Napas kedua manusia yang telah merenggut kenikmatan itu saling berpacu. Mata mereka terpejam menikmati sisa-sisa percintaan panas yang entah sudah berapa lama terjadi.
Elsha yang lebih dulu membuka mata, lalu ia menatap ke sampingnya di mana Aris tengah berbaring. Dalam hati, Elsha sangat merindukan pria ini. Sangat. Tapi keadaan sudah tidak sama lagi. Elsha tahu Aris sudah beristri. Kenyataan yang saat itu membuatnya kehilangan harapan untuk bisa kembali ke pelukan sang mantan kekasih.
Mantan? Benarkah mereka sudah berakhir menjadi mantan?
Seingat Elsha, tidak ada yang mengucapkan kata-kata berpisah di antara mereka. Hanya Elsha yang terlalu pengecut dan melarikan diri karena masalah keluarga yang dulu mencekiknya.
Dia menyerah pada hubungan mereka karena Elsha yakin kalau hubungan yang terjalin saat itu tidak akan berhasil. Apalagi Elsha tahu, saat itu Aris harus melanjutkan studi ke luar negeri.
Menghela napas panjang, Elsha beranjak setelah puas memandangi wajah Aris. Wanita itu memungut pakaiannya yang sudah tidak lagi berbentuk, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Elsha mengenakan pakaian yang semula dia pakai ke kelab malam ini. Pantulan diri Elsha yang sudah terbalut pakain miliknya membuat Elsha tersenyum miris.
Ada topeng yang harus dia pakai demi mencari uang untuk kehidupan sehari-hari. Elsha tidak bisa membayangkan bagaimana respon adiknya kalau tahu dia bekerja sebagai jalang. Pasti adiknya sangat malu.
Elsha menahan napas saat pintu kamar mandi yang memang tidak dia kunci tiba-tiba terbuka. Aris berdiri di sana dengan bertelanjang dada. Pria itu sudah mengenakan celananya. Aris melihat wajah Elsha dari pantulan cermin wastafel. Begitupun dengan Elsha yang memandang balik pada Aris.
Langkah kaki membawa Aris berjalan mendekat dan memeluk Elsha dengan menyembunyikan wajah tampannya di ceruk leher wanita itu. Ada rasa tidak rela yang Aris rasakan ketika membayangkan Elsha sudah atau akan disentuh pria hidung belang lainnya.
"I Miss you so badly, El."
Elsha mencengkram erat pinggiran wastafel. Elsha tidak boleh lengah hanya karena ucapan Aris. Elsha mengelus lengan Aris yang melingkar posesif di perutnya. Lalu, wanita itu membalikkan badan sehingga kini dirinya dan Aris saling berhadapan.
Aris menatap Elsha dengan pandangan lelah dan rindu yang mendalam. Elsha tahu arti tatapan itu. Tatapan penuh cinta yang sejak dulu Elsha hafal. Tapi, benarkah masih ada cinta yang tersisa dari pria itu untuknya? Elsha meragukan hal tersebut. Mungkin, Aris hanya merindukan tubuhnya saja.
"Aku harus pergi," ujar Elsha. Bibirnya tersenyum tipis dan telapak tangannya mendorong Aris agar menyingkir dari pintu.
Aris mengepalkan tangannya saat Elsha berlalu dari dalam kamar mandi. Kesal karena Elsha seolah mengabaikannya, Aris menghantam kasar cermin wastafel sehingga kaca itu berderai tanpa sisa.
Elsha yang saat itu hampir keluar dari pintu kamar langsung tersentak kaget dan berbalik lagi hanya untuk melihat Aris yang kini berjalan keluar dari kamar mandi dengan tangan berlumur darah.
Elsha menutup mulutnya yang terkejut dengan kedua tangan. Matanya kaku menatap tangan Aris yang kini sudah memerah. Darah segar menetes ke lantai di sepanjang Aris melangkah. Pria itu meraih kemeja miliknya, lalu segera mengenakannya tanpa peduli dengan darah di tangannya.
Sakit di hati Aris lebih mendominasi daripada sakit karena pecahan kaca. Aris bahkan sama sekali tidak melirik Elsha dan segera meraih ponselnya, lalu mengancingkan kemeja sambil berjalan menuju pintu.
Elsha lebih cepat bergerak. Tangannya segera menutup pintu yang memang sudah sejak tadi terbuka karena ia ingin keluar. "Mas, tangan kamu."
Aris tersenyum tipis. Apa harus seperti ini dulu baru Elsha memanggilnya dengan panggilan sayang itu lagi?
"Gak papa." Aris meraih gagang pintu namun Elsha segera meraih lengannya.
"Mas,"
"Lepas, El, aku harus pergi."
Elsha tidak tahan. Untuk pertama kalinya dia meneteskan bulir bening semenjak hidup begitu kejam padanya. Elsha masih ingat, terakhir kali pipinya basah karena air mata adalah saat kedua orangtuanya pergi tanpa belas kasihan meninggalkannya dan Sashi. Bahkan setelah itu Elsha tahu Aris sudah menikahpun dia tidak menangis.
Elsha malah bersyukur kala itu. Karena dengan terikatnya Aris, maka Elsha bisa melupakan pria itu dengan alasan yang kuat, Aris-nya sudah milik wanita lain. Tapi, malam ini takdir begitu kejam. Mereka dipertemukan kembali dalam situasi yang sangat tidak disangka.
"Hei,"
Aris mengusap pipi Elsha dan heran melihat wanita di depannya menangis begitu terisak.
"El, kamu kenapa nangis?"
Elsha menggeleng. Lalu tanpa Aris sangka, Elsha memeluknya dengan erat. Ada rasa ketakutan yang Aris rasakan di sana. Dari pelukan Elsha, dari cara Elsha menempelkan wajahnya di dada bidang Aris, wanita itu jelas butuh sosok pelindung. Apa Aris masih punya kesempatan untuk itu? Aris masih sangat hafal dengan kebiasaan Elsha yang satu ini. Mereka kenal dan menjalin hubungan tidak sebulan dua bulan, tapi hitungan tahun.
"El?"
"Aku minta maaf."
Aris balas memeluk Elsha dengan sama eratnya. Darah dari tangan Aris ikut mengenai pakaian Elsha.
"Kita harus menyudahi semuanya dengan benar." Elsha mengurai pelukan mereka dan menatap wajah Aris. Sejak dulu, pria ini selalu tampan. Bahkan sekarang semakin tampan. Apalagi dengan bulu-bulu halus di sekitar rahangnya.
"Maksud kamu?"
"Aku pergi tanpa bilang. Dan kita gak pernah menyudahi hubungan kita sejak dulu. Mas, aku mau kita putus."
Tangan Aris yang semula memegang lengan Elsha seketika terlepas. Apa-apaan ini? Wanita di depannya ini bercanda, kan?
"El, aku gak pernah bilang mau putus dari kamu. Kita bukan anak kecil lagi, El. Bahkan sejak dulu kita udah merancang masa depan bersama. Tapi apa? Kamu yang mengacaukan semuanya dengan pergi tanpa kabar."
Elsha mengusap kasar wajahnya lalu mengangguk. "Aku tahu. Dan malam ini kayaknya Tuhan mempertemukan kita lagi supaya bisa menyelesaikan apa yang belum selesai sejak dulu."
Aris menghela napas kasar dan memandang wajah Elsha dengan tidak habis pikir.
"Selamat atas pernikahan kamu, Mas, dan aku berbahagia atas itu."
Aris menatap Elsha dengan pandangan tajam. Lalu pria itu tersenyum miring. "Makasih atas ucapan kamu. Tapi sayangnya aku duda saat ini."
Elsha mengerjap. Apa katanya? Duda? Jadi, pria ini…, sudah bercerai?
"Kok bisa?"
Aris mengernyit bingung dan geleng-geleng kepala.
"Apa yang gak bisa? Bahkan untuk membuat pacarku mendesah setelah sekian lama menghilang aja aku bisa."
"Mas!"
Aris meraih tangan Elsha. Matanya menatap genggaman tangannya di tangan Elsha dengan pandangan sedih. "Apa kita bisa memperbaiki semuanya?" tanyanya berharap.
Elsha menarik tangannya dan menggeleng. "Maaf, Mas, aku gak bisa. Kamu lihat sendiri, kan, pekerjaanku. Aku bukan wanita baik-baik dan polos seperti dulu lagi. Dan apa yang kamu bilang tadi pun benar. Aku hanya seorang jalang."
Aris menatap Elsha dengan pandangan terluka. Apa ucapannya tadi sungguh keterlaluan?
"El,"
Elsha kembali menggeleng. "Aku akan obatin luka kamu sebelum lanjut kerja. Tunggu sebentar."
Elsha berlalu menuju ruang penyimpanan obat yang tadi sempat bosnya beri tahu. "Ini demi kebaikan kita, Mas," lirih Elsha sambil berjalan menjauhi Aris. Ada dua hati yang sama-sama terluka.
Aris menjambak rambutnya karena kesal. Sudah berjam-jam dia duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar komputer yang menampilkan laporan pendapatan perusahaan. Tapi tidak sedetikpun otaknya berhenti memikirkan percintaan panasnya bersama Elsha seminggu yang lalu.Sial.Pengaruh Elsha masih sebesar itu terhadap dirinya. Sejak dulu, Aris selalu bergantung kepada Elsha. Hanya wanita itu tempat Aris berkeluh kesah dari permasalahan keluarganya. Saat Aris terpuruk, Elsha-lah yang menghibur dan membuatnya bangkit. Lalu, saat cinta sedang mekarnya di antara mereka, Elsha menghilang tak tahu ke mana.Terakhir mereka bertemu kala itu saat Aris mengajaknya untuk ikut bersamanya ke luar negeri di mana Aris akan kuliah. Tentu saja saat itu Elsha menolak. Ada Sashi yang harus dia jaga. Karena tidak ingin egois, Aris meminta Elsha untuk menunggunya. Tapi wanita itu malah menghilang.Aris menjalani hari-hari berat tanpa Elsha. Pria itu sempat alpa studi karena tid
Elsha bergerak lincah di dapur apartemen Aris. Wanita itu tengah membuatkan bubur untuk Aris. Benar. Pria itu ternyata tengah demam. Elsha tadi juga sudah mampir ke apotek membeli beberapa obat untuk jaga-jaga kalau saja di sini tidak ada obat apa pun."Akhirnya," Elsha bernapas lega saat bubur yang dibuatnya sudah jadi.Elsha melirik ruang tamu di mana Aris tengah berbaring di sofa. Pria itu sama sekali tidak mau Elsha suruh untuk pindah ke dalam kamar. Padahal lebih nyaman tidur di atas kasur daripada sofa.Setelah meletakkan mangkuk berisi bubur dan gelas berisi air putih ke atas nampan, Elsha berjalan ke ruang tamu. Wanita itu meletakkan nampan ke atas meja di depan sofa lalu mendekat ke tempat Aris berbaring."Mas, bangun dulu," panggil Elsha sambil menepuk pelan pipi Aris.Aris mengerjap dan membuka mata, lalu menatap wajah Elsha yang kini sangat dekat dengannya. Aris tersenyum dan menarik tangan Elsha untuk dia bawa ke pipinya sebagai bantal
Aris bahkan tidak terpengaruh dengan penolakan Elsha yang mendorong tubuhnya. Pria itu jauh lebih kuat. Elsha mana mungkin menang melawannya."Mending kamu diem deh, daripada ini mobil makin heboh goyangannya."Elsha melotot. Aris benar-benar sudah gila. Ini masih sangat pagi untuk melakukan hal mesum. Apalagi mereka berada di depan rumah Elsha. Kemungkinan besar orang-orang yang lewat di jalanan depan akan curiga kalau seandainya memang benar mobil ini bergoyang. Dan jangan lupakan Sashi yang bisa saja keluar tiba-tiba."Mas, plis," ujar Elsha memohon agar Aris tidak melanjutkan aksi nekatnya.Boro-boro berhenti, Aris malah semakin menindih Elsha dan mengendus tubuh wanita itu. Elsha menyerah. Matanya nyalang menatap atap mobil. Sekuat tenaga Elsha menahan segala suara yang akan keluar dari bibirnya.Aris tersenyum di ceruk leher Elsha. Dia menang. "Diem, aku janji cuma sebentar," bisik Aris lembut sambil mengecup pipi Elsha.Ya, aksi jinga
Aris mendengar pintu ruangannya diketuk, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di atas meja kerja. Sejak lamarannya tertolak tadi pagi, Aris tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pria itu sibuk melamun memikirkan kekurangan apa yang ada pada dirinya sehingga Elsha menolaknya."Woi!"Aris terlonjak kaget sehingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Mata tajam pria itu menatap jengkel pada pelaku yang baru saja memasuki ruangannya."Ngapain lo ke sini?" tanya Aris pada adiknya, Andreas."Gak ada. Mampir."Aris mengusap rambutnya lalu bangkit dan ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Andreas. "Gak kuliah lo?"Andreas menggeleng. "Dosennya gak masuk. Btw, Mas, gue butuh bantuan."Aris menatap adiknya dengan sebelah alis yang terangkat. Bantuan? Dia kira Aris akan sukarela membantunya? Terlalu percaya diri."Apaan? Gak mungkin lo kekurangan duit," cibir Aris."Bukan, Dog. Bantu
Aris terus menyerang Elsha tanpa ampun. Bibirnya tidak berhenti mengecup dan menghisap dengan lembut leher jenjang wanita itu. Yang Elsha lakukan hanya mendesah dan menjambak rambut Aris sebagai pelampiasan."Tubuh kamu gak bisa bohong, El," bisik Aris kala kini wajahnya dan wajah Elsha saling berhadapan.Napas Elsha masih memburu karena menikmati sisa-sisa cumbuan Aris di bibir dan lehernya. Wanita itu tahu kalau dirinya munafik. Bibirnya berkata tidak, tapi tubuhnya mengatakan semua yang ia rasakan. Seberapa besar cintanya pada Aris, dan seberapa pasrah dia disentuh oleh pria itu."Aku benci sama kamu," balas Elsha di depan bibir Aris.Mata Aris tidak lepas menatap ekspresi wanita di atas pangkuannya. Aris tahu Elsha sedang menguji kesabarannya saat ini. Wanita itu ingin memancing amarahnya lebih banyak lagi."Kamu suka lihat aku marah-marah?" tanya Aris dengan suara serak.Mereka tidak hanya sibuk saling membalas ucapan. Tapi tubuh keduan
Pagi hari, sebelum Aris bangun dari tidur lelapnya, Elsha sudah lebih dulu meninggalkan apartemen pria itu. Elsha akan segera pulang karena adiknya pasti akan mencarinya. Saat Elsha tiba di rumah, ternyata Sashi masih tertidur. Wanita itu tersenyum melihat Sashi yang tidur nyenyak di dalam kamarnya. Elsha menutup pintu kamar Sashi, lalu memasuki kamarnya di sebelah kamar sang adik.Elsha merasakan perutnya mual tapi dia tidak muntah. Mungkin dia masuk angin atau sakit mag-nya kambuh. Menghela napas, Elsha meraih obat di dalam tasnya. Lebih tepatnya obat yang ditukar oleh Aris dengan vitamin kesuburan.Elsha meminum dua butir sekaligus karena dia tidak mau hamil anak mantan kekasihnya itu. Elsha menganggap ini sebagai pekerjaannya untuk memuaskan hasrat duda tersebut. Elsha tidak akan terikat lagi dengan Aris karena Elsha tahu, keluarga pria itu bukan keluarga yang selevel dengannya."Kak?"Elsha menoleh kala pintu kamarnya terbuka dan Sashi melongok kan k
Elsha menatap pintu kamarnya yang terbuka. Sashi tersenyum padanya. "Aku pergi dulu, ya, Kak, mau nitip sesuatu gak? Sekalian, kan, di minimarket juga," tawar Sashi."Hm, beliin es krim rasa vanila dong. Lagi kepengin itu," kata Elsha pelan.Sashi mengangguk dan berlalu dari hadapan Elsha. Sepeninggalan sang adik, Elsha kembali memejamkan mata. Sosok Aris tiba-tiba terlintas di benaknya. Pria itu bilang otw ke sini, tapi belum juga sampai. Dan ini sudah beberapa jam berlalu sejak Aris mengatakan hal tersebut."Baguslah kalau tuh laki gak jadi ke sini," Elsha mendengkus pelan dalam pejaman matanya.Dalam sudut hati Elsha ada sedikit rasa khawatir. Apa sesuatu terjadi pada Aris? Elsha tahu Aris sejak dulu, kalau sudah mengatakan A maka pria itu pasti akan melakukannya. Kalau pun membatalkannya, Aris pasti juga akan memberitahukannya."Ish! Nyebelin banget sih tuh laki. Mondar-mandir mulu di pikiranku!Elsha meraih ponselnya yang berad
Aris menatap khawatir pada Elsha yang masih mengeluh pusing. Meski wanita itu sudah ia baringkan di atas kasur, tapi Aris tahu kalau Elsha tetap saja tidak merasa lebih baik."Sebentar, aku telpon dokter aja," Aris hendak beranjak dari duduknya di tepi kasur Elsha, tapi lengannya lebih dulu ditahan oleh wanita itu."Gak usah. Kamu pulang aja. Aku mau istirahat. Paling nanti juga enakan," Elsha tidak mau merepotkan siapa pun malam ini."El, kamu gak bisa abai gini sama keadaan kamu. Dari kapan kamu ngerasa pusing begini?"Elsha menghela napas panjang. Dia lupa kalau pria yang sedang bersamanya ini adalah pria yang keras kepala menyangkut keadaan orang yang disayanginya."Mas, aku cuma pusing biasa. Bukannya kena penyakit mematikan. Plis, jangan lebay. Ini tuh gara-gara kamu juga yang sering bikin aku kurang waktu istirahat!"Aris mencebikkan bibir mendengar penuturan terlalu jujur dari bibir Elsha. Aris jadi merasa bersalah. "Apa kamu hamil,
"Pa?"Sultan mendongak menatap Aris yang kini sedang memijit pelan kaki Elsha. Wanita itu mengeluh sakit pada kakinya karena tadi tersandung di undakan tangga saat mau ke lantai dua."Kaki Mami sakit," jawab Aris."Kit? Pa?"Aris terkekeh. "Bantu Papi pijit dong, Bang, itu sebelahnya," suruh Aris.Bocah itu lantas beranjak dengan semangat meski awalnya terduduk lagi karena gerakannya tergesa. Elsha yang tengah duduk bersandar di kaki sofa memperhatikan saja bagaimana Sultan memijit kakinya."AW," ringis wanita itu saat Aris memijitnya sedikit kuat."No!" Sultan melotot pada Aris karena membuat Elsha kesakitan.“Parah, sih, ini si embul bakal posesif banget sama kamu, Yang,” decak Aris.Elsha tertawa dan mencubit gemas pipi Sultan yang tampak memerah. “Botol susunya tadi ketinggalan di rumah Mama Sashi, ya, Bang,” katanya.Sultan mengangguk lucu, “ndak pa,” balasnya.&ldqu
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang sangat disyukuri. Elsha merasakan itu. Pertama, bersyukur karena sebelumnya ia masih diberi kesehatan oleh sang pencipta sehingga bisa mencari nafkah untuknya dan Sashi.Kedua, bersyukur karena ia dipertemukan kembali dengan Aris dan menjalin hubungan serius hingga memiliki bayi mungil seperti saat ini.Ketiga, bersyukur karena ia memiliki keluarga baru yang begitu perhatian dan penuh limpahan kasih sayang. Nikmat mana lagi yang harus Elsha abaikan?Semua yang ia terima di kehidupan ini, ada baik dan buruknya. Tidak ada kehidupan yang selalu buruk dari awal hingga akhir. Pun, sama, tidak ada kehidupan yang selalu baik dari awal hingga akhir. Pasti ada titik masalah.Untuk Elsha sendiri, buruknya kehidupan yang ia rasakan adalah saat ditinggalkan kedua orangtuanya. Lalu, baiknya bertemu orang-orang baru.Membahas orangtua, Elsha tiba-tiba saja meneteskan air mata. Ia sudah tahu seberat apa perjuangan seorang
Minggu ke-40 yang ditunggu-tunggu Aris dan Elsha akhirnya tiba juga. Sangat mendebarkan dan menegangkan. Anak pertama mereka akan lahir ke dunia.Seperti halnya kedua suami istri itu, Donita dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Ini adalah cucu pertama bagi Donita dan keponakan pertama juga bagi Arjun dan Andreas serta para istri dan kedua putri Donita.Elsha menarik napas berulang kali. Matanya terpejam dengan dahi yang dipenuhi oleh keringat. Aris yang berada di atasnya membisikkan kata-kata sayang dan semangat untuk sang istri tercinta."Ayo, Bu, sedikit lagi," Dokter menyuruh Elsha untuk terus mengejan mengikuti arahannya."Ayo, Sayang, kamu bisa," bisik Aris. Pria itu duduk di kursi tepat di atas kepala Elsha yang terbaring. Sehingga Aris mudah untuk mengelus kepala wanita tersebut.Suara tangis bayi yang memekakkan telinga membuat Aris berseru syukur dan mengecup kening Elsha. Elsha bernapas lega seketika saat merasa plong begitu saj
Elsha tidak pernah sekali pun meragukan perkataan dan rencana Aris. Jika pria itu sudah berkata A, maka yang akan terwujud jelas A. Seperti saat ini, Aris benar-benar menyuruh orang untuk membereskan barang-barang penting yang harus mereka bawa.“Itu gak usah, Mbak, tinggalin aja,” larang Elsha saat seorang wanita ingin memasuki sebuah kotak yang Elsha tahu isinya apa.“Ini taruh di dalam box itu aja, biar nanti saya gak pusing nyarinya,” kata Elsha lagi saat salah satu barang yang biasa dia pakai hendak dimasukkan ke dalam box barang kerjaan suaminya.“Yang,” Aris datang dengan segelas susu untuk Elsha. Pria itu duduk di sebelah Elsha memperhatikan tiga orang yang sedang berbenah.“Banyakan barang-barang bayi. Tahu gini, mending aku suruh kemarin orang store anter ke rumah baru aja,” decak Aris.“Ya, kan, gak tahu. Gak bakal nyangka juga ini bakal pindah cepet begini,” balas Elsh
Berselang tiga hari setelah Elsha keluar dari rumah sakit, Aris menghubungi Arjun. Pria itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk meminta bantuan sang kakak. Berbeda dengan Aris, Andreas malah lebih memilih langsung menemui pria itu. Menurutnya lebih puas menjelaskan kondisi saat ini secara bertatap muka.“Suruh Aris ke sini,” titah Arjun kepada Andreas.“Gak bisa, dia jagain Kak El sama Sashi di rumah. Lo yang ke sana aja gimana, Mas? Mampir bentar habis pulang kampus,” pinta Andreas.Arjun tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk pelan. Dia akan menelepon Alura untuk mengabari kalau ia akan mampir ke rumah adiknya sebentar. Agar istrinya tidak menunggu Arjun seperti kemarin.Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Andreas pamit pergi. Sedangkan Arjun Kembali melanjutkan pekerjaannya. Saat sedang fokus, ponsel Arjun berdering, panggilan masuk ketiga kalinya hari ini dari orang yang sama. Aris.Di sebran
Elsha terpekur. Aris sampai bingung melihat istrinya. Mata Elsha hanya fokus pada ponsel di tangannya. Aris mendekat dan mengelus lengan Elsha."Sayang....""Mas, lihat, baca." Elsha menyerahkan ponselnya pada Aris. Pria itu membaca setiap teks yang masuk ke ponsel sang istri.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat bagi Elsha. Kini ia merasa bahagia. Apalagi Donita sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Keduanya juga sudah akrab seperti anak dan ibu, bukan seperti menantu dan mertua. Elsha berterima kasih kepada buah cintanya dan Aris. Berkat janin itulah Donita perlahan menerimanya."El, ini bagus, deh," Donita menghampiri Elsha dengan beberapa pakaian bayi-bayi lucu. "Pilih warna netral aja biar nanti pas bayinya lahir bisa dipake cowok maupun cewek," lanjutnya.Elsha mengangguk saja. Dia dan Aris memang sengaja untuk tidak menanyai jenis kelamin janinnya kepada dokter. Mereka ingin kejutan. Apa pun jenis kelaminnya, mereka terima dengan bahagia."Abu-abu ini bagus, Mi," kata Elsha.Donita setuju, dia juga sejak tadi lebih tertarik pada warna tersebut. "Ambil semua aja, deh, ya, Mami gak rela balikin ini, lucu," ucapnya menatap tangan kirinya yang memegang baju warna biru."Udah, borong aja," Aris yang sejak tadi be
Elsha keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Aris yang masuk ke dalam kamar. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya terlihat lelah dan pakaiannya tidak serapi tadi pagi. Elsha berjalan mendekat saat Aris sudah mengunci pintu. Telapak tangannya mengusap dada bidang Aris, lalu ia tersenyum sambil mendongak menatap sang suami."Capek?" tanyanya.Aris balas tersenyum. Melihat sambutan Elsha dan senyuman yang merekah indah di bibirnya saja sudah membuat Aris bahagia. Lelah bekerja sudah sering pria itu rasakan sejak dulu. Tapi berbeda dengan sekarang. Lelahnya terbayar dengan sosok Elsha."Sedikit." Aris menarik Elsha semakin menempel dengan tubuhnya. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya. Kakinya perlahan berjalan maju sehingga Elsha perlahan mundur."Wangi banget, sih," Aris mengendus leher jenjang Elsha, membuat sang istri tersenyum kegelian."Mandi dulu, ya, aku siapin air hangat," suruh Elsha.Aris tidak melepaskan belitan lengannya
"Mas, ini penting gak?"Aris menoleh, lalu mengangguk sebagai jawaban dan kembali fokus pada ponsel di tangannya. Elsha yang melihat tingkah menyebalkan sang suami langsung saja mendengkus sambil menghentakkan kaki memasuki kamar mandi."Tuh laki kenapa, sih? Tadi siang senyum-senyum kayak orang gila, sekarang cuek banget," gerutu Elsha saat berdiri di depan wastafel menatap pantulan dirinya."Aw," Elsha meringis saat tangannya tak sengaja menyenggol agak kuat buah dadanya. "Nyeri banget," keluhnya.Usai membasuh wajah, Elsha membuka pintu kamar mandi dan hendak keluar. Tapi, Langkah kakinya sontak terhenti Ketika Aris berdiri di depannya dengan sebuket bunga. Ingatan Elsha tiba-tiba saja berputar ke hari di mana Aris melamarnya. Seperti déjà vu. Saat itu, Elsha juga baru keluar dari kamar mandi dan terdiam ketika matanya langsung disuguhkan dengan buket bunga besar di depan matanya."Mas...," cicitnya.