Evangeline terlihat termangu di ruangannya, jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja. Ia sedang mengingat ucapan Devan saat di rumah, perasaannya menjadi kacau jika mengingat masa terkelamnya.
"Ada apa? Kenapa ingin membuka kasus itu?" tanya Evangeline yang tidak mengerti ketika Devan meminta izin ingin membuka kasus kematian kedua orangtuanya.
Bagi dirinya yang sejak awal tidak tahu menahu serta sudah melupakan tragedi itu, ingin rasanya menganggap itu hanya menjadi sejumput memori penyedap hidupnya.
"Karena aku menemukan bukti yang ditutupi," jawab Devan dengan tangan yang langsung menggenggam telapak Evangeline. "Kedua orangtuamu, kemungkinan besar tidak meninggal karena keracunan biasa. Aku menemukan bukti yang menjuru ke sana. Pamanmu membayar pihak polisi untuk menutup kasus ini. Aku tidak akan langsung membuka ke publik, hanya ingin mengetahui siapa sebenarnya dalang dari kematian kedua orangtuamu. Aku ingin membe
Evangeline terlihat menatap siapa yang duduk di hadapannya, lebih dari tujuh tahun tidak bertemu, sepertinya pria itu sama saja, masih angkuh dan sombong."Apa yang membuat Anda datang mencari 'ku?" tanya Evangeline begitu formal.Kelvin menyeringai, kemudian terlihat enggan berbasa-basi, sedikit menegakkan badan hingga kemudian menjawab, "Paman ingin mengundangmu makan malam bersama. Ya, anggap saja makan malam keluarga karena sudah lama kita tidak berkumpul."Evangeline tersenyum getir, sebenarnya tahu maksud sang paman. Tentu saja Kelvin mau repot-repot mencari dan mengundangnya makan malam karena kedatangan Jonathan."Wah, gimana ya? Sayangnya saya sibuk!" tolak Evangeline halus.Beberapa tahun yang lalu, Evangeline hanya gadis remaja yang memilih takut dan tidak melawan, tapi sekarang keadaannya berbeda. Ia tidak mau lagi dianggap lemah."Hanya meluangka
Devan mengajak Evangeline berdiri, berjalan menuju teropong bintang yang berada di sisi lain dari tempat mereka makan. Evangeline semakin bingung dengan apa yang ingin dilakukan oleh Devan. Hingga kini mereka berdiri di depan teropong bintang, Devan berdiri tepat di belakang Evangeline. "Aku dengar malam ini ada hujan meteor, karena itu aku menyiapkan semuanya untukmu," bisik Devan, napasnya berembus menggelitik telinga Evangeline. Evangeline tersenyum, tangannya memegang teropong yang akan digunakan untuk melihat bintang. "Lalu, di mana kembaran 'ku?" tanya Evangeline dengan nada suara menggoda Devan. Devan menunjuk satu bintang yang begitu terang, kemudian menjawab, "Itu, sangat mirip denganmu. Bersinar terang dan bisa dilihat oleh siapa pun yang berpijak di bumi." Evangeline tersipu, menunduk menahan malu hingga kemudian menatap lagi ke angkasa.
"Maaf, saya sudah tidak berani menyerang perusahaan itu. Tuan Jonathan Smith membeli saham di perusahaan itu, artinya tidak ada yang berani menyentuh apalagi macam-macam dengan perusahaan tempat pria itu berinvestasi." Seorang pria menghubungi Cristian dan langsung mengakhiri setelah selesai bicara.Cristian melempar gelas yang sedang dipegang, menciptakan suara nyaring ketika membentur tembok."Bagaimana bisa tiba-tiba tuan Jonathan berinvestasi ke perusahaan itu?" Cristian begitu geram.Tujuan untuk menghancurkan perusahaan Devan secara pelan-pelan gagal sudah dengan adanya campur tangan dari Jonathan. Cristian sadar siapa Jonathan dan tidak akan ada yang berani menyentuh perusahaan yang ada nama pria itu. Karena itulah Kelvin sangat takut kalau Jonathan sampai menarik investasi dari perusahaan itu, bagi Kelvin lebih memilih merendah dari pada kehilangan sumber kekayaannya. Alasan kenapa Kelvin mencari keberadaan Evang
Sama halnya dengan Evangeline, Devan tampak terus tersenyum saat bekerja. Mengingat kegiatan semalam memang membuat pikiran terus berpikir mesum. Danny memperhatikan atasannya itu, sampai menggeleng berulang kali karena sikap Devan."Sungguh tidak normal, abnormal," batin Danny seraya mendesau. Tidak menyangka kalau atasannya kini seperti orang gila, senyum-senyum tak jelas. Tentu saja hal itu terasa aneh untuk Danny, biasanya melihat Devan yang dingin, galak, dan keras. Kini ia malah menyaksikan Devan seperti marsmallow yang lembek dan lembut.TOK! TOK! TOK!Suara ketukan pintu terdengar, Devan mempersilahkan masuk dengan suara lantang. Hingga ketika pintu terbuka, sepasang kaki kecil berlari dan langsung melompat kepangkuan Devan."Wow! Halo bocah kecil!" Devan mencolek hidung Angel."Kangen Papa Devan," ucap Angel manja, gadis kecil itu memeluk erat sang paman.
Sesaat sebelum alarm kebakaran berbunyi. Seorang pria berpakaian teknisi tampak berjalan masuk ke gedung, menenteng perkakas menuju ruang kendali. Hingga beberapa menit kemudian alarm kebakaran berbunyi, sistem operasi listrik mati membuat semua orang panik.Ketika Evangeline tengah berjibaku dengan orang-orang yang saling berdesakan untuk menyelamatkan diri, hingga membuatnya terpisah dari pengawal pribadinya, seseorang menarik Evangeline dan membuatnya kebingungan."Hei! Siapa kamu?" Evangeline berusaha melepas tangan yang digenggam pria itu tapi tidak berhasil.Hingga ada pria lain yang muncul dari belakang dan membekap Evangeline menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat bius, membuat wanita itu langsung terkulai lemas dan tidak sadarkan diri."Bawa dia cepat!" Salah satu memerintah dan berjalan cepat menuju mobil membuka pintu, sedangkan pria satu yang menerima perintah langsung mengg
Dua pria yang membawa seorang pria berumur berumur 45 tahun dari sebuah kota kecil. Sudah masuk ke kota besar di mana orang yang memerintah tengah menunggu. Hingga suara ponsel terdengar terus berbunyi, membuat salah satu pria berbadan kekar itu menjawab."Halo!" Pria itu menjawab panggilan dari nomor tak dikenal."Lepaskan pria yang kalian bawa, atau kalian akan melihat wanita bernama Evangeline mati sia-sia." Suara dari seberang panggilan tampak terdengar seperti sebuah ancaman."Apa maksudmu? Kami tidak kenal dengan wanita yang kalian maksud!" Pria yang menjawab panggilan itu menoleh pada rekan yang tengah mengemudikan mobil, kemudian menoleh ke kursi penumpang di mana pria yang mereka bawa duduk dengan kepala tertutup kain hitam dan kedua tangan yang diikat jadi satu."Tanyakan pada orang yang menyuruh kalian! Jika sampai sore ini tidak ada kepastian, maka kami akan mengirimkan mayat wanita ini k
Baru akan menemui Jonathan, Devan dan Jordan bertemu dulu dengan pria itu di depan lobi hotel tempat menginap Jonathan."Tuan, kebetulan bertemu dengan Anda," ucap Devan yang terlihat senang karena bisa bertemu Jonathan.Raut wajah Jonathan terlihat gusar dan cemas, pria itu langsung menggandeng tangan Devan. "Ikutlah denganku!" ajaknya."Tunggu! Saya ke mari karena ingin meminta bantuan, ini tentang--""Evangeline, aku tahu. Karena itu aku ingin mengajakmu." Jonathan memotong ucapan Devan, membuat pria itu terkejut."Anda tahu?" tanya Devan mengernyitkan dahi. Jordan yang menemani Devan juga terkejut.Jonathan mengangguk, kemudian berkata, " Anak buahku berhasil menemukan dan membawa orang yang menjadi saksi kunci jawaban kematian keluarga Angel. Namun, sepertinya orang yang membayar pria itu mengetahui dan kini tengah mengancam," ujar Jonathan.
Devan menatap pria yang ada dihadapannya, kedua tangan terikat ke depan, tapi senyum seringai muncul di wajah pria itu, seakan sedang mengejek pada orang yang menangkapnya. "Apa aku boleh memukulnya?" tanya Devan pada Jonathan karena kesal. "Tahan, jika kita menyakiti pria ini, maka keselamatan Evangeline akan terancam," jawab Jonathan mencoba meredam amarah. Anak buah Jonathan sudah mencoba menginterogasi, berharap pria itu buka mulut dan mau bersaksi tentang kejadian kematian keluarga Evangeline. Namun, pria itu terlalu picik karena yakin jika orang yang menyuruhnya tidak akan tinggal diam. Kini mereka tengah dalam perjalanan menuju tempat Evangeline disekap, mengalah demi keselamatan Evangeline. Jonathan tidak menghubungi polisi karena orang suruhan Kelvin mengancam akan membunuh Evangeline ditempat, jika mereka melihat polisi ikut campur. - - C
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb