Aris mendengar pintu ruangannya diketuk, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di atas meja kerja. Sejak lamarannya tertolak tadi pagi, Aris tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pria itu sibuk melamun memikirkan kekurangan apa yang ada pada dirinya sehingga Elsha menolaknya.
"Woi!"
Aris terlonjak kaget sehingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Mata tajam pria itu menatap jengkel pada pelaku yang baru saja memasuki ruangannya.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Aris pada adiknya, Andreas.
"Gak ada. Mampir."
Aris mengusap rambutnya lalu bangkit dan ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Andreas. "Gak kuliah lo?"
Andreas menggeleng. "Dosennya gak masuk. Btw, Mas, gue butuh bantuan."
Aris menatap adiknya dengan sebelah alis yang terangkat. Bantuan? Dia kira Aris akan sukarela membantunya? Terlalu percaya diri.
"Apaan? Gak mungkin lo kekurangan duit," cibir Aris.
"Bukan, Dog. Bantu gue cepet sarjana tanpa ikut kelas yang melelahkan," kata Andreas lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa Aris. Lebay.
"Belagu lo!" Aris melempar bantal sofa sehingga mengenai wajah adiknya.
"Gue serius, Mas. Gue capek kuliah. Membosankan."
"Nikah sono."
"Ogah. Gak mau diatur-atur gue. Cewek ribet."
Aris geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan isi otak sang adik. "Kalau lo ke sini cuma bikin gue tambah pusing, mending lo pergi sana. Kerjaan gue banyak." Aris melonggarkan dasinya dan membuka dua kancing teratas kemeja kerjanya.
"Banyak kerjaan apaan? Lo ngelamun!" ejek Andreas.
"Pergi gak lo?!" Aris bersiap untuk melempar lagi bantal sofa membuat Andreas dengan ogah-ogahan bangkit dari sofa.
"Btw, Mas,"
"APA? APA LAGI?!"
Andreas terkekeh, "sekretaris lo boleh juga."
"Bajingan!" Aris benar-benar melayangkan bantal sofa di tangannya sehingga menghantam wajah menyebalkan Andreas.
"Dua kali, ya, awas lo!" Andreas menunjuk Aris dengan wajah tengilnya lalu pergi dari sana sambil bersiul.
"Edan!" maki Aris, lalu beranjak ke meja kerjanya untuk meraih ponsel. Aris akan menghubungi para sahabatnya. Dia ingin ke kelab dan minum malam ini. Dia butuh teman. Pria itu melirik jam di ponselnya, pukul tiga sore.
"Harusnya mereka udah kelar kerja," ujar Aris meraih jasnya lalu berjalan meninggalkan ruangan.
"Bapak pulang sekarang?" tanya sekretaris Aris.
"Hm," jawab Aris tanpa melihat kalau wanita yang menyapanya itu tengah menanti perhatiannya.
"Terlalu dingin," desis sekretaris Aris setelah pria itu berlalu masuk ke dalam lift.
"Di mana lo?" tanya Aris pada orang yang ia hubungi.
"Di jalan. Kenapa? Kangen lo sama gue?"
Aris memutar bola mata jengah. "Ntar malem ke kelab, gue bosan."
"Siap, Bos!"
Aris memutuskan sambungan teleponnya dengan Bian dan berganti menghubungi Dio serta Arkan. Setelah memastikan ketiga sahabatnya bisa bergabung, Aris mengantongi ponselnya dan berlalu menuju lobi saat pintu lift terbuka.
"Elsha, aku pastiin kamu bakal jadi milik aku," bisik Aris saat isi kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan wanita itu.
***
"Tumben," sindir Bian saat Aris meneguk gelas ketiga miliknya.
"Kerjaan?" tanya Arkan.
Dio tidak ikut bersuara karena dari wajah kusut Aris saja bisa ia simpulkan kalau sahabatnya itu tidak ada masalah apa pun soal pekerjaan. Pasti ini soal Elsha.
"Gue lamar Elsha," Aris mulai menceritakan kegalauannya membuat ketiga sahabatnya geleng-geleng kepala.
"Gak ada lagi orang gila kayak lo. Sumpah, langka banget ini spesies orang gila satu."
Aris menatap Dio dengan tatapan kesal. "Gue gila karena tuh wanita satu nolak gue, coba kalau diterima, gak bakal gini," balas Aris.
Bian dan Arkan terkekeh. Miris sekali nasib percintaan sahabat mereka satu itu.
"Gue kalau jadi Elsha juga gak bakal nerima elo, bangsat. Lo bayangin aja, waktu dan tempatnya gak mendukung sama sekali," decak Bian.
"Salahnya di mana?" tanya Aris tidak habis pikir membuat ketiga sahabatnya kompak mendengkus kesal.
"Lo habis naena di mobil terus lamar anak orang. Ya, ditolak, goblok! Lo pikir Elsha segampang itu buat nerima elo yang bermodal burung sama cincin doang?" Arkan berkata sinis.
"Tahu nih laki gak ada romantisnya sama sekali." Dio ikut memanasi suasana.
Aris menjambak rambutnya karena frustasi. Bisa-bisanya ketiga bangsat itu menyudutkannya. Harusnya, kan, mereka menghibur Aris yang sedang galau ini.
"Terus gue harus gimana biar bisa diterima?" Aris bertanya dengan lemas.
"Gue ada ide," ujar Bian.
"Apaan?" tanya ketiganya kompak.
"Lo bikin hamil."
Aris memutar bola mata. "Tanpa lo suruh juga itu udah jadi tujuan utama gue."
"Yaudah, tunggu waktunya aja. Asal lo rajin aja membuahi."
Aris menatap Dio dengan tatapan jijik. "Obrolan macam apa ini, bangsat!"
Ketiganya terbahak, lalu sama-sama tersedak saat menatap sosok yang sejak tadi mereka bicarakan muncul dengan seorang pria.
"Ris, Elsha!"
Aris menoleh dengan cepat kala mendengar suara Arkan. Benar. Elsha di sana bersama seorang pria yang Aris tidak tahu siapa. Rahang Aris mengeras dan pria itu bangkit berdiri dengan kedua tangan mengepal. Apalagi saat melihat Elsha dipeluk oleh pria sialan di sana.
Tanpa aba-aba, Aris melayangkan tinjunya mengenai wajah pria bersama Elsha membuat beberapa pengunjung kelab di sana berteriak kaget. Elsha langsung menutup mulutnya. Kini mata wanita itu melotot saat Aris dengan membabi buta menghajar pria yang terbaring di lantai dan ia menindihnya.
"Mas!" Elsha mencoba menarik lengan Aris tapi sia-sia. Kekuatan Aris jelas menakutkan dalam keadaan marah seperti ini. Elsha sudah berkaca-kaca karena melihat pria yang Aris hajar hampir tak sadarkan diri.
"MAS, STOP!" teriak Elsha ketakutan.
Aris yang hendak melayangkan tinjunya ke wajah pria di bawahnya seketika berhenti mendengar suara wanita itu bergetar. Napas Aris terengah-engah menatap pria yang wajahnya sudah babak belur. Aris beranjak, lalu menarik tangan Elsha untuk pergi dari sana.
"Mas, sakit!"
Aris tidak mendengarkan keluhan Elsha. Pria itu terus berjalan menuju mobilnya, lalu mendorong Elsha masuk saat pintunya ia buka. Aris membanting pintu di sebelah Elsha membuat wanita itu terlonjak kaget sambil mengelus dada.
"Kamu gila, hah?!"
Aris menatap Elsha dan tersenyum miring. "Kamu bakal lihat segila apa aku malam ini," ujarnya mulai menginjak pedal gas dan mengemudi seperti orang kesetanan. Ugal-ugalan.
"MAS! KITA BISA MATI!"
Aris tidak peduli dengan teriakan nyaring Elsha. Dia ingin cepat sampai ke apartemen lalu menghukum wanita itu. Rasanya kepala Aris ingin pecah saat memikirkan tubuh wanita yang ia cintai dipeluk oleh pria sialan tadi.
"STOP! AKU MAU TURUN! KALAU ENGGAK AKU BAKAL LONCAT!"
Aris menghentikan mobilnya mendadak di tepi jalan saat Elsha bersiap untuk membuka pintu mobil. "KAMU GILA, HAH?!" teriak Aris menatap nyalang pada Elsha.
"Gak segila kamu!"
Aris mengusap kasar wajahnya, lalu memukul setir mobil untuk melampiaskan kekesalannya. Elsha menatap Aris dengan pandangan sendu. Pria itu banyak berubah. Tidak ada lagi Aris yang tenang dan sabar seperti dulu. Aris yang Elsha lihat sekarang sangat gegabah dan suka seenaknya.
"Mas,"
Aris menoleh pada Elsha.
"Kamu masih cinta, kan, sama aku?" tanya Elsha memastikan. Aris mengangguk tanpa ragu.
"Kalau gitu, stop ganggu hidup aku. Menjauh. Aku gak mau sama kamu. Aku udah gak ada rasa apa pun sama kamu."
Aris menggenggam erat setir mobil sampai buku jarinya memutih. "Pembohong," desisnya.
"Aku-"
Aris mengangkat Elsha ke atas pangkuannya dan membungkam bibir wanita itu. Aris akan mencari jawabannya sendiri, apakah Elsha masih mencintainya atau tidak.
"Aahh... Mashh...."
Aris terus menyerang Elsha tanpa ampun. Bibirnya tidak berhenti mengecup dan menghisap dengan lembut leher jenjang wanita itu. Yang Elsha lakukan hanya mendesah dan menjambak rambut Aris sebagai pelampiasan."Tubuh kamu gak bisa bohong, El," bisik Aris kala kini wajahnya dan wajah Elsha saling berhadapan.Napas Elsha masih memburu karena menikmati sisa-sisa cumbuan Aris di bibir dan lehernya. Wanita itu tahu kalau dirinya munafik. Bibirnya berkata tidak, tapi tubuhnya mengatakan semua yang ia rasakan. Seberapa besar cintanya pada Aris, dan seberapa pasrah dia disentuh oleh pria itu."Aku benci sama kamu," balas Elsha di depan bibir Aris.Mata Aris tidak lepas menatap ekspresi wanita di atas pangkuannya. Aris tahu Elsha sedang menguji kesabarannya saat ini. Wanita itu ingin memancing amarahnya lebih banyak lagi."Kamu suka lihat aku marah-marah?" tanya Aris dengan suara serak.Mereka tidak hanya sibuk saling membalas ucapan. Tapi tubuh keduan
Pagi hari, sebelum Aris bangun dari tidur lelapnya, Elsha sudah lebih dulu meninggalkan apartemen pria itu. Elsha akan segera pulang karena adiknya pasti akan mencarinya. Saat Elsha tiba di rumah, ternyata Sashi masih tertidur. Wanita itu tersenyum melihat Sashi yang tidur nyenyak di dalam kamarnya. Elsha menutup pintu kamar Sashi, lalu memasuki kamarnya di sebelah kamar sang adik.Elsha merasakan perutnya mual tapi dia tidak muntah. Mungkin dia masuk angin atau sakit mag-nya kambuh. Menghela napas, Elsha meraih obat di dalam tasnya. Lebih tepatnya obat yang ditukar oleh Aris dengan vitamin kesuburan.Elsha meminum dua butir sekaligus karena dia tidak mau hamil anak mantan kekasihnya itu. Elsha menganggap ini sebagai pekerjaannya untuk memuaskan hasrat duda tersebut. Elsha tidak akan terikat lagi dengan Aris karena Elsha tahu, keluarga pria itu bukan keluarga yang selevel dengannya."Kak?"Elsha menoleh kala pintu kamarnya terbuka dan Sashi melongok kan k
Elsha menatap pintu kamarnya yang terbuka. Sashi tersenyum padanya. "Aku pergi dulu, ya, Kak, mau nitip sesuatu gak? Sekalian, kan, di minimarket juga," tawar Sashi."Hm, beliin es krim rasa vanila dong. Lagi kepengin itu," kata Elsha pelan.Sashi mengangguk dan berlalu dari hadapan Elsha. Sepeninggalan sang adik, Elsha kembali memejamkan mata. Sosok Aris tiba-tiba terlintas di benaknya. Pria itu bilang otw ke sini, tapi belum juga sampai. Dan ini sudah beberapa jam berlalu sejak Aris mengatakan hal tersebut."Baguslah kalau tuh laki gak jadi ke sini," Elsha mendengkus pelan dalam pejaman matanya.Dalam sudut hati Elsha ada sedikit rasa khawatir. Apa sesuatu terjadi pada Aris? Elsha tahu Aris sejak dulu, kalau sudah mengatakan A maka pria itu pasti akan melakukannya. Kalau pun membatalkannya, Aris pasti juga akan memberitahukannya."Ish! Nyebelin banget sih tuh laki. Mondar-mandir mulu di pikiranku!Elsha meraih ponselnya yang berad
Aris menatap khawatir pada Elsha yang masih mengeluh pusing. Meski wanita itu sudah ia baringkan di atas kasur, tapi Aris tahu kalau Elsha tetap saja tidak merasa lebih baik."Sebentar, aku telpon dokter aja," Aris hendak beranjak dari duduknya di tepi kasur Elsha, tapi lengannya lebih dulu ditahan oleh wanita itu."Gak usah. Kamu pulang aja. Aku mau istirahat. Paling nanti juga enakan," Elsha tidak mau merepotkan siapa pun malam ini."El, kamu gak bisa abai gini sama keadaan kamu. Dari kapan kamu ngerasa pusing begini?"Elsha menghela napas panjang. Dia lupa kalau pria yang sedang bersamanya ini adalah pria yang keras kepala menyangkut keadaan orang yang disayanginya."Mas, aku cuma pusing biasa. Bukannya kena penyakit mematikan. Plis, jangan lebay. Ini tuh gara-gara kamu juga yang sering bikin aku kurang waktu istirahat!"Aris mencebikkan bibir mendengar penuturan terlalu jujur dari bibir Elsha. Aris jadi merasa bersalah. "Apa kamu hamil,
Usai berbelanja kebutuhan rumah, Elsha dan Sashi memutuskan untuk membeli sarapan sebelum kembali pulang. Tadi mereka memang tidak memasak apa pun karena stok bahan makanan juga sudah habis. Tidak biasanya mereka seperti ini. Sebelumnya Elsha yang selalu rutin mengecek kebutuhan dapur dan kebutuhan lainnya. Tapi entah kenapa, beberapa hari belakang ini wanita itu jadi malas dan seakan lupa."Sebentar," Elsha berlalu dari hadapan Sashi untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya."Kenapa?""Kamu ke mana? Aku keliling nyariin gak ada, mobil aku juga gak ada. Kabur?"Elsha memutar bola mata jengah. Ya, kali kabur pakai mobil si duda itu. Yang ada Elsha lebih dulu ditemukan sebelum mencapai tempat tujuan."Lagi belanja sama Sashi. Ini lagi beli sarapan bentar.""Oh, oke. Aku porsidoubleya, laper banget dari semalam belum makan."Elsha menghela napas pelan. Jadi pria itu belum makan sejak semalam
Aris memasuki apartemen dengan helaan napas Panjang. Pria itu melempar ponsel yang dia genggam ke atas sofa. Pikiran Aris sedang tidak baik-baik saja. Hatinya pun juga sama. Tapi Aris bisa apa untuk meluluhkan Elsha selain dengan bersabar, lalu menunjukkan semua perjuangannya. Kalau nanti Elsha masih saja menolaknya, Aris benar-benar akan mengirimkan santet pada wanita itu.Aris memilih duduk terkapar seperti orang yang mau mati enggan hidup pun segan. Yang dilakukannya hanya menghela napas berkali-kali seperti manusia yang memikul beban terberat di dunia. Ponselnya berdering, Aris meraih benda pipih itu dengan malas. Tanpa melihat nama si pemanggil, Aris segera menjawab panggilan tersebut."Hm?""Di mana lo?""Hm?""Di mana lo?""Hm?""Bangsat!"Tawa Aris berderai. Ternyata membuat orang kesal itu menyenangkan. Pantas saja Elsha hobi melakukannya dan Aris selalu menjadi korban. "Apaan? Kalau enggak p
Seperti biasa, Aris akan melampiaskan semua kekesalan dan kegundahan hatinya ke kerjaan. Bahkan pria itu meminta sekretarisnya untuk memberinya pekerjaan yang sangat sulit agar dia bisa berpikir keras dan melupakan sejenak penolakan Elsha."Bangke! Gue minta kerjaan paling susah, ini sejam doang udah kelar."Lagi, Aris mengeluh kesal karena apa yang dia kerjakan sudah selesai. Aris mencebikkan bibir, lalu duduk menyandar di kursi kebesarannya. Mata Aris mengerjap karena baru sadar kalau meja kerjanya sudah tidak ada celah lagi untuk menaruh barang. Benar-benar penuh oleh tumpukan map-map dan beberapa bungkus makanan.Ketukan di pintu ruangannya membuat Aris sedikit mendongak untuk melihat siapa yang kini berjalan masuk. Sekretarisnya tidak mungkin masuk sebelum Aris mengatakan 'ya'. Itu pasti antara Arjun atau Andreas.Benar."Allahuakbar! Lo habis ngapain, Mas?! Gulung tikar? Perusahaan mau bangkrut? Lo pasti stres berat nih. Gue harus lapor Mas A
Aris duduk di samping Elsha. Hanya itu ruang yang tersisa. Sementara sofa di depannya sudah dipenuhi oleh dua jingan yang sepertinya memang sengaja tidak memberi Aris ruang sedikitpun."Kamu dari mana?" tanya Aris pada Elsha."Habis nemenin Sashi beli sesuatu," Elsha menjawab sambil melirik Aris yang tengah menatapnya."Ayo makan, keburu dingin ini makanan," ajak Andreas sokbossy. Adik Arjun dan Aris itu sejak tadi mencuri pandang pada perempuan cantik yang duduk di sebelah Elsha."Namanya siapa, Mas?" Andreas berbisik pelan pada Arjun. Matanya tak lepas memperhatikan Sashi yang sepertinya tidak peduli sama sekali dengan keadaan sekitar mereka saat ini."El, Andreas mau kenalan sama adik kamu," Arjun berujar santai, sementara Andreas sudah menahan napas dan mengumpati Arjun berulang kali di dalam hati.'Tua sialan!'"Oh, ini, namanya Sashi. Kenalan langsung aja, Dre," ujar Elsha tersenyum geli.Sashi mendongak me
"Pa?"Sultan mendongak menatap Aris yang kini sedang memijit pelan kaki Elsha. Wanita itu mengeluh sakit pada kakinya karena tadi tersandung di undakan tangga saat mau ke lantai dua."Kaki Mami sakit," jawab Aris."Kit? Pa?"Aris terkekeh. "Bantu Papi pijit dong, Bang, itu sebelahnya," suruh Aris.Bocah itu lantas beranjak dengan semangat meski awalnya terduduk lagi karena gerakannya tergesa. Elsha yang tengah duduk bersandar di kaki sofa memperhatikan saja bagaimana Sultan memijit kakinya."AW," ringis wanita itu saat Aris memijitnya sedikit kuat."No!" Sultan melotot pada Aris karena membuat Elsha kesakitan.“Parah, sih, ini si embul bakal posesif banget sama kamu, Yang,” decak Aris.Elsha tertawa dan mencubit gemas pipi Sultan yang tampak memerah. “Botol susunya tadi ketinggalan di rumah Mama Sashi, ya, Bang,” katanya.Sultan mengangguk lucu, “ndak pa,” balasnya.&ldqu
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang sangat disyukuri. Elsha merasakan itu. Pertama, bersyukur karena sebelumnya ia masih diberi kesehatan oleh sang pencipta sehingga bisa mencari nafkah untuknya dan Sashi.Kedua, bersyukur karena ia dipertemukan kembali dengan Aris dan menjalin hubungan serius hingga memiliki bayi mungil seperti saat ini.Ketiga, bersyukur karena ia memiliki keluarga baru yang begitu perhatian dan penuh limpahan kasih sayang. Nikmat mana lagi yang harus Elsha abaikan?Semua yang ia terima di kehidupan ini, ada baik dan buruknya. Tidak ada kehidupan yang selalu buruk dari awal hingga akhir. Pun, sama, tidak ada kehidupan yang selalu baik dari awal hingga akhir. Pasti ada titik masalah.Untuk Elsha sendiri, buruknya kehidupan yang ia rasakan adalah saat ditinggalkan kedua orangtuanya. Lalu, baiknya bertemu orang-orang baru.Membahas orangtua, Elsha tiba-tiba saja meneteskan air mata. Ia sudah tahu seberat apa perjuangan seorang
Minggu ke-40 yang ditunggu-tunggu Aris dan Elsha akhirnya tiba juga. Sangat mendebarkan dan menegangkan. Anak pertama mereka akan lahir ke dunia.Seperti halnya kedua suami istri itu, Donita dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Ini adalah cucu pertama bagi Donita dan keponakan pertama juga bagi Arjun dan Andreas serta para istri dan kedua putri Donita.Elsha menarik napas berulang kali. Matanya terpejam dengan dahi yang dipenuhi oleh keringat. Aris yang berada di atasnya membisikkan kata-kata sayang dan semangat untuk sang istri tercinta."Ayo, Bu, sedikit lagi," Dokter menyuruh Elsha untuk terus mengejan mengikuti arahannya."Ayo, Sayang, kamu bisa," bisik Aris. Pria itu duduk di kursi tepat di atas kepala Elsha yang terbaring. Sehingga Aris mudah untuk mengelus kepala wanita tersebut.Suara tangis bayi yang memekakkan telinga membuat Aris berseru syukur dan mengecup kening Elsha. Elsha bernapas lega seketika saat merasa plong begitu saj
Elsha tidak pernah sekali pun meragukan perkataan dan rencana Aris. Jika pria itu sudah berkata A, maka yang akan terwujud jelas A. Seperti saat ini, Aris benar-benar menyuruh orang untuk membereskan barang-barang penting yang harus mereka bawa.“Itu gak usah, Mbak, tinggalin aja,” larang Elsha saat seorang wanita ingin memasuki sebuah kotak yang Elsha tahu isinya apa.“Ini taruh di dalam box itu aja, biar nanti saya gak pusing nyarinya,” kata Elsha lagi saat salah satu barang yang biasa dia pakai hendak dimasukkan ke dalam box barang kerjaan suaminya.“Yang,” Aris datang dengan segelas susu untuk Elsha. Pria itu duduk di sebelah Elsha memperhatikan tiga orang yang sedang berbenah.“Banyakan barang-barang bayi. Tahu gini, mending aku suruh kemarin orang store anter ke rumah baru aja,” decak Aris.“Ya, kan, gak tahu. Gak bakal nyangka juga ini bakal pindah cepet begini,” balas Elsh
Berselang tiga hari setelah Elsha keluar dari rumah sakit, Aris menghubungi Arjun. Pria itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk meminta bantuan sang kakak. Berbeda dengan Aris, Andreas malah lebih memilih langsung menemui pria itu. Menurutnya lebih puas menjelaskan kondisi saat ini secara bertatap muka.“Suruh Aris ke sini,” titah Arjun kepada Andreas.“Gak bisa, dia jagain Kak El sama Sashi di rumah. Lo yang ke sana aja gimana, Mas? Mampir bentar habis pulang kampus,” pinta Andreas.Arjun tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk pelan. Dia akan menelepon Alura untuk mengabari kalau ia akan mampir ke rumah adiknya sebentar. Agar istrinya tidak menunggu Arjun seperti kemarin.Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Andreas pamit pergi. Sedangkan Arjun Kembali melanjutkan pekerjaannya. Saat sedang fokus, ponsel Arjun berdering, panggilan masuk ketiga kalinya hari ini dari orang yang sama. Aris.Di sebran
Elsha terpekur. Aris sampai bingung melihat istrinya. Mata Elsha hanya fokus pada ponsel di tangannya. Aris mendekat dan mengelus lengan Elsha."Sayang....""Mas, lihat, baca." Elsha menyerahkan ponselnya pada Aris. Pria itu membaca setiap teks yang masuk ke ponsel sang istri.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat bagi Elsha. Kini ia merasa bahagia. Apalagi Donita sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Keduanya juga sudah akrab seperti anak dan ibu, bukan seperti menantu dan mertua. Elsha berterima kasih kepada buah cintanya dan Aris. Berkat janin itulah Donita perlahan menerimanya."El, ini bagus, deh," Donita menghampiri Elsha dengan beberapa pakaian bayi-bayi lucu. "Pilih warna netral aja biar nanti pas bayinya lahir bisa dipake cowok maupun cewek," lanjutnya.Elsha mengangguk saja. Dia dan Aris memang sengaja untuk tidak menanyai jenis kelamin janinnya kepada dokter. Mereka ingin kejutan. Apa pun jenis kelaminnya, mereka terima dengan bahagia."Abu-abu ini bagus, Mi," kata Elsha.Donita setuju, dia juga sejak tadi lebih tertarik pada warna tersebut. "Ambil semua aja, deh, ya, Mami gak rela balikin ini, lucu," ucapnya menatap tangan kirinya yang memegang baju warna biru."Udah, borong aja," Aris yang sejak tadi be
Elsha keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Aris yang masuk ke dalam kamar. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya terlihat lelah dan pakaiannya tidak serapi tadi pagi. Elsha berjalan mendekat saat Aris sudah mengunci pintu. Telapak tangannya mengusap dada bidang Aris, lalu ia tersenyum sambil mendongak menatap sang suami."Capek?" tanyanya.Aris balas tersenyum. Melihat sambutan Elsha dan senyuman yang merekah indah di bibirnya saja sudah membuat Aris bahagia. Lelah bekerja sudah sering pria itu rasakan sejak dulu. Tapi berbeda dengan sekarang. Lelahnya terbayar dengan sosok Elsha."Sedikit." Aris menarik Elsha semakin menempel dengan tubuhnya. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya. Kakinya perlahan berjalan maju sehingga Elsha perlahan mundur."Wangi banget, sih," Aris mengendus leher jenjang Elsha, membuat sang istri tersenyum kegelian."Mandi dulu, ya, aku siapin air hangat," suruh Elsha.Aris tidak melepaskan belitan lengannya
"Mas, ini penting gak?"Aris menoleh, lalu mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Elsha yang melihat tingkah menyebalkan sang suami langsung saja mendengkus sambil menghentakkan kaki memasuki kamar mandi."Tuh laki kenapa, sih? Tadi siang senyum-senyum kayak orang gila, sekarang cuek banget," gerutu Elsha saat berdiri di depan wastafel menatap pantulan dirinya."Aw," Elsha meringis saat tangannya tak sengaja menyenggol agak kuat buah dadanya. "Nyeri banget," keluhnya.Usai membasuh wajah, Elsha membuka pintu kamar mandi dan hendak keluar. Tapi, Langkah kakinya sontak terhenti Ketika Aris berdiri di depannya dengan sebuket bunga. Ingatan Elsha tiba-tiba saja berputar ke hari di mana Aris melamarnya. Seperti déjà vu. Saat itu, Elsha juga baru keluar dari kamar mandi dan terdiam ketika matanya langsung disuguhkan dengan buket bunga besar di depan matanya."Mas...," cicitnya.