Malam telah tiba. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan. Sudah saatnya Elsha akan bekerja. Mencari uang demi membiayai kehidupannya dan kehidupan sang adik.
Semenjak orangtua mereka berpisah, lalu pergi meninggalkan mereka, Elsha-lah yang turun tangan langsung untuk mencari pekerjaan. Sedangkan adiknya –Sashi– tengah menjalani status sebagai mahasiswi di salah satu universitas di Ibu Kota.
Malam ini, Elsha akan mendapatkan tantangan baru. Bekerja dengan upah yang lebih besar dari pekerjaan sebelumnya, dan itu akan sedikit memperbaiki kehidupan mereka. Lagipula, dia butuh banyak biaya untuk sekolah sang adik.
"Dek?"
Elsha keluar dari kamarnya sambil memanggil Sashi. Mulai malam ini, Elsha akan meninggalkan sang adik sendirian di rumah jika ia akan mulai bekerja. Biasanya Elsha dan Sashi akan menghabiskan waktu berdua hanya pada malam hari. Tapi keadaan berubah. Elsha bekerja di tempat yang berbeda.
"Ya, Kak?" Sashi keluar dari dapur dengan beberapa camilan di tangannya.
"Kakak pergi dulu, kamu hati-hati di rumah. Kunci pintunya baik-baik."
Sashi mengangguk dan duduk di sofa sambil menyalakan televisi.
"Ingat, jangan tidur larut malam. Nanti Kakak usahakan pulang cepat," lanjut Elsha. Sashi kembali mengangguk. Elsha mencium kening Sashi lalu berjalan keluar rumah.
Menghela napas, Elsha menatap langit malam dengan sendu. Kenapa Tuhan menguji mereka seperti ini? Elsha juga ingin hidup normal seperti wanita seusianya. Menjalin hubungan dengan seorang pria, lalu melanjutkan ke jenjang yang lebih serius hingga menikah. Jangankan menjalin hubungan, bahkan Elsha lupa caranya menghabiskan waktu untuk memanjakan diri sendiri karena terlalu sibuk mencari uang.
"Kamu kuat, El," bisiknya sebagai mantra untuk meyakinkan diri.
Elsha memesan taksi dan kendaraan itu berlalu menuju tempat yang akan menjadi penghasil uang bagi Elsha mulai malam ini. Beberapa kali Elsha melamun selama perjalanan menuju tempat kerjanya. Entah berapa menit yang Elsha habiskan di dalam kendaraan beroda empat itu. Yang jelas, sekarang dia sudah berada di tempat tujuannya.
Elsha mendongak menatap sebuah bangunan di depan matanya. Sambil menghela napas berkali-kali, Elsha berjalan masuk.
"Hai, Dear."
Elsha tersenyum saat dirinya berada di meja tinggi yang menghalangi dirinya dan beberapa orang di balik sana yang kini sibuk meracik minuman.
"Baru pertama kali? Mau minum apa? Alkohol?"
Elsha menggeleng. Dia sedang menunggu seseorang yang akan mempekerjakannya di sini. Elsha tidak akan minum. Wanita itu memperhatikan banyaknya manusia yang mencari hiburan malam ini. Berjoget, bersulang, dan bercumbu.
Sial. Elsha meneguk ludah susah payah. Hatinya kembali ragu untuk melanjutkan niatnya datang kemari.
Tapi....
Ah, sudahlah.
Nasi sudah menjadi bubur. Elsha juga bukan wanita suci yang masih perawan. Dia sudah bolong. Sudah dicoblos oleh kekasihnya saat SMA dulu. Jadi, apalagi yang musti Elsha khawatirkan?
"Hai," sapa seseorang yang baru saja duduk di sebelah Elsha. Elsha tersenyum dan membalas uluran tangan dari lawan bicaranya.
"Sorry lama. Tadi ada urusan dulu."
Elsha mengangguk saja dan mulai meremas tangannya. Jujur, Elsha merasakan ketakutan yang entah karena apa.
"Langsung ke atas aja. Ke ruangan gue."
Elsha mengikuti wanita yang ia perkirakan seusia dengannya itu menuju lantai atas. Kelab malam ini yang akan menjadi tempat Elsha mencari uang.
"Duduk."
Elsha duduk dan menunggu wanita di depannya bicara dengan harap-harap cemas.
"Lo..., seriusan udah gak perawan, kan?"
Elsha meneguk ludah sambil mengangguk kecil.
"Nakal juga, ya, lo." Kekehan geli keluar dari bibir wanita di depan Elsha.
"Oke, langsung aja. Malam ini lo pakai ini. Lo bakal turun langsung melayani pelanggan baru."
Elsha menerima gaun malam yang sangat pendek dari tangan lawan bicaranya. Sungguh, sedikit saja Elsha membungkuk, dia yakin celana dalamnya akan terlihat.
"Ini?" tanya Elsha ragu.
"Ya. Dan ini juga."
Wanita itu kembali memberikan sepasang pakaian dalam super tipis. Bahkan Elsha sangat yakin kalau payudaranya akan kedinginan karena jaring sialan itu sangatlah transparan.
"Kamar 8320. Lo ganti pakaian di sana. Setengah jam lagi tamunya bakal ke sana."
Elsha mengangguk meski terpaksa. Tanpa semangat sedikitpun, Elsha keluar dari ruangan serba hitam itu lalu menuju kamar yang tadi disebutkan oleh bos barunya.
"8320," gumam Elsha sambil memperhatikan nomor di pintu kamar.
***
"Brengsek. Gue masih punya tangan buat ngocok kalau kalian lupa."
Beberapa pria terbahak dan menggeleng.
"Mana puas sama tangan doang anjir! Pakai lobang juga dong. Gue yakin lo bakal muncrat lebih deras."
Oh, sial. Ingin rasanya Aris menyumpal mulut ketiga sahabatnya ini. Aris yang selama ini tidak pernah memasuki kelab malam, terpaksa berakhir di sini karena tipuan ketiganya.
"Udahlah, Ris, ngapain kerja lembur bagai kuda mulu? Siapa yang bakal lo nafkahi? Istri gak punya. Anak apalagi," ejek Dio dengan senyuman geli.
"Bener. Dasar duda jaman now. Tebar pesona dikit kek. Lo mau jadi duda abadi abad ini?" Arkan ikut mengompori.
Aris meneguk kasar minuman di gelas yang dia ambil secara asal dari atas meja. Oh, bangsat! Tenggorokannya terasa terbakar. Aris juga merasakan kepalanya sedikit pening. Matanya berkunang dan pendengarannya berdengung.
"Lo teler, Ris?" tanya Bian menatap Aris dengan pandangan bahagia. Sahabat biadab memang mereka ini.
"Gue mau balik. Lo pada senang-senang aja. Gue bayarin. Nih!" Aris melempar sebuah kartu ke atas meja dan beranjak dari duduknya dengan sempoyongan.
"Baru segelas udah teler. Lembek banget lo."
Aris menatap malas ketiga sahabatnya dan mulai berjalan meninggalkan mereka. Namun, sialnya Aris merasa gerah di seluruh tubuhnya. Aris mengusap tengkuknya tanpa sadar karena merasa gelisah. Suara dentuman musik semakin memperburuk keadaannya.
Dio memperhatikan Aris dari jauh dan tersenyum. Pria itu memberi isyarat kepada kedua sahabatnya untuk menyusul Aris dan membawanya ke atas. Mereka bertiga sudah merencanakan ini. Aris butuh pelepasan hebat. Mereka sangat yakin dan percaya kalau sahabat mereka yang satu itu bukanlah pria tangguh seperti yang mereka lihat selama ini.
Bahkan beberapa kali Aris mengigau saat tidur di kantor sambil menyebut nama wanita yang jelas-jelas mereka mengenalnya. Sahabat mereka itu belum sepenuhnya move on dari cinta pertamanya.
Elsha. Mantan kekasihnya saat SMA. Tidak. Mereka belum resmi putus karena Aris dan Elsha kehilangan kontak tanpa pernah mengucapkan kata berpisah.
"Kamar nomor berapa, sih?" tanya Bian sambil memapah Aris yang kini sudah cukup teler.
Mereka tahu, Aris dan alkohol adalah musuh. Baru segelas saja sudah seperti orang minum belasan botol alkohol saja.
"8320," jawab Arkan.
Mereka mencari kamar 8320 di lantai atas dan menemukannya. Lalu Dio dan Arkan masuk bersama Bian yang masih memapah Aris.
"Ceweknya udah lo booking?" tanya Dio pada Arkan.
"Udah. Sepupu gue udah bilang beres kok setengah jam yang lalu."
"Ini anak orang tinggal begini aja nih?" Bian menatap Aris yang benar-benar mengenaskan.
"Udah, biarin. Kita balik ke bawah aja. Gue juga butuh asupan gizi." Dio terkekeh dan merangkul Bian agar segera pergi dari sana.
Elsha meremas kedua tangannya. Pantulan dirinya di dalam cermin sudah menunjukkan kalau wanita itu siap untuk bekerja melayani pelanggan pertamanya. Tapi, entah kenapa Elsha sedikit gugup. Ya, wajar sih, namanya juga pertama kali bekerja kotor begini.Elsha menghembuskan napas berulang kali dan menatap pantulan dirinya di cermin yang kini tampak begitu menantang.Telanjang? Tidak.Elsha bahkan berpakaian. Hanya saja pakaian yang tidak sepenuhnya tertutup. Aset pentingnya terlihat dengan sangat jelas."Gila. Benar-benar gila."Elsha membalikkan badan dan membuka pintu kamar mandi lalu dengan pelan berjalan menuju ranjang. Mata Elsha menatap sosok pria yang kini berbaring pasrah di atas ranjang. Rasa gugup dan takut kembali menyerang Elsha. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya."Aku bisa," bisik Elsha pelan dan berjalan dengan langkah berat menuju ranjang."Selamat malam, Tuan, saya-""Berisik!"Elsha mengatupkan bibirny
Napas kedua manusia yang telah merenggut kenikmatan itu saling berpacu. Mata mereka terpejam menikmati sisa-sisa percintaan panas yang entah sudah berapa lama terjadi.Elsha yang lebih dulu membuka mata, lalu ia menatap ke sampingnya di mana Aris tengah berbaring. Dalam hati, Elsha sangat merindukan pria ini. Sangat. Tapi keadaan sudah tidak sama lagi. Elsha tahu Aris sudah beristri. Kenyataan yang saat itu membuatnya kehilangan harapan untuk bisa kembali ke pelukan sang mantan kekasih.Mantan? Benarkah mereka sudah berakhir menjadi mantan?Seingat Elsha, tidak ada yang mengucapkan kata-kata berpisah di antara mereka. Hanya Elsha yang terlalu pengecut dan melarikan diri karena masalah keluarga yang dulu mencekiknya.Dia menyerah pada hubungan mereka karena Elsha yakin kalau hubungan yang terjalin saat itu tidak akan berhasil. Apalagi Elsha tahu, saat itu Aris harus melanjutkan studi ke luar negeri.Menghela napas panjang, Elsha beranjak setelah pua
Aris menjambak rambutnya karena kesal. Sudah berjam-jam dia duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar komputer yang menampilkan laporan pendapatan perusahaan. Tapi tidak sedetikpun otaknya berhenti memikirkan percintaan panasnya bersama Elsha seminggu yang lalu.Sial.Pengaruh Elsha masih sebesar itu terhadap dirinya. Sejak dulu, Aris selalu bergantung kepada Elsha. Hanya wanita itu tempat Aris berkeluh kesah dari permasalahan keluarganya. Saat Aris terpuruk, Elsha-lah yang menghibur dan membuatnya bangkit. Lalu, saat cinta sedang mekarnya di antara mereka, Elsha menghilang tak tahu ke mana.Terakhir mereka bertemu kala itu saat Aris mengajaknya untuk ikut bersamanya ke luar negeri di mana Aris akan kuliah. Tentu saja saat itu Elsha menolak. Ada Sashi yang harus dia jaga. Karena tidak ingin egois, Aris meminta Elsha untuk menunggunya. Tapi wanita itu malah menghilang.Aris menjalani hari-hari berat tanpa Elsha. Pria itu sempat alpa studi karena tid
Elsha bergerak lincah di dapur apartemen Aris. Wanita itu tengah membuatkan bubur untuk Aris. Benar. Pria itu ternyata tengah demam. Elsha tadi juga sudah mampir ke apotek membeli beberapa obat untuk jaga-jaga kalau saja di sini tidak ada obat apa pun."Akhirnya," Elsha bernapas lega saat bubur yang dibuatnya sudah jadi.Elsha melirik ruang tamu di mana Aris tengah berbaring di sofa. Pria itu sama sekali tidak mau Elsha suruh untuk pindah ke dalam kamar. Padahal lebih nyaman tidur di atas kasur daripada sofa.Setelah meletakkan mangkuk berisi bubur dan gelas berisi air putih ke atas nampan, Elsha berjalan ke ruang tamu. Wanita itu meletakkan nampan ke atas meja di depan sofa lalu mendekat ke tempat Aris berbaring."Mas, bangun dulu," panggil Elsha sambil menepuk pelan pipi Aris.Aris mengerjap dan membuka mata, lalu menatap wajah Elsha yang kini sangat dekat dengannya. Aris tersenyum dan menarik tangan Elsha untuk dia bawa ke pipinya sebagai bantal
Aris bahkan tidak terpengaruh dengan penolakan Elsha yang mendorong tubuhnya. Pria itu jauh lebih kuat. Elsha mana mungkin menang melawannya."Mending kamu diem deh, daripada ini mobil makin heboh goyangannya."Elsha melotot. Aris benar-benar sudah gila. Ini masih sangat pagi untuk melakukan hal mesum. Apalagi mereka berada di depan rumah Elsha. Kemungkinan besar orang-orang yang lewat di jalanan depan akan curiga kalau seandainya memang benar mobil ini bergoyang. Dan jangan lupakan Sashi yang bisa saja keluar tiba-tiba."Mas, plis," ujar Elsha memohon agar Aris tidak melanjutkan aksi nekatnya.Boro-boro berhenti, Aris malah semakin menindih Elsha dan mengendus tubuh wanita itu. Elsha menyerah. Matanya nyalang menatap atap mobil. Sekuat tenaga Elsha menahan segala suara yang akan keluar dari bibirnya.Aris tersenyum di ceruk leher Elsha. Dia menang. "Diem, aku janji cuma sebentar," bisik Aris lembut sambil mengecup pipi Elsha.Ya, aksi jinga
Aris mendengar pintu ruangannya diketuk, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di atas meja kerja. Sejak lamarannya tertolak tadi pagi, Aris tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pria itu sibuk melamun memikirkan kekurangan apa yang ada pada dirinya sehingga Elsha menolaknya."Woi!"Aris terlonjak kaget sehingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Mata tajam pria itu menatap jengkel pada pelaku yang baru saja memasuki ruangannya."Ngapain lo ke sini?" tanya Aris pada adiknya, Andreas."Gak ada. Mampir."Aris mengusap rambutnya lalu bangkit dan ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Andreas. "Gak kuliah lo?"Andreas menggeleng. "Dosennya gak masuk. Btw, Mas, gue butuh bantuan."Aris menatap adiknya dengan sebelah alis yang terangkat. Bantuan? Dia kira Aris akan sukarela membantunya? Terlalu percaya diri."Apaan? Gak mungkin lo kekurangan duit," cibir Aris."Bukan, Dog. Bantu
Aris terus menyerang Elsha tanpa ampun. Bibirnya tidak berhenti mengecup dan menghisap dengan lembut leher jenjang wanita itu. Yang Elsha lakukan hanya mendesah dan menjambak rambut Aris sebagai pelampiasan."Tubuh kamu gak bisa bohong, El," bisik Aris kala kini wajahnya dan wajah Elsha saling berhadapan.Napas Elsha masih memburu karena menikmati sisa-sisa cumbuan Aris di bibir dan lehernya. Wanita itu tahu kalau dirinya munafik. Bibirnya berkata tidak, tapi tubuhnya mengatakan semua yang ia rasakan. Seberapa besar cintanya pada Aris, dan seberapa pasrah dia disentuh oleh pria itu."Aku benci sama kamu," balas Elsha di depan bibir Aris.Mata Aris tidak lepas menatap ekspresi wanita di atas pangkuannya. Aris tahu Elsha sedang menguji kesabarannya saat ini. Wanita itu ingin memancing amarahnya lebih banyak lagi."Kamu suka lihat aku marah-marah?" tanya Aris dengan suara serak.Mereka tidak hanya sibuk saling membalas ucapan. Tapi tubuh keduan
Pagi hari, sebelum Aris bangun dari tidur lelapnya, Elsha sudah lebih dulu meninggalkan apartemen pria itu. Elsha akan segera pulang karena adiknya pasti akan mencarinya. Saat Elsha tiba di rumah, ternyata Sashi masih tertidur. Wanita itu tersenyum melihat Sashi yang tidur nyenyak di dalam kamarnya. Elsha menutup pintu kamar Sashi, lalu memasuki kamarnya di sebelah kamar sang adik.Elsha merasakan perutnya mual tapi dia tidak muntah. Mungkin dia masuk angin atau sakit mag-nya kambuh. Menghela napas, Elsha meraih obat di dalam tasnya. Lebih tepatnya obat yang ditukar oleh Aris dengan vitamin kesuburan.Elsha meminum dua butir sekaligus karena dia tidak mau hamil anak mantan kekasihnya itu. Elsha menganggap ini sebagai pekerjaannya untuk memuaskan hasrat duda tersebut. Elsha tidak akan terikat lagi dengan Aris karena Elsha tahu, keluarga pria itu bukan keluarga yang selevel dengannya."Kak?"Elsha menoleh kala pintu kamarnya terbuka dan Sashi melongok kan k
"Pa?"Sultan mendongak menatap Aris yang kini sedang memijit pelan kaki Elsha. Wanita itu mengeluh sakit pada kakinya karena tadi tersandung di undakan tangga saat mau ke lantai dua."Kaki Mami sakit," jawab Aris."Kit? Pa?"Aris terkekeh. "Bantu Papi pijit dong, Bang, itu sebelahnya," suruh Aris.Bocah itu lantas beranjak dengan semangat meski awalnya terduduk lagi karena gerakannya tergesa. Elsha yang tengah duduk bersandar di kaki sofa memperhatikan saja bagaimana Sultan memijit kakinya."AW," ringis wanita itu saat Aris memijitnya sedikit kuat."No!" Sultan melotot pada Aris karena membuat Elsha kesakitan.“Parah, sih, ini si embul bakal posesif banget sama kamu, Yang,” decak Aris.Elsha tertawa dan mencubit gemas pipi Sultan yang tampak memerah. “Botol susunya tadi ketinggalan di rumah Mama Sashi, ya, Bang,” katanya.Sultan mengangguk lucu, “ndak pa,” balasnya.&ldqu
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang sangat disyukuri. Elsha merasakan itu. Pertama, bersyukur karena sebelumnya ia masih diberi kesehatan oleh sang pencipta sehingga bisa mencari nafkah untuknya dan Sashi.Kedua, bersyukur karena ia dipertemukan kembali dengan Aris dan menjalin hubungan serius hingga memiliki bayi mungil seperti saat ini.Ketiga, bersyukur karena ia memiliki keluarga baru yang begitu perhatian dan penuh limpahan kasih sayang. Nikmat mana lagi yang harus Elsha abaikan?Semua yang ia terima di kehidupan ini, ada baik dan buruknya. Tidak ada kehidupan yang selalu buruk dari awal hingga akhir. Pun, sama, tidak ada kehidupan yang selalu baik dari awal hingga akhir. Pasti ada titik masalah.Untuk Elsha sendiri, buruknya kehidupan yang ia rasakan adalah saat ditinggalkan kedua orangtuanya. Lalu, baiknya bertemu orang-orang baru.Membahas orangtua, Elsha tiba-tiba saja meneteskan air mata. Ia sudah tahu seberat apa perjuangan seorang
Minggu ke-40 yang ditunggu-tunggu Aris dan Elsha akhirnya tiba juga. Sangat mendebarkan dan menegangkan. Anak pertama mereka akan lahir ke dunia.Seperti halnya kedua suami istri itu, Donita dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Ini adalah cucu pertama bagi Donita dan keponakan pertama juga bagi Arjun dan Andreas serta para istri dan kedua putri Donita.Elsha menarik napas berulang kali. Matanya terpejam dengan dahi yang dipenuhi oleh keringat. Aris yang berada di atasnya membisikkan kata-kata sayang dan semangat untuk sang istri tercinta."Ayo, Bu, sedikit lagi," Dokter menyuruh Elsha untuk terus mengejan mengikuti arahannya."Ayo, Sayang, kamu bisa," bisik Aris. Pria itu duduk di kursi tepat di atas kepala Elsha yang terbaring. Sehingga Aris mudah untuk mengelus kepala wanita tersebut.Suara tangis bayi yang memekakkan telinga membuat Aris berseru syukur dan mengecup kening Elsha. Elsha bernapas lega seketika saat merasa plong begitu saj
Elsha tidak pernah sekali pun meragukan perkataan dan rencana Aris. Jika pria itu sudah berkata A, maka yang akan terwujud jelas A. Seperti saat ini, Aris benar-benar menyuruh orang untuk membereskan barang-barang penting yang harus mereka bawa.“Itu gak usah, Mbak, tinggalin aja,” larang Elsha saat seorang wanita ingin memasuki sebuah kotak yang Elsha tahu isinya apa.“Ini taruh di dalam box itu aja, biar nanti saya gak pusing nyarinya,” kata Elsha lagi saat salah satu barang yang biasa dia pakai hendak dimasukkan ke dalam box barang kerjaan suaminya.“Yang,” Aris datang dengan segelas susu untuk Elsha. Pria itu duduk di sebelah Elsha memperhatikan tiga orang yang sedang berbenah.“Banyakan barang-barang bayi. Tahu gini, mending aku suruh kemarin orang store anter ke rumah baru aja,” decak Aris.“Ya, kan, gak tahu. Gak bakal nyangka juga ini bakal pindah cepet begini,” balas Elsh
Berselang tiga hari setelah Elsha keluar dari rumah sakit, Aris menghubungi Arjun. Pria itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk meminta bantuan sang kakak. Berbeda dengan Aris, Andreas malah lebih memilih langsung menemui pria itu. Menurutnya lebih puas menjelaskan kondisi saat ini secara bertatap muka.“Suruh Aris ke sini,” titah Arjun kepada Andreas.“Gak bisa, dia jagain Kak El sama Sashi di rumah. Lo yang ke sana aja gimana, Mas? Mampir bentar habis pulang kampus,” pinta Andreas.Arjun tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk pelan. Dia akan menelepon Alura untuk mengabari kalau ia akan mampir ke rumah adiknya sebentar. Agar istrinya tidak menunggu Arjun seperti kemarin.Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Andreas pamit pergi. Sedangkan Arjun Kembali melanjutkan pekerjaannya. Saat sedang fokus, ponsel Arjun berdering, panggilan masuk ketiga kalinya hari ini dari orang yang sama. Aris.Di sebran
Elsha terpekur. Aris sampai bingung melihat istrinya. Mata Elsha hanya fokus pada ponsel di tangannya. Aris mendekat dan mengelus lengan Elsha."Sayang....""Mas, lihat, baca." Elsha menyerahkan ponselnya pada Aris. Pria itu membaca setiap teks yang masuk ke ponsel sang istri.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat bagi Elsha. Kini ia merasa bahagia. Apalagi Donita sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Keduanya juga sudah akrab seperti anak dan ibu, bukan seperti menantu dan mertua. Elsha berterima kasih kepada buah cintanya dan Aris. Berkat janin itulah Donita perlahan menerimanya."El, ini bagus, deh," Donita menghampiri Elsha dengan beberapa pakaian bayi-bayi lucu. "Pilih warna netral aja biar nanti pas bayinya lahir bisa dipake cowok maupun cewek," lanjutnya.Elsha mengangguk saja. Dia dan Aris memang sengaja untuk tidak menanyai jenis kelamin janinnya kepada dokter. Mereka ingin kejutan. Apa pun jenis kelaminnya, mereka terima dengan bahagia."Abu-abu ini bagus, Mi," kata Elsha.Donita setuju, dia juga sejak tadi lebih tertarik pada warna tersebut. "Ambil semua aja, deh, ya, Mami gak rela balikin ini, lucu," ucapnya menatap tangan kirinya yang memegang baju warna biru."Udah, borong aja," Aris yang sejak tadi be
Elsha keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Aris yang masuk ke dalam kamar. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya terlihat lelah dan pakaiannya tidak serapi tadi pagi. Elsha berjalan mendekat saat Aris sudah mengunci pintu. Telapak tangannya mengusap dada bidang Aris, lalu ia tersenyum sambil mendongak menatap sang suami."Capek?" tanyanya.Aris balas tersenyum. Melihat sambutan Elsha dan senyuman yang merekah indah di bibirnya saja sudah membuat Aris bahagia. Lelah bekerja sudah sering pria itu rasakan sejak dulu. Tapi berbeda dengan sekarang. Lelahnya terbayar dengan sosok Elsha."Sedikit." Aris menarik Elsha semakin menempel dengan tubuhnya. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya. Kakinya perlahan berjalan maju sehingga Elsha perlahan mundur."Wangi banget, sih," Aris mengendus leher jenjang Elsha, membuat sang istri tersenyum kegelian."Mandi dulu, ya, aku siapin air hangat," suruh Elsha.Aris tidak melepaskan belitan lengannya
"Mas, ini penting gak?"Aris menoleh, lalu mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Elsha yang melihat tingkah menyebalkan sang suami langsung saja mendengkus sambil menghentakkan kaki memasuki kamar mandi."Tuh laki kenapa, sih? Tadi siang senyum-senyum kayak orang gila, sekarang cuek banget," gerutu Elsha saat berdiri di depan wastafel menatap pantulan dirinya."Aw," Elsha meringis saat tangannya tak sengaja menyenggol agak kuat buah dadanya. "Nyeri banget," keluhnya.Usai membasuh wajah, Elsha membuka pintu kamar mandi dan hendak keluar. Tapi, Langkah kakinya sontak terhenti Ketika Aris berdiri di depannya dengan sebuket bunga. Ingatan Elsha tiba-tiba saja berputar ke hari di mana Aris melamarnya. Seperti déjà vu. Saat itu, Elsha juga baru keluar dari kamar mandi dan terdiam ketika matanya langsung disuguhkan dengan buket bunga besar di depan matanya."Mas...," cicitnya.