Philadelphia-Amerika serikat.
Sore itu tidak ada kedamaian yang tercipta, senyum serta sapaan itu menguar entah ke mana. Hanya ada sebuah linangan air mata yang sudah tak terbendung lagi.
Evangeline mengambil koper lantas membuka dan menaruhnya di atas tempat tidur. Wanita yang sudah menyandang status istri orang, tampak begitu emosi dengan buliran kristal bening yang sudah menganak sungai di wajahnya.
"Ivi! Kumohon, dengarkan dulu!"
Radhika, suami Evangeline berusaha mencegah istrinya yang sudah terlihat mondar-mandir mengemas pakaiannya.
Ivi adalah panggilan sayang dari Radhika untuk Evangeline, mereka berpacaran sejak kuliah dan berakhir di pelaminan satu tahun setelah kelulusan mereka.
Evangeline tidak menggubris perkataan sang suami, hatinya terasa sakit dan kini yang ada di pikirannya hanyalah satu, pergi!
"Ivi, kumohon!" pinta Radhika memelas.
Pria itu mencekal tangan Evangeline agar wanita itu tidak terus mengemas pakaiannya.
"Lepas!" Evangeline menepis kasar tangan Radhika.
"Kumohon! Mari bicarakan semuanya, aku minta maaf dan ini hanyalah kekhilafan saja," ucap Radhika mencoba menjelaskan meski ia tidak berharap jika istrinya entah mau atau tidak mendengarkan.
Mendengar kata 'khilaf' membuat amarah Evangeline semakin membuncah, ia membanting kasar pakaian yang baru saja ia ambil dari lemari ke dalam koper, wanita itu lantas menoleh pada suaminya yang sudah memasang mimik wajah memelas dan menyesal. Namun, Evangeline bukanlah wanita lemah yang mudah terbujuk rayuan, mungkin hanya sekali saja dulu dia mempercayai pria yang kini berdiri di hadapannya itu.
"Khilaf! Kamu bilang khilaf! Entah sudah berapa kali saja aku tidak tahu! Selama ini aku selalu menuruti perkataanmu, menjauhkan diriku dari karir, menjadi wanita rumahan yang hanya tahu kompor dan mesin penyedot debu, lalu apa yang kamu berikan sebagai imbalannya? Perselingkuhan yang kamu bilang sebuah kekhilafan! Munafik!" hardik Evangeline yang sudah terlampau emosi.
Selama ini Evangeline memang selalu menuruti perkataan suaminya, Radhika cukup kaya jika hanya untuk mencukupi segala kebutuhan rumah dan kebutuhan materi istrinya. Karena itu Radhika meminta Evangeline untuk tinggal di rumah, merasa jika sudah kodrat seorang wanita itu mengurus rumah, serta ia tidak ingin membebani istrinya dengan sebuah pekerjaan.
"Ivi, aku mohon. Semua ini benar-benar tidak disengaja," bujuk Radhika yang tidak ingin menyerah.
Evangeline tidak mendengar permintaan suaminya, hatinya sudah benar-benar hancur berkeping-keping. Berpacaran selama tiga tahun lalu membangun biduk rumah tangga selama dua tahun, kini harus kandas begitu saja karena percintaan semalam.
Wanita itu menutup kopernya, ia menyeka buliran kristal bening yang masih luruh di pipi dengan jemari lentiknya. Kenyataan pahit tetap harus ia jalani, tapi meski begitu ia menolak untuk lemah. Pantang bagi dirinya untuk terus meratapi.
"Aku akan mengajukan gugatan cerai, aku harap kamu bisa bekerja sama!"
Evangeline menarik kopernya, meninggalkan Radhika yang tertegun tidak percaya. Pria itu sampai luruh ke lantai dengan mengguyar rambutnya dengan kasar.
Evangeline sebenarnya enggan berpisah, berat baginya meninggalkan pria yang sudah menemani dan mengisi hari-harinya yang sunyi. Namun, luka yang ditorehkan oleh Radhika membuat kenangan manis mereka sirna, kini yang ada hanyalah sebuah kegelapan yang tiada cahaya.
_
_
_
_
Jakarta, Enam bulan kemudian
Suara jam weker terdengar nyaring tiada henti, membangunkan sang tuan yang sepertinya akan terlambat bangun jika tidak juga membuka mata.
Evangeline mengulurkan tangan, mencoba menggapai jam weker yang ada di atas nakas.
"Berisik sekali!" keluhnya yang tidak melihat diangka berapa jarum jam itu menunjuk.
Evangeline atau kini sering disapa dengan nama Angel, tampak menguap lalu mengerjabkan kelopak matanya berulang kali, dengan malasnya ia melihat jarum jam yang terpasang di jam weker.
"Oh my God!"
Evangline berteriak panik, ia langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Wanita itu membasuh wajah ala kadarnya, menyikat gigi secepat kilat kemudian langsung berjalan menuju kamar ganti.
"Ya Tuhan! Ya Tuhan!"
Evangeline panik, hari ini ia resmi bekerja sebagai seorang sekretaris, tapi karena semalam tidur terlalu malam, membuatnya bangun kesiangan.
Setelah semua beres, Evangeline langsung berlari tergesa-gesa menuju lift, napasnya terengah-engah dengan dada yang naik turun. Mencoba mengatur napasnya, Evangeline harus berjuang lagi untuk mencari taksi.
"Pak, ke D.R Corporation, cepat ya!" pinta Angel pada sopir taksi yang ia tumpangi.
"Baik, Non!"
Evangeline kembali mengatur napasnya, ia sampai lupa menyisir rambut. Wanita itu pergi ke kantor tidak mandi, hanya menggosok gigi kemudian memakai parfum agar wangi.
"Wangi, 'kan?" Evangeline bertanya-tanya sendiri, ia sampai mencium ketiaknya sendiri secara bergantian.
Sopir taksi yang ditumpangi Evangeline sampai menggelengkan kepala melihat lucunya tingkah penumpang yang kini berada di dalam mobilnya.
"Cantik, tapi lucu," batin sopir itu.
Begitu sampai di depan perusahaan, Evangeline langsung membayar ongkos taksi lantas beterima kasih dan keluar.
Menarik napas panjang, Evangeline menata surai panjangnya dengan jemari, ia kemudian melangkahkan kaki dengan sikap tenang menuju perusahaan yang baru saja menerimanya. Hingga langkahnya terhenti ketika mendengar sebuah teriakan.
"Angel! Awas!"
Wanita itu terkejut, ia menoleh ke arah sumber suara. Tapi yang ia lihat tidak sesuai dengan apa yang ada dipikirannya.
Evangelin berjalan ke arah lift dengan sedikit tertatih, lutut dan sikunya terasa perih. Evangeline mengusap sikunya dengan tissue saat berada di dalam lift, kini ia benar-benar terlambat di hari pertamanya bekerja.Di sisi lain, di ruangan Ceo-D.R Corporation. Atasan Evangeline tampak mengetukkan jari telunjuk di meja kerjanya, ia menatap tajam pada asisten pribadi yang berdiri di depan mejanya dengan kepala tertunduk."Dan! Mana sekretaris yang kamu bicarakan?" tanya Ceo perusahaan itu."Mungkin dia ada sedikit kendala di perjalanan, Pak!" jawab Danny, asisten pribadi petinggi perusahaan itu.Evangeline sudah sampai di depan pintu atasannya, ia mencoba mengatur napas sebelum mengetuk pintu.TOK! TOK! TOK!"Itu pasti dia," ucap Danny yang langsung berjalan mearah pintu kemudian membukanya.Danny membukakan pintu dan melihat penampilan Evangelineyang sedikit b
Evangeline kini dipanggil kembali masuk ke dalam ruang Devan, awalnya ia bingung ketika seorang security memintanya masuk lagi."Ada apa dengan pria itu? Tadi mengusirku, tapi sekarang memintaku balik lagi," gumam Evangeline yang sedang berjalan di lorong menuju ruang Devan.Evangeline sudah berdiri di depan pintu Devan, ia tampak ragu ketika ingin mengetuk pintu, hingga pintu itu terbuka membuatnya terkesiap."Kamu sudah datang, silahkan masuk!" Danny mempersilahkan Evangeline.Evangeline tersenyum canggung, tapi ia tetap masuk ke dalam. Wanita itu terkejut ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu, ia jadi ingat kejadian beberapa menit yang lalu.Evangeline mengamati lututnya kemudian sikunya, wanita itu tengah meratapi nasib sial yang terus menghampiri hidupnya."Bibi!"Mendengar suara anak kecil, Evangeline pun menoleh ke arah sumber suara. Ia bisa melihat seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya dengan wanita tua di be
Evangeline bisa bernapas lega karena akhirnya ia bisa bekerja setelah enam bulan terakhir dia terus menutup diri di apartemen. Ia merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya, membuatnya butuh waktu lebih untuk menenangkan diri."Nona!" panggil salah satu recepsionis apartemen milik Evangeline.Evangeline yang baru saja melangkahkan kaki di lobby lantas menghampiri meja recepsionis."Iya.""Ada surat untuk Anda," ucap petugas itu langsung menyodorkan amplop berwarna coklat.Evangeline melihat alamat pengirim yang tertera di bagian belakang amplop. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia lantas berterima kasih baru kemudian menuju lift untuk bisa segera naik ke unit apartemen miliknya.Evangeline menaruh tasnya, ia lantas duduk di sofa dan mulai membuka amplop itu. Tertulis jelas jika itu dari 'Philadelphia'."Akhirnya," gumamnya.Menaruh kertas yang ia baca, Evangeline memilih pergi ke kamar mandi. Wanita itu menanggalk
Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan."Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya."Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan."Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah."Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara m
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un