Setelah hampir seminggu berada di Paris, akhirnya Devan dan Evangeline kembali ke Indonesia, mereka sudah sampai di Bandara.
"Siapa yang menjemput kita?" tanya Evangeline yang berjalan di samping Devan.
Devan yang menggandeng tangan Evangeline dengan satu tangan menarik koper tampak mengedarkan pandangan, hingga melihat dua orang pria yang memakai pakaian formal dan berkacamata hitam, menunggu kedatangan mereka.
"Itu!" Devan mengangkat sedikit dagu untuk menunjuk.
Evangeline membuka kacamata hitam yang menutup mata dan menatap ke arah dua pria yang ditunjuk Devan.
"Siapa mereka?" tanya Evangeline bingung karena baru pertama kali melihat dua orang itu.
"Bodyguard," jawab Devan singkat.
Evangeline langsung menatap Devan, tidak mengerti kenapa sekarang ada bodyguard juga.
"Siang Tuan, Nyonya! Apa perjalanan kalian menyen
Malam itu Evangeline terus menguap, sesekali menengok pada jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Evangeline sedikit cemas karena Devan juga belum pulang dari perusahaan, padahal mereka baru saja datang dan Devan pergi mengurus pekerjaan kemudian belum kembali."Kenapa dia belum pulang?" Evangeline menengok pada jam dinding. Lantas menatap layar ponselnya, sudah menghubungi dan mengirim pesan, tapi tidak ada satu pun yang dibalas.Evangeline terlihat menguap, hingga tanpa sadar tertidur dengan posisi duduk di atas ranjang, buku yang sedang dibacanya terbuka dan jatuh di pangkuan.Devan kembali ke rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Devan melihat lampu kamar masih menyala, lantas masuk dan mendapati Evangeline yang tertidur dengan posisi duduk. Devan melepas jas dan melonggarkan dasi sebelum pada akhirnya melepas dan meletakkan di sofa. Devan duduk di tepian ranjang, mengambil buku yang berada
Devan dan Evangeline sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Hingga ketika mereka hendak keluar kamar, Devan menghentikan langkah dan menatap pada Evangeline."Ivi, sebenarnya aku kemarin mendapat telpon," ucap Devan.Evangeline mengernyitkan dahi, ditatapnya Devan yang terlihat begitu serius."Telpon dari siapa?" tanya Evangeline."Perusahaan Radhika," jawab Devan sedikit ragu.Evangeline begitu terkejut dengan jawaban Devan, memalingkan wajah sekilas sebelum pada akhirnya menatap Devan lagi."Apa yang mereka inginkan?" tanya Evangeline pada akhirnya.Devan mengenggam kedua telapak tangan Evangeline, menatap manik mata sang istri penuh kelembutan."Mereka ingin kamu ke sana, posisi manager di sana kosong. Karena kamu memiliki pengalaman dan juga efektifitas kerja yang tidak diragukan, sehingga mereka meminta kamu me
Evangeline masuk ke salah satu kamar di sebuah hotel, sengaja membiarkan bodyguard yang diberikan Devan untuk tidak ikut masuk ke sana.TOK! TOK! TOK!Evangeline mengetuk pintu, hingga beberapa detik kemudian seseorang membuka pintu untuknya. Evangeline tersenyum manis ketika melihat siapa yang sudah berdiri di hadapannya."Masuklah!" Seorang pria mempersilahkan Evangeline masuk.Evangeline mengangguk, kemudian masuk ketika pintu sudah terbuka lebar. Hingga pria yang menempati kamar itu menutup pintu dan mengekor pada Evangeline."Terima kasih karena Anda sudah mau menyempatkan datang ke sini, bahkan tidak menyangka kalau Anda akan datang secepat ini," ucap Evangeline langsung duduk di sofa yang tersedia di sana."Bukankah aku sudah pernah bilang kalau akan memprioritaskan dirimu, hah!" Pria itu tersenyum pada Evangeline, menuangkan teh untuk istri Devan. "Mi
Devan sudah berada di kamar Jonathan, menatap pria yang kini bersama Evangeline. Benar-benar bingung dengan siapa dan apa yang sebenarnya terjadi."Van, perkenalkan! Ini Paman Jonathan!" Evangeline memperkenalkan Devan pada Jonathan."Paman?" Devan masih bingung, karena setahu dirinya keluarga Evangeline hanyalah KelvinJonathan tersenyum melihat ekspresi bingung Devan. Lantas mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Jonathan Smith, aku adalah rekan bisnis ayah Angel saat beliau masih hidup."Devan mencoba mengingat, merasa pernah mendengar nama yang disebutkan. Hingga mengingat satu nama, membuat Devan langsung menatap Jonathan dengan rasa tidak percaya."Smith! Anda, tuan Smith!" Devan seakan tidak percaya dengan pria yang dilihatnya. Seorang Miliarder yang memang sangat terkenal, untuk pertama kali Devan bisa melihat pria itu secara langsung, sebagai seorang pebisnis ini a
Jordan pulang ke rumah dengan wajah kusut dan lelah. Karena khawatir dengan kondisi perusahaan sang mantan kakak ipar, membut Jordan harus ikut turun tangan membantu mantan kakak iparnya itu. "Sudah pulang!" Milea yang tengah menuruni anak tangga melihat wajah lelah sang suami, lantas mendekat dan mengambil jas yang sudah ditenteng Jordan. Tidak biasanya Jordan pulang lebih awal. "Iya!" Jordan langsung duduk di sofa dan memijat kepala. Setelah menikah mereka memang tinggal di rumah pribadi Jordan, bersama Angel kalau dia sedang tidak di rumah Sonia dan beberapa pelayan. "Ada apa? Apa pekerjaan kantor sangat banyak?" tanya Milea yang ikut duduk di samping Jordan. Milea bahkan memijat pundak sang suami, sadar kalau pria itu sangat lelah. "Di perusahaan tidak ada masalah," jawab Jordan seraya menikmati pijatan sang istri yang terasa sangat nyaman.
Evangeline menatap wajah Devan yang sudah terlelap, pikirannya tengah berputar dengan keadaan yang sedang terjadi. Hingga ponsel yang berada di atas nakas berderit, Evangeline langsung bangkit dan meraih ponsel miliknya, begitu terkejut dengan nama yang terpampang. Evangeline langsung bangkit dari tempat tidur, sedikit menjauh dari ranjang agar tidak mengganggu tidur Devan."Apa yang kamu inginkan?" tanya Evangeline dengan air muka tidak senang begitu menjawab panggilan itu."Kamu belum memberi jawaban." Suara Cristian terdengar dari seberang panggilan.Evangeline terkejut dengan ucapan Cristian, menoleh pada Devan yang masih tidur."Aku tidak akan pernah bertemu denganmu, jangan pernah lagi menghubungi diriku." Evangeline menekan intonasi bicaranya, meski ingin sekali meledakkan emosi."Hahahaha. Kamu tidak takut kalau suamimu terpuruk?" tanya Cristian setelah meledakkan tawa.
Cristian duduk di sofa kamar, mengahadap ke arah dinding kaca yang menghalanginya dengan dunia luar, menatap lurus ke depan dengan wajah lesu dan kantung mata yang membentuk sempurna. Semalaman dia tidak bisa tidur, Cristian mengingat pembicaraan dengan sang ayah. "Apa kamu tahu di mana Evangeline sekarang?" tanya Kelvin. Cristian terkejut dengan pertanyaan sang ayah, meletakkan alat makan dan tersenyum masam ke arah pria yang selalu saja bersikap tegas kepadanya itu. "Kenapa menanyakannya? Apa Papah tidak puas dengan hanya mengucilkan dia?!" Cristian bicara dengan nada sindiran. "Apa maksudmu? Tinggal jawab tahu atau tidak, kenapa harus menyindir Papah, hah?!" Kelvin terlihat tidak senang dengan ucapan Cristian. Ibu Cristian terlihat bingung harus bagaimana, makan malam yang diharapkan bisa terasa hangat kini malah akan jadi medan perang yang dingin antara ayah dan ana
Evangeline terlihat termangu di ruangannya, jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja. Ia sedang mengingat ucapan Devan saat di rumah, perasaannya menjadi kacau jika mengingat masa terkelamnya. "Ada apa? Kenapa ingin membuka kasus itu?" tanya Evangeline yang tidak mengerti ketika Devan meminta izin ingin membuka kasus kematian kedua orangtuanya. Bagi dirinya yang sejak awal tidak tahu menahu serta sudah melupakan tragedi itu, ingin rasanya menganggap itu hanya menjadi sejumput memori penyedap hidupnya. "Karena aku menemukan bukti yang ditutupi," jawab Devan dengan tangan yang langsung menggenggam telapak Evangeline. "Kedua orangtuamu, kemungkinan besar tidak meninggal karena keracunan biasa. Aku menemukan bukti yang menjuru ke sana. Pamanmu membayar pihak polisi untuk menutup kasus ini. Aku tidak akan langsung membuka ke publik, hanya ingin mengetahui siapa sebenarnya dalang dari kematian kedua orangtuamu. Aku ingin membe