Angel terlihat takut melihat Devan berada di sana. Ia memeluk Evangeline seakan sedang meminta perlindungan dari wanita itu.
"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Devan pada Angel.
"Sendiri," jawab Angel yang masih menutup wajahnya.
Evangeline terkejut, ia langsung mendorong tubuh Angel agar bisa meliha wajah gadis kecil itu.
"Kalau ada apa-apa gimana? Kalau ada yang nyulik gimana? Kenapa harus pergi sih, Ica?" tanya Evangeline mencecar gadis kecil itu.
"Salah papah, aku maunya mama Ivi kenapa papa maunya mama Milea?"
Devan hendak membuka mulut untuk bicara, tapi ia urungkan karena Evangeline berujar terlebih dahulu.
"Ica nggak boleh gitu. Dosa kalau Ica marah sama papah. Lagi pula, mau mama Ivi atau mama Milea, sama saja kok," ujar Evangelina penuh kelembutan memberi pengertian.
Angel menatap Evangeline, ia masih tidak bisa memahami apa yang dikatakan o
Setelah dari tempat Evangeline, Devan tampak mengamati jari telunjuk yang sudah dibalut dengan plester khusus. Pria itu tampak tersenyum-senyum sendiri di kamarnya, andai ada yang melihat, mungkin Devan akan dikata orang gila, perilakunya sekarang diluar kepribadian yang biasa terlihat.Devan menghela napas pelan, ia masih mengamati jari yang kini berada di angin. "Andaipun aku disuruh terluka tiap hari, aku terima asal dia yang mengobati."Pria yang selama bertahun-tahun tidak mengenal cinta bahkan dekat dengan wanita saja tidak pernah, sekarang ia malah bisa langsung terpesona dengan sosok wanita yang baru dikenal selama kurang dari sebulan terakhir.---Hari berikutnya, Evangeline mengajak Angel bertemu Milea. Awalnya Milea terkejut ketika temannya itu meminta bertemu untuk memperkenalkan Angel, Milea tidak tahu jika ternyata putri kekasihnya sangat akrab dengan Evangeline. Malam sebelumnya Ev
Evangeline tengah fokus dengan laptop dan berkas-berkas yang sedang disusun. Hingga suara Devan mengagetkan dan hampir membuatnya menjatuhkan berkas yang ada di tangan."Ehem ...." Devan berdeham, pria itu sudah berdiri di depan meja Evangeline.Evangeline yang baru sadar dengan kehadiran Devan pun langsung berdiri, ia terlihat membetulkan letak kacamata tebalnya."Iya Pak!""Nanti malam temani aku pergi ke sebuah pesta yang dibuat oleh kolegaku!" perintah Devan.Evangeline terkejut dengan mulut menganga, tidak percaya kenapa Devan mengajaknya dan bukan orang lain."Ta-tapi kenapa saya?" tanya Evangeline tergagap.Devan menatap tajam pada Evangeline, membuat wanita itu sampai menelan saliva karena takut jika pertanyaannya salah."Siapa bos? Siapa bawahan? Anggap ini kerja lembur, akan aku bayar untuk hal itu!" Devan langsung meninggalkan meja Evangeline.Mulut Evangeline masih terbuka karena rasa terkejut, ia menatap punggung Dev
Devan berjalan dengan Evangeline yang melingkarkan tangan ke lengannya. Pria itu terlihat elegan dan tidak memperlihatkan sama sekali wajah senang meski hatinya begitu bahagia.Devan berbincang dengan beberapa teman koleganya, membuat Evangeline merasa sedikit canggung karena tidak mengenal teman atasannya."Pak, saya ke sana saja jika Anda ingin berbincang," bisik Evangeline seraya menunjuk pada stand makanan.Devan mengangguk, ia membiarkan Evangeline pergi sendiri. Melihat Evangeline yang hanya diam dengan sesekali tersenyum canggung sudah cukup membuat Devan mengerti jika wanita itu merasa tidak nyaman.Evangeline mengambil piring kecil dan kue yang dihidangkan, ia memilih berdiri sendiri seraya menikmati apa yang tersaji dari pada ikut mendengarkan pembicaraan para pebisnis."Nona, Anda sendiri?"Seorang pria menepuk pundak Evangeline, membuat wanita itu hampir tersedak karena
Devan mengajak Evangeline ke sebuah kamar, pria itu juga meminta tolong pada pelayan untuk membawakan salep memar. Devan duduk berhadapan dengan Evangeline, membuat wanita itu salah tingkah dibuatnya."Biar saya lakukan sendiri!" Evangeline hendak mengambil salep yang dipegang Devan tapi dihalau oleh pria itu."Diam dan biarkan aku yang melakukannya!" ujar Devan menolak permintaan Evangeline.Evangeline hanya bisa pasrah, mau memberontak seperti apapun tetap akan kalah dengan sifat otoriter Devan. Devan mulai mengoleskan salep itu, membuat Evangeline sampai memejamkan mata karena rasa dingin yang menyentuh kulit wajah.Devan mencuri pandang, diliriknya bibir Evangeline yang begitu menggoda. Ia bahkan sampai menelan saliva dengan susah payah agar tidak tergoda melakukan hal yang tidak boleh dilakukan."Katakan padaku! Kenapa kamu harus berpenampilan seperti ini?" tanya Devan setel
Jordan tampak turun dari mobil, ia segera masuk ke sebuah klub di mana Devan sudah menunggunya. Jordan sedikit heran karena mantan kakak iparnya itu tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu."Ada masalah apa?" tanya Jordan begitu duduk di sebuah ruangan khusus yang dipesan oleh Devan.Devan tampak menenggak minuman dari gelas sloki. Ia kemudian menatap pada Jordan yang terlihat memiliki banyak pertanyaan di otaknya."Aku ingin bertanya sesuatu padamu," ucap Devan dengan air muka begitu serius.Jordan menajamkan pendengarannya, bersiap mendengarkan apa yang sebenarnya ingin di bicarakan mantan kakak iparnya itu.Devan mulai bercerita tentang apa yang dirasakan. Semua hal yang muncul secara tiba-tiba membuatnya merasa bimbang. Jordan mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang dirasakan oleh mantan kakak iparnya itu."Kamu sudah pernah menikah, bahk
Milea menatap Evangeline yang terlihat menjatuhkan kepala di meja, mereka sedang bertemu malam itu di sebuah klub, sejak mereka pergi bersama dengan Angel, keduanya tidak bertemu lagi."Kamu kenapa?" tanya Milea yang bingung dengan tingkah temannya.Evangeline tidak langsung menjawab pertanyaan Milea, ia memilih bangun kemudian menenggak minuman yang mereka pesan."Kamu tahu, pria yang aku muntahi malam itu siapa?" tanya Evangeline balik seraya menunjuk dengan tangan yang memegang gelas."Siapa?" tanya Milea mengernyitkan dahi.Evangeline menuangkan minuman ke gelas kemudian menenggak lagi, ia terlihat benar-benar tertekan dengan yang terjadi pada hidupnya selama beberapa hari ini."Di-a adalah atasanku," jawab Evangeline yang kembali menenggak minuman digelasnya."Apa?"Milea benar-benar terkejut."Parahnya lagi dia i
Devan melajukan mobil menuju apartemen Evangeline, tapi ia tiba-tiba menginjak pedal rem begitu dalam, hingga membuat laju mobilnya seketika berhenti. Devan menggenggam erat stir kemud, lantas menatap pada Evangeline yang sudah tidar sadarkan diri."Tunggu! Bagaimana caranya aku membawa masuk ke unitnya jika tidak tahu kode masuknya?" tanya Devan pada diri sendiri.Devan mengulurkan tangannya, menyematkan helaian rambut yang menutupi wajah Evangeline ke belakang telinga, menatap betapa merahnya wajah wanita itu. Sedetik kemudian ia tersenyum, Devan kembali memacu mobilnya.---Mobil Devan memasuki halaman rumah mewahnya, ia langsung memasukkan mobil ke garasi.Devan membuka seat belt dan keluar terlebih dahulu, ia kemudian beralih ke pintu penumpang di mana Evangeline duduk, membuka pintu kemudian melepas seat belt yang menyilang di depan dada Evangeline.Penjaga rumah Devan langsung mendekat ketika meli
Sulur surya merayap masuk melalui selah jendela, mengusik mimpi indah yang sempat singgah. Evangeline mengerjapkan kelopak mata, mencoba membukanya lebar. Dirinya menatap sisi ranjang yang kosong, entah kenapa ada sesuatu yang kosong dalam relung hatinya."Bodoh! Kenapa aku harus mengingatnya!" umpatnya pada diri sendiri.Evangeline baru sadar, secepat kilat dia bangun dan duduk di atas ranjang, Evangeline mengecek pakaiannya dan begitu terkejut karena kini yang menempel pada tubuhnya sudah berganti jadi piyama, ia pun mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, merasa asing dengan kamar yang sekarang ditempatinya."Tunggu! Ini bukan kamarku, juga bukan kamar rumah Milea!"Seketika Evangeline panik, ditengoknya tas yang berada di atas nakas, ia pun meraihnya dan mengambil benda pipih miliknya dari dalam tas. Evangeline mendial nomor Milea, ia tidak tahu sekarang berada di mana dan bagaimana keadaan temannya itu karena semalam mereka pergi bersa