar Devan.Evangeline menghela napas kasar, bukan masalah suka dan mengejar, hanya saja Evangeline malu denga
Devan menatap tajam pada Danny, asistennya itu terlihat terus menundukkan kepala karena merasa sedang menjadi terdakwa."Rencanamu gagal, bonus dibatalkan!" ujar Devan yang membuat mulut Danny menganga."Mana bisa, Pak! Sekarang saya tanya, tadi Angel bilang apa?" tanya Danny mencoba bernegoisasi.Devan ingin membuka mulut untuk menjawab tapi diurungkan, lantas memegangi dagunya dan berpikir. "Dia bilang butuh waktu untuk berpikir," ucapnya kemudian."Nah!" Danny bertepuk hingga membuat Devan terkejut. "Berarti rencana yang saya usulkan berhasil, nyatanya Angel ingin mempertimbangkan. Tidak sia-sia 'kan saya pesan bunga setiap hari juga memesan patung indah itu."Devan menatap Danny yang terlihat begitu antusias, benar juga kata asistennya itu, secara teknis memang rencana meluluhkan hati Evangeline sedikit berhasil. Bagaimanapun permintaan mempertimbangkan adalah awal dari jalan
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb