Elsha bergerak lincah di dapur apartemen Aris. Wanita itu tengah membuatkan bubur untuk Aris. Benar. Pria itu ternyata tengah demam. Elsha tadi juga sudah mampir ke apotek membeli beberapa obat untuk jaga-jaga kalau saja di sini tidak ada obat apa pun.
"Akhirnya," Elsha bernapas lega saat bubur yang dibuatnya sudah jadi.
Elsha melirik ruang tamu di mana Aris tengah berbaring di sofa. Pria itu sama sekali tidak mau Elsha suruh untuk pindah ke dalam kamar. Padahal lebih nyaman tidur di atas kasur daripada sofa.
Setelah meletakkan mangkuk berisi bubur dan gelas berisi air putih ke atas nampan, Elsha berjalan ke ruang tamu. Wanita itu meletakkan nampan ke atas meja di depan sofa lalu mendekat ke tempat Aris berbaring.
"Mas, bangun dulu," panggil Elsha sambil menepuk pelan pipi Aris.
Aris mengerjap dan membuka mata, lalu menatap wajah Elsha yang kini sangat dekat dengannya. Aris tersenyum dan menarik tangan Elsha untuk dia bawa ke pipinya sebagai bantalan.
"Mas, bangun, makan dulu habis itu minum obat. Aku udah capek masakim kamu bubur loh," keluh Elsha dengan helaan napas panjang.
Entah kenapa Elsha harus peduli kepada pria ini. Padahal bisa saja, kan, Elsha mengabaikan panggilan Aris untuk ke sini. Tapi memang dasarnya hati tidak bisa dibohongi. Seberapa kuat pun Elsha mencoba untuk menyangkal perasaannya kepada Aris, Elsha tahu hatinya masih dimiliki oleh pria itu.
Kalau pun Aris tidak ada di dalam sana, mungkin sudah sejak dulu Elsha menerima berbagai tawaran kencan dari pria yang dikenalnya. Tapi Elsha sama sekali tidak memikirkan soal kisah cintanya karena sibuk mencari uang dan masih terjebak dengan cinta pertamanya.
"Kepalaku pusing," keluh Aris sambil memijit pelipisnya.
Elsha akhirnya mengalah dan meraih nampan untuk dia pangku. Elsha membantu Aris untuk duduk dan wanita itu menyuapinya. Aris menatap setiap gerakan yang Elsha lalukan. Dia rindu momen seperti ini.
Dulu, saat mereka masih berpacaran, Elsha adalah gadis yang sangat perhatian dan penuh cinta. Salah satu alasan kenapa Aris tergila-gila padanya. Hingga sekarang.
"Kamu nginap, ya," pinta Aris.
Elsha terus menyuapi Aris dengan telaten sehingga bubur di mangkuk itu habis. Lalu, Elsha membantu Aris untuk minum obat juga. Setelahnya, wanita itu menyuruh Aris untuk pindah ke kamar dengan sedikit paksaan.
"El, nginap, ya," pinta Aris lagi menahan tangan Elsha yang hendak beranjak meninggalkan kamarnya.
"Sashi sendirian di rumah," ujar Elsha sambil menarik selimut hingga sebatas dada Aris. Wanita itu juga meletakkan kain kompres di kening Aris agar panas badannya menurun.
"Mending kamu telpon mami kamu atau siapa pun yang bisa jaga kamu malam ini," lanjut Elsha sambil bersedekap dada memperhatikan pria yang kini terbaring lemah di atas ranjang.
"Kamu pulang aja. Aku bisa sendiri," ucap Aris memejamkan mata.
"Oke. Aku saranin kamu telpon mantan istri kamu aja buat ngerawat kamu selama demam." Elsha berjalan keluar dari kamar Aris sambil menutup pintu kamar dan meraih tasnya di sofa ruang tamu lalu keluar dari unit apartemen Aris.
Elsha sudah membersihkan juga dapur Aris karena tadi sedikit berantakan setelah dia pakai untuk memasak bubur.
"Ngaco," desis Aris setelah dirinya tinggal sendirian di dalam kamar. Aris meraih ponsel dan menghungi seseorang. "Pastikan dia aman sampai ke rumahnya."
Setelahnya panggilan berakhir, Aris memilih duduk dan membuka laci nakas di sebelah ranjang. Aris meraih botol kecil yang tadi sempat dia ambil dari dalam tas Elsha. Hasil menggeledah ilegal.
"Kamu gak akan bisa kabur lagi dari aku, El, tunggu aja."
Aris tersenyum sinis dan meletakkan kembali botol kecil itu. Botol kecil berisi pil yang selalu Elsha konsumsi sehabis bercinta dengannya. Aris sudah mengambil pil sialan itu dan menggantinya dengan pil yang lain. Botolnya mungkin masih sama, tapi isinya? Hanya Aris yang tahu.
"Kasihan benih gue selama ini terbunuh sia-sia."
***
Elsha membuka mata saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar. Tak lama setelahnya, sosok Sashi masuk dan tersenyum lebar. Elsha menguap dan merentangkan tangannya mengode Sashi. Perempuan itu segera mendekat dan memeluk sang kakak dengan manja. Elsha mencium puncak kepala Sashi membuat sang adik mengurai pelukan mereka.
"Aku udah masak sarapan. Ayo makan," ajak Sashi sambil menarik lengan Elsha untuk bangkit dari atas ranjang.
Elsha tertawa dan menyuruh Sashi menunggu sebentar agar dia bisa membasuh wajah dan menggosok gigi. Lalu wanita itu mengikuti langkah Sashi keluar kamar dan menuju ke dapur.
"Tadi malam Kakak pulang jam berapa?" tanya Sashi sambil menuangkan susu putih ke dalam gelas Elsha.
"Hm, gak tahu, lupa. Kamu udah tidur pulas pas Kakak pulang," jawab Elsha.
Sashi duduk di depan Elsha dan mereka mulai menyantap sarapan yang telah Sashi masak. Elsha selalu memuji keahlian memasak adiknya. Beginilah mereka, saling melengkapi. Elsha bekerja keras untuk menghidupi keduanya, dan Sashi yang selalu tahu cara untuk mengobati rasa lelahnya.
"Kamu gak kampus hari ini?"
Sashi menggeleng. "Dosennya gak masuk. Cuma ngasih tugas aja."
Elsha mengangguk. Mereka membahas berbagai hal mengenai perkuliahan Sashi. Elsha tampak semangat saat Sashi bercerita tentang kesehariannya di kampus yang sama sekali tidak mempunyai teman.
"Gak papa. Kadang menyendiri itu lebih baik daripada berteman tapi cuma dimanfaatkan. Kakak gak mau nanti teman kamu gak tulus temenan sama kamu. Asal kamu enjoy sama keseharian seperti sekarang, Kakak dukung kok apa pun itu."
Sashi tersenyum dan mengangguk. "Aku nyaman kok kayak sekarang. Gak perlu terikat sama siapa pun dan gak ada batasan harus begini begitu."
Elsha menepuk tangan Sashi dan tersenyum bangga. Selain cantik, adiknya juga berprestasi. Hal itulah yang selalu Elsha jadikan motivasi untuk giat bekerja. Agar adiknya meraih pendidikan yang layak. Agar otak briliannya tidak terbuang sia-sia.
"Siapa itu?" tanya Sashi saat bel rumah mereka berbunyi.
Elsha mengedikkan bahu, lalu beranjak untuk membuka pintu rumah. Sedangkan Sashi melanjutkan sarapannya. Elsha membuka pintu dan melotot saat pria di depannya tersenyum lebar. Elsha menutup pintu rumah dari luar dan menarik Aris menjauh.
"Kamu ngapain ke sini?!" serunya panik.
Aris terkekeh. "Jangan galak-galak dong. Masih pagi ini."
Elsha mendengkus. "Udah waras kamu?"
Aris berdecak dan geleng-geleng kepala. "Aku tadi malem itu demam, bukan gila."
Elsha mendorong Aris untuk kembali memasuki mobil pria itu. "Kenapa sih?" tanya Aris heran.
"Ada Sashi di dalam. Kamu mending pergi, deh. Nanti Sashi lihat!"
Aris balik mendorong tubuh Elsha untuk masuk ke kursi penumpang di bagian belakang lalu pria itu ikut menyusul masuk juga.
"Mas!"
"Bentar, El. Aku cuma butuh waktu sebentar."
"Mau apa?!" tanya Elsha sangsi melihat Aris kini mendekatinya.
"Sarapan," jawab Aris sambil mendorong Elsha berbaring dan menindih tubuh wanita itu.
"Kamu gila, hah?! Jangan nekat, Mas!"
Aris bahkan tidak terpengaruh dengan penolakan Elsha yang mendorong tubuhnya. Pria itu jauh lebih kuat. Elsha mana mungkin menang melawannya."Mending kamu diem deh, daripada ini mobil makin heboh goyangannya."Elsha melotot. Aris benar-benar sudah gila. Ini masih sangat pagi untuk melakukan hal mesum. Apalagi mereka berada di depan rumah Elsha. Kemungkinan besar orang-orang yang lewat di jalanan depan akan curiga kalau seandainya memang benar mobil ini bergoyang. Dan jangan lupakan Sashi yang bisa saja keluar tiba-tiba."Mas, plis," ujar Elsha memohon agar Aris tidak melanjutkan aksi nekatnya.Boro-boro berhenti, Aris malah semakin menindih Elsha dan mengendus tubuh wanita itu. Elsha menyerah. Matanya nyalang menatap atap mobil. Sekuat tenaga Elsha menahan segala suara yang akan keluar dari bibirnya.Aris tersenyum di ceruk leher Elsha. Dia menang. "Diem, aku janji cuma sebentar," bisik Aris lembut sambil mengecup pipi Elsha.Ya, aksi jinga
Aris mendengar pintu ruangannya diketuk, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di atas meja kerja. Sejak lamarannya tertolak tadi pagi, Aris tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pria itu sibuk melamun memikirkan kekurangan apa yang ada pada dirinya sehingga Elsha menolaknya."Woi!"Aris terlonjak kaget sehingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Mata tajam pria itu menatap jengkel pada pelaku yang baru saja memasuki ruangannya."Ngapain lo ke sini?" tanya Aris pada adiknya, Andreas."Gak ada. Mampir."Aris mengusap rambutnya lalu bangkit dan ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Andreas. "Gak kuliah lo?"Andreas menggeleng. "Dosennya gak masuk. Btw, Mas, gue butuh bantuan."Aris menatap adiknya dengan sebelah alis yang terangkat. Bantuan? Dia kira Aris akan sukarela membantunya? Terlalu percaya diri."Apaan? Gak mungkin lo kekurangan duit," cibir Aris."Bukan, Dog. Bantu
Aris terus menyerang Elsha tanpa ampun. Bibirnya tidak berhenti mengecup dan menghisap dengan lembut leher jenjang wanita itu. Yang Elsha lakukan hanya mendesah dan menjambak rambut Aris sebagai pelampiasan."Tubuh kamu gak bisa bohong, El," bisik Aris kala kini wajahnya dan wajah Elsha saling berhadapan.Napas Elsha masih memburu karena menikmati sisa-sisa cumbuan Aris di bibir dan lehernya. Wanita itu tahu kalau dirinya munafik. Bibirnya berkata tidak, tapi tubuhnya mengatakan semua yang ia rasakan. Seberapa besar cintanya pada Aris, dan seberapa pasrah dia disentuh oleh pria itu."Aku benci sama kamu," balas Elsha di depan bibir Aris.Mata Aris tidak lepas menatap ekspresi wanita di atas pangkuannya. Aris tahu Elsha sedang menguji kesabarannya saat ini. Wanita itu ingin memancing amarahnya lebih banyak lagi."Kamu suka lihat aku marah-marah?" tanya Aris dengan suara serak.Mereka tidak hanya sibuk saling membalas ucapan. Tapi tubuh keduan
Pagi hari, sebelum Aris bangun dari tidur lelapnya, Elsha sudah lebih dulu meninggalkan apartemen pria itu. Elsha akan segera pulang karena adiknya pasti akan mencarinya. Saat Elsha tiba di rumah, ternyata Sashi masih tertidur. Wanita itu tersenyum melihat Sashi yang tidur nyenyak di dalam kamarnya. Elsha menutup pintu kamar Sashi, lalu memasuki kamarnya di sebelah kamar sang adik.Elsha merasakan perutnya mual tapi dia tidak muntah. Mungkin dia masuk angin atau sakit mag-nya kambuh. Menghela napas, Elsha meraih obat di dalam tasnya. Lebih tepatnya obat yang ditukar oleh Aris dengan vitamin kesuburan.Elsha meminum dua butir sekaligus karena dia tidak mau hamil anak mantan kekasihnya itu. Elsha menganggap ini sebagai pekerjaannya untuk memuaskan hasrat duda tersebut. Elsha tidak akan terikat lagi dengan Aris karena Elsha tahu, keluarga pria itu bukan keluarga yang selevel dengannya."Kak?"Elsha menoleh kala pintu kamarnya terbuka dan Sashi melongok kan k
Elsha menatap pintu kamarnya yang terbuka. Sashi tersenyum padanya. "Aku pergi dulu, ya, Kak, mau nitip sesuatu gak? Sekalian, kan, di minimarket juga," tawar Sashi."Hm, beliin es krim rasa vanila dong. Lagi kepengin itu," kata Elsha pelan.Sashi mengangguk dan berlalu dari hadapan Elsha. Sepeninggalan sang adik, Elsha kembali memejamkan mata. Sosok Aris tiba-tiba terlintas di benaknya. Pria itu bilang otw ke sini, tapi belum juga sampai. Dan ini sudah beberapa jam berlalu sejak Aris mengatakan hal tersebut."Baguslah kalau tuh laki gak jadi ke sini," Elsha mendengkus pelan dalam pejaman matanya.Dalam sudut hati Elsha ada sedikit rasa khawatir. Apa sesuatu terjadi pada Aris? Elsha tahu Aris sejak dulu, kalau sudah mengatakan A maka pria itu pasti akan melakukannya. Kalau pun membatalkannya, Aris pasti juga akan memberitahukannya."Ish! Nyebelin banget sih tuh laki. Mondar-mandir mulu di pikiranku!Elsha meraih ponselnya yang berad
Aris menatap khawatir pada Elsha yang masih mengeluh pusing. Meski wanita itu sudah ia baringkan di atas kasur, tapi Aris tahu kalau Elsha tetap saja tidak merasa lebih baik."Sebentar, aku telpon dokter aja," Aris hendak beranjak dari duduknya di tepi kasur Elsha, tapi lengannya lebih dulu ditahan oleh wanita itu."Gak usah. Kamu pulang aja. Aku mau istirahat. Paling nanti juga enakan," Elsha tidak mau merepotkan siapa pun malam ini."El, kamu gak bisa abai gini sama keadaan kamu. Dari kapan kamu ngerasa pusing begini?"Elsha menghela napas panjang. Dia lupa kalau pria yang sedang bersamanya ini adalah pria yang keras kepala menyangkut keadaan orang yang disayanginya."Mas, aku cuma pusing biasa. Bukannya kena penyakit mematikan. Plis, jangan lebay. Ini tuh gara-gara kamu juga yang sering bikin aku kurang waktu istirahat!"Aris mencebikkan bibir mendengar penuturan terlalu jujur dari bibir Elsha. Aris jadi merasa bersalah. "Apa kamu hamil,
Usai berbelanja kebutuhan rumah, Elsha dan Sashi memutuskan untuk membeli sarapan sebelum kembali pulang. Tadi mereka memang tidak memasak apa pun karena stok bahan makanan juga sudah habis. Tidak biasanya mereka seperti ini. Sebelumnya Elsha yang selalu rutin mengecek kebutuhan dapur dan kebutuhan lainnya. Tapi entah kenapa, beberapa hari belakang ini wanita itu jadi malas dan seakan lupa."Sebentar," Elsha berlalu dari hadapan Sashi untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya."Kenapa?""Kamu ke mana? Aku keliling nyariin gak ada, mobil aku juga gak ada. Kabur?"Elsha memutar bola mata jengah. Ya, kali kabur pakai mobil si duda itu. Yang ada Elsha lebih dulu ditemukan sebelum mencapai tempat tujuan."Lagi belanja sama Sashi. Ini lagi beli sarapan bentar.""Oh, oke. Aku porsidoubleya, laper banget dari semalam belum makan."Elsha menghela napas pelan. Jadi pria itu belum makan sejak semalam
Aris memasuki apartemen dengan helaan napas Panjang. Pria itu melempar ponsel yang dia genggam ke atas sofa. Pikiran Aris sedang tidak baik-baik saja. Hatinya pun juga sama. Tapi Aris bisa apa untuk meluluhkan Elsha selain dengan bersabar, lalu menunjukkan semua perjuangannya. Kalau nanti Elsha masih saja menolaknya, Aris benar-benar akan mengirimkan santet pada wanita itu.Aris memilih duduk terkapar seperti orang yang mau mati enggan hidup pun segan. Yang dilakukannya hanya menghela napas berkali-kali seperti manusia yang memikul beban terberat di dunia. Ponselnya berdering, Aris meraih benda pipih itu dengan malas. Tanpa melihat nama si pemanggil, Aris segera menjawab panggilan tersebut."Hm?""Di mana lo?""Hm?""Di mana lo?""Hm?""Bangsat!"Tawa Aris berderai. Ternyata membuat orang kesal itu menyenangkan. Pantas saja Elsha hobi melakukannya dan Aris selalu menjadi korban. "Apaan? Kalau enggak p
"Pa?"Sultan mendongak menatap Aris yang kini sedang memijit pelan kaki Elsha. Wanita itu mengeluh sakit pada kakinya karena tadi tersandung di undakan tangga saat mau ke lantai dua."Kaki Mami sakit," jawab Aris."Kit? Pa?"Aris terkekeh. "Bantu Papi pijit dong, Bang, itu sebelahnya," suruh Aris.Bocah itu lantas beranjak dengan semangat meski awalnya terduduk lagi karena gerakannya tergesa. Elsha yang tengah duduk bersandar di kaki sofa memperhatikan saja bagaimana Sultan memijit kakinya."AW," ringis wanita itu saat Aris memijitnya sedikit kuat."No!" Sultan melotot pada Aris karena membuat Elsha kesakitan.“Parah, sih, ini si embul bakal posesif banget sama kamu, Yang,” decak Aris.Elsha tertawa dan mencubit gemas pipi Sultan yang tampak memerah. “Botol susunya tadi ketinggalan di rumah Mama Sashi, ya, Bang,” katanya.Sultan mengangguk lucu, “ndak pa,” balasnya.&ldqu
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang sangat disyukuri. Elsha merasakan itu. Pertama, bersyukur karena sebelumnya ia masih diberi kesehatan oleh sang pencipta sehingga bisa mencari nafkah untuknya dan Sashi.Kedua, bersyukur karena ia dipertemukan kembali dengan Aris dan menjalin hubungan serius hingga memiliki bayi mungil seperti saat ini.Ketiga, bersyukur karena ia memiliki keluarga baru yang begitu perhatian dan penuh limpahan kasih sayang. Nikmat mana lagi yang harus Elsha abaikan?Semua yang ia terima di kehidupan ini, ada baik dan buruknya. Tidak ada kehidupan yang selalu buruk dari awal hingga akhir. Pun, sama, tidak ada kehidupan yang selalu baik dari awal hingga akhir. Pasti ada titik masalah.Untuk Elsha sendiri, buruknya kehidupan yang ia rasakan adalah saat ditinggalkan kedua orangtuanya. Lalu, baiknya bertemu orang-orang baru.Membahas orangtua, Elsha tiba-tiba saja meneteskan air mata. Ia sudah tahu seberat apa perjuangan seorang
Minggu ke-40 yang ditunggu-tunggu Aris dan Elsha akhirnya tiba juga. Sangat mendebarkan dan menegangkan. Anak pertama mereka akan lahir ke dunia.Seperti halnya kedua suami istri itu, Donita dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Ini adalah cucu pertama bagi Donita dan keponakan pertama juga bagi Arjun dan Andreas serta para istri dan kedua putri Donita.Elsha menarik napas berulang kali. Matanya terpejam dengan dahi yang dipenuhi oleh keringat. Aris yang berada di atasnya membisikkan kata-kata sayang dan semangat untuk sang istri tercinta."Ayo, Bu, sedikit lagi," Dokter menyuruh Elsha untuk terus mengejan mengikuti arahannya."Ayo, Sayang, kamu bisa," bisik Aris. Pria itu duduk di kursi tepat di atas kepala Elsha yang terbaring. Sehingga Aris mudah untuk mengelus kepala wanita tersebut.Suara tangis bayi yang memekakkan telinga membuat Aris berseru syukur dan mengecup kening Elsha. Elsha bernapas lega seketika saat merasa plong begitu saj
Elsha tidak pernah sekali pun meragukan perkataan dan rencana Aris. Jika pria itu sudah berkata A, maka yang akan terwujud jelas A. Seperti saat ini, Aris benar-benar menyuruh orang untuk membereskan barang-barang penting yang harus mereka bawa.“Itu gak usah, Mbak, tinggalin aja,” larang Elsha saat seorang wanita ingin memasuki sebuah kotak yang Elsha tahu isinya apa.“Ini taruh di dalam box itu aja, biar nanti saya gak pusing nyarinya,” kata Elsha lagi saat salah satu barang yang biasa dia pakai hendak dimasukkan ke dalam box barang kerjaan suaminya.“Yang,” Aris datang dengan segelas susu untuk Elsha. Pria itu duduk di sebelah Elsha memperhatikan tiga orang yang sedang berbenah.“Banyakan barang-barang bayi. Tahu gini, mending aku suruh kemarin orang store anter ke rumah baru aja,” decak Aris.“Ya, kan, gak tahu. Gak bakal nyangka juga ini bakal pindah cepet begini,” balas Elsh
Berselang tiga hari setelah Elsha keluar dari rumah sakit, Aris menghubungi Arjun. Pria itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk meminta bantuan sang kakak. Berbeda dengan Aris, Andreas malah lebih memilih langsung menemui pria itu. Menurutnya lebih puas menjelaskan kondisi saat ini secara bertatap muka.“Suruh Aris ke sini,” titah Arjun kepada Andreas.“Gak bisa, dia jagain Kak El sama Sashi di rumah. Lo yang ke sana aja gimana, Mas? Mampir bentar habis pulang kampus,” pinta Andreas.Arjun tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk pelan. Dia akan menelepon Alura untuk mengabari kalau ia akan mampir ke rumah adiknya sebentar. Agar istrinya tidak menunggu Arjun seperti kemarin.Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Andreas pamit pergi. Sedangkan Arjun Kembali melanjutkan pekerjaannya. Saat sedang fokus, ponsel Arjun berdering, panggilan masuk ketiga kalinya hari ini dari orang yang sama. Aris.Di sebran
Elsha terpekur. Aris sampai bingung melihat istrinya. Mata Elsha hanya fokus pada ponsel di tangannya. Aris mendekat dan mengelus lengan Elsha."Sayang....""Mas, lihat, baca." Elsha menyerahkan ponselnya pada Aris. Pria itu membaca setiap teks yang masuk ke ponsel sang istri.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat bagi Elsha. Kini ia merasa bahagia. Apalagi Donita sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Keduanya juga sudah akrab seperti anak dan ibu, bukan seperti menantu dan mertua. Elsha berterima kasih kepada buah cintanya dan Aris. Berkat janin itulah Donita perlahan menerimanya."El, ini bagus, deh," Donita menghampiri Elsha dengan beberapa pakaian bayi-bayi lucu. "Pilih warna netral aja biar nanti pas bayinya lahir bisa dipake cowok maupun cewek," lanjutnya.Elsha mengangguk saja. Dia dan Aris memang sengaja untuk tidak menanyai jenis kelamin janinnya kepada dokter. Mereka ingin kejutan. Apa pun jenis kelaminnya, mereka terima dengan bahagia."Abu-abu ini bagus, Mi," kata Elsha.Donita setuju, dia juga sejak tadi lebih tertarik pada warna tersebut. "Ambil semua aja, deh, ya, Mami gak rela balikin ini, lucu," ucapnya menatap tangan kirinya yang memegang baju warna biru."Udah, borong aja," Aris yang sejak tadi be
Elsha keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Aris yang masuk ke dalam kamar. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya terlihat lelah dan pakaiannya tidak serapi tadi pagi. Elsha berjalan mendekat saat Aris sudah mengunci pintu. Telapak tangannya mengusap dada bidang Aris, lalu ia tersenyum sambil mendongak menatap sang suami."Capek?" tanyanya.Aris balas tersenyum. Melihat sambutan Elsha dan senyuman yang merekah indah di bibirnya saja sudah membuat Aris bahagia. Lelah bekerja sudah sering pria itu rasakan sejak dulu. Tapi berbeda dengan sekarang. Lelahnya terbayar dengan sosok Elsha."Sedikit." Aris menarik Elsha semakin menempel dengan tubuhnya. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya. Kakinya perlahan berjalan maju sehingga Elsha perlahan mundur."Wangi banget, sih," Aris mengendus leher jenjang Elsha, membuat sang istri tersenyum kegelian."Mandi dulu, ya, aku siapin air hangat," suruh Elsha.Aris tidak melepaskan belitan lengannya
"Mas, ini penting gak?"Aris menoleh, lalu mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Elsha yang melihat tingkah menyebalkan sang suami langsung saja mendengkus sambil menghentakkan kaki memasuki kamar mandi."Tuh laki kenapa, sih? Tadi siang senyum-senyum kayak orang gila, sekarang cuek banget," gerutu Elsha saat berdiri di depan wastafel menatap pantulan dirinya."Aw," Elsha meringis saat tangannya tak sengaja menyenggol agak kuat buah dadanya. "Nyeri banget," keluhnya.Usai membasuh wajah, Elsha membuka pintu kamar mandi dan hendak keluar. Tapi, Langkah kakinya sontak terhenti Ketika Aris berdiri di depannya dengan sebuket bunga. Ingatan Elsha tiba-tiba saja berputar ke hari di mana Aris melamarnya. Seperti déjà vu. Saat itu, Elsha juga baru keluar dari kamar mandi dan terdiam ketika matanya langsung disuguhkan dengan buket bunga besar di depan matanya."Mas...," cicitnya.