Devan dan Evangeline sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Hingga ketika mereka hendak keluar kamar, Devan menghentikan langkah dan menatap pada Evangeline.
"Ivi, sebenarnya aku kemarin mendapat telpon," ucap Devan.
Evangeline mengernyitkan dahi, ditatapnya Devan yang terlihat begitu serius.
"Telpon dari siapa?" tanya Evangeline.
"Perusahaan Radhika," jawab Devan sedikit ragu.
Evangeline begitu terkejut dengan jawaban Devan, memalingkan wajah sekilas sebelum pada akhirnya menatap Devan lagi.
"Apa yang mereka inginkan?" tanya Evangeline pada akhirnya.
Devan mengenggam kedua telapak tangan Evangeline, menatap manik mata sang istri penuh kelembutan.
"Mereka ingin kamu ke sana, posisi manager di sana kosong. Karena kamu memiliki pengalaman dan juga efektifitas kerja yang tidak diragukan, sehingga mereka meminta kamu me
Evangeline masuk ke salah satu kamar di sebuah hotel, sengaja membiarkan bodyguard yang diberikan Devan untuk tidak ikut masuk ke sana.TOK! TOK! TOK!Evangeline mengetuk pintu, hingga beberapa detik kemudian seseorang membuka pintu untuknya. Evangeline tersenyum manis ketika melihat siapa yang sudah berdiri di hadapannya."Masuklah!" Seorang pria mempersilahkan Evangeline masuk.Evangeline mengangguk, kemudian masuk ketika pintu sudah terbuka lebar. Hingga pria yang menempati kamar itu menutup pintu dan mengekor pada Evangeline."Terima kasih karena Anda sudah mau menyempatkan datang ke sini, bahkan tidak menyangka kalau Anda akan datang secepat ini," ucap Evangeline langsung duduk di sofa yang tersedia di sana."Bukankah aku sudah pernah bilang kalau akan memprioritaskan dirimu, hah!" Pria itu tersenyum pada Evangeline, menuangkan teh untuk istri Devan. "Mi
Devan sudah berada di kamar Jonathan, menatap pria yang kini bersama Evangeline. Benar-benar bingung dengan siapa dan apa yang sebenarnya terjadi."Van, perkenalkan! Ini Paman Jonathan!" Evangeline memperkenalkan Devan pada Jonathan."Paman?" Devan masih bingung, karena setahu dirinya keluarga Evangeline hanyalah KelvinJonathan tersenyum melihat ekspresi bingung Devan. Lantas mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Jonathan Smith, aku adalah rekan bisnis ayah Angel saat beliau masih hidup."Devan mencoba mengingat, merasa pernah mendengar nama yang disebutkan. Hingga mengingat satu nama, membuat Devan langsung menatap Jonathan dengan rasa tidak percaya."Smith! Anda, tuan Smith!" Devan seakan tidak percaya dengan pria yang dilihatnya. Seorang Miliarder yang memang sangat terkenal, untuk pertama kali Devan bisa melihat pria itu secara langsung, sebagai seorang pebisnis ini a
Jordan pulang ke rumah dengan wajah kusut dan lelah. Karena khawatir dengan kondisi perusahaan sang mantan kakak ipar, membut Jordan harus ikut turun tangan membantu mantan kakak iparnya itu. "Sudah pulang!" Milea yang tengah menuruni anak tangga melihat wajah lelah sang suami, lantas mendekat dan mengambil jas yang sudah ditenteng Jordan. Tidak biasanya Jordan pulang lebih awal. "Iya!" Jordan langsung duduk di sofa dan memijat kepala. Setelah menikah mereka memang tinggal di rumah pribadi Jordan, bersama Angel kalau dia sedang tidak di rumah Sonia dan beberapa pelayan. "Ada apa? Apa pekerjaan kantor sangat banyak?" tanya Milea yang ikut duduk di samping Jordan. Milea bahkan memijat pundak sang suami, sadar kalau pria itu sangat lelah. "Di perusahaan tidak ada masalah," jawab Jordan seraya menikmati pijatan sang istri yang terasa sangat nyaman.
Evangeline menatap wajah Devan yang sudah terlelap, pikirannya tengah berputar dengan keadaan yang sedang terjadi. Hingga ponsel yang berada di atas nakas berderit, Evangeline langsung bangkit dan meraih ponsel miliknya, begitu terkejut dengan nama yang terpampang. Evangeline langsung bangkit dari tempat tidur, sedikit menjauh dari ranjang agar tidak mengganggu tidur Devan."Apa yang kamu inginkan?" tanya Evangeline dengan air muka tidak senang begitu menjawab panggilan itu."Kamu belum memberi jawaban." Suara Cristian terdengar dari seberang panggilan.Evangeline terkejut dengan ucapan Cristian, menoleh pada Devan yang masih tidur."Aku tidak akan pernah bertemu denganmu, jangan pernah lagi menghubungi diriku." Evangeline menekan intonasi bicaranya, meski ingin sekali meledakkan emosi."Hahahaha. Kamu tidak takut kalau suamimu terpuruk?" tanya Cristian setelah meledakkan tawa.
Cristian duduk di sofa kamar, mengahadap ke arah dinding kaca yang menghalanginya dengan dunia luar, menatap lurus ke depan dengan wajah lesu dan kantung mata yang membentuk sempurna. Semalaman dia tidak bisa tidur, Cristian mengingat pembicaraan dengan sang ayah. "Apa kamu tahu di mana Evangeline sekarang?" tanya Kelvin. Cristian terkejut dengan pertanyaan sang ayah, meletakkan alat makan dan tersenyum masam ke arah pria yang selalu saja bersikap tegas kepadanya itu. "Kenapa menanyakannya? Apa Papah tidak puas dengan hanya mengucilkan dia?!" Cristian bicara dengan nada sindiran. "Apa maksudmu? Tinggal jawab tahu atau tidak, kenapa harus menyindir Papah, hah?!" Kelvin terlihat tidak senang dengan ucapan Cristian. Ibu Cristian terlihat bingung harus bagaimana, makan malam yang diharapkan bisa terasa hangat kini malah akan jadi medan perang yang dingin antara ayah dan ana
Evangeline terlihat termangu di ruangannya, jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja. Ia sedang mengingat ucapan Devan saat di rumah, perasaannya menjadi kacau jika mengingat masa terkelamnya. "Ada apa? Kenapa ingin membuka kasus itu?" tanya Evangeline yang tidak mengerti ketika Devan meminta izin ingin membuka kasus kematian kedua orangtuanya. Bagi dirinya yang sejak awal tidak tahu menahu serta sudah melupakan tragedi itu, ingin rasanya menganggap itu hanya menjadi sejumput memori penyedap hidupnya. "Karena aku menemukan bukti yang ditutupi," jawab Devan dengan tangan yang langsung menggenggam telapak Evangeline. "Kedua orangtuamu, kemungkinan besar tidak meninggal karena keracunan biasa. Aku menemukan bukti yang menjuru ke sana. Pamanmu membayar pihak polisi untuk menutup kasus ini. Aku tidak akan langsung membuka ke publik, hanya ingin mengetahui siapa sebenarnya dalang dari kematian kedua orangtuamu. Aku ingin membe
Evangeline terlihat menatap siapa yang duduk di hadapannya, lebih dari tujuh tahun tidak bertemu, sepertinya pria itu sama saja, masih angkuh dan sombong."Apa yang membuat Anda datang mencari 'ku?" tanya Evangeline begitu formal.Kelvin menyeringai, kemudian terlihat enggan berbasa-basi, sedikit menegakkan badan hingga kemudian menjawab, "Paman ingin mengundangmu makan malam bersama. Ya, anggap saja makan malam keluarga karena sudah lama kita tidak berkumpul."Evangeline tersenyum getir, sebenarnya tahu maksud sang paman. Tentu saja Kelvin mau repot-repot mencari dan mengundangnya makan malam karena kedatangan Jonathan."Wah, gimana ya? Sayangnya saya sibuk!" tolak Evangeline halus.Beberapa tahun yang lalu, Evangeline hanya gadis remaja yang memilih takut dan tidak melawan, tapi sekarang keadaannya berbeda. Ia tidak mau lagi dianggap lemah."Hanya meluangka
Devan mengajak Evangeline berdiri, berjalan menuju teropong bintang yang berada di sisi lain dari tempat mereka makan. Evangeline semakin bingung dengan apa yang ingin dilakukan oleh Devan. Hingga kini mereka berdiri di depan teropong bintang, Devan berdiri tepat di belakang Evangeline. "Aku dengar malam ini ada hujan meteor, karena itu aku menyiapkan semuanya untukmu," bisik Devan, napasnya berembus menggelitik telinga Evangeline. Evangeline tersenyum, tangannya memegang teropong yang akan digunakan untuk melihat bintang. "Lalu, di mana kembaran 'ku?" tanya Evangeline dengan nada suara menggoda Devan. Devan menunjuk satu bintang yang begitu terang, kemudian menjawab, "Itu, sangat mirip denganmu. Bersinar terang dan bisa dilihat oleh siapa pun yang berpijak di bumi." Evangeline tersipu, menunduk menahan malu hingga kemudian menatap lagi ke angkasa.